Radit baru saja bertemu dengan kasur, benda yang hari ini begitu dirindukannya ketika Kayla muncul dan memberitahunya tentang sesuatu.“Nabil ada di bawah, Dit, katanya mau ketemu sama kamu.”Beberapa detik Radit termangu. Untuk apa Nabil ingin menemuinya? Bukankah saat terakhir mereka berjumpa mereka mengakhirinya dengan perselisihan?“Temui dulu gih!” suruh Kayla pada Radit yang masih tertegun.“Aku lagi malas, yang. Kamu bilang aja aku udah tidur ya, lagian aku capek banget,” kata Radit beralasan. Kayla memang tidak tahu kalau ia dan Nabil sedang tidak akur.Kayla mendekati Radit dan duduk di pinggir tempat tidur. “ Nggak boleh kayak gitu, temui dia dulu ya, siapa tau ada yang penting,” ujarnya seraya mengusap-usap pipi Radit, seperti kebiasaan yang sering dilakukannya.Radit menghela nafas. Malas-malasan ia duduk. Kalau bukan Kayla yang menyuruh, Radit tidak akan mau. Kayla memang mampu meluluhkannya dalam hal apa saja.“Aku mandi dulu ya, yang, biar segar.”“Iya,” jawab Ka
Setelah Nabil pulang, Radit langsung naik ke lantai dua. Dilihatnya Kayla yang sedang rebahan di atas sofa di depan televisi. Radit mendekatinya. “Yang, kamu udah minum susu?”“Belum,” jawab Kayla singkat.Mengabaikan rasa kantuk, Radit melangkah ke belakang dan membuatkan istrinya itu segelas susu panas.Kayla menghadiahkan Radit segaris senyum atas sejumput perhatian melalui segelas susu hangat untuknya.Kali ini Radit mengabaikan rasa lelah dan memilih bersama Kayla dulu dan belum ingin beranjak ke kamar. Setelah meletakkan susu di atas meja, Radit memposisikan diri di sebelah Kayla yang sekarang sudah duduk.Diusap-usapnya pundak Kayla yang menyandarkan kepala ke bahunya, lalu mengecup sekilas puncak kepala istrinya itu.“Dit, tadi aku dengar sekilas kalau Nabil minta maaf sama kamu, kenapa, Dit? Ada masalah apa?”“Ooo … itu. Cuma salah paham dikit.”“Tentang apa?”“Tentang Keyzia.”“Kenapa Keyzia emangnya?“Nggak apa-apa sih, yang, ya udahlah ya, nggak usah dibahas. Intinya,
Bulan sembilan kehamilan.Kayla mulai merasakan sakit-sakitan. Perutnya yang semakin berat membuatnya susah bergerak. Punggung dan pinggangnya juga kompak tidak mau diajak berkompromi.Terlebih saat tengah malam. Bahkan sekarang, Kayla juga mulai susah tidur. Posisi apapun tidak ada yang enak baginya.Seperti malam ini, Kayla tidak bisa tidur sama sekali, meski sudah berkali-kali mengganti posisi. Mulai dari miring ke kanan, ke kiri, serta menelentang. Tapi tidak bertahan lama, karena posisi telentang membuat nafas dan dadanya sesak.Dari tadi dengan sabar Radit mengusap-usap punggung Kayla. Dan sesekali juga mengipasi istrinya itu. Meski AC sudah menyala dengan suhu terendah sekalipun, namun Kayla masih merasa kepanasan.Begadang setiap malam demi menemani dan mengusap-usap punggung serta memijit kaki Kayla sudah menjadi aktivitas rutin Radit sekarang. Sambil terus mengusap-usap punggung Kayla, Radit melihat handphonenya. Ia membuka kalender.“Yang, kayaknya waktunya udah lewat,”
