"Aduh, capek banget," keluh Dea sambil merebahkan tubuh di kasur begitu mereka sampai di rumah.Nabil ikut berbaring disamping Dea. Jika dibandingkan dengan Dea, ia lebih lelah sebenarnya."Sekarang kamu istirahat ya.""Kamu mau kemana?" Dea bertanya saat melihat Nabil hendak beranjak."Saya mau mandi, gerah," jawab Nabil sambil membuka baju."Nanti aja ya, bareng saya," larang Dea menarik tangan Nabil.Nabil kembali berbaring di sebelah Dea. "Kenapa kamu suka sekali menggoda saya?" ujarnya kemudian."Sama suami sendiri apa salahnya? Daripada suami orang."Nabil tersenyum tipis, lalu memejamkan mata, berusaha untuk tidur."Bil, saya masih mau matoa." Suara Dea yang terdengar jelas di telinganya membuat Nabil kembali membuka mata. "Sayang, kita harus cari kemana lagi?""Saya juga nggak tahu, Bil, tapi saya pengen banget." "Nggak bisa diganti yang lain ya? Mangga atau rambutan misalnya.""Nggak bisa, saya maunya matoa." Suara Dea yang terdengar seperti rengekan membuat Nabil jadi fru
Setelah beberapa hari di rumah sakit, sekarang Kayla sudah kembali berada di rumah. Kondisinya berangsur pulih walau belum 100%.Sesekali ia meringis apabila merasa nyeri di bekas jahitan di bagian perutnya. Dan yang paling menyiksa adalah ketika ia batuk atau pun bersin."Yang, besok aku udah harus kerja. Aku udah lama nggak masuk kantor," kata Radit malam itu sambil menggenggam tangan Kayla."Santai ajalah, beb, kamu kan bossnya," timpal Kayla melihat wajah Radit yang gusar."Iya, sih. Tapi aku kan punya tugas dan tanggung jawab juga.""Ya udah, besok kamu bisa kerja. Aku akan baik-baik aja kok," ujar Kayla seolah mengerti kekhawatiran Radit.Walaupun Kayla sudah meyakinkannya, tapi Radit tetap merasa khawatir. Gimana nanti kalau Kayla butuh sesuatu dan ia tidak bisa sendiri? Atau gimana kalau tiba-tiba saja rasa sakit itu kembali menyerangnya?"Beb, kayaknya ada tamu deh," ujar Kayla pada Radit saat mendengar bunyi bel.Radit segera beranjak, keluar dari kamar menuju ruang depan.
Keesokan harinya, Nadin datang ke rumah Kayla. "Kejutan .... " seru Nadin saat Kayla baru saja membuka pintu."Haiii, tumben kesini, ayo masuk!"Nadin mengikuti langkah kecil Kayla masuk ke dalam rumah."Gimana, masih nyeri?" tanya Nadin setelah mereka duduk di sofa ruang tengah."Kadang-kadang emang masih terasa. Tapi udah agak lumayan.""Lama-lama juga bakalan hilang kok. Sabar ya, Kay."Nadin kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam kantong yang dibawanya."Aku bawa ini nih, avocado cappuccino kesukaan kamu.""Wahhhh, makasih, Nad," ujar Kayla riang, tidak menyangka Nadin masih mengingat kesukaannya.Nadin mengangguk sambil menyeruput minumannya."Eh, kamu baru pulang kerja ya?" tanya Kayla.Nadin tersenyum tipis. "Iya, tadi aku langsung dari kantor. Ryo udah kasih tau kan kalo kita bakalan sekantor lagi?'"Udah, kemarin dia kesini. Nggak kebayang deh, kita bakalan bisa ngerumpi kayak dulu, gosipin cogan, trus hang out bareng. Aku kangen banget semua kebiasaan yang kita lakukan du
