“Ini rumahku! Buat apa aku bersembunyi darimu?” Karen mendebat. “Aku tak melakukan kesalahan apa pun, jadi kenapa aku harus bersembunyi?” Madeline balik melawan. “Kau…” “Ini rumah Linnie. Dia boleh datang dan pergi sesuka dia. Berhenti bikin masalah.” Jeremy menasihati Karen dengan kesal. Karen menolak untuk menyerah. “Kau sudah bercerai, jadi dia bukan istrimu lagi. Bagaimana bisa ini adalah rumah perempuan itu?” Jeremy melirik Madeline yang tetap cuek sebelum membuka bibir tipisnya. "Dia istriku. Di mata hukum dia masih istriku.” “Apa?” Karen dan Yvonne terperanjat, bahkan Madeline pun tampak kaget. “Apakah ini TKP-nya?" Dua polisi tiba-tiba muncul, menyela Madeline yang kebingungan. Karen segera bergegas ke depan. “Benar, Pak. Aku adalah korbannya, dan aku mencurigai perempuan ini!" Dia menunjuk Madeline. “Dialah yang memukulku. Dia bahkan mencuri dompet dan perhiasanku. Tangkap dia!” Amarah mewarnai kening Jeremy yang berkerut. Dua polisi itu menatap Madeline. “Madeline C
Setelah memberikan pernyataan, Madeline meninggalkan kantor polisi dan menemukan Jeremy menunggunya di dekat pintu masuk. Pria itu berdiri di bawah matahari dengan mata terpejam. Dia sepertinya sedang tenggelam dalam pikirannya. Warna kulit pipinya yang cerah menunjukkan warna kemudaan. Pemandangan serupa tiba-tiba terlintas di benak Madeline, seolah-olah dia juga menatap Jeremy yang berasal dari sekian tahun lalu dari jauh. Dia mencoba memikirkannya lebih dalam, tapi itu hanya mengakibatkan sakit kepala. Dia tahu bahwa ini kemungkinan besar merupakan gejala sisa dari kecelakaan mobil itu. Mungkin hanya setelah dia bisa mengingat semua memorinya, rasa sakit itu akan mereda. Madeline berjalan ke arah pria itu, menyadari bahwa Jeremy sedang menatap cincin kawin di jari manis kirinya. Kedua sudut mata pria itu dipenuhi dengan pemujaan saat sepasang bibirnya melengkung dengan riang. Belum lama berselang, Jermey telah mengklaim dengan pasti bahwa dia adalah istrinya yang sah. Penas
Menatap lekat-lekat sorot mata Jeremy, dia mendapatinya mirip dengan sorot mata dari beberapa tahun yang lalu. Sorot mata yang terlihat seperti kemarahan ketika sebenarnya pria itu takut, gelisah, dan khawatir. Madeline kaget mendapati fakta yang mengejutkan itu. “Kau tidak apa-apa, Linnie?” Jeremy bertanya pelan sambil membantu Madeline berdiri. “Aku tidak apa-apa.” Madeline merapikan kemejanya. “Aku mau kembali dan mengurus Grandpa.” “Aku akan membawamu ke rumah.” “Oke.” Madeline tidak menolak. Dalam perjalanan pulang, pikiran Madeline diganggu oleh tatapan panik Jeremy yang membuat pria itu terlihat seperti sedang marah. Mobil tiba di villa, dan ponsel Jeremy berdering. Pria itu mengangkatnya, dan sepertinya ada masalah mendesak yang harus segera dia tangani. “Aku akan keluar sebentar, Linnie. Abaikan saja apa pun yang dikatakan ibuku.” Dia secara khusus mengingatkan. Madeline mengangguk dan berbalik masuk ke dalam rumah tanpa memberi jawaban. Jeremy mengerutkan kening s
Madeline berbalik dan melihat Jeremy berdiri di dekat pintu masuk. Sementara fakta bahwa Jeremy telah balik ke rumah mengejutkannya, dia memastikan bahwa ekspresinya tidak menunjukkan apa-apa. Dia tak peduli apakah Jeremy mendengar kata-kata yang dia ucapkan. “Jeremy! Kau dengar apa yang perempuan ini katakan, bukan? Dia mengakuinya! Dia mengaku memukul Aunty Karen! Bagaimana dia bisa begitu kejam? Bahkan setelah melakukan hal seperti itu, dia masih punya nyali untuk bersikap tidak bersalah juga!" Yvonne mengambil kesempatan untuk membuat Madeline terlihat buruk.“Mustahil buatmu untuk tetap percaya kalau dia tak bersalah, ‘kan, Jeremy? Hanya diperlukan sedikit ejekan dariku dan dia mengakui semuanya! Bisa-bisanya dia begitu bengis!” Kemurkaan membara di kedua mata Karen. Jeremy menatap Madeline yang tetap tenang dan perlahan berjalan mendekat. Tatapannya meredup di setiap langkah yang dia ambil, raut wajahnya berubah menjadi sebentuk kekecewaan. “Aku tak percaya kalau itu benar-
