Nabil bukannya tidak punya perasaan dengan terang-terangan mengatakan pada Dea bahwa mungkin sudah ada yang menggantikannya. Nabil berharap dengan ketegasan sikapnya itu Dea tidak lagi menyimpan harapan padanya. Tapi sepertinya Dea masih belum menyerah meski Nabil sudah menolak dengan berbagai cara mulai dari cara yang paling halus sampai cara frontal seperti kemarin.Nabil menyadari sekarang, mungkin karena pada dasarnya ia memang tidak mencintai Dea, jadi seperti apapun cara Dea merebut hatinya, Nabil tidak akan luluh. Lain halnya jika ia mencintai dari awal. Nabil memang sempat mencintai Dea, dan itu begitu dirasakannya saat Dea berjuang mempertaruhkan nyawa saat melahirkan anak mereka. Tapi kembali lagi, jika prinsipnya hanya karena cinta yang terbiasa, bukan karena cinta pada pandangan pertama, maka rasa itu sangat cepat memudar. Nabil tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Kayla dulu juga ia cintai karena telah terbiasa hidup bersama. Namun perasaannya pada Kayla begitu meleka
Dea berdiri di depan cermin di kamarnya. Ia memandang refleksi dirinya disana. Sepasang matanya yang besar dan berbulu lentik berpendar menlusuri setiap inci bagian wajahnya. Dea masih belum menemukan kekurangan yang berarti pada fisiknya. Manusia normal dan mempunyai kewarasan pasti tidak akan mengingkari keindahan yang disematkan sang pencipta padanya."Aku kurang apalagi? Apakah aku kurang cantik? Apakah aku tidak menarik? Apakah penampilanku biasa saja?" Dea bertanya sendiri pada dirinya. Dea merasa dirinya masih sangat layak untuk mendampingi Nabil. Tapi kenapa Nabil menutup hati untuknya?"Kenapa Nabil bisa bikin aku hancur kayak gini? Apa hebatnya dia? Dia pikir cuma dia laki-laki di dunia ini?"Dari tadi Dea berbicara sendiri pada dirinya. Dea sudah tidak tahan lagi. Dirinya sudah berada di titik kulminasi. Dea lelah dengan perasaan dan hidupnya yang kacau. Semua ini harus ia akhiri sebelum kewarasannya patut dipertanyakan. Ia harus menjadi pribadi baru yang jauh lebih baik
Dea melepaskan napas lega setelah menyiapkan barang-baranng yang akan dibawanya. Tidak banyak yang dibawa Dea. Hanya pakaian serta beberapa dokumen penting. Karena pada dasarnya tujuannya hanya itu melanjutkan kuliah, dan setelah itu ia akan kembali.Dea juga sudah mengubungi Tita, temannya dulu. Tita bersedia untuk menampungnya sementara sampai Dea mendapatkan tempat tinggal. Dan untuk transportasi disana, Dea bisa menggunakan sepeda motornya dulu yang masih berada di rumah Nabil. Mau tidak mau, Dea akan bertemu dengan Nabil.Dea memandang sedih pada setiap penjuru kamarnya. Ia akan meninggalkan tempat yang selama ini menampung literan air matanya. Dea juga sudah mengajukan pengunduran diri pada EO tempatnya bekerja freelance. Tama, Riri, dan teman-teman yang lain berusaha mencegah. Namun tekad Dea sudah bulat. Saat ini pendidikan adalah nomnor satu demi mencapai masa depan yang lebih baik, jadi orang-orang tidak akan bisa merendahkannya lagi. "Sudah siap, Kak?" Dion datang ke kama
