''Tuan Hafens! Mafia yang dipimpin oleh Royman Adiffer membuat kerusuhan di pelabuhan!''
Karena Hafens dilantai atas, Dave yang tengah terpekur di ruangan bawah langsung aktif mendengar ucapan seorang anak buah yang terengah-engah menghampiri. Tubuhnya memutar, menatap tajam dan penuh intimidasi kabar yang dibawa oleh anak buahnya itu. Tangannya terarah, plak ....Brugh ....Tubuh itu jatuh tersungkur, menghempas kelantai akibat tamparannya.''Tidakkah kalian bisa menyelesaikannya?! Haruskah melapor pada kami?! Hancurkan mereka, bunuh! Hal itu bukan hal yang sulit bagi kalian, 'kan?!'' bentaknya tajam, membuat tubuh pria itu beringsut mundur.Baru saja dia akan melarikan diri, Hafens sudah berdiri di undakan tangga terakhir. Wajahnya terlihat sangat serius, juga tajam dan angkuh.''Tuan .... Ada yang Anda butuhkan?''Brak!Sebuah Colt 1911 terlempar ke lantai, membuat kedua pria itu saling tatap.''Habisi mereka dengan senjata itu. Bawa kembali padaku setelah kau mampu membunuh sebanyak-banyaknya anak buah dari Mafia gila itu.''Anak buahnya itu bangkit, mengambil senjata itu dengan tangan gemetar. Ditatapnya Hafens yang sudah mengangguk. Wajahnya memerintahkan sekali lagi, dengan sorot angkuh yang tak bisa di bantah.''Aku akan menikah hari ini, jika tidak aku yang akan memenggal kepala pemimpinnya.'' Hafens berkata lagi, dengan gerakan tangannya yang dimasukkan ke dalam saku. ''Aku harus menyelesaikan ini, besok aku akan menemui kalian demi melihat bagaimana keadaan perusahaan yang sudah seminggu ini ku abaikan. Kuharap, kau memuaskanku dengan kepala pemimpin dan juga jasad-jasad pasukan itu.''Pria itu mengangguk dengan getar takut dan juga senang. Dua pemuda di hadapannya ini tampak memberikan ketegasan dan juga kenaikan derajat padanya, hingga memberikan tugas penting ini padanya. Di tangannya kini, ada senjata Colt 1911 ada di tangannya, tengah di genggamnya dengan tujuan untuk menghancurkan musuh.''Pergilah.''Memutar senjata itu di telapak tangannya dan menyelipkannya ke belakang pinggang. Dia menunduk sejenak, lalu berbalik dan pergi. Hafens dan Dave memandangi punggungnya, dengan tatapan sama-sama datar dan tak berekspresi.''Semuanya sudah selesai, Tuan Hafens.''Hafens menatap ke arah tiga orang pelayan wanita yang merias Christa menjadi pengantinnya.''Petugas pencatatan pernikahan juga sudah bersiap di ruangan, dengan Nona Christa yang sudah duduk di kursi, menunggu anda.''Hafens menghela napas perlahan, lalu berbalik.***Saat dia datang ke ruangan pernikahan, terlihat Christa sedang mencoba menahan air mata dan juga kesesakan dadanya. Hafens tahu, Albene Adixon memang ayah gadis itu, pria brengsek yang sudah mengasuh wanita itu sejak kecil. Dia mana peduli, yang penting balas dendam ini terlaksana.Dia juga sedang meminta anak buahnya untuk menyelidiki tentang para mafia lainnya. Benarkah pria itu sudah menghabisi ayah dan ibunya? Walau yang berkonflik dengannya beberapa bulan terakhir memang kelompok mafia itu, hingga besar kemungkinannya kalau Albene yang sudah melakukan pembunuhan berencana itu. Cih!Christa masih diam di tempatnya, dia merasa semuanya terasa janggal baginya, tetap tidak ada yang memungkiri fakta. Bisa saja ayahnya memang menghabisi ayah ibu Hafens, sementara dia sendiri tak tahu apa-apa. Ketika merasa ada seseorang duduk di sebelahnya, tatapan Christa yang semula menatap ponsel langsung terarah padanya. Di sana, pria yang akan menikahinya sudah duduk dengan gaya arogannya, dia hanya memakai jaket, tanpa peduli pada apapun.''Mulai.'' Datar dan penuh perintah ucapan Hafens terdengar, membuat petugas pencatat pernikahan