Akhirnya Nabil nekat keluar dari mobil dan mendorong sendiri mobilnya, berharap di depan sana ada bengkel yang bisa memberinya bantuan.Tapi ternyata tidak semudah yang dibayangkannya. Nabil kehabisan tenaga tepat saat mobilnya berada di tengah-tengah jalan raya. Mobilnya sukses menghalangi pengendara lainnya untuk lewat.Sebuah Honda City hitam berhenti di depannya lalu mengklakson panjang karena tidak bisa lewat.Nabil tak kehilangan akal. Dia mendekati sedan hitam itu, berniat meminta pertolongan.Pengendara sedan tersebut menurunkan kaca mobil, "Ada apa, Mas?" tanyanya."Mbak, bisa bantuin saya nggak? Mobil saya tiba-tiba mogok dan nggak mau hidup," jelas Nabil.Perempuan itu turun dari mobilnya. Lalu mengikuti Nabil ke mobilnya.Nabil memperhatikan gerak-gerik perempuan itu dengan saksama. Dia mencoba menyalakan mesin, tapi tidak berhasil."Lho, bensinnya habis ya?" celetuk perempuan itu."Masa sih?" Mata Nabil langsung tertuju pada fuel meter.Ternyata benar. Indikator pada fuel
Kayla mengedarkan pandangannya ke tiap sudut ruangan tempatnya berada sekarang. Ya. Saat ini dia sedang berada di president suite room sebuah hotel bintang lima. Kayla memandang takjub pada pemandangan romantis yang terhampar di depan matanya.Ratusan mawar aneka warna memenuhi sisi tempat tidur. Kayla mengambil satu di antaranya lalu mendekatkannya ke hidung. Ia memejamkan mata, menghirup dalam-dalam aroma wangi yang timbul. "Sayang... Gimana, kamu suka?"Kayla membuka mata begitu mendengar suara Radit. Suaminya itu tersenyum hangat dan menatapnya mesra.Kayla mengangguk dan balas tersenyum. "Aku suka. Suka banget."Radit duduk disamping Kayla. Disibaknya anak rambut yang jatuh di kening gadis itu, lalu diselipkannya ke belakang telinga."Kamu cantik, Sayang... Beda dari biasanya," puji Radit dan tak lepas memandang Kayla dengan penuh kemesraan.Kayla menunduk malu. Wajahnya merona. Walaupun sudah ribuan kali Radit memujinya tapi tetap saja sensasinya beda.Radit meraih dagu Kayla,
Pagi-pagi saat Kayla terbangun, ternyata Radit sudah ada di sebelahnya. Lelaki yang kini ia sebut suami itu melingkarkan tangannya ke tubuh Kayla. Wajahnya tampak tenang dalam tidurnya yang pulas.Kayla menyentuh muka Radit. Lalu mengusapnya pelan. Radit tidak terusik sama sekali saking lelapnya ia tidur.Rasa bersalah mulai menguasai Kayla begitu ingat penolakannya semalam. Kayla menyesal telah bersikap kekanakan dan membuat Radit kecewa. Harusnya jika memang belum siap untuk hamil, dia bisa prepare pencegahnya sebelum mereka bercinta. Kayla balas mendekap Radit dengan melingkarkan kedua tangannya ke tubuh Radit.Tapi mungkin pelukannya terlalu erat hingga membuat Radit terbangun."Maaf, aku nggak bermaksud membangunkanmu," ucap Kayla saat melihat mata Radit yang kini terbuka sempurna.Radit tersenyum sekilas. Lalu menutup mulutnya yang menguap berkali-kali."Kamu lanjutin aja tidurnya," tanggap Kayla peka.Radit tidak menjawab dan menutup matanya kembali, berniat melanjutkan tidurn