Radit pun memberitahu tentang kelahiran anaknya pada keluarga serta teman-teman. Dan mereka mulai berdatangan satu persatu. Ucapan selamat, doa dan harapan mengalir deras. Dan Radit mengaminkannya. Meskipun ini adalah pengalaman pertama menjadi orang tua, namun Radit dan Kayla tidak terlihat canggung. Mereka seperti sudah terlatih. Apalagi Kayla. Meskipun sudah tidak memiliki orang tua yang bisa mengajarinya tentang cara menjadi ibu baru atau cara merawat bayi baru lahir, tapi Kayla tidak terlihat canggung.Kayla belajar sendiri caranya dari buku-buku maupun browsing sana sini.“Kayra cantik ya, Bu, pasti nurun dari Bu Kayla. Udah gitu, mirip banget sama Pak Radit,” puji Ryana yang datang mengunjungi hari itu.Bukan hanya Ryana, siapapun yang datang tak habis-habisnya mengatakan bahwa baby Kayra adalaha copyannya Radit. Radit pun merasa senang. Terbukti dengan nyata bahwa Kayra adalah anak kandungnya, darah dagingnya sendiri, buah cintanya dengan wanita yang sangat ia cintai. Dan sep
Nabil tidak tahu siapa perempuan yang bersamanya. Radit kadang memang suka asal dan sembarangan. Bahkan sudah lebih satu kilometer dari rumah sakit, mereka masih belum saling bicara. Nabil bahkan belum tahu harus mengantarnya kemana.Nabil menggaruk-garuk leher belakangnya, bingung. Berdehem berkali-kali, Nabil akhirnya memberanikan diri untuk bicara.“Aku harus antar kamu kemana?”Ryana yang sedari tadi melemparkan pandangan ke luar, memindahkan matanya pada Nabil.“Ke jalan Kartini,” jawabnya singkat.Nabil mengangguk sekilas dan tidak bertanya lagi. Ditambahnya kecepatan agar segera sampai di tempat yang dituju.Namun rasanya semakin ia menambah kecepatan, sampainya pun semakin lama. “Ehmmm, kamu teman Radit ya?” Akhirnya Nabil memberanikan diri untuk bertanya.“Iya,” Ryana menjawab singkat.“Satu kantor?” tanya Nabil lagi.“Iya.” Lagi-lagi Ryana memberi jawaban lugas.“Oh, udah lama ya kerja sama Radit?”“Belum terlalu lama, Aku sekretarisnya Pak Radit. Kalau kamu?” Setelah menja
Keesokan harinya, Radit dan Kayla mengutarakan keinginan untuk membawa papa tinggal bersama mereka.Saat sarapan pagi bersama, Radit mulai membuka percakapan. “Pa, aku dan Kayla punya rencana membawa papa untuk tinggal disini.” Sampai disitu, Radit menghentikan kalimatnya guna mengetahui tanggapan papa.Mendengar kata-kata Radit, papa mengangkat muka.“Maksudnya, papa tinggal disini untuk selamanya?”“Iya, Pa.”“Papa makasih banyak sama kamu, tapi sepertinya papa tidak bisa, Dit.”“Kenapa, Pa?” Kali ini Kayla yang bertanya.“Papa tau niat dan maksud kalian baik. Tapi papa tidak mau mengganggu kalian dengan kehadiran papa disiini,” tutur papa menjelaskan.“Kami nggak merasa terganggu kok, Pa.” Radit dan Kayla kompak menjawab dengan jawaban yang sama. Papa memberikan seulas senyum tipis. Di dalam hati, ia merasa terharu oleh cara Radit dan Kayla memperlakukannya. Bahagia rasanya karena sekarang Radit sudah bisa menerimanya dan merobohkan tembok pembatas yang tinggi, serta jurang pemi
Semakin merndekati hari H pernikahan, kondisi kesehatan Keyzia semakin drop. Bukan karena kelelahan mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan pernikahan mereka, tapi karena stress memikirkan jalan hidup yang telah dipilihkan untuknya.Seharian ini Keyzia tidak keluar kamar sejak pagi. Padahal sekarang adalah hari minggu. Meski pintu kamarnya sudah diketuk-ketuk sejak tadi tapi Keyzia memilih bungkam dan mengurung diri.“Key …, tolong buka pintunya dulu!” ujar Putri semakin menambah volume ketukan. Namun Keyzia tidak merespon. Ditutupnya kepala dan telinga dengan bantal. Namun, bukannya mereda, suara di pintu bertambah keras. Ketukan kecil yang tadi terdengar baik-baik, sekarang menjelma menjadi gedoran keras yang lama kelamaan membuat Keyzia merasa terusik.Dengan berat Keyzia bangkit, kemudian menyeret langkah malas untuk membuka pintu.“Apa lagi sih, Put?” tanyanya begitu mendapati muka Putri saat pintu terbuka.“Boleh aku masuk?” Putri bertanya seraya mengamati muka Keyzia ya