itu mengangguk.''Tunggu dulu.''Hafens menggerakkan kepalanya, menatap Christa yang sudah angkat suara dan menggeser tubuhnya ke hadapan Hafen yang tengah menyamping.Ting!Christa menatapnya, membaca pesan itu dengan hela napas yang terasa di cekat.''Apalagi yang kau butuhkan?! Pinangan?''Christa menatap wajah Hafens yang tampak datar dan ketus. ''Tidak,'' jawabnya lugas. ''Ada yang ingin kutanyakan. Dimana kau atau anak buahmu menemukan jasad ayah ibumu?''Wajah Hafens memerah mendengar pertanyaan itu. ''Pinggiran hutan Delvos, yang paling jauh dari Klan Bracks ini. Kenapa?'' tanyanya dingin, benci mendengar pertanyaan Christa tentang hal yang begitu sensitif baginya.Christa menghela napasnya, membaca pesan itu dan mematikan ponselnya. "Tidak ada," jawabnya tak berdaya.''Lalu kenapa kau harus bertanya?'' tanyanya dengan wajah yang sedikit bengis. "Ada lagi yang mau kau tanyakan?!"''Hmm.'' Christa tersenyum, lebih tepatnya dia terpaksa melakukannya untuk membuat hatinya tak terlalu sakit dan takut pada pria ini. ''No, nanti saja setelah pernikahan.''Wajah Hafens mendengus angkuh, menatapnya dengan penuh sorot intimidasi. Christa menatapnya dengan sorot mata yang justru memancarkan hal yang sebaliknya. Dia menatap lembut, walaupun sulit untuk menembus pertahanan tajam di sorot mata tajam seorang Hafens Barack.''Ada apa?'' tanyanya dengan alis terangkat. ''Kenapa kau memandangiku?''Hafens mendengus menatapnya. ''Jangan banyak pertanyaan, Christa. Kau bukan istriku yang sebenarnya. Selama itu bukan hal yang menyangkut tentang kontrak kita, aku takkan menjawab atau pun menurutinya.''Christa menggeleng. ''Tidak bisa begitu,'' ujarnya sambil menghela napas. ''Aku tetap akan bertanya dan bicara. Kau tidak mungkin diam saja, 'kan? Kuyakin kau akan bicara.''Hafens berdecak, menatap wajah Christa yang sudah tersenyum lagi.''Aku tidak berharap menjalani pernikahan yang manis denganmu, Hafens. Namun, tidak mungkin aku melakukan pernikahan dengan apa yang kau inginkan, bukan? Tidak mungkin kita tak berkomunikasi. Jika dengan musuhmu saja kau berkomunikasi, bagaimana tidak denganku?''''Ck! Aku tidak sudi bicara denganmu. Kau itu anak pembunuh!''Tertohok, dada Christa terasa dicabik mendengar ucapan itu. Sebisa mungkin dia meredakan perasannya yang terluka. Dengan gesture wajah yang sekuat mungkin dia perbaiki agar lebih baik. Bagaimanapun dia tak boleh menunjukkan sisi lemahnya dengan menangis di hadapan seorang Hafens Barack, Mafia bertangan ringan yang kejam di Klan Bracks.Christa harus tetap berusaha memahaminya yang sudah melihat kematian ayah ibunya.Ruangan itu lenggang sebentar, pegawai pencatat pernikahan tengah menulis entah apa untuk keperluan pernikahan mereka. Suara pintu terdengar di ketuk, hingga Hafens yang tengah duduk di tempatnya berdehem.''Masuk saja, Dave.''Christa mengerjap, melihat ke arah pintu demi melihat siapa yang dipanggil pria itu sebagai Dave. Suara pintu terdengar di buka, bersama dengan munculnya seonggok tubuh dari sana.''Duduklah, kau akan menjadi saksi pernikahanku.''Dave mengangguk, kepalanya menunduk sejenak dan melangkah hingga tiba di samping majikannya. Christa melihatnya sejenak, mengira apakah pria ini bisa menjadi tempatnya bercerita? Ah, sepertinya tidak. Wajahnya terlalu angkuh dan dingin, tak jauh beda dengan majikannya.''Apa yang kau lihat?''Christa mengerjab, tersadar dari tatapannya yang menyorot tubuh dan wajah Dave. Ck, dia bahkan belum sempat bahkan untuk mengatakan bagaimana rinci tubuhnya. Agh, karena mengambil jurusan sebagai peneliti makhluk hidup, sebegitu parahnya dia ingin menunjukkan bagaimana