Madeline merasa seperti sedang bermimpi ketika terjebak dalam kabut yang memabukkan. Dalam mimpinya, seseorang terus memanggil-manggilnya."Eveline, Eveline, bangun."Suara lembut namun khawatir dari seorang pria terus menerus terdengar di telinganya.Madeline mengerutkan kening dan pelan-pelan membuka matanya. Wajah Ryan perlahan muncul di tengah-tengah tatapan kaburnya."Eveline, apa kau sudah bangun?" Dia bertanya."Ryan?""Ini aku," kata Ryan ketika menatapnya dengan khawatir. "Apa kau baik baik saja?" Dia bertanya lagi.Baik-baik saja?Kesadaran balik ke pikirannya saat itu juga. Dia ingat apa yang terjadi sebelum pingsan barusan. Dia kemudian menyadari kalau dirinya berbaring di tempat tidur.Seketika itu juga dia langsung duduk, selimut meluncur turun dari bahunya. Dia menyadari dengan kaget kalau pakaiannya telah terlepas dari tubuhnya. Dia hanya mengenakan sehelai kamisol.Seluruh situasi ini membuatnya merasa aneh.Dia menarik selimut dan buru-buru membungkus tubuhnya."Bagai
Ryan tiba-tiba menjangkau tangannya. Madeline refleks menepis tangan Ryan dan membebaskan tangannya dari pegangan pria itu.Melihat tatapan bingung Ryan yang ditujukan padanya, dia baru sadar kalau tanggapannya sedikit berlebihan. "Maaf, Ryan," katanya."Tidak apa-apa. Aku bertindak dengan sembrono," kata Ryan sambil menopang berat tubuhnya dengan lengannya. Dia berdiri dengan susah payah."Aku tahu ini sulit bagimu untuk menerima apa pun yang telah terjadi di antara kamu dan aku. Aku tahu kalau satu-satunya pria yang kau cintai adalah Jeremy Whitman. Ini akan tetap menjadi rahasia kita berdua. Aku tidak akan membocorkan kepada siapapun," katanya.Madeline mengerti apa yang pria itu maksud dan tahu kalau Ryan bersikap baik. Namun, apa yang terjadi benar-benar terjadi. Tidak ada gunanya menyangkal.Orang lain tidak perlu tahu tentang ini, tapi dia tak mungkin membohongi hati nuraninya.Dia tidak mengatakan apa-apa, hanya mengangguk sebelum akhirnya pergi.Madeline pulang ke Whitman Mano
Jeremy berhenti ketika mendengar pertanyaan Madeline.Dia mengangkat mata almond sipitnya dengan perlahan. Kilatan dingin dan keras terpantul di sepasang mata amber-nya.Sorot matanya sepertinya tidak beres. Madeline merasa sangat penasaran. Dia berjalan ke arah Jeremy untuk melihat apa yang sedang dilihat pria itu.Namun, Jeremy buru-buru menyimpan foto-foto itu dengan memasukkannya ke dalam amplop. Dia kemudian mengangkat matanya dan tersenyum tipis pada Madeline.“Hanya beberapa foto dari kolaborator kami. Tidak banyak yang bisa dilihat," katanya. Dia melemparkan file itu ke dalam laci dan menguncinya. “Kenapa kau tiba-tiba datang? Apa kau kangen aku?" Dia bertanya.Sepasang mata Madeline berkerut saat dia tersenyum. “Aku kebetulan lewat setelah mengantar anak-anak ke sekolah,” jawabnya."Jadi kau ke sini hanya karena pas kebetulan lewat?" Dia bertanya."Ya, hanya karena aku ada di sekitar sini." Dia tertawa terbahak-bahak. Sebenarnya, dia tidak datang hanya karena kebetulan lewat.