“Baiklah.” Madeline mengikuti para polisi itu dengan sikap bermartabat.Saat melewati Jeremy, dia berhenti sebentar dan bertanya dengan ironis, “Ini yang kamu maksud kepercayaanmu yang tak terkekang?” Kedua sudut bibir wanita itu melengkung cantik saat dia terkekeh. Senyumnya yang merekah terpantul di kedua mata Jeremy. Mengingatkannya pada mawar yang mekar—indah, apa adanya, dan mungkin ramah dengan caranya sendiri. Mata Yvonne diam-diam digenangi kegembiraan saat dia melihat polisi membawa Madeline pergi dengan mobil mereka. Karen kembali ke dirinya yang energik seolah awan gelap telah terangkat. Ketika dia berbalik dan melihat Jeremy membuat gerakan untuk pergi, dia segera berlari untuk menghentikan pria itu. “Kau lihat sekarang sifat aslinya, Jeremy? Mustahil kau mengidam-idamkan perempuan seperti itu, ‘kan? Terus kenapa kalau kita menjebak dan menyakiti perempuan itu dulu? Keluarga Whitman tidak berhutang apa pun padanya. Dia pantas menerimanya!” Kenyataan bahwa Karen benar-
Tangan Yvonne berhenti bergerak di saat lampu menyala. “Jadi itu kamu.” Suara teryakinkan terdengar dari belakang. “Walaupun, aku tak menyangka kau tidak cukup sabar untuk bertindak begitu cepat.” “...” Yvonne tak percaya saat mengenali suara itu. Berbalik dengan panik, dia melihat Madeline melangkah anggun ke arahnya sambil tersenyum penuh wibawa. “Madeline Crawford!” Yvonne linglung ketika Madeline perlahan mendekatinya. Tangan yang dia pakai untuk memegang bantal langsung didorong. Dia terkejut karena mengira Old Master Whitman bisa bergerak. Saat dia menoleh untuk melihat, matanya yang ketakutan melihat wajah Jeremy yang memikat!Yvonne tercengang. Dia tak percaya bahwa kedua orang ini ada di ruangan ini bersamanya. Perlahan dia sadar kalau dia telah masuk ke dalam jebakan! Jebakan yang dibuat oleh Madeline dan Jeremy. Mereka baru saja menunggunya mencaplok umpan! Yvonne panik, tapi setelah ingat kalau dia memakai masker dan tidak bisa dianggap benar-benar terbuka, dia me
“Itu tidak ada hubungannya dengan Linnie. Perempuan ini adalah pelaku yang sebenarnya." Jeremy mengalihkan tatapan dinginnya ke Yvonne yang gemetaran di sudut. "Kau bisa terus bersembunyi di sana, tapi aku jamin itu tidak akan mengubah fakta. Apa kau pikir dirimu masih bisa memprotes dan membela diri?” “...” Karen bingung. "Apa yang sedang terjadi? Siapa wanita itu?” Winston berjalan mendekat dan menarik lepas masker Yvonne dari wajahnya sebelum mendorong gadis itu ke arah Karen. “Perhatikan baik-baik. Ini adalah perempuan yang memukulmu dan mencuri dompet dan perhiasanmu!” Melihat orang di depannya, Karen linglung. “Yvonne!”“Bukan aku, Aunty Karen!” Yvonne mendebat dengan panik. “Madeline-lah yang memasang perangkap untuk menjebakku! Sungguh bukan aku. Aku tidak melakukan apa-apa! Kau adalah bibiku, satu-satunya keluarga yang aku miliki di Glendale. Mana mungkin aku memukulmu dan mencuri barang-barangmu? Sungguh itu bukan aku!” “Kedokmu sudah terbongkar, jadi kenapa kau masih m
Karen juga menoleh dan terkejut. “Old ... Old Master?” Perawat mendorong Old Master ke dalam kamar. Bibir Yvonne bergerak-gerak saat dia merasakan tubuhnya menjadi dingin. Old Master mungkin tidak dalam kondisi pikiran terbaiknya, tapi sepasang matanya tajam dan terjaga. Dia memelototi Yvonne dan mengeluarkan kata-kata dengan perlahan tapi jelas.“Kau ... hari itu ... kaulah orangnya. Aku melihat. Kau berlari menuruni tangga membawa kotak perhiasan. Ada darah di kotak itu! Kau ... kau ingin lari ... tapi tidak menyangka Mad-Madeline ada di sana. Kau tidak punya pilihan, jadi kau bersembunyi di petak bunga. Saat Madeline masuk … dia menjadi kambing hitammu!” “...” Sementara kata-kata itu diucapkan dengan susah payah, kata-kata itu terdengar jelas dan membuat Yvonne tidak bisa menyangkalnya. “Kau! Kau dengar beliau, Yvonne! Bisa-bisanya kau masih menyangkal kalau itu bukan kamu?” Murka, Karen menampar Yvonne lagi. Yvonne berteriak dan berhenti memprotes sambil menangkupkan telapa