bentuk rupa seseorang.Dan, ya .... Bahkan wajah Hafens saja belum dipelajarinya bagaimana bentuknya.''Kita mulai sekarang.''Christa kembali tersentak, lalu mengangkat kepalanya yang semula dia tundukkan. Dilihatnya Hafens yang tampak serius, mengucap janji suci di sampingnya dengan raut wajah datar yang membuat siapapun sesak mendengar ucapannya.Ketampanannya tertutupi karena wajahnya yang dingin itu. Christa lantas menghela napas, bersiap menjadi istri seorang Hafens Barack yang bagaimana monster terkejam di dunia.''Nona Christa Felisha Adixon, bersediakah Anda menjadi istri Tuan Hafens Barack tanpa ancaman dan paksaan sebelumnya?''Christa menahan napasnya, bersamaan dengan Hafens yang menatap wajah wanita yang akan segera dia jadikan istrinya. Christa meneguk ludahnya kasar, dengan jemari telunjuk lentiknya yang menyentuh bawah hidung.Tatapan Hafens makin menggelap melihat tingkahnya, dengan tangan yang perlahan menjalar tapi tertahan lagi.''Nona Christa Felisha Adixon, Anda mendengar ucapan saya?''Christa menghela napasnya, lalu mencoba menahan sesak.''Ya ....''Christa langsung melihat ke arah pintu, ketika benda dari papan kayu itu terbuka. Jantungnya sudah berdetak kencang, takut yang masuk adalah Hafens. Namun ternyata, dia masih di beri waktu untuk bernapas. Seorang wanita paruh baya dengan membawa nampan yang masuk, mengantarkan makan malam untuknya.Dia kenal wanita ini, pelayan. Namun anehnya, Hafens menghilang saat setelah mengucapkan janji pernikahan. Kemana dia? Padahal ini sudah pukul sembilan malam. Pria itu memintanya ke kamar lebih dulu sejak mereka selesai mengucap janji suci. Dan sampai sekarang dia belum kembali.''Nona Christa, makan dulu. Tuan meminta saya menghidangkan makan malam untuk anda, sebelum dia datang.'' Seorang pelayan wanita yang sudah berusia paruh abad bertubuh gempal berkata, seraya menata hidangan untuk Christa yang kini resmi menjadi istri majikannya.Christa mengenalnya, tadi siang wanita inilah yang menenangkannya saat akan di rias. Dia juga yang membantunya memakai pakaian pengantin meskipun amat seder
Hafens keluar dari dalam kamar mandi dengan handuk yang melilit di pinggangnya. Dave sudah kembali dari melaksanakan tugasnya, hingga kini dia ada di dalam kamar majikannya yang kembali bersikap datar, arogan dan tak tersentuh."Semua sudah disterilkan, Tuan."Hafens hanya cukup mengangkat dagunya untuk merespon, dia berlalu ke arah lemari, mengambil satu stel pakaian tidur hitam dan mengeringkan rambut sedikit."Apakah sudah ada bukti?" tanyanya sambil bergerak duduk. "Dari tiga Klan Mafia yang sedang diselidiki?"Dave menggeleng pelan. "Sejauh ini tidak ada, Tuan. Karena mereka memang bisa dikatakan bersih, tidak bersalah sama sekali karena mereka adalah klan-klan kecil. Tidak ada kekuatan besar yang bisa melakukan hal itu. Jadi, memang satu oranglah dalang di balik ini semua."Hafens menarik napasnya samar, berpikir cepat dengan insting mafianya."Dan orang itu adalah Albene Adixon! Mafia kurang ajar yang kalah denganku, makanya dia menjatuhkanku lewat orang tuaku!" geraman rendah
Hafens menahan sudut bibirnya yang agak berkedut akibat pertanyaan dari Christa."Siapa yang melakukan hal ini padaku?" Christa bergumam lirih. "Disini banyak lelaki, hanya beberapa saja yang wanita. Apakah mungkin ada seseorang yang masuk ke kamar ini tadi malam? Aku merasakan ada yang meminumkan air ke mulutku, lalu mata dan tanganku seakan di ikat oleh sesuatu. Apakah kau tahu siapa yang melakukan ini padaku?"Hafens memalingkan wajahnya, tak mau menatap ke arah Christa yang baru bertanya. Entah mengapa pula ada yang menggelitik hatinya kala mendengar ucapan-ucapannya itu."Hafens-""Berhentilah mengatakan hal-hal tidak masuk akal itu!" selanya dengan tatapan datar. "Kau bersiaplah, temui aku di luar kamar ini nantinya. Cari tahu sendiri dimana aku, dalam sepuluh menit setelah kau mandi dan membersihkan diri, jika kau tidak menemukan keberadaanku, maka aku akan memberikan sesuatu hal yang akan membuatmu menyesalinya!"Christa membulatkan matanya mendengar ucapan itu. Bahkan saat de
