Harris sudah keluar dari kamar mandi berbalut jubah mandi dan handuk kecil yang menggantung di lehernya. Kedua benda itu sudah tersedia di kamar hotel secara cuma-cuma. Berewok tipis yang biasa menghiasi permukaan wajah hingga ke lehernya kini sudah bersih tak bersisa. Harris memang rutin mencukurnya setiap sebulan sekali.
Di saat yang sama Asha terduduk di tepi ranjang menatap Harris lekat meski jarak mereka tidak dekat. Tangan Asha bersidekap di dada dengan kaki yang di silang sebelah. Asha tengah dongkol sebenarnya, saat topik-topik serius yang di bahas Asha lebih sering buntu dari perhatian Harris. Topik yang sengaja di angkat Asha seperti menguap begitu saja. Dan malam itu jelas bukan yang pertama Harris abai.
"Mas Harris mau sampai kapan berdiri di sana?" tanya Asha membuyarkan suasana hening di antara keduanya. "Aku mau mandi." tambah Asha di iringi gerakan Harris menyingkir dari ambang pintu kamar mandi.
"K
Asha dan Harris terlentang menatap langit-langit dengan tubuh polos yang basah dengan keringat dimana-mana. Tangan kanan Asha meraih selimut dan meletakannya sembarang di atas tubuhnya.Sementara Harris mulai turun dari tempat tidur meraih pintu lemari es mini di samping lemari besar dekat pintu keluar. Harris mengambil satu kaleng kopi dingin siap minum dan satu kaleng teh beraroma melati. Harris kembali berjalan menuju tempat tidur dimana Asha masih betah merebah. "Makasih ya Mas." ujar Asha saat Harris meletakan satu kaleng teh kaleng itu di atas nakas di samping Asha. Harris tak membalas ucapan 'terima kasih' dari Asha. Rupanya nyawa Harris sudah kembali kehidupan nyata. Membawa Harris kembali ke mode datar yang menyebalkan.Harris sempat memakai celana dalamnya sebelum dia duduk di kursi sofa menikmati sekaleng kopi dingin di tangannya. Suasana panas yang sempat menguasai ruangan itu mulai memudar menjadi sepi beberapa saat. Harri
Akhir pekan sudah selesai. Kini waktunya Asha dan Harris kembali pada rutinitas mereka sebagai suami dan istri di Ibu Kota Jakarta. Kembali pada rutinitas pagi yang padat namun teratur dan terjadwal setiap harinya. "Aku lagi gak mood buat masak Mas. Jadi pagi ini aku siapin roti panggang saja, nanti tinggal oles selai." ujar Asha mengulurkan satu piring yang di isi lima buah roti panggang yang warnanya sudah kecoklatan. Tampak begitu renyah saat di gigit. Tak lupa, secangkir kopi hitam tanpa gula yang masih begitu panas. Harris sudah duduk mantap di depan meja makan, tangannya meraih beberapa toples yang berisi macam-macam selai. Harris mengoleskan selai kacang di atas dua buah roti panggangnya dan melahapnya. Lalu Harris mengoleskan dua buah roti panggangya dengan selai coklat pun melahapnya dengan cepat. Roti panggang terakhirnya, hanya Harris oles dengan unsalted butter. Harris memang tak pernah ada masalah dengan makanan. Dia selalu melahap semua makanan y
Kedua tangan Asha menggenggam botol air mineral saat ia menarik napas panjang dan dalam. Asha menutup matanya untuk membuka memori di otaknya saat Jasmine memintanya untuk menceritakan kisah cintanya dengan seorang polisi bernama Harris, yang berujung di meja kantor urusan agama.***'Srrrat'"Ah jambret, tolong! Tas saya di jambret, tolong!" teriak Asha panik. Saat tas hitam di tangannya di jambret seseorang berjaket hitam dengan wajah yang di balut masker warna senada. Asha berteriak menangis seketika. Dia terduduk lemas di trotoar jalan yang ramai dengan orang berlalu lalang. Kepala Asha mendadak pening, membayangkan tas hitam miliknya tidak kembali. Bagaimana tidak, seluruh isi tas hitam itu adalah dokumen-dokumen penting pun kartu-kartu penting yang tentu saja akan menyulitkannya jika harus di buat ulang.Beberapa orang memang berusaha mengejar jambret yang larinya begitu cepat