“Beb …. Radit …. Sayang … “ Kayla memanggil Radit yang menelungkupkan mukanya.Melihat Radit yang bergeming Kayla menjadi khawatir. Ia menggoyang-goyangkan tubuh suaminya itu.“Beb, kamu kenapa?” Kayla mulai panik melihat Radit yang tak meresponnya. Matanya berkaca-kaca.Radit mengangkat muka, lalu menatap Kayla yang mencemaskannya.“Yang, kemungkinan besar Nabil itu kakakku. Dan, orang tuanya juga orang tuaku,”ujar Radit dengan suara bergetar.“Jadi dugaan aku tadi benar?” “Mungkin,” Radit menjawab dengan nada lemah.Detik itu juga wajah Kayla tidak kalah pucat dari muka Radit yang pasi."Beb, apa semua bukti itu sudah kuat?""Aku nggak tau, yang. Tapi seandainya memang benar, kenapa dia pake tanggal lahir aku sebagai pin ATM-nya dia? Bukankah dia nggak pernah sayang sama aku?""Beb, mungkin kamu hanya salah paham. Nggak ada orang tua yang nggak sayang sama anaknya. Jika memang benar papa Nabil adalah papa kamu, berarti dia sangat sayang sama kamu. Buktinya dia sampai jadiin tangga
Nabil menatap layar monitor komputer di depannya dengan pandangan kosong.Sejak Radit meneleponnya tadi, konsentrasinya mendadak sirna. Padahal begitu banyak pekerjaan yang harus diselesaikannya.Entah apa maksud Radit secara tiba-tiba ingin bertemu dengannya. Apakah ini ada hubungannya dengan Kayla? Rasanya tidak ada yang lain. Karena yang selalu membuat mereka terhubung adalah Kayla.Tapi kenapa? Ada masalah apa lagi? Bukankah urusan diantara mereka sudah selesai?Semua itu mengganggu pikiran Nabil hingga jam kerja berakhir dan ia tidak menyelesaikan apa pun.Dua ratus meter sebelum sampai di rumah, Dea menelepon, meminta Nabil untuk membelikannya king mango thai, minuman kesukaannya.Sebenarnya Nabil sangat lelah, tapi demi istrinya itu, ia pun berputar arah, kembali ke belakang. Ini saatnya jam pulang kerja, dan tentu saja jalanan sangat ramai, sehingga membuatnya tidak leluasa mengendara dan ikut merayap seperti pengguna jalan lainnya.Nabil bertambah pusing saat melihat kabut a
Nabil masih duduk di ruang tamu begitu Radit sudah pergi. Ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya. Untuk apa Radit meminta maaf dan mengajaknya berteman? Kenapa begitu tiba-tiba? Kenapa baru sekarang dan bukan dari dulu? "Nabil ... " Suara Dea yang memanggil namanya mengejutkan Nabil."Iya, duduk disini, yuk!""Tamunya udah pulang?""Udah.""Ooo.""Kamu mau tahu kenapa dia datang kesini?""Kenapa?""Katanya mau minta maaf tapi nggak mau mengakui kesalahan, lucu kan?"Sontak Dea tertawa mendengar kata-kata Nabil. Mendengar tawa Dea yang renyah Nabil pun ikut ketawa."Life is full of jokes," ujar Dea kemudian."Agree with you," timpal Nabil."Mmm ... boleh saya tahu apa masalahnya?"Nabil terdiam sejenak. Dea memang harus tahu semuanya. Dan Nabil tidak ingin menyembunyikan apa pun itu. Karena dalam rumah tangga, kejujuran dan keterbukaan itu penting."Sayang, ini tentang masa lalu.""Tentang kamu, Radit, dan Kayla?""Iya.""Jadi dia minta maaf karena udah selingkuh, gitu?" tebak
Sudah dua hari berturut-turut Radit selalu pulang malam.Mungkin karena sudah mendekati akhir bulan, begitu pikiran Kayla.Seperti kebanyakan perusahaan lainnya, setiap akhir bulan akan disibukkan dengan laporan ini itu."Capek banget ya, beb?" Kayla bertanya saat melihat Radit langsung merebahkan badannya di tempat tidur tanpa mengganti baju, bahkan juga lupa untuk membuka sepatu.Tanpa disuruh, Kayla langsung membuka sepatu Radit beserta kaos kakinya."Makasih ya, yang," ucap Radit pada Kayla