Semalaman Putri tidak bisa tidur karena memikirkan Keyzia. Hatinya meronta-ronta. Kenapa baru sekarang kesadarannya muncul? Kenapa baru di saat-saat genting seperti ini?Saat sarapan pagi, Putri tidak menemukan Keyzia di meja makan.“Keyzia mana, Ma?” tanyanya.“Sudah berangkat dari tadi,” jawab mama menjawab pertanyaan Putri. Ia masih merasa shock karena kata-kata Putri semalam.Setelah menyesap beberapa teguk susu coklat yang disediakan untuknya, Putri pun berlalu. Mama diam saja dan membiarkannya pergi. Padahal biasanya ia akan menyuruh Putri menghabiskan menu srapan jika anak bungsunya itu menyisakannya.Begitu sampai di kantor, Putri langsung ke ruangannya dan meletakkan tas. Kemudian, ia bergegas naik ke lantai dua. Ia harus menemui Alan dan mengungkapkan semua ganjalan di hatinya.Ruang Alan masih tertutup rapat. Ternyata dia belum datang. Putri tadi lupa melihat apa mobil Alan ada di tempat parkir kantor mereka.Putri membalikkan badan bermaksud kembali ke ruangan, namun ia ha
-Terkadang, kita harus terluka dulu untuk bahagia-***Dea berdiri di depan cermin, lalu menatap refleksi dirinya disana. Pemilik tinggi badan seratus tujuh puluh tujuh senti itu terlihat jauh lebih anggun dengan pakaian tertutup yang membungkus tubuhnya dari ujung kaki sampai puncak kepala. Rambutnya yang panjang yang dulu selalu tergerai bebas sekarang terbungkus rapi dan tersembunyi di balik hijab yang ia kenakan. Tidak ada lagi Dea yang dulu suka menggunakan dress selutut atau pun blouse berbelahan dada rendah. Ia benar-benar sudah berubah dan bertransformasi total. Penampilannya jauh lebih tertutup dan rapi, namun tidak sedikit pun mengurangi kesan anggun yang memang sudah melekat dalam dirinya.“Lan…!!! Sudah siap belum?” Terdengar suara seorang perempuan memanggil namanya diiringi dengan ketukan di pintu.Dea menatap sekali lagi pantulan dirinya di cermin, lalu meninggalkan senyum sebelum berlalu pergi.“Wulan…!!!” panggilan itu terdengar lagi.“Iya, sebentar,” Dea menyahut, ke
-Kadang, kita mencintai seseorang sebegitu rupa sampai tidak menyisakan tempat bagi yang lain. Membuat kita lupa untuk sekadar bertanya, inikah cinta sebenarnya-*Puluhan detik lamanya Nabil berdiri di depan pintu setelah menekan bel. Namun, hingga detik ini masih belum ada tanda-tanda pintu akan terbuka. Mungkin dia sedang berada dan sibuk di belakang, pikir Nabil. Nabil memutuskan untuk menekan bel sekali lagi. Tapi, baru saja tangannya terulur untuk menyentuh bel, daun pintu terbuka, diiringi dengan seraut wajah manis yang mengembangkan senyum padanya.“Maaf, Yah, tadi bunda lagi di belakang,” ujar perempuan berkerudung itu seraya menyalami tangan Nabil dan menciunm punggung tangannya.“Tidak apa-apa, Nda,” jawab Nabil penuh pengertian. “Rasya mana, Nda?” lanjutnya kemudian.“Lagi tidur di kamar, Yah.”Nabil segera masuk ke kamarnya. Disana, tepatnya di atas sebuah tempat tidur, sedang terbaring seorang anak laki-laki dengan mata terpejam. Ya, dia sedang tidur. Hal pertama yang di
