BAGIAN 20
SOBAT, MAAFKAN AKU
Kakiku gontai menapaki lorong paviliun Cendana. Kubuka pintu yang menghubungkan paviliun dengan jalan menuju tangga. Pintu kaca dengan gorden tebal berwarna hijau itu jadi terasa begitu berat di genggaman. Ah, entah mengapa, setelah marah-marah tadi, aku jadi lemas sendiri. Mungkin, karena memang aku ini bukan tipikal perempuan pemarah. Jarang sekali meledak-ledak.
Di tangga, beberapa orang ramai berlimpasan denganku. Sekarang memang sudah waktunya jam besuk. Wajar saja bila banyak yang datang untuk berkunjung.
Melihat banyaknya orang, aku tiba-tiba jadi merasa insecure. Betapa tidak, penampilanku sudah awut-awut tak keruan. Rambut ini lepek. Badan juga berkeringat. Belum lagi muka yang sudah kucel. Ya Tuhan, sudah seperti gembel penampilanku. Kok, re
BAGIAN21POV NADIAAPAKAH DIA TAHU? “Uhh ….” Aku mengerang lemah. Seluruh tubuhku rasanya nyeri plus gatal. Kulit ini seperti menebal. Alergi yang tak biasa, pikirku. Bahkan, aku hampir saja meregang nyawa sebab kesulitan bernapas. Kukira, aku hampir tewas. Nyatanya, kini mataku telah membuka sempurna meskipun masih terasa lemah. “Nadia! Kamu sudah sadar?!” Suara yang sangat kukenal berseru. Aku menggeliat. Menatap ke arah samping kiri tubuhku. Tampak sosok yang begitu kucinta, tengah berdiri dengan memasang wajah senang. “Mas,” panggilku lirih. Tangan yang terpasang infus mencoba menggapai-gapai wajah teduhnya. Oh, kekasihku. Kamu ternyata menjagaku terus. Aku padahal sudah sempat ketakutan kala bertandang ke rumahnya saat makan
BAGIAN22 “Oke, Va. Aku akan kembali ke kamar Nadia. Besok, mungkin aku agak telat datangnya,” jawabku kepada Eva. “Iya, Ri. Selesaikan apa yang mesti kamu selesaikan. Aku nnati bilang ke anak-anak lain kalau semisal kamu memang jadi telat datang.” Aku tersenyum. Merasa benar-benar beruntung memiliki rekan kerja sebaik Eva. “Makasih, Va. Makasih banget untuk semua dukungan dan bantuannya.” “Sama-sama, Ri. Semangat, ya. Demi anak kamu. Ingat, jangan gegabah dan ngasal.” “Iya. Bye, Eva. Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam.”&
BAGIAN 23BERMUKA MANIS DI DEPANNYA Setelah semua tangkap layar berisi percakapan antara Mas Hendra dan Nadia berhasil kuunduh di ponselku, pesan yang dikirim dari Nadia ke kontakku pun langsung kuhapus semuanya. Untungnya, Nadia memang di awal sudah menghapus percakapan denganku, sehingga tak ada jejak yang tertinggal. Bukti tangkap layar di galeri pun lekas kuhapus. Masuk ke tempat sampah, tempat sampahnya pun kukosongkan semua. Yes, semoga tak ada bukti yang bisa terendus. Aku juga harus bersyukur sebab Nadia juga sama-sama mematikan fitur terakhir kali dilihat pada WhatsAppnya seperti apa yang kulakukan selama ini. Jadi, saat dia membuka WhatsAppnya nanti, tak bakal ketahuan jika aku pernah membaca-baca pesan miliknya. Segera aku keluar dari aplikasi WhatsApp dan kembali meng
BAGIAN 24DIA TAK TAHU AKU TERJAGA “Jangan tersinggung, Nad. Namun, sejujurnya, penampilanmu yang sekarang benar-benar mengundang fitnah. Terlalu berani dan seksi.” Aku menjauh dari muka Nadia. Berjalan mundur dan memperhatikan mimiknya diam-diam. Perempuan itu benar-benar terhenyak setelah kuberi tahu. Ya, jangan marah. Ini fakta, kok! Coba aja ngaca beneran kalau tidak percaya. “Nad, aku pulang, ya, kalau gitu. Kamu nggak apa-apa, kan, sendirian?” tanyaku padanya sembari tersenyum tanpa dosa. “Iya.” Wanita itu menjawab agak ketus. Dia masih memalingkan wajah. Aku sih, tidak peduli. “Pagi-pagi aku akan ke sini lagi. Mengurus semua administrasimu untuk pulang besok.”