Harris turun dari mobilnya, membuka pintu gerbang besi dari halaman sebuah rumah bergaya minimalis. Rumah itu tak terlalu besar jika di bandingkan dengan rumah sultan yang kaya raya. Namun cukup nyaman dengan teras kecil yang menyatu dengan taman minimalis.Asha melangkah pelan, sesaat setelah turun dari mobil sedan putih milik Harris.Akhirnya Asha memang memilih untuk tinggal sementara dengan Harris, dari pada memaksakan diri pulang ke Bogor malam itu juga. Entah kenapa, Asha begitu percaya pada Harris. Mungkin karena jarang sekali orang jahat yang berprofesi sebagai seorang polisi.***'Ceklek'Harris membuka pintu rumahnya yang sepi seperti kuburan. Ternyata hanya Harris yang menghuni rumah dengan tiga kamar tidur itu. "Di atas ada dua kamar tidur, Mbak bisa istirahat di sana." ujar Harris setelah menutup dan mengunci pintu.Asha m
Malam terakhir Asha menginap di rumah Harris, membuatnya semakin gelisah tak tentu arah. Rasa kagum Asha pada sosok Harris seperti terpupuk subur menumbuhkan benih cinta. Meskipun Asha di buat penasaran akan Harris yang begitu tertutup dan dingin. Asha hanya ingin memastikan jika dia sedang jatuh hati pada pria yang benar. Asha bukan perempuan gila yang akan menghancurkan perempuan lainnya, jika memang Harris bukan seorang lajang.Seingat Asha, dia hanya mendapati dua photo berukuran besar di dinding ruang tengah. Photo itu adalah gambar seorang wanita paruh baya dengan senyum terpaksa. Rambutnya hitam, tebal dan ikal terurai sebatas bahu.Di sisi lainnya Asha menemukan photo seorang nenek dengan kerudung yang menutup puncak kepalanya, meski beberapa helai rambut putihnya melesak keluar. Nenek itu tersenyum lebar, menampilkan barisan gigi putih nan rapi di usia senja. Persis seperti gigi palsu buatan dokter ternama.
Harris mengantarkan Asha hingga ke kantor travel perjalanan yang akan mengantarkan Asha kembali ke Bogor. Sebelum berpisah Harris akhirnya memberikan nomor telponnya pada Asha. "Semoga Mbak Asha tidak menghubungi saya karena kasus-kasus yang merugikan." ujar Harris seraya mengulurkan ponsel Asha. Asha ingin melompat kegirangan saat Harris menyimpan sendiri nomor telponnya di ponsel Asha. Namun ia tahan, Asha tentu tak ia ingin terlihat konyol hanya karena berhasil mendapatkan nomor telpon. "Amiin, saya mungkin akan mentraktir Bapak beberapa kali lagi. Kemarin-kemarin saya sampai enam kali di traktir Bapak makan!" kata Asha berkilah. Harris tersenyum tipis. Mulutnya yang terbuka, hendak bicara tersela ucapan Asha, "Anggap saja Pak Harris sedang beruntung. Jadi tidak ada orang yang bisa menolak keberuntungan kan?" tambah Asha membuat alasan tepat. *** Asha dan Harris semakin intens berkomunikasi meski hanya via pesan sing
Mendapatkan teman baru di tempat kursus menari, tak lantas membuat Asha lupa akan kedua sahabatnya, Devi dan Fani.Rasa rindu Asha pada ocehan kedua sahabatnya itu mulai menemukan titik temu, saat akhir pekan itu, Harris tiba-tiba harus bertugas. Asha jadi punya alasan agar bisa keluar berkumpul dengan Fani dan Devi.Asha mendekap tangan kekar Harris saat keduanya berjalan menuju teras rumah. Harris hendak pamit untuk bekerja setelah perutnya terisi nasi uduk rumahan buatan tangan Asha. "Mas aku mau ke rumah Devi siang ini, boleh?" ujar Asha berharap mengantongi ijin Harris dengan mulus. "Hanya ke rumah Devi atau akan jalan keluar?" tanya Harris menyelidik. "Belum tau sih, mungkin ke rumah Fani juga bareng Devi atau Fani yang ke rumah Devi. Aku belum ada rencana apapun, karena dapet ijin kamu aja belum, kan?" cerocos Asha dengan manja bergelayut di lengan kekar Harris.Harris mengangguk mengerti, lalu mengamb