Christa menapaki jalanan di lorong gelap yang ada di hadapannya. Panjang sekali, ketika setelah menikah tadi dan dia diantarkan ke sini sepertinya tidak sepanjang ini. Bagaimana bisa sekarang sangat panjang seperti ini?"Hafens ... Kau dimana?" Christa bertanya sambil merapatkan pakaian yang dipakainya.Dia hanya memakai dress dengan cardingan, pakaian yang dipakai memang masih menggunakan miliknya yang dia bawa dari luar negeri ketika dia diculik oleh anak buah Hafens. Dia harus meninggalkan semua pendidikan yang dia lakukan karena sekarang dia sedang terjebak di sini."Ggggrrrr ...""Suara apa itu?" gumamnya sambil memeluk tubuhnya sendiri.Langkah Christa pun tertahan ketika dia mendengar suara yang berasal dari ujung lorong. Suara yang seperti auman dari hewan liar yang terdengar menakutkan, membuat Christa tak bisa melanjutkan langkah kakinya."Apa itu tadi? Kenapa suaranya sudah hilang? Ya Tuhan, sebenarnya ada dimana aku?" batinnya seraya menatap kiri kanan.Wajahnya ketakutan,
Christa merasa bibirnya begitu kebas karena Hafens yang masih menciumnya dengan kasar, dalam dan intens. Dia menggenggam ujung dressnya, berusaha untuk bertahan di tengah siksaan yang diberikan oleh pria ini.Ini lumayan menyakitkan, apalagi Hafens menekan tubuh mereka dan tidak ada celah sama sekali."Hafens ... Hhhh, sakit ..." Christa bergumam dengan rasa sakit yang dia tahan.Hal itu membuat Hafens berhenti menciumnya, lalu menatap wajahnya dengan tatapan serius."Bercinta denganku!" ujarnya membuat Christa menelan ludahnya sendiri."Disini?" tanyanya tak percaya membuat Hafens tersenyum miring."Ya, kenapa? Kau tidak mau bercinta denganku disini? Kau maunya di kamar? Di atas ranjang? Melakukannya dengan romantis?" tanya Hafens dingin membuat Christa merasakan tenggorokannya tak bisa bersuara. "Mimpi!""Aaaghhh ..." Christa merasakan tubuhnya jatuh ke sofa panjang yang dingin. Seolah sofa itu tidak pernah terduduki oleh siapapun. Dia bergerak hendak bangkit tapi Hafens menatapnya
Christa terengah ketika dia merasa tubuhnya lemah akibat pelepasannya yang terjadi karena jari pria itu. Dia menggapai apapun yang bisa dia gapai untuk pegangan karena merasa seperti akan jatuh dari ketinggian. Gamang, untuk pertama kalinya secara sadar dia merasakan pelepasan yang besar.Hafens menatap wajah Christa yang terengah, dia memalingkan wajahnya lalu kembali pada permainannya yang terkesan panas dan kasar. Christa merasa tubuhnya sakit dan kini kembali bergetar pelan dengan rasa nikmat, sakit dan sentuhan dalam pria ini. Dia memejamkan matanya, meringis dan mendesah dengan perlakuan Hafens yang melakukan semuanya dengan caranya sendiri. Sesuka hatinya dan memang tidak berniat untuk melakukan kelembutan sama sekali. Christa yang selalu berpikir tentang pernikahan bahagia dan bercinta dengan romantis dengan suaminya, kini tidak bisa berharap apa-apa. Mungkin saja kalau dia pun berhasil bercerai dengan pria ini nanti, yang ada adalah trauma dan ketakutan dalam bercinta karena
