Berada di Ibu kota selama kurang lebih tiga hari memang sudah lebih dari cukup dan memang sudah saatnya Raline kembali ke kota pahlawan dengan segala drama dan kronik yang harus dia hadapi. Mengingat soal harus pulang ke kota pahlawan, Geisha sendiri sudah terlebih dahulu pulang yang tentunya bersama Tino. Padahal, Geisha ingin menemani Raline menyelesaikan masalahnya sekaligus cuci mata di Ibu kota. Kepulangan Geisha terlebih dahulu tentunya karena paksaan dari Tino yang tidak ingin Geisha ikut campur dengan urusan hubungan Raline. Kehadiran Tino di kehidupan Geisha memang sungguh merubah segalanya dan untungnya Raline memahami soal itu. Hanya itu yang bisa Raline berikan untuk Geisha sebagai ucapan terima kasihnya selama ini, Geisha sudah banyak ikutan berkorban untuk Raline dan hubungannya. Pagi yang masih selalu cerah itu Raline mulai ngerasa sendirian setelah dua malam ia tidur di hotel sendirian. Sebenarnya, Ifan menawarkan untuk tidur dirumah Temi. Namun, Raline menolak karena
Hari yang berjalan dengan semestinya sedang Raline lewati. Kedatangannya di Surabaya dua hari kemarin membuat dirinya terus-terusan tak tenang apalagi semalam Defani menghubunginya dengan mengirimkan pesan singkat yang kalau di lihat dari intonasi bacanya seperti serius banget. Defani hanya mengatakan jika dirinya ingin bertemu dengan Raline tanpa adanya Ifan. Selain tak tenang pesan singkat itu membuat Raline seakan lelah, lebih lelah ketimbang perjalanan ke Jakarta kemarin. Sore ini Raline yang masih santai di ruang tv bersama Rina masih memikirkan keputusannya; menemui Defani atau tidak. Seperti kata Geisha kalau Raline ini kebanyakan mikir. Kalau memang dirinya merasa tak tenang atau membuatnya lelah seharusnya tidak usah di temui dan membuat banyak alasan agar Defani tidak terus-terusan meminta dirinya untuk bertemu. Tapi, jika tidak menemui Defani, Raline akan mati penasaran dengan pikirannya sendiri. "Jika Defani ingin bertemu pasti ini akan ada hubungannya dengan Ifan dan it
Dulu dia pernah bilang kalau cinta yang hadir itu karena tiba-tiba dan itu membuat aku berpikir jika perasaan yang ada juga bukan perasaan yang akan menetap untuk selamanya. Kemungkinan bisa saja terjadi walaupun kamu mengatakan beribu sayang dan cinta kepadaku. Walaupun dari awal kamu tahu aku ini tidak sebaik perempuan diluaran sana, tapi aku mau menegaskan melalui perbuatan serta perjuangan ku yang tidak pernah main-main dengan hatimu. Melalui tulisan amatir ini aku hanya bisa mengatakan kalau aku belum sepenuhnya ikhlas kalau aku harus merelakanmu begitu saja. Bukan sebuah pilihan untuk merelakanmu, melainkan sebuah permohonan yang membuat hatiku sakit. ***Sepulang dari kampus, Raline langsung masuk ke kamar dengan wajah yang pucat dan lemas tubuhnya juga sedikit demam ketika diperiksa oleh Rina tadi di ruang tamu. Tanpa berlama lagi, Rina menyuruh anak bungsunya itu untuk istirahat dan Rina akan mengompres Raline dengan air yang sedang ia siapkan. Entah apa yang sedang terja
Setelah merasa dirinya lebih baik dari tadi sore, Raline mencoba untuk mempelajari lagi mata kuliah yang tadi berlangsung dengan memangku laptop di pahanya. Ia harus memahami mata kuliah itu agar ia bisa jadikan bahan materi untuk skripsinya nanti. Ngomongin soal skripsi itu biasanya terdengar berat bagi beberapa mahasiswa, tapi buat Raline tidak begitu berat, sebab ia sungguh ingin segera menyelesaikan kuliahnya dan memulai kehidupan baru. Jika memang Raline ingin kuliahnya segera selesai, berarti ia hanya perlu fokus dan mengabaikan masalah percintaannya lebih- lebih Raline tidak memilih siapa-siapa. Di usia Raline yang terbilang masih muda, kehidupan yang berat itu memang akan terasa sangat berat sekali. Dirinya masih terus dibayangi oleh kebimbangan antara perasaan dan masa depannya. Begitu-begitu, Raline juga memikirkan masa depannya yang berencana untuk hidup mandiri seperti kakaknya dan ia ingin memiliki sesuatu hal yang bisa di banggakan oleh keluarganya. Selama ini minat ba