yang pengertian.Kayla melebarkan bibir membentuk sebuah senyuman. "Mau aku bikinkan kopi?" tanyanya."Nggak usah, yang. Tadi aku udah ngopi.""Sama vendor lagi?" Kayla beralih dan duduk di pinggir tempat tidur, lalu membuka satu demi satu kancing kemeja Radit."Bukan, tapi sama Nabil.""Nabil? Kok bisa?" Kayla tidak bisa menyembunyikan rasa herannya. Sudah dua hari berturut-turut. Kemarin Radit ke rumah Nabil, ngobrol-ngobrol katanya. Dan sekarang ngopi bareng. Eh, tapi kan Nabil tidak suka k
Nabil segera mengambil tindakan dan menyingkirkan rasa paniknya jauh-jauh.Ia mengambil pembalut yang ada di box tiga tingkat yang berada di sudut kamar, lalu membantu Dea mengganti baju dan pakaian dalam.Nabil kemudian bersiap-siap dan mengeluarkan mobil dari garasi."Yang, kamu masih sanggup jalan?" tanyanya pada Dea.Dea mengangguk lemah, tapi Nabil tidak tega dan akhirnya membopong Dea ke mobil.Sekarang masih jam tiga dini hari.Tidak ada rumah sakit di sekitar tempat tinggal mereka.Dan saat melihat sebuah klinik bersalin, Nabil memutuskan untuk berhenti disana.Klinik itu kecil, sepi, dan terlihat tidak meyakinkan, tapi Nabil berpikir Dea harus mendapatkan pertolongan pertama.Seorang perawat yang terkantuk-kantuk langsung siaga saat melihat Nabil datang. Dia langsung mengambil kursi roda untuk membawa Dea.Setelah Nabil menceritakan apa yang terjadi, sang dokter, perempuan yang berusia sekitar lima puluh tahunan, langsung memeriksa Dea.Wajahnya nampak tenang dan datar.Dokte
Kayla sangat kaget melihat Radit memukuli orang yang tidak dikenalnya dan ia tidak tahu siapa dan apa masalahnya.“Dit, udah, Dit …. “ Kayla mencegah Radit yang terus memukuli Chicco tanpa ampun. Mukanya kelihatan panik.Kalau bukan istrinya yang melarang, Radit tidak akan berhenti. Namun Radit tidak melepaskan mangsanya begitu saja. “Berdiri!” bentaknya lagi pada Chicco yang sudah terkapar tidak berdaya.Dengan sisa-sisa tenaganya Chicco berusaha bangkit. Sekujur tubuhnya terasa remuk akibat serangan dari Radit. Kepalanya pusing dan pandangannya berkunang-kunang.“Aku bisa bunuh kamu sekarang kalo mau,” desis Radit tajam.Kayla bergidik mendengarnya. Tidak pernah ia melihat suaminya semarah itu. Matanya yang berkilat dan memerah akibat api amarah membuat Kayla ketakutan.“Katakan siapa dalang dibalik semua ini?” Radit kembali mencekal kerah baju Chicco sambil menatapnya dengan pandangan menusuk.Chicco menatap Radit takut-takut. Ia bagaikan sedang melihat malaikat maut yang akan m
Kayla mengusap-usap perutnya yang mulai membesar sambil tersenyum sendiri. Ia sudah membayangkan kebahagiaannya jika menjadi seorang ibu nanti. Repot sudah pasti. Namun pasti sangat menyenangkan. Rasanya ia sudah tidak sabar menantikan saat-saat itu datang. Tangannya tidak bisa menunggu ingin menggendong dan mendekap bayi mungil darah dagingnya sendiri. Buah cintanya bersama Radit. Bahkan di telinganya sudah terngiang-ngiang suara tangisan seorang bayi. Kayla sudah semakin tidak sabar jadinya. Pasti ia akan menjadi wanita paling bahagia sedunia.Membayangkan dirinya akan menjadi seorang ibu, Kayla langsung terkenang pada wanita yang melahirkannya. Tiba-tiba Kayla menjadi begitu merindukannya. Kayla ingin mengunjungi pusaranya dan mendoakannya disana.Dan begitu Radit pulang kerja, Kayla langsung mengutarakan keinginannya. “Dit, apa kamu tau letak makam ibuku?”“Aku nggak tau. Kenapa, yang?” Radit menjawab sambil membuka kaos kaki.“Rasanya pengen banget ziarah ke makam ibuku, Dit