Begitu Mrs. Jones mendengar apa yang Jeremy katakan, dia tahu kalau pria itu merujuk padanya.Dia ingin mengatakan sesuatu, tapi Ryan segera menghentikannya. "Mom, kembalilah ke kamarmu," katanya."Rye, jangan lupa bahwa kau adalah suami Eveline!" Mrs. Jones mengingatkannya. “Jangan pedulikan putra keluarga terkaya Glendale ini. Apa menurutmu Keluarga Jones takut padanya?” Dia bertanya. Jeremy menatap Mrs. Jones dengan dingin. "Sebaiknya memang kau tidak perlu takut," katanya.“…” Tatapan garang Jeremy membuatnya takut, dan dia tidak berani mengatakan apa pun."Cepat pergi ke kamarmu," kata Ryan padanya.Mrs. Jones tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia berbalik dan segera naik ke atas.Namun, dia mendeteksi adanya rasa agresivitas pada Jeremy. Sepertinya pria itu ke sini untuk mencari masalah dengan Ryan. Dia berjalan ke tangga lantai dua dan menyaksikan peristiwa yang terjadi di ruang tamu.Begitu dia berbalik, Jeremy melemparkan sebuah amplop ke depan Ryan.Sekitar sepuluh foto jatuh d
Jeremy mengabaikan Mrs. Jones dan memasukkan peluru sebelum mengaitkan jari rampingnya pada pelatuknya. "Apa kau pikir dengan kematian Yorick, tidak ada lagi yang kau takuti, Ryan?"Sebentuk riak akhirnya melintasi ekspresi elegan Ryan saat Jeremy menyebut Yorick Johnson.Tatapan tajam Jeremy menangkap sedikit perubahan dalam ekspresi pria itu, dan dia menempelkan moncong pistol ke jantung Ryan. "Kau benar-benar pandai menyembunyikannya."Ryan tampak bingung seolah tidak mengerti apa yang Jeremy bicarakan.Dia membalas, “Tidakkah menurutmu ada yang salah denganmu, Jeremy? Sepertinya racun itu tidak hanya mengubah penampilanmu, tapi juga mengacaukan pikiranmu.”Ekspresi Jeremy menjadi gelap. "Kau benar. Pikiranku kacau, dan pikiran kacauku ini memberitahuku kalau aku ingin kau menghilang.”Jari-jarinya yang ramping melingkari pelatuk.Ryan hendak mengangkat tangannya untuk menghentikan Jeremy ketika sosok Madeline melintas di penglihatan tepinya.“Jangan lakukan itu! Jeremy!”Madeline b
Langkah kaki Jeremy terhenti saat mendengar suara Madeline sebelum melanjutkan lagi langkahnya.Melihat pria itu pergi, Madeline memutuskan untuk menyalakan mobilnya dan mengikuti mobil Jeremy.Jeremy akhirnya menghentikan mobilnya setelah tiba di tepi pantai tempat mereka pertama kali bertemu bertahun-tahun yang lalu.Menghentikan mobilnya, Madeline menatap dari jauh saat Jeremy berdiri di tepi laut. Dia terkejut mendapati Jeremy merokok. Dia tidak akan pernah melupakan rokok itu!Lana awalnya adalah orang yang memberi Jeremy rokok itu, dan racun yang bekerja lambat yang ada di dalamnya-lah yang hampir membunuh Jeremy pada akhirnya. Kenapa dia masih merokok rokok itu?Madeline merasa jantungnya melompat saat bergegas ke arah Jeremy dan meraih tangan pria itu. “Apa yang kau lakukan, Jeremy? Kenapa kau masih merokok ini?”Tatapan gelap Jeremy terkunci pada tatapan khawatir Madeline. Dia tidak menjawab, hanya mengangkat tangannya lalu menghisap rokoknya lagi.Hati Madeline makin kalut me
Madeline mengeraskan hatinya dan menarik tangannya ke belakang saat berbalik lalu berjalan kembali ke mobilnya.Angin laut bertiup, mendorong air mata di pelupuk matanya mengalir ke kedua pipinya.'Kau telah kembali ke duniaku, Jeremy, hanya untuk pergi lagi.’'Di mana salah kita? Aku hanya ingin mencintaimu, begitu sulitkah itu?’Madeline menelan ludahnya dengan susah payah.Dia mengira kalau jarak di antara mereka makin jauh, namun dia baru mengambil beberapa langkah ketika pria itu tiba-tiba berjalan mengejarnya dan menariknya ke pelukannya dari belakang."Jangan pergi, Linnie."Dia mengangkat satu lengannya dan melingkarkannya di leher Madeline saat lengan yang lain melilit pinggang wanita itu. Keinginan dan cintanya yang besar untuk wanita itu meledak dalam dirinya.“Kau mengatakan padaku kalau kau akan mencintaiku tak peduli bagaimana aku telah berubah. Aku merasakan hal yang sama, Linnie. Asalkan kau masih menjadi Linnie-ku, aku tidak akan pernah melupakanmu sampai tarikan nafas
Madeline masuk. Dia hendak naik ke atas ketika tiba-tiba mendengar suara Jeremy dari kamar mandi.“Aku sudah mati sekali. Apa kau pikir aku peduli? Tidak usah mengajariku bagaimana melakukan sesuatu. Hubungan kami, jika ada, hanyalah hubungan bisnis.”Madeline merasakan hatinya mengepal saat diingatkan pada 'kematiannya'.Namun, 'bisnis' macam apa yang dimaksud Jeremy?Madeline berbalik dan berjalan menuju pintu kamar mandi.Suara bariton serak Jeremy terdengar lagi. “Dia adalah batas toleransiku. Mundur atau tidak akan ada negosiasi sama sekali.”Insting bawah sadarnya mengatakan bahwa orang yang dibicarakan Jeremy adalah dirinya.Madeline tidak ingin menguping panggilan telepon itu, tapi sepertinya dia tak bisa mengabaikan percakapan itu.Saat ini, pintu kamar mandi terbuka.Madeline mendongak dan dipertemukan dengan tatapan tak berdasar Jeremy. "Kau sedang bicara dengan siapa, Jeremy? Apakah terjadi sesuatu?”“Jangan khawatir soal itu. Cuma pekerjaan.” Dia menepis sambil tersenyum t