Radit menginjak kaki Kayla saat melihat Dea tengah memperhatikan mereka.Kayla langsung mengerti dan tidak lagi berbisik seperti tadi."Assalamualaikum," tiba-tiba terdengar suara seseorang mengucapkan salam.""Waalaikumsalam." Pandangan ketiganya terfokus pada satu objek, pintu. Muka Radit menegang begitu melihat siapa yang berdiri disana dan kemudian masuk."Papa, apa kabar?" Kayla segera menyapa."Kayla, kenapa bisa ada disini?" tanya papa keheranan. Ia lalu memandang Kayla dan Nabil bergantian dengan penuh tanda tanya."Pa, Kayla datang kesini bersama suaminya," Nabil segera memberi penjelasan sebelum papa bertambah bingung."Iya, Pa," timpal Kayla. "Kenalin ini suamiku, Pa. Namanya Radit." Kayla memberi isyarat pada Radit agar berdiri dan bersalaman.Sambil menahan gejolak di dadanya, Radit pun berdiri dan menjabat tangan papa.Papa menatap Radit sangat lama. Matanya menyipit sambil mengingat-ingat. Ia merasa pernah bertemu sebelumnya.Papa merasa tangan Radit begitu dingin saat
"Bil, kamu jangan main-main. Kamu jangan bikin papa sport jantung," ucap Papa. Raut wajahnya yang tadi sedih berganti sudah."Aku nggak main-main, Pa. Aku serius. Walau ini baru dugaan, tapi 99% aku yakin.""Siapa orangnya? Bagaimana kamu bisa yakin? Buktinya apa?""Ceritanya panjang, Pa. Yang penting kita ketemu dia dulu. Tunggu ya, Pa, aku siap-siap."Nabil masuk ke kamar dan melihat Dea sudah tidur.Sebenarnya ia tidak tega membangunkannya, tapi Nabil takut kalau nanti Dea bangun dan tidak menemukannya, istrinya itu akan cemas."Sayang," panggil Nabil sambil mengusap-usap pipi Dea.Ternyata tidak susah untuk membangunkannya. Dea langsung membuka mata."Aku mau pergi sebentar, kamu tunggu di rumah ya.""Pergi kemana?""Ke rumah Radit.""Ke rumah Radit?" ulang Dea."Iya, nanti aku ceritain ya. Sekarang aku pergi dulu. Kamu hati-hati di rumah. Pintu aku kunci dari luar.""Jangan lama-lama ya, Bil," rengek Dea manja."Iya, sayang," Nabil mengecup kening Dea sebelum pergi.Nabil akan me
"Radit, tolong maafkan papa atas kesalahan papa selama ini," kata papa angkat bicara."Pak, mungkin anda salah orang. Saya bukan anak anda," sahut Radit dengan nada dingin."Beb, kamu ngomong apa sih?" tegur Kayla marah. "Kamu nggak boleh gitu sama papa," sambungnya lagi."Apa aku salah, yang, jika bersikap seperti ini? Setelah semua yang terjadi dan penderitaan demi penderitaan yang sudah aku alami, sekarang dengan mudahnya bapak ini minta maaf. Sepotong kata maaf tidak akan bisa menghapus semuanya. Ahh, kadang hidup selucu ini," ujar Radit meluapkan emosinya lalu tersenyum sinis."Dit, orang yang kamu sebut bapak ini adalah papa kamu, orang tua kandung kamu sendiri," kata Nabil menjelaskan dan mencoba memberi pengertian dengan suara lembut."Maaf, Bil, mungkin kita memang seibu, tapi aku nggak yakin kalau kita juga seayah."Kayla menyentuh tangan Radit, memberi kekuatan lewat sentuhannya. "Beb, kamu ingat nggak kalo dulu pernah donorin darah buat papa?" tanya Kayla mengingatkan."Iy