Asha melesakan mobilnya terparkir sempurna di halaman rumah. Sebelum turun Asha melirik dua kantung plastik di kursi belakang. Dia tengah berasumsi tentang reaksi Harris saat dia pulang dengan berbagai makanan gratis. "Seharusnya Mas Harris juga senang. Hari gini, siapa coba yang gak senang dapet rejeki tak terduga kayak gini?!" ujar Asha bermonolog. Asha masuk ke rumah dengan wajah yang terus-menerus tersenyum. Hari itu, harinya Asha. Sejak pagi dia hanya menyiapkan sarapan seadanya yang tetap di lahap habis suaminya. Kemudian berlenggang melepas rindu dengan kedua sahabatnya. Di saat bersamaan, dia mendapat pengalaman makan siang istimewa, lalu kembali ke rumah dengan beberapa kotak makanan yang dia terima secara cuma-cuma. Asha bahkan tak perlu memasak lagi untuk makan malam. Entah mimpi apa semalam, hari itu Asha seperti kejatuhan bulan. Asha sudah menghangatkan rendang, sop buntut dan c
Menghabiskan waktu liburan yang singkat di alam yang amat sangat indah memang tak akan ada puasnya. Begitu juga bagi Asha dan Harris yang menghabiskan liburannya dengan mengunjungi beberapa tempat wisata populer di sana.Tak jauh dari Pulau Maratua tempat Asha dan Harris menginap, mereka beranjak menuju Pulau Kakaban menggunakan speedboat.Pulau Kakaban mempunyai gradasi warna laut hijau kebiruan. Suasana yang ditampilkan pada laut di Pulau Kakaban memantulkan warna hijau zamrud yang jernih dan mengkilap. Pulau tak berpenghuni ini memiliki danau yang berasal dari rembesan air laut dan kucuran hujan. Uniknya lagi, danau ini merupakan habitat ubur-ubur mini yang tidak menyengat dalam jumlah ribuan. Asha dan Harris pun tak akan melewatkan pengalaman untuk bersenang-senang bersama ubur-ubur yang 'terjebak' sejak ribuan tahun silam yang akhirnya hidup tenang.Tak cukup puas, Asha dan Harris di pandu menuju Laguna Kehe Daing y
'Cekrek''Cekrek''Cekrek'Asha menarik diri dari dekapan Harris saat suara jepretan kamera beserta cahaya kilaunya menarik perhatiannya. Harris tersenyum tipis saat Asha bolak-balik melirik mata hitamnya juga mata kamera. Asha melongo, seperti tak percaya.Harris, dengan sengaja menyewa seorang photograper profesional untuk mengabadikan momen berharga mereka. Tanpa kata, Asha mengernyitkan dahinya. Meminta penjelasan pada Harris lewat matanya. "Buat kenang-kenangan, Sha. Kita gak pernah punya foto prewedding kan? Anggap saja kita sedang pemotretan untuk itu." terang Harris menaik-naikan kedua alisnya, berhasil membuat Asha tak bisa berkata-kata. Asha terlalu bahagia. "Mas Harris... Aku gak nyangka deh, kamu benar-benar menyiapkan semua ini. Aku bahagia... Banget malam ini." aku Asha mencubit gemas pipi Harris.Tanpa mempedulikan photographer yang terus memotret mereka secara natural. Asha berjinjit,
