Gilang tak habis pikir dengan dirinya yang bisa-bisanya membayangkan Viona. Lelaki berwajah tirus itu menggeleng pelan, berusaha menepiskan bayangan itu dari pikirannya. Tapi anehnya, semakin dia berusaha menghilangkan bayang Viona dari pikirannya semakin dia teringat akan gadis itu.
"....ingat jaga jarak."
Perkataan Vona yang satu itu ikut terngiang dipikiran.
"Apa maksud Viona ngomong gitu, ya?" gumamnya. "Sebenarnya kalau gue perhatiin kayaknya dia mau ngelakuin itu sama gue lagi cuman mungkin karena gue sekarang bukan pacarnya lagi, jadi dia nolak." Gilang mengusap dagunya, berpikir. Dan dia yakin bahwa pemikirannya itu benar.
***Pagi itu sekolah masih sepi. Baru ada dua-tiga siswa yang terihat ketika Safira dan Evan menyusuri koridor IPS. Tapak sepatu terdengar menggema memecah kesunyian. Mereka berdua datang lebih awal hari ini. Karena Gilang masih sakit, Safira pergi bersama EvHari-hari terus berlalu. Tibalah waktu ujian nasional. Para siswi angkatan kelas dua belas mulai serius menyiapkan dan mempelajari materi pelajaran yang akan diujikan. Tak ada lagi waktu untuk bermain-main. Tak terkecuali Safira dan teman-teman. Inilah yang paling Safira tunggu-tunggu. Dia akan belajar sungguh-sungguh agar mendapat nilai ujian yang memuaskan untuk kemudian bisa masuk ke universitas favorit di Jakarta seperti impiannya selama ini. Tak jarang Safira mengumpul dengan grup belajar yang dia buat untuk membahas materi yang akan diujikan dengan metode belajar tanya jawab dan bertukar pikiran. Intinya, Safira sering menghabiskan waktu untuk belajar serius. Dia tidak lagi banyak main. Itu sebabnya dia menolak permintaan Gilang yang mengajaknya jalan atau sekadar bertemu. Safira benar-benar memprioritaskan nilai sekolahnya. Hal itu kadang membuat Gilang kesal dan bosan. Safira lebih mementingkan nilai sekolah ketimbang dirinya. Untuk sekali d
Gilang pulang dari rumah Viona pukul setengah dua belas. Ketika ke rumah Viona tadi dia mendapati ponselnya di telepon oleh Safira, Safira juga mengiriminya pesan. Tentu saja Gilang tak mengangkatnya karena dia sedang bersama Viona. Tak lama setelah itu barulah dia memutuskan pulang. Saat ini Gilang sedang berbaring di kasur nya sembari menatap ponsel. Safira mengiriminya chat, bertanya apa saja yang Gilang lakukan di rumah. Tapi Gilang memilih tak menjawabnya. Pikirannya kembali mengingat ucapan Viona tadi. "Lepasin aja kak Safira buat kak Andra. Gue yakin kalau kak Safira udah nggak sama kak Gilang, mereka pasti jadian," "Gue nggak masalah sih kakak mau pacaran sama siapa aja. Mau sama kak Safira kek, sama perempuan lain di luar sana atau mungkin mau balikan lagi sama gue. Gue mau-mau aja, hehe." "Maksud Viona ngomong gitu apa ya? Aneh kok dari kemarin gue ngerasa tuh cewek kode gue terus ya?" gumam Gilang seorang diri. Dia mengingat lagi percakapan
Safira menatap Gilang tak percaya. "Gilang kamu kenapa, sih? Kamu seperti nggak suka sama aku. Salah aku apa?!" Safira tidak bisa menahan diri lagi. Gilang seperti tak mau disentuh olehnya. Gilang menatap mata Safira yang mulai berkaca-kaca dengan perasaan bersalah. Dia baru tersadar dia sudah bersikap kelewatan. "M-maaf, maafin aku. Aku nggak bermaksud..." Safira menggeleng sambil menangis. Gilang yang melihatnya semakin merasa bersalah. "Maafin aku Safira, aku..." Gilang tak bisa meneruskan ucapannya. Tak mungkin dia bilang kalau dia merasa terangsang setiap kali Safira sentuh dan membuat dia jadi ingin melakukan itu. Gilang sendiri tak mengerti kenapa tiba-tiba dia merasa seperti ini saat berada di dekat Safira. Tak seperti biasanya. Safira mengusap pipinya, berusaha untuk tidak menangis lagi. "Kita pulang aja, yuk," ajak Gilang akhirnya. Safira mengangguk. Gilang memanggil pelayanan yang lewat, membayar makanan mereka, lant