"Ih, kamu kok jadi kasar gitu?" balas Kayla tidak suka."Bukannya kasar, tapi kamu ngomong terus bikin aku tambah pusing," bantah Radit. Suaranya terdengar kecil karena bicara dari balik bantal."Ya udah, kalo nggak suka, aku nggak bakalan ngomong lagi," balas Kayla dengan wajah merengut.Walaupun tidak melihat wajahnya, tapi Radit tau, pasti Kayla sekarang lagi ngambek.Ah, biarinlah. Namanya juga perempuan. Dikit-dikit ngambek, dikit-dikit tersinggung. Lama-lama Radit bosan juga.Tiga puluh menit kemudian, Radit bangkit dari posisinya berbaring. Berada di rumah dan mendengar omelan Kayla membuatnya semakin sakit kepala. Lebih baik ia ke kantor, walaupun sudah terlambat namun banyak yang bisa dilakukannya disana.Radit tidak melihat Kayla saat melintasi ruang tengah. Begitu juga saat sudah sampai di depan dan diluar. Mungkin istrinya itu ada di belakang atau mungkin di kamar mandi. Entahlah.Ketika Radit baru saja masuk ke mobil, handphonenya berbunyi.Ia melihat nama Andrea di la
Pasti Nabil menelepon untuk membicarakan masalah itu lagi, pikir Radit.Daripada membuat hatinya yang kesal semakin panas, Radit pun memutuskan untuk mereject panggilan telepon dari Nabil.Ternyata Nabil belum menyerah. Begitu Radit sudah berada di mobil, Nabil kembali meneleponnya."Kenapa nggak diangkat, Pak?" tanya Andrea. "Nggak usah sungkan sama saya. Saya nggak bakalan nguping.""Bukan itu," sangkal Radit. Lalu ia pun memutuskan untuk menerima telepon dari Nabil."Lagi dimana, Dit?" tanya Nabil begitu mendengar suara Radit."Lagi diluar. Kamu mau bahas masalah itu lagi?" tembak Radit langsung."Ah, nggak kok. Aku cuma mau ajak kamu makan siang di rumah.""Sorry, Bil, aku baru selesai makan," tolak Radit secara halus."Kamu makan siang di rumah ya? Sama Kayla?""Bukan, tapi makan diluar sama sekretarisku. Lagian Kayla juga jarang masak.""Kalo gitu ntar malam kesini ya, makan disini aja.""Hmmm ... boleh. Lagian udah lama banget nggak makan masakan rumahan," keluh Radit sekalian
"Beb, bangun, udah sore," Kayla menggoyang-goyangkan tubuh Radit berkali-kali."Radit menggeliat malas, lalu perlahan membuka mata."Udah jam berapa?" tanyanya dengan suara khas bangun tidur."Udah jam lima," jawab Kayla."Kamu baru habis mandi ya? Kamu nggak sakit lagi?" Radit bertanya saat melihat rambut Kayla yang basah."Iya, aku udah sehat," Kayla tersenyum sumringah."Sini dulu, yang!" Radit menarik pelan tangan Kayla dan menunjuk pipinya minta dicium.Kayla mendekatkan wajahnya ke muka Radit, lalu mengecupnya."Ih, bau," katanya kemudian dan pura-pura menutup hidung.Radit tertawa kecil. Sejak pulang kemarin malam ia memang belum mandi sama sekali.Radit segera duduk begitu teringat sesuatu.Tadi pagi Andrea meneleponnya, meminta persetujuan untuk pencairan dana. Karena ngantuk dan tidak bisa berpikir jernih, ia malah menyuruh sekretarisnya itu meniru tanda tangannya.Radit masih ingat, tadi Andrea bilang jumlah uang yang dibutuhkan adalah 2,5. Tapi 2,5 apa? 2,5 juta?Radit men
DILANDA BADAI.Empat hari berlalu dari tanggal dua puluh enam."Pak, gaji Bapak udah masuk belum?" tanya Andrea pagi itu."Kayaknya belum. Belum ada SMS banking.""Saya juga, Pak. Kok aneh ya? Biasanya paling telat tanggal dua puluh delapan. Nggak pernah sampai akhir bulan kayak gini," kata Andrea merasa heran."Sabar aja, mungkin lagi diposting. Palingan nanti sore udah masuk. Lagian uang segitu nggak ada apa-apanya kan buat kamu?""Hehe iya sih, Pak. Tapi yang lainnya pada nggak sabar. Tagihan udah numpuk mesti dibayar, Pak.""Iya, saya ngerti. Kita tunggu aja ya," tandas Radit.Andrea tidak lagi menyahut karena mendengar bunyi telepon.Ia segera mengangkat gagang telepon dan berbicara. Andrea tampak berdebat dan sedikit bersitegang dengan si penelepon, membuat Radit ikut memfokuskan perhatiannya."Pak, yang telepon barusan vendor, katanya tagihan kita belum dibayar," lapor Andrea begitu selesai menelepon."Belum dibayar gimana? Jadi apa namanya yang kamu tandatangani kemarin?""Iy