Selesai mengantar Keyzia pulang, Nabil langsung menuju rumahnya. Ia harus bersiap-siap untuk memenuhi undangan makan malam dari orang tua Keyzia. Tadi Keyzia sudah memberitahu alamat restoran tempat mereka dinner nanti.Sampai di rumah, Nabil langsung mandi dan membersihkan diri. Tidak ada waktu untuk istirahat, karena waktunya sudah mepet. Andai saja tadi ia tidak berlama-lama di kantor Putri, mungkin sekarang ia bisa sedikit meluruskan badan.Nabil memandang wajahnya di cermin. Five o’clock shadow membuatnya terkesan macho dan membuktikan kalau dirinya adalah laki-laki sungguhan. Dua perempuan yang pernah hadir dalam hidupnya sangat menyukai itu. Entah dengan Keyzia.Nabil mengambil nafas dalam-dalam. Ada sedikit rasa kurang percaya diri. Nabil takut orang tua Keyzia akan menolaknya. Dan Nabil harus siap dengan segala kemungkinan itu. Siap diterima artinya juga harus berani ditolak.Baru saja Nabil keluar dari komplek rumahnya Keyzia sudah menelepon. “Bil, jangan sampai telat ya,”
Dea membeku melihat pemilik wajah yang kini berada di hadapannya. Kakinya mendadak goyah dan merasa tidak kuat lagi menopang tubuhnya. Tak sengaja, matanya tertuju pada tangan Nabil dan Keyzia yang saling menggenggam.Menyadari hal itu, Nabil melepaskan pelan jemarinya dari Keyzia yang menggenggamnya erat. Meskipun sudah menjadi mantan, namun Nabil ingin menjaga perasaan Dea. Karena ia tahu Dea masih sangat mencintainya.Hati Keyzia mencelos begitu Nabil melepaskan tangannya. Tapi ia mencoba mengerti.Radit berdehem memecahkan ketegangan yang tercipta seketika. “Duluan ya,” pamitnya sembari menepuk pundak Nabil.Nabil mengangguk kecil. Ia masih terpaku di tempatnya.“Pulang yuk, Bil!” ajak Keyzia menggamit tangan Nabil dan menyadarkan dari ketermanguan.Nabil beranjak dan mengikuti langkah Keyzia menuju mobil. Seperti biasa, ia membukakan pintu untuk Keyzia dan menutupkannya kembali. Dea menyaksikan semua itu sambil menahan perasaannya. Hatinya teriris menjadi serpihan-serpihan kecil
Seperti janjinya tadi pagi, setelah menjemput Keyzia, Nabil mampir di kantor Putri. Sebenarnya Nabil penasaran tentang sosok Alan, namun Nabil lebih memilih untuk menunggu Keyzia di mobil.Dalam keadaan mesin menyala, Nabil menggunakan waktunya untuk tidur sambil menunggu Keyzia menyelesaikan urusannya dengan Alan. Namun ternyata kepalanya tidak bisa diajak bekerja sama. Pikirannya mengembara kemana-mana. Nabil membayangkan pertemuannya dengan orang tua Keyzia. Pasti nanti ia akan diinterogasi dengan berbagai macam pertanyaan. Dan tentu saja ia harus menyiapkan jawabannya dengan sebaik mungkin. Nabil mulai mengira-ngira pertayaan apa saja yang mungkin akan diajukan orang tua Keyzia padanya.Nabil masih sibuk dengan pikirannya ketika ia mendengar suara ketukan di kaca mobil. Nabil membuka matanya yang terpejam, kemudian menggerakkan kepala kearah kanan. Ternyata Keyzia. Nabil segera membuka pintu mobil begitu memahami isyarat dari Keyzia.“Bil, turun dulu yuk, aku kenalin sama Alan.”