"Gue perhatiin tiga hari belakangan ini lo nggak terlihat akrab sama Gilang," ucap Riri ketika mereka bertiga--bersama Safira dan Evan--tiba di parkiran. Dan dia melihat Gilang tengah mengenakan helmnya. Safira dan Evan melihat ke objek yang sama. "Kalian nggak berantem, kan?" Riri menatap Safira. Gilang menaiki motornya. Safira terkekeh. "Nggak sama sekali." "Terus kenapa kayak perang dingin gitu," ucap Riri lagi. "Harus, ya, keliatan akrab terus," "Aneh, aja. Biasanya mah berduaan terus seolah dunia milik berdua, sampai kita dilupain. Iya, nggak, Van?" Evan hanya tertawa bersamaan dengan Gilang yang melajukan motornya meninggalkan pelataran parkir. "Tumben pulang sendiri, nggak bareng lo," ucap Riri lagi. "Gue lagi pengin pulang bareng Evan," kilah Safira. "Udah, ah, pulang. Ngapain ngomongin dia." Safira berjalan lebih dulu menuju motor Evan. Safira berusaha menghindari pembahasan itu. Dia tak mau
Gilang: Fir, hari ini kita ketemuan yuk. Ada hal penting yang pengin aku omongin sama kamu. Bentar lagi aku jemput. Safira menatap pesan itu tak percaya. Gadis itu tersenyum senang. Gilang akhirnya mengiriminya pesan setelah dua hari tak ada kabar. Di sekolah tadi Safira juga tidak melihat keberadaannya. Entah ke mana lelaki itu. Hal itu membuat Safira semakin rindu pada pacarnya itu. Dan tanpa di sangka sore ini Gilang akhirnya mengiriminya pesan juga. Bahkan pacarnya itu mengajaknya ketemuan. Namun, sejurus kemudian ekspresinya berubah, senyum senang yang sempat tercipta itu seketika memudar kala sebuah spekulasi buruk terlintas di pikirannya. Dua hari sejak semalam Gilang tak ada kabar sama sekali. Dan tiba-tiba saja hari ini Gilang langsung mengajaknya ketemuan. Untuk apa? Apakah Gilang mengadakan suprise untuknya? Rasanya tak mungkin. Safira takut kalau Gilang ingin menyampaikan kabar buruk mengenai hubungan mereka. Mendadak perasaan cewek
Gilang melepas pelukannya, menatap Safira lekat-lekat. "Aku...." "Apa Gilang?" desak Safira tak sabaran. "Aku mau cerita," ucap Gilang akhirnya. Sungguh dia berat mengatakannya. "Cerita apa?" Gilang lalu berdiri, berjalan menuju balkon, melempar pandang ke lapangan basket. "Jujur semenjak sama kamu, aku banyak berubah. Bahkan berubah drastis. Aku nggak pernah lagi ngelakuin itu," "Bagus dong." Safira berjalan mendekati Gilang. "Iya, tapi tetap aja aku merasa buruk. Aku nggak pantas. Aku memiliki masa lalu yang buruk. Aku bukan lelaki yang baik." Gilang lantas menghadap Safira. "Dibanding kamu, aku benar-benar nggak pantas. Tadinya aku pikir kamu yang nggak pantas untuk aku, tapi semakin ke sini aku sadar, aku yang nggak pantas untuk kamu," Safira mengernyit, perasaannya semakin tak nyaman, "maksud kamu?" "Kamu terlalu baik buat aku, Fira. Dan aku nggak pantas buat kamu. Kamu pantas dapatkan lelaki yang leb
"Aku lupa sesuatu," "Apa?" "Kamu nggak pake jaket. Kebiasaan, deh." Gilang melepaskan jaket kulitnya, mengenakannya ke Safira. Safira terperangah melihat sikap Gilang. Lelaki itu mengenakan jaket miliknya ke tubuh Safira sedangkan dirinya hanya mengenakan kaos pendek tipis. "Kamu gimana? Kamu cuman pake kaos pendek Gilang. Jaketnya buat kamu aja--" "Aku nggak pa-pa." Gilang memegangi kedua bahu Safira yang sudah tertutup jaket. Jaket itu terlihat kebesaran di tubuh Safira. "Aku nggak masalah kalau kedinginan. Yang penting kamu nggak." Gilang tersenyum. Safira terenyuh. Kenapa di saat hubungan mereka telah berakhir, Gilang justru bersikap semakin manis padanya? Gilang baru akan melanjutkan langkah, ketika Safira justru menahan pergelangan tangannya. Gilang menoleh. "Kenapa?" "Kalau kamu nggak pake jaket sebaiknya kita nggak pulang sekarang. Hujan di luar lebat banget. Aku nggak mau kamu sakit." Safira menggeleng.