BAGIAN 25GERIMIS HATI Sekiranya lima belas menit aku bertahan di atas ranjang dalam posisi sama. Aku menahan diri untuk tak terburu-buru turun sebab takut jika Mas Hendra tak benar-benar pergi. Setelah kurasa kondisi aman, barulah aku beranjak. Jantung berdebar kencang. Napas bahkan kutahan beberapa detik saking takutnya. Kubuka kenop dengan tangan yang agak gemetar. Saat celahnya terbuka sedikit, aku mengintip. Tak ada siapa-siapa di depan sana. Kondisi lorong menuju ruang tamu pun gelap gulita. Aku juga menoleh ke arah sebelah kanan tepatnya ruang televisi. Tak ada tanda-tanda keberadaan Mas Hendra juga. Tanganku langsung mengepal. Benar, lelaki itu kabur, pikirku. Dia telah menghilang malam-malam. Entah ke mana perginya manusia bedebah tersebut. 
BAGIAN 26SENJATA MAKAN TUAN Pagi-pagi sekali aku sudah terjaga dari tidur tak nyenyakku. Sumpah, semalaman aku tak tenang. Dihantui rasa jijik yang mendalam usai disentuh oleh suamiku sendiri. Betapa tidak. Jangankan hasrat, tersenyum pun aku tak bisa. Semuanya terasa seperti memuakkan. Semalaman dengan Mas Hendra di dalam kamar, seakan aku tengah di depan pintu neraka. Sebelum Subuh, aku sudah mandi wajib. Saat azan berkumandang, buru-buru aku melaksanakan salat. Hal ini sangat luar biasa bagiku. Seumur-umur, salat Subuh adalah ibadah wajib yang paling sering aku tinggalkan. Wajar bila hari ini aku menangis dalam sujud terakhir. Bukan apa-apa. Terasa olehku betapa besar dosa yang telah bertumpuk di diri ini. Kusadari, ujian yang datang silih berganti merupakan azab bagiku yang kerap ingkar dan lari dari jalan Allah.&nb
BAGIAN 27DIA MEMANGGIL SUAMIKU AYAH “Awas kalau kamu berbohong, Mas!” Aku menghardik Mas Hendra. Pria itu hanya bisa mengangguk lemah sembari membuka kedua tangannya. Dia berniat untuk mengambil Carissa dari gendonganku. “Ica, sini sama Ayah,” lirihnya. Hanya sekadar akting atau dia benar-benar takut bila aku dan Carissa pergi? Huh, aku bahkan sudah tak bisa lagi membedakannya. Mas Hendra terlalu misterius dan licik. Carissa yang sudah reda tangisnya, kini sodorkan kepada Mas Hendra. Pria yang masih acak-acakan rambutnya tersebut langsung tersenyum kecil saat tubuh Carissa sudah dipelukan. Sekarang, tangisan Alexa yang malah semakin
BAGIAN 28RAHASIA BESAR Selesai mandi, anak-anak kuberi pakaian. Awalnya, Alexa menolak kupakaikan baju miliknya yang kuambil dari rumah Nadia semalam. Dia bersikukuh mau memakai gaun warna lilac milik Carissa dengan model seperti yang dipakai tokoh kartun Sofia The First. “Aku mau pakai baju itu,” kata Alexa sambil menarik gaun ungu tersebut dari gantungan lemari motif Hello Kitty milik Carissa. Anakku yang kini tengah memakai baju sendiri, hanya diam, dan memandangi ke arah kami berdua. Mendengar rengekkan Alexa yang membuat kuping agak bising, aku pun rasanya mulai emosi juga. “Alexa, jangan pakai baju itu. Kamu kan, mau ke sekolah sama Ica. Pakai bajumu aja, ya. Tante sudah jauh-jauh bawain dari r