Pagi ini begitu bangun tidur, Keyzia dikejutkan dengan kehadiran orang tuanya yang ternyata sudah pulang dan menunggu di meja makan.“Mama sama papa kapan pulang?” tanya Keyzia seraya menarik kursi yang berhadapan dengan kedua orang tuanya, sedangkan Putri duduk di sebelahnya.“Tengah malam tadi,” jawab mama Keyzia.“Mama sama papa bakalan lama di rumah kan?” tanya Keyzia lagi.“Cuma sehari ini aja, Key, besok papa sama mama berangkat lagi.” Kali ini papa yang menjawab. “Pekerjaan kamu lancar kan?” sambungnya.“So far lancar, Pa. Nggak bisa ya, perginya diundur, lusa misalnya.” Sungguh, Keyzia ingin menikmati kebersamaan dengan kedua orang tuanya. Jarang-jarang mereka bisa bersama karena kesibukan masing-masing.“Nggak bisa, Key, ini juga papa nyuri-nyuri waktu karena udah kangen banget sama kalian. Nanti malam gimana kalau kita dinner di luar?” kata papa memberi saran.“Usul bagus, Pa,” timpal Putri. “Sekalian aja ajak Nabil,” sambungnya lagi.Mendengar celetukan adiknya itu, Keyzia
Setelah berbincang panjang dengan Alan, Keyzia dan Putri pun pamit pulang. Dan begitu berada di mobil, Putri mulai menginterogasi Keyzia. Tadi sewaktu di ruangan Alan, Putri lebih banyak diam dan memilih menjadi pendengar yang baik.“Jadi Pak Fadlan itu temen kamu dulu ya, Key?”“Iya. Dia tetanggaku. Apartemenku dan apartemennya dulu bersebelahan,” jelas Keyzia sambil tetap memandang lurus ke depan karena sedang fokus menyetir.“Ooo …. “ Mulut Putri membulat.“Kamu sama dia aja, Put,” celetuk Keyzia. “Udah ganteng, tajir, baik, cerdas, lulusan S3, masih jomblo pula,” sambungnya lagi.“Kenapa nggak kamu aja yang sama dia?” timpal Putri membalikkan kata-kata Keyzia.“Aku kan udah punya Nabil.”Lagi-lagi Putri mencebik. “ Kemakan omongan sendiri kan sekarang?”Keyzia terdiam. Ia kembali teringat kata-katanya dulu dan anggapannya pada Nabil. Mengenang itu semua Keyzia menjadi malu pada dirinya sendiri juga pada Putri. Keyzia menyesal sudah bersikap sombong bahkan meragukan kredibilitas Na
Kayla langsung melepaskan diri dari rangkulan Dea begitu merasakan perutnya kembali bergejolak. Setengah berlari Kayla menuju wastafel dan muntah disana karena tidak keburu ke kamar mandi. Dea mengikuti Kayla ke belakang. Begitu mengetahui Kayla yang muntah-muntah ia pun ikut peduli. “Kamu kenapa, Kay?” tanyanya dengan raut khawatir.Bukannya menunjukkan wajah cemas, Kayla malah tersenyum. “Aku lagi isi,” katanya kemudian.Dea tertegun selama beberapa saat dan mencoba mencerna kata-kata Kayla. Apa itu artinya Kayla sedang berbadan dua?“Maksudnya, kamu lagi hamil?” tanya Dea untuk lebih meyakinkan.Kayla mengangguk dan menampakkan senyum lebar.Lagi-lagi Dea terdiam. Kenyataan ini seakan menghempaskannya. Ucapan kasar yang keluar dari mulutnya dulu kembali terngiang di telinga Dea. Dea menyesal sudah mengata-ngatai Kayla tidak akan bisa hamil dan tidak tahu rasanya kehilangan anak. Rasa cemburunya pada Kayla membuatnya tidak mampu mengontrol diri.“Selamat ya, Kay, kamu beruntung ba
Sudah beberapa hari Dea tinggal di paviliun Alan. Alan sangat baik padanya. Selain memberikannya tempat tinggal juga memberi dan melengkapi kebutuhannya. Alan juga membantu mengurus kuliah dan dokumen-doumennya yang hilang. Dea tidak tahu bagaimana caranya membalas kebaikan Alan. Kalau saja Alan tidak menolongnya malam itu mungkin ia sudah mati dengan menyedihkan atau terlunta-lunta di jalanan.Ada kanvas besar di sudut ruangan yang menarik perhatian Dea, lengkap dengan alat-alat untuk melukis. Mungkin itu punya Alan, pikir Dea. Selama ini Dea tidak berani menyentuhnya. Tapi hari ini Dea begitu terusik. Tangannya sudah gatal untuk menyapukan kuas di atas kanvas berukuran besar itu. Dea memang suka melukis terutama lukisan-lukisan yang termasuk ke dalam golongan aliran romantisme dan surealisme. Namun, sudah sejak lama Dea meninggalkan hobinya itu. Dea bergerak ke sudut ruangan, dan duduk di atas kursi yang ada disana. Dea menuangkan cat berbagai warna ke palet, mencelupkan kuas kes