Hari ini ujian nasional di SMA Tunas Bangsa dilaksanakan. Suasana sekolah menjelang ujian, tak seramai biasanya. Karena hanya ada siswa angkatan kelas dua belas sebagai peserta ujian, tak ada adik kelas. Kembali seperti biasa, Safira pergi sekolah bersama Evan. Dan kali ini mereka datang di saat sekolah sudah lumayan ramai. Safira berjalan dengan sedikit tertunduk di belakang Evan, mereka berjalan di tengah lalu-lalang siswa lain. Dan ketika Safira mengangkat kepalanya dia langsung bertemu pandang dengan Gilang yang berdiri di ambang pintu ruang sepuluh. Lelaki itu tadinya sibuk bercengkrama dengan teman-temannya. Ketika dia melihat kehadiran Safira, lelaki itu langsung menatap cewek itu. Melihat itu, Safira segera tundukkan pandangannya kembali. Lantas memotong jalan Evan, masuk ke ruangannya dengan terburu-buru. Masing-masing ruang telah dipersiapkan. Jumlah satu kelas murid di bagi menjadi dua ruang. Safira mendapat ruang delapan, terpisah dengan Evan dan
Satu bulan kemudian. Gadis yang duduk di atas kursi roda itu termenung menatap ke luar kaca jendela. Masih di kamarnya yang berada di lantai dua gedung kosan ini.Gadis itu mengingat kejadian demi kejadian yang di alaminya satu bulan belakangan. Dia yang tertabrak truck sampai kakinya terlindas dan masuk rumah sakit. Dia bahkan sempat koma selama dua minggu. Dia juga melewati acara perpisahan yang di laksanakan tepat saat dirinya dirawat di rumah sakit. Dia dinyatakan lumpuh. Kaki bagian tempurungnya pecah dan busuk, karenanya kakinya harus dipotong. Tiga hari yang lalu Gilang sempat datang menemuinya. "Aku nggak bisa Gilang. Dengan keadaan aku yang sekarang aku nggak pantas buat kamu," ucapnya ketika cowok itu melihat bagaimana keadaannya yang sekarang, cowok itu masih bersedia mengajaknya balikan. "Kamu nggak boleh ngomong gitu, Fir. Aku nggak peduli kondisi kamu sekarang. Karena cuman kamu perempuan baik yang bisa mengubah aku menjadi lelaki yang baik juga. Apa pun keadaannya
"Makasih, ya, udah nemenin.""Sama-sama." Safira tersenyum, sebelum akhirnya masuk ke kamar dan menutup pintu. Safira menghela napas lelah seiring dengan bokongnya mendarat di tempat tidur. Dan melepaskan tasnya di tempat tider. Perjalanan hari ini harusnya cukup menenangkan pikirannya, tapi membaca berita di koran itu membuat dia tidak bisa berpikir dengan tenang.Belum sembuh kesedihannya atas kepergian Viona secara mendadak yang dia dengar dari pihak sekolah tempo hari. Dan sempat menggegerkan warga SMA Tunas Bangsa. Dia bahkan masih ingat jelas bagaimana histerisnya orang tua Viona di depan jenazah sang anak, di hari pertama dia ikut melayat. Biar bagaimana pun Viona adik kelasnya. Dia ikut merasa sedih dan kehilangan.Hari ini dia kembali diingatkan dengan kabar duka itu ketika membaca isi koran tadi.Dan ini semua gara-gara Gilang. Kebencian Safira terhadap lelaki itu rasanya semakin dalam. Safira merogoh kembali tasnya. Mengeluarkan koran tersebut. Membaca ulang berita itu.Dr