Nabil menelan saliva. Ia mati kutu sekarang. Dea mendekapnya begitu erat, seolah tidak akan melepasnya lagi. Sementara itu, Keyzia memandangnya dengan tatapan penuh protes dan keberatan.Nabil semakin serba salah. Perasaan siapa yang harus dijaganya? Dea, wanita dari masa lalu, atau Keyzia, perempuan untuk masa depannya?Nabil membalas tatapan Keyzia dengan sorot mata meminta pengertian,Keyzia membuang muka. Tidak ingin melihat pemandangan itu. Nabil mencoba melepaskan diri dari Dea. Tapi Dea masih belum rela melepaskannya."Aku pulang aja, Bil," putus Keyzia saat melihat Nabil yang masih berada dalam dekapan Dea.Keyzia memutar tubuh lalu bergegas pergi.Melihat hal itu Nabil segera bertindak. "Dea, tolong lepasin aku dulu," pinta Nabil dan berharap Dea menjauhkan diri darinya.Begitu merasakan gerakan tubuh Nabil yang memberontak. Dea pun melepaskannya. Dea menyadari kebodohannya. Nabil memang tidak menginginkannya. Buktinya tadi, ia tidak membalas rangkulannya. Dea menatap nana
Sepanjang perjalanan pulang ke rumahnya, Keyzia lebih memilih bermain dengan pikirannya sendiri. Mulutnya terkatup rapat, matanya kosong menatap jalanan melalui kaca mobil yang berada di sebelahnya.Sesekali Nabil melirik padanya. Dan ekspresi Keyzia tetap sama.Nabil pun memilih untuk tidak bersuara. Ia takut salah bicara. Nabil masih meraba-raba karakter dan sisi lain Keyzia yang belum diketahuinya. Semoga saja Keyzia jauh dari sifat-sifat buruk yang tidak diinginkannya.Keyzia menunggu Nabil bicara untuk memberi penjelasan. Namun tidak ada tanda-tanda kalau dia akan melakukan hal itu. Dari pada terbunuh rasa penasaran dan kesal sendiri, Keyzia pun berinisiatif untuk membuka mulut."Bil, bisa kasih penjelasan untuk yang tadi?" Nabil menggerakkan kepala, menoleh pada Keyzia yang sedang memandangnya."Namanya Dea, dia mantan istriku." Nabil menunggu respon Keyzia sebelum kembali bicara."Trus?"Muka dan suara Keyzia yang datar membuat Nabil tidak ragu utuk melanjutkan kata-katanya. T
Keyzia langsung turun tanpa berkata apa-apa begitu Nabil menghentikan mobil tepat di depan rumahnya. Rasa kecewanya yang terlalu besar membuat mulutnya sulit digerakkan.Nabil juga hanya diam, tak ingin mengusik Keyzia yaang sedang menikmati perasaannya. Entah perasaan apa, mungkin marah, kecewa, atau kesal. Atau mungkin gabungan semuanya.Keyzia langsung masuk ke kamar tanpa sedikit pun menghiraukan Putri yang memandangnya penuh tanda tanya saat melihat Keyzia memasang muka murung.Putri tidak tahu masalah apa yang menimpa Keyzia, dan ia juga tidak ingin mengusiknya. Biar Keyzia sendiri yang menceritakannya nanti jika dia ingin.Keyzia mengunci pintu kamar, lalu menghempaskan badan ke pembaringan. Dadanya sesak oleh rasa yang mendesak. Rasa sedih, kesal, kecewa, serta marah membaur menjadi satu. Ekpektasinya yang berlebihan pada Nabil membuatnya menjadi sakit sendiri.Keyzia sangat jarang menangis, bahkan bisa dikatakan hampir tidak pernah. Tapi kali ini Nabil membuatnya mengeluarkan
Penolakan dan perpisahan dengan Nabil merupakan pukulan telak bagi Dea. Baru hari pertama disini tapi sudah kenyataan pahit seperti ini yang dihadapinya. Lalu bagaimana bisa Dea menjalani hari-hari selanjutnya? Dea sudah berusaha menjadi perempuan yang kuat namun cinta kembali membuatnya lemah."Ada masalah?" Tita bertanya saat melihat Dea pulang dengan mata sembab dan merah.Dea menggeleng dan berusaha menampilkan senyum tapi gagal. Bibirnya terlalu berat, bahkan untuk seulas senyum palsu sekalipun. Tapi Dea tidak ingin mengumbar pada siapa-siapa. Biarkan semua ini menjadi rahasianya. Cukup ia simpan di dalam hati karena jika pun diceritakan tetap tidak akan berpengaruh apa-apa. "Mulut bisa bohong, tapi mata tidak akan pernah bisa berbohong," vonis Tita menunjuk mata Dea yang mengecil.Dea mengusap mukanya, lalu melihat pantulan dirinya di kaca yang menempel di lemari yang ada di kamar Tita. Jejak-jejak panjang air mata masih membekas jelas disana. Rona sedih di mukanya mungkin tid