Harris mematut diri di depan cermin. Menyisir rambut ikalnya yang lebat ke belakang dengan sedikit bantuan pomade. Minyak rambut yang hanya sesekali di pakai Harris itu beraroma jeruk menyengarkan, membuat rambut Harris tertata rapi dan nampak lebih berkilau. Merapikan kancing lengan kemeja putih yang akan di balut tuksedo hitam dengan dasi kupu-kupu yang membuat penampilan Harris semakin menawan. Pantofelnya pun tak kalah mengkilat, sebab di semir dengan hati-hati oleh empunya.Sementara Asha, di tempat yang berbeda, hampir selesai dengan kegiatan membersihkan diri di kamar mandi. Apalagi ketika berkali-kali Harris memanggilnya untuk segera beranjak dari sana. Asha semakin tergesa menarik diri lalu lekas duduk di depan meja riasnya. Berperang dengan berbagai jenis peralatan khusus perempuan agar paras cantiknya semakin memukau. Meski sebenarnya, tak banyak yang Asha lakukan sebab Harris memintanya agar ber-make up minimal saja. Menurut Harris, Asha terlih
"Harusnya kita emang gak usah bicara saja, Sha." keluh Harris. "Saya jadi makin merasa bersalah." tambahnya melempar pandangan jauh ke dasar samudera."Mbak Suci itu kayak apa sih, Mas?" tanpa memperdulikan ucapan Harris, Asha, dengan santainya membuka topik tak biasa. Harris lekas menatap Asha, meninggalkan pandangannya pada samudera yang indah. Bukan karena suara Asha, lebih kepada pertanyaan yang di lempar Asha.Di sela-sela suara renyahnya keripik singkong di mulut. Asha meralat pertanyaannya. "Sebagai sesama perempuan, aku kasian aja Mas sama Mbak Suci, kayaknya hidupnya penuh beban." "Kamu mau bilang kalau hidup Suci gak bahagia gara-gara saya?" sambar Harris dengan nada suara kesal tertahan. Asha berdecak. "Gak gitu juga, Mas --" jawab Asha tak tuntas. Sebab Harris sudah menyambarnya dengan menaikan telapak tangannya yang besar di udara. "Sudahlah Sha, saya gak mau membahas Suci lagi." sahut Harris ketus, bangkit dan bergerak me
Kehancurkan Harris di tandai dengan dirinya yang menjadi semakin tertutup dengan wanita manapun. Pemikiran tentang pernikahan pun semakin jauh tak tergapai. Harris semakin menekan dirinya sendiri untuk tidak menikah dengan siapapun. Memilih menjadi bujangan seumur hidup. Kehilangan cinta hanya karena tuntutan akan ikatan menempa Harris menjadi sosok yang semakin kaku, dingin dan tertutup.Sementara di waktu yang sama, Suci memilih untuk menerima laki-laki pilihan orang tuanya. Perjodohan yang sempat di tolak Suci saat masih menggantungkan harap pada Harris.Hingga saat itu, keduanya benar-benar saling melepaskan diri, menghilang tanpa saling berkomunikasi."Mas Harris jahat banget sih!" ujar Asha. Kalimat pertama yang menohok keliar dari mulut Asha, sesaat setelah Harris selesai bercerita.Harris terperangah. Dia baru saja berhasil menelan ludah saat tenggorokannya kering, Asha sudah meny
Harris pikir, Asha akan segera keluar dari tempat persembunyiannya. Nyatanya, Asha baru menampakan diri setelah empat puluh menit kemudian. Hal itu di pastikan Harris saat ia melirik arlogi yang melingkar di tangan ketika suara pintu terbuka mengusap telinganya. "Dia itu ngapain sebenarnya di kamar mandi sampai empat puluh menit?!" gumam Harris bertanya-tanya sendiri. Dia heran dengan Asha yang selalu betah bersembunyi di kamar mandi setelah mereka berargumentasi. "Apa enaknya berdiam diri di kamar mandi?" batin Harris kembali bersuara. Bola mata Harris terus bergerak, ke kiri dan ke kanan, berputar, mengikuti setiap gerakan Asha dari belakang. Selepas bersembunyi di kamar mandi, Asha memang tidak lekas diam. Dia membuka kulkas mini untuk mengambil air mineral dingin dan menghabiskan isinya, pergi membuka lemari untuk mengambil satu tas khusus dari kopernya. Tak cukup sampai di situ, Asha bergerak menuju meja rias di samping tempat tidur berukuran king size.