Beberapa minggu kemudian...Siang itu keadaan pasar cukup ramai. Pedagang buah berjejer di tepi jalan, menyapa pejalan kaki yang lewat, berlomba-lomba menawarkan dagangannya, berdampingan dengan kios penjual kaset yang memutar lagu dangdut cukup keras. Membuat hiruk-pikuk suasana pasar semakin terasa.Safira akhirnya memutuskan ikut Tika ke pasar, ketika gadis itu mengajaknya untuk menemaninya ke toko buku. Hitung-hitung refreshing, berharap bisa melupakan masalah-masalahnya sejenak. Mereka berjalan kaki menyusuri tepian pasar mencari toko buku yang ada di antara kios kaset itu. Motornya mereka parkir cukup jauh dari tempat mereka sekarang.Ketika menemukan sebuah toko yang bagian depannya terdapat buku-buku, Tika melangkahkan kaki ke sana, diiringi Safira.Ketika masuk ke dalam mereka disuguhkan dengan pemandangan lemari kaca yang tersusun berbagai macam buku di dalamnya. Safira mengedar pandangan di ruangan itu. Di sana ternyata tak hanya menjual buku, tapi juga ada majalah-majalah
Safira duduk di kursi belajarnya. Kedua sikunya bertumpu ke meja, dengan kedua tangannya memegangi kepalanya. Seandainya kepalanya bisa dibelah, mungkin di dalamnya ada api yang terlihat membakar isi kepalanya hingga kepalanya terasa panas dan ingin pecah.Safira benar-benar tak mengerti dengan sikap Gilang. Dia benar-benar tak tahu harus percaya atau tidak. Sikap lelaki itu sulit untuk diterka. Kadang begini, kadang begitu. Tadinya Safira ingin mengusir lelaki itu dan tidak akan percaya dengan apa pun yang dikatakan olehnya. Namun, pandangan lelaki itu membuat keputusan Safira berubah. Saat melihat tatapan itu, hati kecilnya mengatakan kalau Gilang sedang jujur. Ingin rasanya dia percaya, tapi tak dapat dimungkiri perasaannya juga takut.Maka dari itu, ketika Gilang bertekuk lutut, dia berusaha melepaskan diri dari lelaki itu. Dengan melawankan perasaannya dia mengusir lelaki itu. Awalnya, Gilang enggan pergi sebelum Safira memaafkannya, tapi akhirnya Gilang mengalah dan sebelum dia
Pagi itu Gilang menemui Viona di rumah. Rencananya dia akan mengajak gadis itu jalan. Meskipun sebenarnya jauh di lubuk hatinya, lelaki itu tidak sepenuh hati melakukan semua ini. Karena pikirannya pun terganggu dengan kejadian semalam. Sejak tadi fokusnya terpecah. Dia ingin menyelesaikan masalahnya dengan Safira tapi dia harus menemui Viona terlebih dulu. Gilang menyeringai lebar di depan pintu, saat dilihatnya pintu rumah itu di buka dari dalam dan Viona muncul. "Udah siap?" Gilang memperhatikan penampilan Viona pagi itu yang terlihat masih mengenakan pakaian tidur. Gadis itu bahkan menatapnya datar."Kita nggak jadi jalan hari ini, Kak," "Kenapa?" Viona menatap jalanan komplek yang sepi. Sebelum akhirnya angkat bicara. "Gue tau kak sebenarnya kak Gilang itu sayangnya sama kak Safira, kan?" katanya to the point. "Jawabannya pasti iya. Karena sejak awal kak Gilang emang nggak pernah suka sama aku. Akunya yang maksain. Selama ini aku terobsesi sama kak Gilang sampai aku ngelakuin
Safira terus melangkah menyelusuri koridor sekolah itu seiring dengan perasaannya yang bergejolak. Dia telah menelusuri semua tempat di sekolah itu tapi tak tampak tanda-tanda ada orang. Apa lagi Viona dan Gilang. Safira sempat berpikir kalau Viona membohonginya. Atau mereka belum sampai?Tanpa sadar, langkahnya membawanya ke depan pintu toilet, dia berhenti. Safira menghela napas. "Bener nggak sih?" Safira bergumam sendiri sambil matanya mengedar ke penjuru koridor seberang yang agak gelap. Benar-benar tidak ada siapa-siapa.Sejurus kemudian, dia tertegun. "Jangan-jangan gue dibohongin sama tuh bocah. Ya ampun, kenapa gue percaya, sih? Di jam segini mana ada orang."Safira lantas meringis. Dia tiba-tiba ingin buang air kecil. Ketika dia menoleh ke samping kiri, dia tersadar ada toilet.Safira memutuskan buang air kecil dulu sebelum pulang.Pelan, kakinya melangkah, memasuki toilet wanita tersebut. Dan terkejutlah dia dengan apa yang dilihatnya di
