Seulas senyum muncul di wajah Madeline saat dia melihat ke arah Jeremy, kata-katanya membuat Meredith marah sampai di titik pembuluh darah mulai bermunculan di dahinya. “Jangan berani-berani berpikir kau bisa memisahkan aku dan Jeremy, Vera Quinn! Aku satu-satunya wanita yang dicintai Jeremy, jadi kenapa dia mau menikah denganmu?” Dengan kata-kata itu, Meredith turun dari tempat tidur sambil merasa tertekan dan berlari ke arah Jeremy, air mata menggenang di kedua matanya untuk menunjukkan betapa lembutnya dia. “Dia bohong, ‘kan, Jeremy? Katakan padaku dia bohong.” “Dia tidak bohong.” Jeremy menjawab tanpa ragu dan hal itu meninggalkan Meredith melongo dengan mata membelalak. Madeline mengerutkan bibirnya dalam kepuasan. "Siapa yang tahu apa yang akan terjadi jika kau tidak menyelamatkanku, Jeremy. Apa kau bebas hari ini? Aku ingin mengucapkan terima kasih.” “Aku bebas," jawab pria itu lembut, berpaling ke Madeline. “Apa kau sudah pulih sepenuhnya?” “Yeah.” Madeline terse
Menatap ke dalam sepasang mata Jeremy yang dalam dan rumit, Madeline menarik kembali tangannya sebelum turun dari mobil dengan yakin. Kedua bibirnya terangkat ke atas dengan santai saat merasakan mata Jeremy mengikutinya keluar. ‘Sudahkah kau akhirnya melihat sifat Meredith yang sebenarnya dan jelek sekarang, Jeremy?’ ‘Akan tetapi, sudah sangat terlambat sekarang.’ ‘Sangat terlambat hingga luka-luka yang aku tanggung mungkin tidak akan pernah sembuh sepenuhnya. Kau mungkin berharap menggunakan diriku yang sekarang untuk menenangkan rasa bersalah di hatimu, jadi izinkan aku untuk mendorongmu menuju kematianmu.’… Jeremy memutar mobilnya setelah melihat sosok Madeline yang perlahan menghilang dari pandangan. Dia membeli 88 bunga mawar dan pergi ke pemakaman. Ada begitu banyak yang ingin dia katakan, tapi begitu sekarang berdiri di depan batu nisan Madeline, dia menelan semuanya kembali. Setelah beberapa lama, dia hanya bergumam, "Mungkin aku akan mengajaknya bertemu kamu jika a
Sebuah suara terdengar dari kamar mandi. Orang di dalam sana dengan tegas membela Meredith. Tatapan dingin Jeremy menyapu bersih bagaikan badai es. “Kau mengizinkannya tinggal di sini?” “Apa yang salah dengan Meredith tinggal di sini. Dia tunanganmu, dan kalian berdua bahkan punya Jack. Kalian bertiga adalah sebuah keluarga! Apa yang salah dengan sebuah keluarga yang tinggal bersama?” Mrs. Whitman menyatakan dengan percaya diri, sikapnya semakin tak terkontrol. Dia benar-benar bersikap masa bodoh dengan perubahan ekspresi Jeremy. “Setelah apa yang Meredith alami, adalah tugasmu sebagai tunangannya untuk menenangkan dan menghiburnya. Kau tidak boleh menghabiskan seluruh waktumu dengan penyihir itu!” Mrs. Whitman menepuk pundak Meredith dengan penuh kasih sembari berbicara, ekspresinya mengeras saat menatap Jeremy. “Aku tahu kau senang punya pendapat sendiri, Jeremy, tapi kali ini kau harus mendengarkanku. Aku ibumu! Jauhkan dirimu dari perempuan itu, Vera Quinn. Tak ada hal bagus
Madeline masuk, dan mobil melaju ke Bukit April. Matahari musim gugur terbenam di cakrawala saat angin asin bertiup dari laut. Terangkum menjadi rasa dari masa lalu, namun sesedikit perubahan pada pohon kamper, semua tidak lagi sama.Madeline membenci Bukit April sejak terakhir kali Jeremy membawa Meredith kemari. Dia masih bisa mengingat kata-kata yang diucapkan Meredith kepada Jeremy, bagaimana gadis itu menggambarkan pertemuan pertama mereka yang sangat mirip dengan pertemuannya dengan Jeremy. Apakah itu kebetulan, atau apakah ini lelucon lain yang suka dilemparkan oleh nasib? Diam-diam merenung, ia memutar kepalanya dan mendapati Jeremy membuka sebotol anggur merah. “Apa yang membuatmu kesal? Kau rela mengemudi sejauh ini, mungkin ini adalah tempat yang sangat kau sayangi di hatimu?” Madeline berjalan ke arah Jeremy, dengan sengaja berbicara dengan nada bingung. “Mungkinkah disinilah kau dan Meredith menghabiskan waktu bersama?” Botol itu terbuka dengan bunyi letusan tepat