Malam itu entah apa yang menggerakkan hati seorang laki-laki, sehingga ia melewati jalan yang tidak biasa dilaluinya. Dia memang sudah biasa pulang tengah malam dari kantornya. Jiwa pekerja keras yang sudah mendarah daging di tubuhnya membuatnya hampir setiap hari menghabiskan malam di kantor operasional perusahaan yang ia miliki. Bahkan tak jarang ia juga menginap disana. Namun malam ini ia ingin pulang ke rumahnya. Tuhan seperti menuntun langkahnya ketika terbesit keinginan di hatinya untuk mengambil jalur lain menuju arah rumahnya.Laki-laki itu menyalakan radio mobil untuk membunuh sepi. Dia mencari-cari fekuensi yang pas dan nyaman diterima gendang telinganya. Namun, hanya lagu-lagu galau yang berkumandang yang membuat jiwa sepinya semakin meronta.Setelah hujan deras yang mengguyur tadi, jalanan tampak sepi. Para penghuni bumi lebih memilih bersembunyi di bawah selimut di kediaman masing-masing.Apalagi jalan yang dilaluinya tidak terlalu besar. Meskipun masih berada di pusat ko
-Terkadang, kita harus terluka dulu untuk bahagia-***Dea berdiri di depan cermin, lalu menatap refleksi dirinya disana. Pemilik tinggi badan seratus tujuh puluh tujuh senti itu terlihat jauh lebih anggun dengan pakaian tertutup yang membungkus tubuhnya dari ujung kaki sampai puncak kepala. Rambutnya yang panjang yang dulu selalu tergerai bebas sekarang terbungkus rapi dan tersembunyi di balik hijab yang ia kenakan. Tidak ada lagi Dea yang dulu suka menggunakan dress selutut atau pun blouse berbelahan dada rendah. Ia benar-benar sudah berubah dan bertransformasi total. Penampilannya jauh lebih tertutup dan rapi, namun tidak sedikit pun mengurangi kesan anggun yang memang sudah melekat dalam dirinya.“Lan…!!! Sudah siap belum?” Terdengar suara seorang perempuan memanggil namanya diiringi dengan ketukan di pintu.Dea menatap sekali lagi pantulan dirinya di cermin, lalu meninggalkan senyum sebelum berlalu pergi.“Wulan…!!!” panggilan itu terdengar lagi.“Iya, sebentar,” Dea menyahut, ke
-Kadang, kita mencintai seseorang sebegitu rupa sampai tidak menyisakan tempat bagi yang lain. Membuat kita lupa untuk sekadar bertanya, inikah cinta sebenarnya-*Puluhan detik lamanya Nabil berdiri di depan pintu setelah menekan bel. Namun, hingga detik ini masih belum ada tanda-tanda pintu akan terbuka. Mungkin dia sedang berada dan sibuk di belakang, pikir Nabil. Nabil memutuskan untuk menekan bel sekali lagi. Tapi, baru saja tangannya terulur untuk menyentuh bel, daun pintu terbuka, diiringi dengan seraut wajah manis yang mengembangkan senyum padanya.“Maaf, Yah, tadi bunda lagi di belakang,” ujar perempuan berkerudung itu seraya menyalami tangan Nabil dan menciunm punggung tangannya.“Tidak apa-apa, Nda,” jawab Nabil penuh pengertian. “Rasya mana, Nda?” lanjutnya kemudian.“Lagi tidur di kamar, Yah.”Nabil segera masuk ke kamarnya. Disana, tepatnya di atas sebuah tempat tidur, sedang terbaring seorang anak laki-laki dengan mata terpejam. Ya, dia sedang tidur. Hal pertama yang di