"Biar saya saja yang nyetir, Pak," kata Andrea waktu mereka sampai di tempat parkir."Nggak usah, biar saya," tolak Radit.Andrea mengambil tempat di sebelah Radit, sedangkan Raisa duduk sendiri di belakang.Andrea tahu, saat ini Radit sedang panik dan ia takut kalau atasannya itu tidak konsentrasi menyetir, makanya ia menawarkan diri.Dan benar saja, Radit mengendara secara serampangan.Ia mengklakson keras pengendara motor yang berjalan lambat di depannya.Bahkan sesekali ia menyalip dari kiri pengemudi lain."Pak, jangan kencang-kencang, ntar kita bisa tabrakan," kata Andrea mengingatkan.Awalnya Radit tidak mempedulikan kata-kata Andrea. Tapi begitu melihat muka Raisa yang pucat melalui spion, Radit pun mengurangi laju kendaraan.Begitu sampai di bank, mereka pun langsung dilayani dengan ramah oleh customer service. Beruntung, hari ini nasabah tidak terlalu ramai, jadi mereka tidak perlu lama antri.Radit menyuruh Raisa menceritakan kronologi kejadian pada customer service berlesu
Kayla sangat kaget melihat Radit memukuli orang yang tidak dikenalnya dan ia tidak tahu siapa dan apa masalahnya.“Dit, udah, Dit …. “ Kayla mencegah Radit yang terus memukuli Chicco tanpa ampun. Mukanya kelihatan panik.Kalau bukan istrinya yang melarang, Radit tidak akan berhenti. Namun Radit tidak melepaskan mangsanya begitu saja. “Berdiri!” bentaknya lagi pada Chicco yang sudah terkapar tidak berdaya.Dengan sisa-sisa tenaganya Chicco berusaha bangkit. Sekujur tubuhnya terasa remuk akibat serangan dari Radit. Kepalanya pusing dan pandangannya berkunang-kunang.“Aku bisa bunuh kamu sekarang kalo mau,” desis Radit tajam.Kayla bergidik mendengarnya. Tidak pernah ia melihat suaminya semarah itu. Matanya yang berkilat dan memerah akibat api amarah membuat Kayla ketakutan.“Katakan siapa dalang dibalik semua ini?” Radit kembali mencekal kerah baju Chicco sambil menatapnya dengan pandangan menusuk.Chicco menatap Radit takut-takut. Ia bagaikan sedang melihat malaikat maut yang akan m
Kayla mengusap-usap perutnya yang mulai membesar sambil tersenyum sendiri. Ia sudah membayangkan kebahagiaannya jika menjadi seorang ibu nanti. Repot sudah pasti. Namun pasti sangat menyenangkan. Rasanya ia sudah tidak sabar menantikan saat-saat itu datang. Tangannya tidak bisa menunggu ingin menggendong dan mendekap bayi mungil darah dagingnya sendiri. Buah cintanya bersama Radit. Bahkan di telinganya sudah terngiang-ngiang suara tangisan seorang bayi. Kayla sudah semakin tidak sabar jadinya. Pasti ia akan menjadi wanita paling bahagia sedunia.Membayangkan dirinya akan menjadi seorang ibu, Kayla langsung terkenang pada wanita yang melahirkannya. Tiba-tiba Kayla menjadi begitu merindukannya. Kayla ingin mengunjungi pusaranya dan mendoakannya disana.Dan begitu Radit pulang kerja, Kayla langsung mengutarakan keinginannya. “Dit, apa kamu tau letak makam ibuku?”“Aku nggak tau. Kenapa, yang?” Radit menjawab sambil membuka kaos kaki.“Rasanya pengen banget ziarah ke makam ibuku, Dit