Kehidupan Ifan sudah berubah seratus delapan puluh derajat. Setelah mahasiswa Hasanuddin mengetahui kalau Ifan adalah seorang pebisnis muda, perempuan di kampus dan teman-teman lainnya lebih dekat dengan Ifan. Mungkin lebih tepatnya mereka panjat sosial kepada Ifan agar citra diri mereka bisa ikutan tertular. Mereka juga selalu meninggi-ninggikan Ifan dan bahkan ada yang memaksa untuk menjadi karyawan Ifan. Lelaki yatim piatu itu hanya bisa menyunggingkan bibirnya dan tak menganggap permintaan teman-temannya itu secara serius, yang jelas ia menjadi idola di Hasanuddin. Setelah beberapa hari ia masuk kuliah, Ifan dan teman-temannya memang sudah mulai disibukkan dengan tugas kuliah yang dari beberapa itu harus melakukan kerja kelompok. Tugas-tugas yang sudah tidak bisa ditunda lagi membuat Ifan harus merelakan waktunya untuk tidak datang ke toko atau bahkan ia juga jarang ikutan nimbrung obrolan di grup pesan Defani dan Tino. Awalnya mereka berdua memaklumi soal itu, tapi lama-kelamaa
Bahan pertimbangan yang selama ini Raline pertahankan untuk sebagai penentu pilihannya harus berakhir begitu saja. Sebab, setelah ia sembuh dan sadar akan semuanya ia tak repot-repot melakukan itu lagi. Dengan keputusan yang tegas, Raline tidak memilih Ifan. Jika berbicara soal perasaan tentu itu tidak karuan, tapi mengingat harga dirinya juga sudah jatuh di depan Defani, Raline tidak ingin membuang waktu bersama Ifan. Maka dari itu.. Raline memutuskan setelah pulang kuliah ia bertemu dengan Ifan. Pertemuan kali itu terasa berbeda, ia harus menyiapkan sebuah perpisahan yang mungkin ia tidak akan pernah bisa ketemu lagi dengan Ifan. Lebih tepatnya Raline tidak akan pernah bisa merasakan hal yang pernah dirasakan sebelumnya. Itu sudah pasti, tapi harusnya ada sedikit kesombongan di diri Raline kalau Defani masih mau dengan lelaki yang pernah 'tidur' dengannya. Namun, kesombongan itu tidak akan bisa Raline tumbuhan karena ia sibuk dengan perasaannya. Di sore yang masih selalu cantik it
POV : Raline Ayunda. Aku tidak pernah menyangka jika aku mampu melakukan ini. Aku bisa membuang jauh-jauh egoku untuk sebuah perasaan dan aku juga membuang jauh soal cinta untuk dua hati itu. Melupakan itu hal yang sangat mustahil jika aku melakukannya dengan cepat, melupakan itu membutuhkan waktu yang entah sampai kapan. Awalnya aku pikir aku tidak akan bisa hidup tanpa cinta, tapi ternyata aku akan lebih tenang jika aku hidup dengan cinta yang tulus. Aku melihat begitu jelas ketulusan yang ada di Robby dan seharusnya tidak perlu aku ragukan lagi. Namun, entahlah mungkin dengan adanya kejadian kemarin aku membuat sebuah pengalaman jika mencintai dua hati itu tidak benar-benar baik. Sekarang aku melepaskan seseorang dengan keikhlasan karena aku juga telah tersadarkan bahwa porsi yang aku miliki itu tidak lebih untuk bersama Ifan. Begitupun juga dengan jalan yang aku pijak sekarang bukan lagi di sebuah persimpangan pilihan melainkan aku sudah menentukan arah kemana aku akan berjalan
Di tengah keramaian yang ada di kafe itu, Robby sedang duduk manis sambil memainkan ponselnya. Keberadaan Robby disana bukan hanya semata ia ingin numpang WiFi atau membuang waktunya. Ia berada di kafe itu untuk menunggu seseorang yang sudah membuat janji dengannya. Selama menunggu, Robby sudah memesan segelas kopi susu beserta kentang goreng yang kini berada di hadapannya. Sambil mengusap layar ponsel, tangan kanan Robby berusaha menggapai kentang goreng dan sesekali meneguk kopi susu itu. Untuk masalah yang ada semua tidak usah di ceritakan kembali. Semua sudah berjalan dengan semestinya dan sekarang Raline memang masih fokus untuk beberapa mata kuliahnya. Jadi, Robby bisa izin untuk bertemu dengan seseorang. Pertemuannya ini mempunyai maksud dan tujuan yang semoga tidak merambat kemana-mana. Suara lonceng yang ada di pintu masuk kafe itu membuat Robby harus menengok ke arahnya. Dan benar saja seseorang yang ia tunggu sudah datang. "Nunggu lama? Maaf, ya, tadi sempet lama dapat