“Kayraaa!!! Ayo sarapan dulu!” seru Kayla dari ruang makan.“Iya, Bun…” Kayra menyahut lalu keluar dari kamar menuju ruang makan.“Ya ampun… rambut kamu belum disisir ya,” ujar Kayla melihat rambut Kayra yang masih berantakan, sementara tubuhnya sudah terbalut seragam sekolah. Kayla mengabaikan sejenak urusan meja makan dan melangkah tergesa ke kamar Kayra untuk mengambil sisir.“Bunda…!!! Crayon aku patah…”Baru saja Kayla akan menyisir rambut Kayra, terdengar teriakan Kiran dari ruang tengah.“Iya, sayang, sebentar ya, Bunda sisirin rambut kakak dulu.”Dengan telaten Kayla membagi rambut Kayra menjadi dua bagian sama banyak, lalu mengepangnya dengan rapi.“Bunda… gimana nih, crayon aku patah…” Kiran yang sudah tidak sabar kembali berseru memanggil Kayla.Menyeret langkah panjang, Kayla bergegas ke ruang tengah. Disana, putri keduanya itu tampak sedang merengut. Di hadapannya terbuka lebar sebuah buku mewarnai dengan sekotak crayon beraneka warna.“Mana yang patah, nak?” tanya Kayla
Hari itu sudah semakin dekat. Hari dimana Kayla akan menyerahkan hidupnya pada garis takdir. Kayla sudah ikhlas jika memang seperti itu nasib yang harus diterimanya. Dan, hari ini Kayla kembali mengunjungi pusara Radit. Ia tidak sendiri, tapi bersama Kayra, sang putri tersayang.Dulu ia sangat rajin berkunjung kesini. Mengadukan luka batinnya dan kesendirian yang membuatnya semakin tersiksa. Tapi seiring waktu, frekuensi kunjungannya juga berkurang. Bukan Kayla tidak ingat Radit lagi, tapi Kayla hanya sedang berusaha menyembuhkan lukanya secara pelan-pelan.Lama Kayla termangu di pusara Radit. Kayla merasa keputusannya untuk menikah dengan Nabil adalah sebuah bentuk pengkhianatan pada Radit. Tapi ia tidak punya pilihan lain yang lebih baik.“Maafin aku, Dit, tapi aku melakukan semua ini demi anak kita,” gumamnya di sela isak.“Bunda kenapa minta maaf sama papa? Bunda salah apa?” Kayra yang keheranan melihat Kayla berurai air mata bertanya polos. Berbagai pertanyaan bertumpuk di hatiny
Kayla masih merenungi semua yang sudah dilakukan dan dikatakannya pada Nabil. Rasanya semua seperti di luar kontrol dan berasal dari alam bawah sadarnya. Menikah dengan Nabil untuk ke dua kalinya sama sekali tidak pernah ada dalam opsi hidupnya. Bagaimana mungkin ia menikah dengan orang yang tidak ia cintai? Namun, di dalam hidup terlalu banyak pilihan-pilihan sulit, dan kita harus memilih salah satu di antaranya. Kayla mengalihkan pandangan pada Kayra yang sedang tidur. Wajahnya tenang dan begitu damai. Sungguh, Kayla tidak sanggup melukai dan menyakiti hatinya. Dia masih terlalu kecil. Sudah terlalu banyak hal-hal mengiris batin yang dialaminya dalam usia sedini itu. Kayla berjanji, ia tidak akan lagi menambah luka pada anaknya itu.Mata Kayla berpindah pada kantong plastik putih dengan label rumah sakit yang dikunjunginya tadi. Perlahan, dibukanya kantong itu dan mengamati satu demi satu butiran pil berbentuk bulat yang kini memenuhi ruang matanya.Pandangan Kayla berpindah pada
Seperti permintaan Kayla, Nabil pun menjemput Kayra ke sekolahnya. Ternyata Nabil datang lebih cepat. Dengan sabar ia pun menunggu sampai Kayra pulang. Ia duduk di bangku berwarna-warni yang tersedia disana dan memandang lepas pada kerumunan anak-anak yang menampilkan beragam ekspresi.Dari jauh Nabil memperhatikan Kayra yang sedang bermain bersama teman-temannya. Nabil rasa usulnya pada Kayla agar menyekolahkan Kayra tidak sia-sia. Buktinya, sekarang Kayra jauh berubah, malahan amat sangat jauh. Wajahnya yang biasa tersaput mendung, sekarang diselimuti awan-awan ceria. Tidak pernah lagi Nabil melihat rona kesedihan di mukanya. Memandang muka Kayra, Nabil seperti sedang menatap Radit. Mereka memang mirip. Siapa pun tidak ada yang akan membantah kalau Kayra adalah anak Radit. Ingat Radit, pikiran kembali membawanya pada hari terakhir Radit bersamanya.Saat itu mereka duduk berdua di kursi teras rumah sambil memperhatikan Kayra yang sedang bermain di pekarangan. Dari yang awalnya mere