Selesai mengantar Keyzia pulang, Nabil langsung menuju rumahnya. Ia harus bersiap-siap untuk memenuhi undangan makan malam dari orang tua Keyzia. Tadi Keyzia sudah memberitahu alamat restoran tempat mereka dinner nanti.Sampai di rumah, Nabil langsung mandi dan membersihkan diri. Tidak ada waktu untuk istirahat, karena waktunya sudah mepet. Andai saja tadi ia tidak berlama-lama di kantor Putri, mungkin sekarang ia bisa sedikit meluruskan badan.Nabil memandang wajahnya di cermin. Five o’clock shadow membuatnya terkesan macho dan membuktikan kalau dirinya adalah laki-laki sungguhan. Dua perempuan yang pernah hadir dalam hidupnya sangat menyukai itu. Entah dengan Keyzia.Nabil mengambil nafas dalam-dalam. Ada sedikit rasa kurang percaya diri. Nabil takut orang tua Keyzia akan menolaknya. Dan Nabil harus siap dengan segala kemungkinan itu. Siap diterima artinya juga harus berani ditolak.Baru saja Nabil keluar dari komplek rumahnya Keyzia sudah menelepon. “Bil, jangan sampai telat ya,”
Dea membeku melihat pemilik wajah yang kini berada di hadapannya. Kakinya mendadak goyah dan merasa tidak kuat lagi menopang tubuhnya. Tak sengaja, matanya tertuju pada tangan Nabil dan Keyzia yang saling menggenggam.Menyadari hal itu, Nabil melepaskan pelan jemarinya dari Keyzia yang menggenggamnya erat. Meskipun sudah menjadi mantan, namun Nabil ingin menjaga perasaan Dea. Karena ia tahu Dea masih sangat mencintainya.Hati Keyzia mencelos begitu Nabil melepaskan tangannya. Tapi ia mencoba mengerti.Radit berdehem memecahkan ketegangan yang tercipta seketika. “Duluan ya,” pamitnya sembari menepuk pundak Nabil.Nabil mengangguk kecil. Ia masih terpaku di tempatnya.“Pulang yuk, Bil!” ajak Keyzia menggamit tangan Nabil dan menyadarkan dari ketermanguan.Nabil beranjak dan mengikuti langkah Keyzia menuju mobil. Seperti biasa, ia membukakan pintu untuk Keyzia dan menutupkannya kembali. Dea menyaksikan semua itu sambil menahan perasaannya. Hatinya teriris menjadi serpihan-serpihan kecil
Seperti janjinya tadi pagi, setelah menjemput Keyzia, Nabil mampir di kantor Putri. Sebenarnya Nabil penasaran tentang sosok Alan, namun Nabil lebih memilih untuk menunggu Keyzia di mobil.Dalam keadaan mesin menyala, Nabil menggunakan waktunya untuk tidur sambil menunggu Keyzia menyelesaikan urusannya dengan Alan. Namun ternyata kepalanya tidak bisa diajak bekerja sama. Pikirannya mengembara kemana-mana. Nabil membayangkan pertemuannya dengan orang tua Keyzia. Pasti nanti ia akan diinterogasi dengan berbagai macam pertanyaan. Dan tentu saja ia harus menyiapkan jawabannya dengan sebaik mungkin. Nabil mulai mengira-ngira pertayaan apa saja yang mungkin akan diajukan orang tua Keyzia padanya.Nabil masih sibuk dengan pikirannya ketika ia mendengar suara ketukan di kaca mobil. Nabil membuka matanya yang terpejam, kemudian menggerakkan kepala kearah kanan. Ternyata Keyzia. Nabil segera membuka pintu mobil begitu memahami isyarat dari Keyzia.“Bil, turun dulu yuk, aku kenalin sama Alan.”