Rasanya Karin tidak bisa mempercayai kalau Nabil bisa berkata sejujur itu padanya. Pengakuan Nabil yang sangat terus terang melukai hatinya. Andai bisa memilih, ia lebih menyukai Nabil untuk berbohong demi menjaga perasaannya."Ja... Ja... Jadi apa arti hubungan kita selama ini, Bang?" tanya Karin terbata-bata. Pandangannya mulai memburam oleh bulir-bulir air mata yang berlomba ingin berloncatan keluar.Nabil menghela napas berat. Dia tidak ingin menyakiti Karin. Tapi dia juga tidak mau harus terus berpura-pura. Nabil sudah mencoba menjalani hubungan bersama Karin, membangun chemistry dan berusaha agar mereka sejalan. Tapi ia merasa gagal. Tidak sedikit pun ruang hampa di hatinya bisa terisi oleh kehadiran Karin."Sebelumnya saya minta maaf. Tapi saya rasa diantara kita tidak pernah ada komitmen apapun," kata Nabil mengingatkan. Dia menggunakan kata saya dan bukan aku lagi. Itu artinya Nabil sudah bicara secara serius dan formal.Karin semakin shock mendapat pengakuan yang bertubi-tub
Setelah tiga hari menginap di hotel, akhirnya Radit dan Kayla kembali ke rumah Radit, yang kini menjadi rumah mereka berdua. Kringgg..... Kringgg..... Kringgg..... Kringgg.....Kayla terbangun begitu mendengar nada panjang alarm yang berisik yang bersumber dari ponselnya. Kayla meraih benda mungil itu dengan mata masih terpejam. Dia bermaksud menekan tombol snooze. Tapi begitu ingat jika melakukan hal itu bisa membuat Radit terlambat berangkat ke kantor, Kayla mengurungkan niatnya.Kayla mengerjap. Semua masih gelap. Hanya sinar dari luar menerobos sela-sela jendela kamar. Kayla melihat kembali layar ponselnya. Masih jam empat pagi. Apa yang harus dilakukannya sepagi ini?Kayla merenggangkan kedua tangannya dan menggeliat malas. Setengah meloncat, Kayla turun dari tempat tidur king size. "Beb, bangun! Udah pagi!"Kayla mencoba membangunkan Radit sambil mengikat rambutnya yang acak-acakan. Yang dibangunkan bergeming.Kayla beranjak ke kamar mandi. Ia meyalakan lampu kamar mandi dan
Kayla menyalakan motor maticnya. Sekilas dilihatnya langit yang sedikit gelap. Besar kemungkinan hujan akan turun, tapi dia nekad pergi. Jalanan ibukota tidak seramai biasa. Mungkin karena saat ini bukanlah jam sibuk.Kayla menempuh perjalanan ke kantor Nabil dengan lancar jaya. Tanpa ada hambatan apa pun. Saat sudah berada di depan kantor Nabil, Kayla mulai ragu. Apa anggapan Nabil pada dirinya nanti? Akankah Nabil menganggapnya mencari-cari alasan untuk bertemu dirinya?Kayla mengeluarkan ponsel dan mencoba menghubungi Nabil. Tapi tidak ada jawaban. Apakah Nabil sengaja tidak menerima teleponnya?Kayla kemudian mencoba mengirim pesan."Bil, ini Kayla. Sekarang aku ada di parkiran kantor kamu. Kamu bisa keluar sebentar nggak? Aku mau balikin kunci rumah kamu."Lama Kayla menunggu hingga tanda centang dua berubah warna menjadi biru dan Nabil membalasnya hanya dengan satu kata."Iya."Hanya itu. Padahal Kayla sudah bicara panjang lebar.Kayla menunggu Nabil dengan jantung berdebar. Da
"Disini saja," jawab Kayla."Lho, kok disini?" tanya Nabil heran."Suamiku mau menjemput kesini."Ahh... Rasanya Nabil begitu terluka mendengar Kayla menyebut kata 'suamiku'. Kenapa dia tidak menyebut Radit saja? Kenapa harus suamiku?"Tapi kita bisa ditangkap polisi kalau parkir disini," kata Nabil memberi alasan."Lalu kalo kita pergi, motorku gimana?" Kayla tampak kebingungan."Nggak apa-apa kalo cuma motor. Stangnya udah dikunci kan?"Kayla mengangguk. Sebenarnya ia ragu meninggalkan motornya, tapi