Asha dan Harris tidak bisa menolak keindahan tanpa celah yang di suguhkan alam. Menikmati matahari pagi yang tersenyum cerah di atas teras kamar hotel bertipe bungalow. Di temani beberapa potong roti bakar dan secangkir kopi hitam tanpa gula milik Harris, juga teh hijau pahit untuk Asha, menyempurnakan keindahan alam yang tak bisa di deskripsikan dengan kata-kata.Kemarin, Asha dan Harris tak sempat bermanja dengan alam sebab mereka sudah terlalu lelah dengan perjalanan panjangnya. Lagi pula malam sudah terlebih dahulu menyambut mereka saat menginjakan kaki di Pulau Maratua.Namun pagi itu, rasa lelah mereka sudah raib entah kemana. Di suguhi pemandangan menenangkan jiwa dan raga membuat keduanya tak ingin tergesa beranjak. Rasa dunia milik berdua pun baru saja mereka cecap."Mas, jalan yuk, mataharinya udah mulai panas." ajak Asha menyipitkan kedua matanya yang mulai sakit tersapu teriknya sinar mataha
Setelah menimbang-nimbang dengan sengit antara Maluku dan Nusa Tenggara Barat, yang keduanya merupakan target utama Asha dalam merencanakan liburan, pada akhirnya, Asha memutuskan untuk ke Kabupaten Berau di Kalimantan Timur.Ke bimbangan Asha dalam memilih lokasi berlibur mereka membuat Harris geleng-geleng kepala sebab butuh tiga malam tidak tidur nyenyak untuk akhirnya mengambil keputusan pasti. Harris memang membebaskan Asha untuk memilih, hal ini lah yang membuat Asha semakin pusing sendiri. Dan hal tersebut di lakukan Harris sebagai rencana tersembunyinya untuk mengalihkan perhatian Asha dari bayang-bayang kejadian tiga tahun silam.Waktu itu malam, tepat pukul setengah sepuluh saat Asha tengah sibuk melakukan ritual perawatan wajah, di depan meja rias di kamar mereka saat Harris berkata, "Tiket pesawat sama hotel sudah saya pesan." ujar Harris datar, tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar gawai di tangan. "Saya juga sudah pesan mak
Sudah tiga puluh menit berlalu, Asha masih belum puas membanjiri kemeja kerja Harris dengan airmata yang deras mengalir menganak sungai. Dia juga luput kalau Harris masih belum sempat makan malam selepas bekerja, sampai suara 'kruukuk' dari perut Harris menginterupsi. "Mas Harris lapar?" tanya Asha singkat. Asha menarik kepala ke atas agar bersitatap dengan Harris, menghapus sisa airmata di pipinya dengan asal-asalan. Harris refleks sedikit menunduk saat Asha menatapnya. "Kamu udah selesai nangisnya?" tanya Harris tak lekas menjawab pertanyaan Asha tentang kabar cacing-cacing dalam perutnya. Asha melerai pelukannya, mengambil langkah mundur dari Harris. "Ya udah, makan dulu yuk!" ajak Asha kemudian. Harris mengangkat satu alisnya memastikan jika Asha benar-benar sudah bersikap normal padanya. "Beli makan apa untuk makan malam?" tanya Asha tak mengindahkan tatapan skeptis Harris. "Sate padang, soto betawi sama nasi goreng." sahut Harris lurus-lurus. "Banyak banget!" celetuk Asha. Har