Pagi ini begitu bangun tidur, Keyzia dikejutkan dengan kehadiran orang tuanya yang ternyata sudah pulang dan menunggu di meja makan.“Mama sama papa kapan pulang?” tanya Keyzia seraya menarik kursi yang berhadapan dengan kedua orang tuanya, sedangkan Putri duduk di sebelahnya.“Tengah malam tadi,” jawab mama Keyzia.“Mama sama papa bakalan lama di rumah kan?” tanya Keyzia lagi.“Cuma sehari ini aja, Key, besok papa sama mama berangkat lagi.” Kali ini papa yang menjawab. “Pekerjaan kamu lancar kan?” sambungnya.“So far lancar, Pa. Nggak bisa ya, perginya diundur, lusa misalnya.” Sungguh, Keyzia ingin menikmati kebersamaan dengan kedua orang tuanya. Jarang-jarang mereka bisa bersama karena kesibukan masing-masing.“Nggak bisa, Key, ini juga papa nyuri-nyuri waktu karena udah kangen banget sama kalian. Nanti malam gimana kalau kita dinner di luar?” kata papa memberi saran.“Usul bagus, Pa,” timpal Putri. “Sekalian aja ajak Nabil,” sambungnya lagi.Mendengar celetukan adiknya itu, Keyzia
Setelah berbincang panjang dengan Alan, Keyzia dan Putri pun pamit pulang. Dan begitu berada di mobil, Putri mulai menginterogasi Keyzia. Tadi sewaktu di ruangan Alan, Putri lebih banyak diam dan memilih menjadi pendengar yang baik.“Jadi Pak Fadlan itu temen kamu dulu ya, Key?”“Iya. Dia tetanggaku. Apartemenku dan apartemennya dulu bersebelahan,” jelas Keyzia sambil tetap memandang lurus ke depan karena sedang fokus menyetir.“Ooo …. “ Mulut Putri membulat.“Kamu sama dia aja, Put,” celetuk Keyzia. “Udah ganteng, tajir, baik, cerdas, lulusan S3, masih jomblo pula,” sambungnya lagi.“Kenapa nggak kamu aja yang sama dia?” timpal Putri membalikkan kata-kata Keyzia.“Aku kan udah punya Nabil.”Lagi-lagi Putri mencebik. “ Kemakan omongan sendiri kan sekarang?”Keyzia terdiam. Ia kembali teringat kata-katanya dulu dan anggapannya pada Nabil. Mengenang itu semua Keyzia menjadi malu pada dirinya sendiri juga pada Putri. Keyzia menyesal sudah bersikap sombong bahkan meragukan kredibilitas Na
Kayla langsung melepaskan diri dari rangkulan Dea begitu merasakan perutnya kembali bergejolak. Setengah berlari Kayla menuju wastafel dan muntah disana karena tidak keburu ke kamar mandi. Dea mengikuti Kayla ke belakang. Begitu mengetahui Kayla yang muntah-muntah ia pun ikut peduli. “Kamu kenapa, Kay?” tanyanya dengan raut khawatir.Bukannya menunjukkan wajah cemas, Kayla malah tersenyum. “Aku lagi isi,” katanya kemudian.Dea tertegun selama beberapa saat dan mencoba mencerna kata-kata Kayla. Apa itu artinya Kayla sedang berbadan dua?“Maksudnya, kamu lagi hamil?” tanya Dea untuk lebih meyakinkan.Kayla mengangguk dan menampakkan senyum lebar.Lagi-lagi Dea terdiam. Kenyataan ini seakan menghempaskannya. Ucapan kasar yang keluar dari mulutnya dulu kembali terngiang di telinga Dea. Dea menyesal sudah mengata-ngatai Kayla tidak akan bisa hamil dan tidak tahu rasanya kehilangan anak. Rasa cemburunya pada Kayla membuatnya tidak mampu mengontrol diri.“Selamat ya, Kay, kamu beruntung ba
Sudah beberapa hari Dea tinggal di paviliun Alan. Alan sangat baik padanya. Selain memberikannya tempat tinggal juga memberi dan melengkapi kebutuhannya. Alan juga membantu mengurus kuliah dan dokumen-doumennya yang hilang. Dea tidak tahu bagaimana caranya membalas kebaikan Alan. Kalau saja Alan tidak menolongnya malam itu mungkin ia sudah mati dengan menyedihkan atau terlunta-lunta di jalanan.Ada kanvas besar di sudut ruangan yang menarik perhatian Dea, lengkap dengan alat-alat untuk melukis. Mungkin itu punya Alan, pikir Dea. Selama ini Dea tidak berani menyentuhnya. Tapi hari ini Dea begitu terusik. Tangannya sudah gatal untuk menyapukan kuas di atas kanvas berukuran besar itu. Dea memang suka melukis terutama lukisan-lukisan yang termasuk ke dalam golongan aliran romantisme dan surealisme. Namun, sudah sejak lama Dea meninggalkan hobinya itu. Dea bergerak ke sudut ruangan, dan duduk di atas kursi yang ada disana. Dea menuangkan cat berbagai warna ke palet, mencelupkan kuas kes