Hafens menatap wajah Christa yang mengatakan semua itu. Dia memang agak berbeda dari ayahnya tapi Hafens tidak akan terperdaya sekarang.Menundukkan kepalanya, Hafens mencengkeram dagu Christa hingga wanita itu meringis kesakitan."Jangan mencoba untuk memperdayaku, Anak Pembunuh! Apakah kau mengira kau bisa melakukan apapun yang kau mau di sini hanya dengan menundukkanku dengan kata-kata manismu itu?!" bentaknya tajam membuat Christa meringis tak mampu bersuara. "Kau hanya seorang wanita yang akan kujadikan sebagai penghasil anak-anakku. Tanpa ada bayaran apapun dan tanpa ada kebaikan apapun yang kau terima selain nyawa orang tuaku yang dibunuh ayah ibumu!" ujarnya lagi membuat Christa memejamkan matanya.Sejak tadi matanya sudah berkaca-kaca dan dia tidak mau menangis di hadapan Hafens atau pria ini akan menganggapnya lemah walaupun dia memang tidak sekuat itu untuk menghadapi Hafens. Dia menarik napasnya beberapa saat, dagunya masih dicengkeram dengan kuat dan itu membuatnya harus
Christa menatap wajah Hafens dengan tubuhnya yang terasa remuk. Dia lelah dengan percintaan yang baru saja mereka lakukan dan Hafens memang sengaja ingin menyiksanya makanya begitu. Lewat percintaan ini saja dia sudah merasa kesakitan, syukurlah pria ini tidak jadi mencambuk punggungnya, jika tidak bagaimana dia akan menahannya, dia tidak tahu.Hafens meneguk alkohol di tangannya sementara Christa perlahan bangkit dan sama sekali tak dipedulikan pria itu. Hafens malah santai saja bersandar dengan tubuhnya yang masih polos. Dia akui kalau tubuh pria itu memang bagus, kekar dan gagah sehingga dia ngilu membayangkan percintaannya dengan pria ini barusan. Mengambil pakaiannya yang berceceran, Christa mengusap wajahnya yang berkeringat dan menarik napas beberapa kali."Kau masih membutuhkanku disini?" tanya Christa pelan membuat Hafens mendengus. "Bukan maksudku mengatakan itu, tapi aku ingin memakai pakaian. Kalau percintaannya sudah selesai, aku akan memakainya."Hafens meletakkan alkoh
Setelah pulang dari menjenguk Albene dan Alex, Christa merasa kehidupannya sudah sangat lengkap dan tidak ada lagi yang harus dia khawatirkan. Ayah angkatnya yang selama ini dia pikirkan dalam diam nyatanya hidup dengan baik walau harus menjadi petani anggur dan bisa dikatakan juga menjadi anak buah dari Hafens."Mau makan apa malam ini? Aku akan buatkan."Hafens menatap wajah Christa yang sedang bertanya padanya sambil membantu melepaskan jas yang dia pakai. Hari ini pelayan semua cuti dan memang sedang memasuki sebuah hari perayaan, dalam satu tahun memang biasanya Hafens akan memberikan para pelayan untuk libur, jadi sekarang yang akan memasak adalah Christa sampai dua hari lagi pelayan akan kembali ke rumah mereka untuk bekerja."Aku sudah meminta anak buah untuk membawa beberapa bahan makanan. Hari ini kita bakar-bakar daging dan beberapa makanan di luar nanti, ini malam pergantian tahun jadi akan sangat bagus kalau berbaquean, Sayang," ucap Hafens membuat Christa tersenyum."Bai
Hafens berhenti melangkah dan menunjuk arah sebuah tempat di mana mereka bisa melihat dua orang pria sedang asyik berkebun. Keduanya terlihat seperti ayah dan anak yang begitu akrab, di bawah pohon anggur keduanya sedang memetik hasil panen dan tertawa satu sama lain seperti membicarakan sesuatu hal yang lucu."Itu mereka? Ayah dan Alex?" tanya Christa tak percaya membuat Hafens bergumam sebagai jawaban.Christa masih tercengang tak percaya Karena ayahnya dan Alex benar-benar mendapatkan perlakuan yang baik dan bahkan menjadi petani anggur di sebuah lahan yang besar. Ada sebuah rumah tadinya yang sepertinya adalah tempat tinggal ayahnya dan Alex, lalu kini dia malah melihat ayahnya dan Alex yang sedang memetik anggur dan bercanda satu sama lain.Dia sempat mengira kalau Ayahnya mungkin berada di sebuah kurungan yang merupakan pembalasan dari Hafens. Tetapi nyatanya ayahnya hidup dengan begitu baik dan bahkan jauh lebih baik dibanding yang dia kira, karena malah menjadi petani anggur wa