BAGIAN 119 AKHIR KISAHKU “Tuh, kan!” desisku penuh kecewa. “Mana lihat?” Chris meringsek maju. Merebut tespek dari jemariku. Satu garis merah yang tertera jelas di alat tes kehamilan itu lantas membuat raut wajahnya termenung. Aku tahu jika Chris pasti kecewa. “Kan, apa kubilang, Mas. Aku belum hamil. Makanya jangan dicek-cek dulu,” keluhku setengah putus asa. “Cup-cup, jangan manyun gitu, dong. Nggak apa-apa. Kan, cuma iseng-iseng cek doang. Nggak usah sedih, ya,” sahut suamiku dengan penuh kesejukan. Langsung tespek itu diletakan Chris di atas flush toilet. Dia lalu mendekap tubuhku erat-erat dan mengecup puncak kepala ini dengan penuh kehangatan. “
BAGIAN 118HADIRNYA PENYESALAN “Apa-apaan ini?! Tidak, pernikahan ini tidak boleh terjadi! Siapa yang mengizinkan mereka berdua menikah? Siapa?!” Pekik jerit histeris itu tiba-tiba memecah suasana khidmat menjadi mendadak kacau balau. Sontak, seluruh tamu undangan yang hadir melemparkan pandang ke arah suara, tepatnya di depan pintu masuk sana. Termasuk diriku yang sedang memangku Carissa dengan derai air mata haru yang tiada tara. Mataku pun langsung membelalak besar demi melihat sosok di depan. Seorang pria berkulit legam dengan tubuh kurus dan pakaian yang sangat seadanya. Bahkan kaus yang dikenakannya lebih jelek daripada kain lap di dapur kami. “Edo!” Jeritan itu berasal dari Mama yang sedang menerima sungkeman Bang Tama dan Mbak Sherly. Kulempar pandang lagi ke arah Mama, wajah beliau terperanjat. Lebih-lebih l
BAGIAN117 Bau makanan bercampur obat kini menyeruak saat aku membuka pintu ruangan VIP tempat di mana mantan kakak iparku dirawat. Ya, Mbak Indri jatuh sakit dan dilarikan ke rumah sakit oleh keluarga besarnya sejak kemarin. Pagi-pagi Bang Tama sudah ditelepon oleh ibunya Mbak Indri, tetapi Bang Tama menolak untuk datang menjenguk sebab masih harus mengurusi beberapa masalah bisnis. Baru hari inilah pria yang telah berhasil menyusutkan berat badannya sebanyak 15 kilogram dengan giat berolahraga itu mengiyakan permintaan keluarga sang mantan istri. Aku tahu, pasti sangat berat bagi Bang Tama untuk melakukannya. Mataku langsung membulat besar saat melihat ruangan yang seharusnya bersih dan rapi itu malah tampak acak-acakkan. Banyak sekali barang bawaan di dalam sini. belum lagi orang-orang yang berjubel duduk melantai. Terlihat Pak Surat dan Ibu Yatni yang tak la
BAGIAN 116Dua bulan kemudian …. “Selamat, kamu telah mendapatkan apa yang kamu inginkan,” ucapan itu terdengar begitu putus asa. Lewat jeruji pembatas, kulihat senyum itu melengkung dengan getir. Sosok kurus dengan kantung mata yang terlihat menghitam itu menatapku dengan sendu. Sedih aku melihatnya. Apalagi rambutnya yang dulu lebat dan tebal, kini telah hilang. Menyisakan kepala gundul licin yang memprihatinkan. “Makasih, Mas. Ini akte cerainya. Silakan kamu simpan baik-baik,” ujarku sembari menyodorkan map berwarna kuning di mana ada selembar akta cerai dengan warna senada dan beberapa kopi salinannya. Kumasukan map itu lewat celah jeruji besi. Pria yang duduk di atas kursi dengan tangan terborgol itu hanya dapat memandangnya dengan nanar. Lambat laun, senyum di wajah Mas Hendra kembali melengkung hampa.