“Kay, blush on-nya kenapa tebel banget? Udah gitu belepotan sampai ke hidung,” ujar Nadin hari itu saat berkunjung ke rumah Kayla. “Masa sih? Aku enggak pake blush on padahal,” timpal Kayla seraya memegang pipinya dengan kedua tangan.Nadin mendekatkan mukanya, lalu menyipitkan mata mengamati Kayla baik-baik. Ditempelkannya telunjuk ke pipi dan hidung Kayla. Permukaan wajahnya terasa kasar. Kayla benar, dia tidak memakai blush on, tapi ini…“Alergiku kambuh lagi, Nad, tempo hari Kayra pengin makan ikan kalengan, iseng, aku juga ikut makan,” beber Kayla.Nadin menjauhkan telunjuknya dari muka Kayla setelah mendengar penuturannya.“Tapi kayaknya parah banget, Kay,” kata Nadin sedikit meringis. “Dibawa ke dokter aja ya!”“Enggak perlu pake ke dokter kali, Nad, tinggal dikasih salep juga bakal hilang kok.”“Oh gitu ya? Ya udah.” Nadin tidak lagi membahas masalah itu.Sunyi, sepi, dan hening yang tersisa saat Nadin sudah pergi. Kayra juga tidak di rumah karena sejak tadi dibawa Nabil. Be
Sudah tiga hari Kayra menghabiskan paginya di play group dekat rumah. Seperti yang ia janjikan, Nabil memang mengantarkan sang ponakan kecil, dan, Kayla yang bertugas untuk menjemputnya.Kayra terlihat jauh lebih ceria dibanding hari-hari biasa. Dia seperti menemukan dunia baru yang selama ini seolah tersembunyi di belahan bumi bagian lain. Bertemu teman-teman seusianya dan bisa bermain bersama merupakan kebahagiaan tersendiri bagi Kayra.“Kamu lihat sendiri kan, Kayra senang banget,” ujar Nabil yang berdiri di samping Kayla sambil memperhatikan Kayra yang sedang bermain ayunan. Kebetulan hari itu hari sabtu, Nabil tidak kerja, jadi selain mengantar Kayra, ia juga bisa menemani Kayla menjemput Kayra pulang.“Iya,” timpal Kayla dan ikut tersenyum memandangi Kayra. Ya, Kayla memang sudah bisa tersenyum sekarang.“Bunda… !” Kayra yang melihat Kayla dan Nabil langsung berseru riang dan berlari mendekati kemudian menghambur ke pelukan Kayla.“Sudah selesai mainnya, nak?” tanya Kayla sembar
“Bun… Bunda… bangun, Bun!” Kayra mengguncang-guncang Kayla yang masih tertidur lelap. Karena tak henti-hentinya mendapat serangan guncangan, Kayla pun terusik. Dibukanya mata. Berat, seperti ada perekat yang membuat kelopak matanya menempel. Kayla kembali akan menutup netranya, namun suara Kayra mencegahnya untuk melakukan hal itu.“Bun, bangun, sudah siang, aku lapar… “ rengek Kayra sembari memegang perutnya.Pelan-pelan, Kayla kembali membuka mata. Dilihatnya Kayra yang juga tengah menatapnya. Ah, ternyata aku masih hidup, pikir Kayla. Kenapa aku harus melihat dunia lagi?Ia kembali mengumpulkan kekuatan dan semangat untuk menjalani hari-harinya yang berat.“Bun, aku lapar, mau makan,” rengek Kayra lagi. Semalam ia hanya makan dua suap, dan sekarang perutnya sudah meronta-ronta minta diisi. Cacing-cacingnya sudah pada demo.“Iya, sebentar ya, nak.”Kayla ingat, sup daging sisa semalam masih banyak dan sudah ia masukkan ke kulkas. Ia hanya tinggal sedikit memanaskan.Kayla berniat