ia berusaha mempercayai kata-kata Nabil."Jadi aku harus antar kamu kemana?" Nabil mengulang pertanyaannya.Kayla juga bingung harus kemana, masalahnya dia juga sudah terlanjur menghubungi Radit."Kalo gitu, aku tunggu suamiku di kantor kamu aja," putus Kayla akhirnya.Nabil mengangguk dan mengikuti kemauan Kayla. "Tunggu, Bil! Itu mobil suamiku," ucap Kayla saat sebuah Fortuner hitam mengklakson dari belakang.Nabil mengintip dari kaca spion. Itu memang Radit. Nabil dapat melihatnya t
Setelah semua urusan pekerjaan selesai, Radit langsung pulang ke rumah karena dia sudah berjanji pada Kayla akan pergi mengembalikan kunci rumah Nabil malam ini. Kayla menyambut dengan riang waktu dia datang. "Aku sudah siapin makan malam buat kita," ujarnya.Radit tersenyum sembari menikmati sensasi menjadi seorang suami. Teryata begini rasanya. Pagi-pagi ada yang membangunkan dan membuatkan sarapan serta menyediakan pakaian kerja. Pas pulang juga ada yang menyambut dan menyediakan kebutuhan perutnya. Udah gitu, tidur juga ditemenin. Hidupnya nyaris sempurna. Mempunyai istri yang cantik, berkecukupan secara finansial, karir juga sudah high level. Lalu apalagi yang kurang? "Kamu masak apa sih, yang?" tanya Radit sambil membawa Kayla duduk disampingnya."Aku masuk sop daging," jawab Kayla sembari berharap Radit memuji masakannya. Tadi waktu dia memeriksa kulkas, tidak sengaja ia menemukan beberapa potong daging yang sudah membeku dan ide untuk mengolahnya menjadi santapan yang lezat
Kayla sangat kaget melihat Radit memukuli orang yang tidak dikenalnya dan ia tidak tahu siapa dan apa masalahnya.“Dit, udah, Dit …. “ Kayla mencegah Radit yang terus memukuli Chicco tanpa ampun. Mukanya kelihatan panik.Kalau bukan istrinya yang melarang, Radit tidak akan berhenti. Namun Radit tidak melepaskan mangsanya begitu saja. “Berdiri!” bentaknya lagi pada Chicco yang sudah terkapar tidak berdaya.Dengan sisa-sisa tenaganya Chicco berusaha bangkit. Sekujur tubuhnya terasa remuk akibat serangan dari Radit. Kepalanya pusing dan pandangannya berkunang-kunang.“Aku bisa bunuh kamu sekarang kalo mau,” desis Radit tajam.Kayla bergidik mendengarnya. Tidak pernah ia melihat suaminya semarah itu. Matanya yang berkilat dan memerah akibat api amarah membuat Kayla ketakutan.“Katakan siapa dalang dibalik semua ini?” Radit kembali mencekal kerah baju Chicco sambil menatapnya dengan pandangan menusuk.Chicco menatap Radit takut-takut. Ia bagaikan sedang melihat malaikat maut yang akan m
Kayla mengusap-usap perutnya yang mulai membesar sambil tersenyum sendiri. Ia sudah membayangkan kebahagiaannya jika menjadi seorang ibu nanti. Repot sudah pasti. Namun pasti sangat menyenangkan. Rasanya ia sudah tidak sabar menantikan saat-saat itu datang. Tangannya tidak bisa menunggu ingin menggendong dan mendekap bayi mungil darah dagingnya sendiri. Buah cintanya bersama Radit. Bahkan di telinganya sudah terngiang-ngiang suara tangisan seorang bayi. Kayla sudah semakin tidak sabar jadinya. Pasti ia akan menjadi wanita paling bahagia sedunia.Membayangkan dirinya akan menjadi seorang ibu, Kayla langsung terkenang pada wanita yang melahirkannya. Tiba-tiba Kayla menjadi begitu merindukannya. Kayla ingin mengunjungi pusaranya dan mendoakannya disana.Dan begitu Radit pulang kerja, Kayla langsung mengutarakan keinginannya. “Dit, apa kamu tau letak makam ibuku?”“Aku nggak tau. Kenapa, yang?” Radit menjawab sambil membuka kaos kaki.“Rasanya pengen banget ziarah ke makam ibuku, Dit