Madeline menyeringai, ironi muncul di dalam sepasang matanya. ‘Bagaimana bisa kau mengatakan hal seperti itu, Jeremy Whitman?’ ‘Baik itu diriku yang dulu ataupun aku yang sekarang, apa yang sudah aku perbuat hingga pantas menerima perlakuan kejam Meredith?’ ‘Apakah semua yang gadis itu lakukan pasti benar di matamu?’ Jemari Madeline di sekeliling pegangan gelas mengencang sementara Jeremy masih terbenam dalam-dalam di pikirannya sendiri. Setelah beberapa saat, pria itu menaikkan pandangannya untuk menatap dirinya. “Aku berhutang itu padanya,” jawab pria itu. Madeline mengerutkan kening dalam kebingungan. “Kau berhutang apa padanya?” Menatap bola arwah Madeline yang bening dan berkilau, tatapan Jeremy beralih ke cakrawala yang melintasi lautan di hadapan mereka. “Aku tak bisa memenuhi apa yang aku janjikan padanya. Jadi kupikir mungkin aku bisa menebusnya dalam bentuk lain.” Mendengar jawaban Jeremy, Madeline mencibir pelan. ‘Kau tak bisa memenuhi janji yang kau buat pada Mer
“Kau menyukaiku, benar ‘kan?” Nadanya yang menggoda melayang ke dalam telinganya membawa kehangatan. “Aku bisa merasakannya.” Nadanya tegas, dan kepercayaan diri adalah satu-satunya hal di sepasang mata bunga persiknya yang berkaca-kaca.Madeline mendapati dirinya agak bingung dengan seberapa dekat mereka dan kata-kata yang pria ini ucapkan. “Kau mabuk,” tanggap Madeline kalem, meskipun keraguan melintasi sepasang matanya. Apakah pria ini benar-benar mabuk, atau dia cuma berpura-pura? “Senang rasanya mabuk. Setidaknya aku bisa bertemu dia..." Jeremy tersenyum, 'dia' diucapkan begitu pelan sehingga Madeline hampir melewatkannya. Angin malam bertiup melewati mereka, mengacak-acak rambut Jeremy. Sepasang matanya menatap lembut, diwarnai dengan cinta dan pemujaan di bawah samar warna malam yang belum pernah dilihat Madeline sebelumnya. Jeremy menatapnya, lalu semakin mendekatkan jarak mereka. Aroma anggur menggelitik wajahnya dengan setiap hembusan nafas pria ini. “Aku rindu sekali
Kedua pupil mata Jeremy mengerut. “Maksudmu, semalam, kita…” Madeline mengangguk sebelum dia selesai berbicara. Rasa tertekan langsung muncul di semua fitur Jeremy. Dia mengakui dirinya tergila-gila dengan wanita di depannya ini, tapi dia juga tahu pasti bahwa kegilaan seperti itu merupakan manifestasi dari kerinduan yang dia rasakan pada Madeline. Dia bersungguh-sungguh ketika mengatakan dia ingin menikahi wanita ini, tapi dia tak pernah berpikir untuk terlibat dalam segala bentuk hubungan kulit-ke-kulit dengan wanita lain setelah Madeline. Dia mendekati Vera karena keegoisannya. Dia ingin menatap semua fitur seseorang yang terlihat persis seperti Madeline sedikit lebih lama, hanya agar dia bisa mengurangi rasa bersalah di dalam dirinya. Namun saat ini… Dia merasa seperti seorang bajingan. Dia mengklaim bahwa dia mencintai Madeline, namun dia mendapati dirinya tak sanggup menahan daya tarik wanita lain di saat mabuk. “Lihat dirimu. Kau tampak tertekan. Kenapa? Karena aku meng
Keduanya terdiam dan atmosfir di sekeliling mereka berubah aneh, meski bukannya tidak nyaman. Pusat kesehatan itu berjarak lebih dari 400 meter. Perlu tiga menit buat Jeremy membawa Madeline ke sana. Sudah hampir 20 tahun berlalu dan pusat kesehatan itu masih ada, meski sudah direnovasi. Keduanya tidak pernah menyangka akan bertemu dengan dokter yang sama, yang meskipun sudah memasuki usia pensiun sekarang dan kepalanya penuh dengan uban, dokter itu tetap berada di posisinya karena dedikasinya pada pekerjaannya.Dokter itu langsung mengenali Jeremy begitu pria itu membawa Madeline ke dalam klinik.“Aku ingat padamu, Anak muda. Kau punya fitur-fitur khusus.” Dokter itu tersenyum hangat saat merawat luka Madeline, membalutnya dalam waktu singkat. Madeline tersenyum diiringi rasa syukur. “Terima kasih, Dokter.” “Sama-sama.” Dokter itu menyipitkan kedua matanya dan mengatur kembali letak kacamata bacanya saat menganalisa Madeline. “Aku saat itu tahu kalau kalian berdua akhirnya akan b