Mendengar Hafens mengatakan semua itu, Christa merasa sangat senang. Dia langsung memeluk tubuh suaminya dan mencium rahang tegas Hafens dengan lembut."Terima kasih, aku senang sekali kau mau menuruti permintaan ini dan mau membawaku ke sana. Setidaknya walaupun hanya sekali kau mengizinkannya aku sangat berharap bisa melihat keadaannya. Dia adalah musuh dan kau membencinya, tapi dia tetap orang yang memiliki jasa padaku karena telah membesarkanku. Jadi sedikit banyak aku tidak bisa melupakan tentang hutang budi ini dan aku merasa harus terus mengingatnya karena dia menyayangiku selama bertahun-tahun seperti anakmu sendiri." Christa berkata seraya menatap Hafens dengan tatapan berkaca-kaca karena terharu.Hafens tersenyum pelan dan mengecup bibir Christa dengan lembut sebelum melumatnya penuh perasaan tanpa ada tuntutan sama sekali. Setelahnya dia kembali memeluk tubuh wanita itu dan mengejamkan matanya karena sebenarnya dia mengantuk, tapi dia tidak mungkin meninggalkan Christa dan
"Sudah semuanya?"Christa mengangguk, meringis melihat banyaknya paper bag yang bersusun di depan dan sedang diangkat oleh pelayan toko pakaian, anak buah dan juga security mall."Sepertinya belanja hari ini terlalu banyak dan aku sedikit kalap karena sudah lama tidak belanja. Beberapa hari ini aku melihat pakaian Cherry sedikit banyak sudah mulai sempit karena dia semakin bertumbuh besar. Dia tidak pernah menuntutku untuk membelikannya pakaian baru karena dia selalu berkata kalau masih bisa digunakan maka dia akan selalu menggunakannya. Apakah aku sudah membuat anak-anak terlalu sederhana, Hafens?" tanya Christa membuat Hafens tersenyum dan mengecup pipinya lagi."Itu sangat penting untuk mereka. Mereka harus tetap menggunakan kesederhanaan walau mereka adalah anak-anak kita yang ke depannya sulit kemungkinan mereka akan hidup susah karena aku sudah membuat deposito yang begitu panjang dan bahkan bisa mempunyai hidup mereka sampai mereka tua. Itu untuk mengontrol sikap dan emosi supa
"Tuan Besar Barack, selamat datang."Langsung pemilik universitasnya yang menyangkut kedatangan Hafens, Christa dan Hansen. Cherry sudah masuk sekolah setelah libur dua minggu lebih jadi dia tidak bisa ikut datang melihat universitas kakaknya. Hafens hanya mengangguk dan menatap putranya. Hansen sudah tersenyum dan mencium tangan ibu dan ayahnya, sengaja melakukan semua itu untuk meminta restu belajar. Beberapa mahasiswi memperhatikannya seraya berbisik-bisik, mereka tak pernah bertemu dengan Hansen secara umum karena pria ini jarang keluar dan hanya di rumah saja setiap hari setelah pulang sekolah, makanya sekarang dia yang muncul di hadapan mereka semua membuat para mahasiswi memperhatikannya dengan kagum.Walau tidak semua orang kenal dengan Hansen karena pria itu selalu menyembunyikan dirinya, tapi dari mulut ke mulut mereka bisa menemukan fakta dan juga beberapa ciri-ciri tentang yang merupakan anak mafia dan juga penguasa terbesar di Klan ini. Bukan sebuah rahasia, karena bagaim