Selesai mengantar Keyzia pulang, Nabil langsung menuju rumahnya. Ia harus bersiap-siap untuk memenuhi undangan makan malam dari orang tua Keyzia. Tadi Keyzia sudah memberitahu alamat restoran tempat mereka dinner nanti.Sampai di rumah, Nabil langsung mandi dan membersihkan diri. Tidak ada waktu untuk istirahat, karena waktunya sudah mepet. Andai saja tadi ia tidak berlama-lama di kantor Putri, mungkin sekarang ia bisa sedikit meluruskan badan.Nabil memandang wajahnya di cermin. Five o’clock shadow membuatnya terkesan macho dan membuktikan kalau dirinya adalah laki-laki sungguhan. Dua perempuan yang pernah hadir dalam hidupnya sangat menyukai itu. Entah dengan Keyzia.Nabil mengambil nafas dalam-dalam. Ada sedikit rasa kurang percaya diri. Nabil takut orang tua Keyzia akan menolaknya. Dan Nabil harus siap dengan segala kemungkinan itu. Siap diterima artinya juga harus berani ditolak.Baru saja Nabil keluar dari komplek rumahnya Keyzia sudah menelepon. “Bil, jangan sampai telat ya,”
Dea membeku melihat pemilik wajah yang kini berada di hadapannya. Kakinya mendadak goyah dan merasa tidak kuat lagi menopang tubuhnya. Tak sengaja, matanya tertuju pada tangan Nabil dan Keyzia yang saling menggenggam.Menyadari hal itu, Nabil melepaskan pelan jemarinya dari Keyzia yang menggenggamnya erat. Meskipun sudah menjadi mantan, namun Nabil ingin menjaga perasaan Dea. Karena ia tahu Dea masih sangat mencintainya.Hati Keyzia mencelos begitu Nabil melepaskan tangannya. Tapi ia mencoba mengerti.Radit berdehem memecahkan ketegangan yang tercipta seketika. “Duluan ya,” pamitnya sembari menepuk pundak Nabil.Nabil mengangguk kecil. Ia masih terpaku di tempatnya.“Pulang yuk, Bil!” ajak Keyzia menggamit tangan Nabil dan menyadarkan dari ketermanguan.Nabil beranjak dan mengikuti langkah Keyzia menuju mobil. Seperti biasa, ia membukakan pintu untuk Keyzia dan menutupkannya kembali. Dea menyaksikan semua itu sambil menahan perasaannya. Hatinya teriris menjadi serpihan-serpihan kecil
Seperti janjinya tadi pagi, setelah menjemput Keyzia, Nabil mampir di kantor Putri. Sebenarnya Nabil penasaran tentang sosok Alan, namun Nabil lebih memilih untuk menunggu Keyzia di mobil.Dalam keadaan mesin menyala, Nabil menggunakan waktunya untuk tidur sambil menunggu Keyzia menyelesaikan urusannya dengan Alan. Namun ternyata kepalanya tidak bisa diajak bekerja sama. Pikirannya mengembara kemana-mana. Nabil membayangkan pertemuannya dengan orang tua Keyzia. Pasti nanti ia akan diinterogasi dengan berbagai macam pertanyaan. Dan tentu saja ia harus menyiapkan jawabannya dengan sebaik mungkin. Nabil mulai mengira-ngira pertayaan apa saja yang mungkin akan diajukan orang tua Keyzia padanya.Nabil masih sibuk dengan pikirannya ketika ia mendengar suara ketukan di kaca mobil. Nabil membuka matanya yang terpejam, kemudian menggerakkan kepala kearah kanan. Ternyata Keyzia. Nabil segera membuka pintu mobil begitu memahami isyarat dari Keyzia.“Bil, turun dulu yuk, aku kenalin sama Alan.”