Beberapa hari setelah kejadian itu, Gilang kembali dekat dengan Safira. Gilang sering menemuinya untuk menghibur gadis itu.Safira masih tak menyangka, sahabatnya yang selama ini dia percaya, sahabatnya yang selama ini begitu baik padanya mampu mengecewakan.Dia benar-benar tak percaya Evan tega menjebaknya. Dan yang membuatnya tak habis pikir Riri ikut bersekongkol menjerumuskannya.Sahabat macam apa mereka?"Gue nggak nyangka aja Gilang, mereka sahabat gue yang selama ini gue anggap udah kayak saudara sendiri." Safira menatap Gilang dengan sorot menyiratkan kesedihan.Gilang mengusap bahu gadis itu. "Berarti mereka bukan sahabat. Nggak ada sahabat kayak gitu. Kamu udah salah nganggap mereka sahabat.""Temen aku selama ini cuman mereka Gilang. Kalau nggak ada mereka, aku nggak punya siapa-siapa. Aku sendirian.""Mending sendiri daripada punya sahabat kayak mereka. Sekarang kamu tau, kan, mereka sebenarnya kayak gimana?"
"Fajar, apa yang udah lo lakuin ke temen gue?!"Evan menarik kerah baju Fajar, tatapan nyalangnya menghunus tepat ke mata Fajar. Evan mencari Fajar di gedung sekolah itu sampai akhirnya dia menemukan Fajar sedang berjalan gontai di lorong sekolah itu. Langsung saja dia menginterogasi temannya itu.Bukannya terkejut, Fajar malah terlihat santai. "Apa, sih, maksud lo?""Nggak usah berlagak bego! Gue tau lo niat buruk ke Safira dan karena itu gue liat Safira lari-lari ke depan. Apa yang udah lo lakuin, hah!"Fajar menatap Evan tak percaya. Baru kali ini Evan bersikap sekasar itu padanya dan itu semua karena Safira."Iya, gue emang bawa Safira ke sini. Tapi gue nggak niat macam-macam. Lo udah salah paham pasti, nih, lagian lo tau dari mana tentang niat gue? Lo negatif thingking sama gue.""Dari awal gue merhatiin kedekatan lo sama Safira. Gue sama Riri curiga sama lo. Diam-diam gue masang penyadap di handphone Safira buat mastiin kalau Safira ba
"Gilang?" Safira melihat Gilang yang duduk di atas motornya dalam keadaan mesin motor masih menyala dengan tatapan tak percaya. "Kamu kenapa lari-lari di jalan, kenceng banget lagi," ucap Gilang. "Kok kamu bisa di sini?" Safira tak kuasa menahan rasa penasarannya. Sontak Safira berjalan mendekat ke Gilang. "Kamu kenapa, Fir?" Gilang heran melihat gelagat Safira seperti orang ketakutan. Safira menggenggam lengan Gilang yang memegang setang motor. "Aku takut banget. Tolong bawa aku dari sini, nanti aku ceritain, cepetan!" Gilang mengangguk cepat. "Iya, iya. Ayo naik."Safira pun naik ke boncengan Gilang sebelum akhirnya motor itu melaju kencang. Riri melihat itu semua dengan keheranan. Kehadiran Gilang yang tiba-tiba dan Safira yang pergi bersama Gilang entah ke mana. "Kurang ajar si Gilang," umpat Riri geram. *** Di sepanjang perjalanan Safira hanya diam sembari tangannya tak lepas dari m