“Kayraaa!!! Ayo sarapan dulu!” seru Kayla dari ruang makan.“Iya, Bun…” Kayra menyahut lalu keluar dari kamar menuju ruang makan.“Ya ampun… rambut kamu belum disisir ya,” ujar Kayla melihat rambut Kayra yang masih berantakan, sementara tubuhnya sudah terbalut seragam sekolah. Kayla mengabaikan sejenak urusan meja makan dan melangkah tergesa ke kamar Kayra untuk mengambil sisir.“Bunda…!!! Crayon aku patah…”Baru saja Kayla akan menyisir rambut Kayra, terdengar teriakan Kiran dari ruang tengah.“Iya, sayang, sebentar ya, Bunda sisirin rambut kakak dulu.”Dengan telaten Kayla membagi rambut Kayra menjadi dua bagian sama banyak, lalu mengepangnya dengan rapi.“Bunda… gimana nih, crayon aku patah…” Kiran yang sudah tidak sabar kembali berseru memanggil Kayla.Menyeret langkah panjang, Kayla bergegas ke ruang tengah. Disana, putri keduanya itu tampak sedang merengut. Di hadapannya terbuka lebar sebuah buku mewarnai dengan sekotak crayon beraneka warna.“Mana yang patah, nak?” tanya Kayla
Hari itu sudah semakin dekat. Hari dimana Kayla akan menyerahkan hidupnya pada garis takdir. Kayla sudah ikhlas jika memang seperti itu nasib yang harus diterimanya. Dan, hari ini Kayla kembali mengunjungi pusara Radit. Ia tidak sendiri, tapi bersama Kayra, sang putri tersayang.Dulu ia sangat rajin berkunjung kesini. Mengadukan luka batinnya dan kesendirian yang membuatnya semakin tersiksa. Tapi seiring waktu, frekuensi kunjungannya juga berkurang. Bukan Kayla tidak ingat Radit lagi, tapi Kayla hanya sedang berusaha menyembuhkan lukanya secara pelan-pelan.Lama Kayla termangu di pusara Radit. Kayla merasa keputusannya untuk menikah dengan Nabil adalah sebuah bentuk pengkhianatan pada Radit. Tapi ia tidak punya pilihan lain yang lebih baik.“Maafin aku, Dit, tapi aku melakukan semua ini demi anak kita,” gumamnya di sela isak.“Bunda kenapa minta maaf sama papa? Bunda salah apa?” Kayra yang keheranan melihat Kayla berurai air mata bertanya polos. Berbagai pertanyaan bertumpuk di hatiny
Kayla masih merenungi semua yang sudah dilakukan dan dikatakannya pada Nabil. Rasanya semua seperti di luar kontrol dan berasal dari alam bawah sadarnya. Menikah dengan Nabil untuk ke dua kalinya sama sekali tidak pernah ada dalam opsi hidupnya. Bagaimana mungkin ia menikah dengan orang yang tidak ia cintai? Namun, di dalam hidup terlalu banyak pilihan-pilihan sulit, dan kita harus memilih salah satu di antaranya. Kayla mengalihkan pandangan pada Kayra yang sedang tidur. Wajahnya tenang dan begitu damai. Sungguh, Kayla tidak sanggup melukai dan menyakiti hatinya. Dia masih terlalu kecil. Sudah terlalu banyak hal-hal mengiris batin yang dialaminya dalam usia sedini itu. Kayla berjanji, ia tidak akan lagi menambah luka pada anaknya itu.Mata Kayla berpindah pada kantong plastik putih dengan label rumah sakit yang dikunjunginya tadi. Perlahan, dibukanya kantong itu dan mengamati satu demi satu butiran pil berbentuk bulat yang kini memenuhi ruang matanya.Pandangan Kayla berpindah pada
Seperti permintaan Kayla, Nabil pun menjemput Kayra ke sekolahnya. Ternyata Nabil datang lebih cepat. Dengan sabar ia pun menunggu sampai Kayra pulang. Ia duduk di bangku berwarna-warni yang tersedia disana dan memandang lepas pada kerumunan anak-anak yang menampilkan beragam ekspresi.Dari jauh Nabil memperhatikan Kayra yang sedang bermain bersama teman-temannya. Nabil rasa usulnya pada Kayla agar menyekolahkan Kayra tidak sia-sia. Buktinya, sekarang Kayra jauh berubah, malahan amat sangat jauh. Wajahnya yang biasa tersaput mendung, sekarang diselimuti awan-awan ceria. Tidak pernah lagi Nabil melihat rona kesedihan di mukanya. Memandang muka Kayra, Nabil seperti sedang menatap Radit. Mereka memang mirip. Siapa pun tidak ada yang akan membantah kalau Kayra adalah anak Radit. Ingat Radit, pikiran kembali membawanya pada hari terakhir Radit bersamanya.Saat itu mereka duduk berdua di kursi teras rumah sambil memperhatikan Kayra yang sedang bermain di pekarangan. Dari yang awalnya mere