Pagi ini begitu bangun tidur, Keyzia dikejutkan dengan kehadiran orang tuanya yang ternyata sudah pulang dan menunggu di meja makan.“Mama sama papa kapan pulang?” tanya Keyzia seraya menarik kursi yang berhadapan dengan kedua orang tuanya, sedangkan Putri duduk di sebelahnya.“Tengah malam tadi,” jawab mama Keyzia.“Mama sama papa bakalan lama di rumah kan?” tanya Keyzia lagi.“Cuma sehari ini aja, Key, besok papa sama mama berangkat lagi.” Kali ini papa yang menjawab. “Pekerjaan kamu lancar kan?” sambungnya.“So far lancar, Pa. Nggak bisa ya, perginya diundur, lusa misalnya.” Sungguh, Keyzia ingin menikmati kebersamaan dengan kedua orang tuanya. Jarang-jarang mereka bisa bersama karena kesibukan masing-masing.“Nggak bisa, Key, ini juga papa nyuri-nyuri waktu karena udah kangen banget sama kalian. Nanti malam gimana kalau kita dinner di luar?” kata papa memberi saran.“Usul bagus, Pa,” timpal Putri. “Sekalian aja ajak Nabil,” sambungnya lagi.Mendengar celetukan adiknya itu, Keyzia
Setelah berbincang panjang dengan Alan, Keyzia dan Putri pun pamit pulang. Dan begitu berada di mobil, Putri mulai menginterogasi Keyzia. Tadi sewaktu di ruangan Alan, Putri lebih banyak diam dan memilih menjadi pendengar yang baik.“Jadi Pak Fadlan itu temen kamu dulu ya, Key?”“Iya. Dia tetanggaku. Apartemenku dan apartemennya dulu bersebelahan,” jelas Keyzia sambil tetap memandang lurus ke depan karena sedang fokus menyetir.“Ooo …. “ Mulut Putri membulat.“Kamu sama dia aja, Put,” celetuk Keyzia. “Udah ganteng, tajir, baik, cerdas, lulusan S3, masih jomblo pula,” sambungnya lagi.“Kenapa nggak kamu aja yang sama dia?” timpal Putri membalikkan kata-kata Keyzia.“Aku kan udah punya Nabil.”Lagi-lagi Putri mencebik. “ Kemakan omongan sendiri kan sekarang?”Keyzia terdiam. Ia kembali teringat kata-katanya dulu dan anggapannya pada Nabil. Mengenang itu semua Keyzia menjadi malu pada dirinya sendiri juga pada Putri. Keyzia menyesal sudah bersikap sombong bahkan meragukan kredibilitas Na
Kayla langsung melepaskan diri dari rangkulan Dea begitu merasakan perutnya kembali bergejolak. Setengah berlari Kayla menuju wastafel dan muntah disana karena tidak keburu ke kamar mandi. Dea mengikuti Kayla ke belakang. Begitu mengetahui Kayla yang muntah-muntah ia pun ikut peduli. “Kamu kenapa, Kay?” tanyanya dengan raut khawatir.Bukannya menunjukkan wajah cemas, Kayla malah tersenyum. “Aku lagi isi,” katanya kemudian.Dea tertegun selama beberapa saat dan mencoba mencerna kata-kata Kayla. Apa itu artinya Kayla sedang berbadan dua?“Maksudnya, kamu lagi hamil?” tanya Dea untuk lebih meyakinkan.Kayla mengangguk dan menampakkan senyum lebar.Lagi-lagi Dea terdiam. Kenyataan ini seakan menghempaskannya. Ucapan kasar yang keluar dari mulutnya dulu kembali terngiang di telinga Dea. Dea menyesal sudah mengata-ngatai Kayla tidak akan bisa hamil dan tidak tahu rasanya kehilangan anak. Rasa cemburunya pada Kayla membuatnya tidak mampu mengontrol diri.“Selamat ya, Kay, kamu beruntung ba
Sudah beberapa hari Dea tinggal di paviliun Alan. Alan sangat baik padanya. Selain memberikannya tempat tinggal juga memberi dan melengkapi kebutuhannya. Alan juga membantu mengurus kuliah dan dokumen-doumennya yang hilang. Dea tidak tahu bagaimana caranya membalas kebaikan Alan. Kalau saja Alan tidak menolongnya malam itu mungkin ia sudah mati dengan menyedihkan atau terlunta-lunta di jalanan.Ada kanvas besar di sudut ruangan yang menarik perhatian Dea, lengkap dengan alat-alat untuk melukis. Mungkin itu punya Alan, pikir Dea. Selama ini Dea tidak berani menyentuhnya. Tapi hari ini Dea begitu terusik. Tangannya sudah gatal untuk menyapukan kuas di atas kanvas berukuran besar itu. Dea memang suka melukis terutama lukisan-lukisan yang termasuk ke dalam golongan aliran romantisme dan surealisme. Namun, sudah sejak lama Dea meninggalkan hobinya itu. Dea bergerak ke sudut ruangan, dan duduk di atas kursi yang ada disana. Dea menuangkan cat berbagai warna ke palet, mencelupkan kuas kes