Hari kelulusan tiba dan Hasan berhasil mendapatkan nilai yang baik. Dia libur selama beberapa hari sebelum akhirnya masuk ke dalam universitas, tak ada lagi yang bisa mengganggu seperti dia berada di sekolah menengah ke atas, karena Claudia juga sudah semakin diam dan tidak banyak mengganggu sejak dia terakhir kali mengancamnya. "Kalau nanti sudah di universitas, kau akan sangat sibuk. Tetap yakin mau pulang pergi dan tidak menginap di asrama?" tanya Christa seraya menemani putranya itu memakan potongan buah."Ya, Bu. Aku akan tetap pulang pergi. Ayah sudah memberikan aku satu mobil jadi aku akan menggunakan itu dan tidak mau menginap di asrama. Menginap di asrama terlalu jauh dan juga lama, aku tetap mau pulang melihat Ayah, Ibu dan adik. Bagaimana tidak begitu jauh jaraknya dari rumah kita dan aku akan tetap bisa pulang setiap selesai pembelajaran." Handphone berkata sambil menggeser tabletnya dan belajar kecil-kecil.Christa tersenyum pelan mendengarnya. "Kalau kau punya teman dan
Hafens melihat halaman belakang dimana istrinya sedang duduk di atas matras dan melakukan senam yoga. Dia mengakui Christa pasti akan selalu melakukan kegiatan dan gaya hidup sehat yang biasa dilakukan oleh wanita yang menginginkan bentuk tubuhnya bagus dan sempurna.Christa juga biasa gym dan melakukan kegiatan-kegiatan untuk kesehatan tubuhnya, membuat Hafens kadang suka memperhatikannya dari jauh."Wanita yang dulu hampir putus asa itu, sudah bisa melihat dan menyaksikan masa depannya yang dulu suram. Aku berharap bisa terus menjadi bagian dari masa depanmu, Christa."Ini bukan hanya soal kisah dendam antara mafia, juga ada kisah cinta dan pelajaran hidup. Semuanya lengkap dan Hafens merasa semua yang dia rasakan lebih baik dan tidak ada yang harus diubah. Wanita itu dengan segala macam hal yang dia punya membuat Hafens merasa jatuh cinta tanpa paksaan, hingga tak terasa nyatanya sudah hampir delapan belas tahun mereka bersama."Tuan butuh sesuatu?"Hafens menatap pelayan itu dan me
Hafens menatap putranya yang baru kembali, hingga dia menaikkan alisnya dan mengajak Hansen duduk di kursi sebelah taman dan agak menjauh dari rumah."Kau baru dari satu tempat?"Hansen mengangguk dan menatap ayahnya. "Menemui pria tua bangka yang tidak pernah mau mati itu. Aku kesal karena anak perempuannya suka mengganggu Cherry dan terang-terangan melakukan aksi pengejaran karena dia suka padaku. Hanya dengan melihat dia mati maka keluarga itu akan berhenti untuk melakukan hal yang menyebalkan," ujarnya datar membuat Hafens tersenyum kecil."Ayah sudah mendengar apa yang dikatakan oleh Cherry tadi, dia mengadukan hal itu pada ibu kalian. Sepertinya keputusan Ayah untuk memindahkannya sekalian adalah hal yang baik, tapi kemudian Ayah berpikir untuk memindahkan anak itu saja kalau misalnya tidak memungkinkan. Bagaimanapun satu tahun lagi Cherry akan segera lulus dan dia membutuhkan tempat yang sama untuk mendapatkan nilai yang baik sesuai dengan harapannya. Kalau pindah sekolah maka
Beberapa tahun kemudian ...Hansen menatap wajah adiknya yang tampak merah padam dengan tatapan kesal."Bisa-bisanya Claudia mengatakan semua itu! Aku kesal padanya, dia sudah keterlaluan!"Hansen tersenyum pelan, mengacak rambut adiknya itu dengan gemas. "Sudah kukatakan abaikan saja dia," ucapnya santai. "Kita akan segera lulus dari sekolah ini, kenapa harus peduli dengannya? Aku dan kau akan pergi ke universitas yang tidak semua orang bisa memasukinya. Kau dan dia tidak akan pernah bertemu lagi."Cherry menarik napasnya beberapa kali dengan tak beraturan hingga membuat Hansen tersenyum dan membawanya ke arah kantin. Dia tahu apa yang terjadi pada Cherry makanya tidak mengatakan banyak hal. "Makanlah, aku akan membayarnya." Hansen berkata seraya mendudukkan diri dihadapan adiknya yang sudah duduk di kursi seberang. "Kau mau makan apa, katakan saja."Cherry menghela napas, merasa lebih baik karena kakaknya selalu tahu kalau dia marah maka akan memberikannya makanan yang banyak untuk