“Kay, blush on-nya kenapa tebel banget? Udah gitu belepotan sampai ke hidung,” ujar Nadin hari itu saat berkunjung ke rumah Kayla. “Masa sih? Aku enggak pake blush on padahal,” timpal Kayla seraya memegang pipinya dengan kedua tangan.Nadin mendekatkan mukanya, lalu menyipitkan mata mengamati Kayla baik-baik. Ditempelkannya telunjuk ke pipi dan hidung Kayla. Permukaan wajahnya terasa kasar. Kayla benar, dia tidak memakai blush on, tapi ini…“Alergiku kambuh lagi, Nad, tempo hari Kayra pengin makan ikan kalengan, iseng, aku juga ikut makan,” beber Kayla.Nadin menjauhkan telunjuknya dari muka Kayla setelah mendengar penuturannya.“Tapi kayaknya parah banget, Kay,” kata Nadin sedikit meringis. “Dibawa ke dokter aja ya!”“Enggak perlu pake ke dokter kali, Nad, tinggal dikasih salep juga bakal hilang kok.”“Oh gitu ya? Ya udah.” Nadin tidak lagi membahas masalah itu.Sunyi, sepi, dan hening yang tersisa saat Nadin sudah pergi. Kayra juga tidak di rumah karena sejak tadi dibawa Nabil. Be
Sudah tiga hari Kayra menghabiskan paginya di play group dekat rumah. Seperti yang ia janjikan, Nabil memang mengantarkan sang ponakan kecil, dan, Kayla yang bertugas untuk menjemputnya.Kayra terlihat jauh lebih ceria dibanding hari-hari biasa. Dia seperti menemukan dunia baru yang selama ini seolah tersembunyi di belahan bumi bagian lain. Bertemu teman-teman seusianya dan bisa bermain bersama merupakan kebahagiaan tersendiri bagi Kayra.“Kamu lihat sendiri kan, Kayra senang banget,” ujar Nabil yang berdiri di samping Kayla sambil memperhatikan Kayra yang sedang bermain ayunan. Kebetulan hari itu hari sabtu, Nabil tidak kerja, jadi selain mengantar Kayra, ia juga bisa menemani Kayla menjemput Kayra pulang.“Iya,” timpal Kayla dan ikut tersenyum memandangi Kayra. Ya, Kayla memang sudah bisa tersenyum sekarang.“Bunda… !” Kayra yang melihat Kayla dan Nabil langsung berseru riang dan berlari mendekati kemudian menghambur ke pelukan Kayla.“Sudah selesai mainnya, nak?” tanya Kayla sembar
“Bun… Bunda… bangun, Bun!” Kayra mengguncang-guncang Kayla yang masih tertidur lelap. Karena tak henti-hentinya mendapat serangan guncangan, Kayla pun terusik. Dibukanya mata. Berat, seperti ada perekat yang membuat kelopak matanya menempel. Kayla kembali akan menutup netranya, namun suara Kayra mencegahnya untuk melakukan hal itu.“Bun, bangun, sudah siang, aku lapar… “ rengek Kayra sembari memegang perutnya.Pelan-pelan, Kayla kembali membuka mata. Dilihatnya Kayra yang juga tengah menatapnya. Ah, ternyata aku masih hidup, pikir Kayla. Kenapa aku harus melihat dunia lagi?Ia kembali mengumpulkan kekuatan dan semangat untuk menjalani hari-harinya yang berat.“Bun, aku lapar, mau makan,” rengek Kayra lagi. Semalam ia hanya makan dua suap, dan sekarang perutnya sudah meronta-ronta minta diisi. Cacing-cacingnya sudah pada demo.“Iya, sebentar ya, nak.”Kayla ingat, sup daging sisa semalam masih banyak dan sudah ia masukkan ke kulkas. Ia hanya tinggal sedikit memanaskan.Kayla berniat