BAGIAN 115UNGKAPAN CINTA “Kenapa Mama diam? Sebegitu bencinyakah Mama pada Chris? Apa salah laki-laki itu?” Mama menggelengkan kepalanya. Bagaikan daun kering yang digoyang-goyang oleh semilir angin, gerakannya. Lemah. Aku tahu pasti bahwa gelengan Mama barusan tidaklah 100% tulus. Mama hanya takut kehilanganku, tetapi belum bisa menerima apa yang sebenarnya sangat kubutuhkan. Ya, aku sadar bahwa yang kubutuhkan saat ini adalah Chris. Tak bisa kupungkiri atau kututupi lagi bahwa pria itu telah mencuri hatiku. Jangan tanyakan apa alasannya, hanya hatiku yang bisa menjawab. “Kamu … betul-betul menyukai laki-laki itu?” Mama bertanya dengan suaranya yang pelan. Dari tiap inci gerakan bibir beliau, tersirat suatu penyangkalan yang besar. Mama masih deni
BAGIAN 114 “Mbak Riri, kamu dipanggil Pak Dayu untuk menghadap ke ruangannya.” Perintah Bima yang tiba-tiba itu membuat lamunanku seketika buyar. Pundak yang sebelumnya melorot, kini terangkat tegak. Jantungku yang semula iramanya normal, kini cepat tak keru-keruan. “Kenapa cuma bengong? Cepat ke sana. Nanti kena semprot!” ujar Bima lagi dengan muka jutek. “Alah, nggak mungkin disemprot. Masa sama yayang sendiri galak, sih?” Pak An menceletuk dari kubikelnya. Dia tak menampakkan wajah. Hanya suaranya saja yang menggema plus membuat kupingku memanas seketika. Kurang ajar! Sembarangan saja kalau ngomong. “Eh, iya. Lupa!” ledek Bima sambil melengos sinis. Pria yang baru saja masuk
BAGIAN 113APA MAKSUDNYA? “Sebenarnya … aku belum ingin menceritakan ini,” ucapku dengan bibir yang sungguh gemetar. Namun, Mama masih saja mencengkeram kedua lenganku. Mengguncangnya kuat demi memaksaku mempercepat cerita. “Ayo, lekas katakan! Jangan ada yang ditutup-tutupi!” Suara Mama semakin bertambah kencang saja. Membuatku semakin takut jikalau anak-anak menjadi trauma. “Mbak, tolong bawa anak-anak ke depan dulu,” kataku seraya menoleh ke arah Mbak Sherly yang wajahnya terlihat pias. Wanita yang mengenakan pasmina dan tunik berwarna dusty purple tersebut mengangguk cepat. Tergopoh-gopoh turun dari kursi seraya menarik tangan anaknya dan menuju ke arah kami. Mbak Sherly b
BAGIAN 112SEMUA ORANG BAHAGIA, KECUALI AKU Sidang mediasi Bang Tama dan Mbak Sherly yang digelar hanya selisih sehari denganku pun juga berjalan dengan sangat lancar. Chris yang mendampingi keduanya. Setelah menjabarkan segala bukti maupun saksi-saksi, sidang tersebut berakhir dalam waktu yang sangat singkat. Absennya Mbak Indri maupun Bang Edo menambah satu poin kemenangan bagi Bang Tama maupun Mbak Sherly. Chris memastikan bahwa sidang-sidang berikutnya bakal semakin mulus. Surat cerai bakalan segera digenggam oleh keduanya. Keberhasilan kerja keras Chris sebagai pengacara kami bertiga nyatanya tak begitu membuat sikap Mama kunjung berubah. Beliau tetap saja dingin pada pria berwajah blasteran tersebut. Sedikit bercakap, apalagi tersenyum. Saat Pak Dayu alpa di pandangan matanya pun, nama pria berkumis tebal itulah yang lagi-lagi Mama ga
BAGIAN 111TANTANGAN DARI CHRIS Usai makan-makan siang itu, sepanjang perjalanan pulang tak ada bahasan lain yang dicelotehkan oleh Mama selain kebaikan hati bos licikku. Berbagai sanjung puji dia sematkan kepada lelaki bertubuh gempal dengan kulit putih tersebut. Bila dilihat, mungkin kupingku telah berubah merah padam sebab panas sendiri dengan kalimat-kalimat hiperbola Mama. Andai dia tahu yang sebenarnya. Tunggu saja, pikirku. Suatu saat nanti, kedok Pak Dayu akan kubuka agar seluruh keluargaku sadar. “Dia itu orangnya benar-benar rendah hati. Jarang sekali ada laki-laki yang sikapnya begitu, lho! Apalagi dia itu punya pangkat tinggi.” Mama berkicau lagi. Seakan-akan belum puas untuk memberikan sanjungan setinggi langit untuk calon mantu idamannya. “Ya, betu