Keluh kesah Naima, membuat Nara sangat terenyuh.
“Naima, sebaiknya kamu bicarakan berdua sama suami kamu, biar semuanya jelas. Kalau kamu di sini terus, masalahnya akan semakin berlarut-larut,” ujar Nara yang ikut merasakan penderitaan sahabatnya itu.“Iya, Ra. Beberapa hari lagi aku akan pulang. Tapi, aku akan menitipkan Kiran dulu di sini. Aku nggak mau dia nanti melihatku dan Bang Helmi berseteru,” ucapnya sambil menahan air mata yang mulai membendung.“Naima, yang sabar, ya. Aku akan selalu mendoakan yang terbaik buat kamu. Semoga ada jalan keluar untuk rumah tangga kamu dan Bang Helmi.”“Iya, Ra. Terima kasih, ya.”Keduanya pun beranjak dari duduknya dan segera menuju kamar. “Eh, iya, Kiran mana?” tanya Nara kemudian.“Kiran lagi di taman belakang sama omanya. Yuk, ke sana,” ajak Naima menggandeng tangan Nara. Mereka pun menuju taman belakang, dimana Kiran sedang asyik bermain.“Tante Cantik ...!” teriak Kiran dari kejauhan berlari sambil membawa bola kecil di tangannya.“Hay, gadis manis ... lagi main apa?”“Main bola, Tante. Tante ikut aku yuk!” ajak Kiran, batita itu dengan semangat menarik tangan Nara untuk ikut bermain dengannya.Sementara itu, Naima tersenyum menyaksikan tingkah lucu putrinya itu.“Naima, duduk sini.” Rinjani menepuk kursi panjang sebelahnya, mengisyaratkan agar Naima duduk di sampingnya.“Iya, Ma. Ada apa?” Naima pun menurut, dia segera duduk dan menatap wajah sang mama.“Mama, sedikit bingung dengan kalian berdua.” Jani membuka pembicaraan, memecah keheningan yang beberapa saat lalu.“Maksud Mama? Kalian siapa?”“Ya, kamu sama Helmi, Naima. Siapa lagi, masa Nara?” Jani terkekeh, mengukir senyum tipisnya, sengaja sedikit menciptakan candaan agar suasana sedikit cair. “Kalian ada masalah apa? Kenapa nggak cerita sama mama?”“Ah, itu ... kami nggak ada masalah apa-apa kok, Ma. Hanya saja, Nai—““Apa, Nak. Ceritalah, mama nggak mau kamu terus-terusan bersedih seperti ini. Apa yang sudah Helmi lakukan?” Jani terus menekan Naima untuk berterus terang. Sedangkan Naima, dia pun tak tahu harus berbohong bagaimana lagi agar mamanya percaya.“Ma, Nai kesal. Bang Helmi itu akhir-akhir ini sering keluar kota dan lembur. Dia sudah tidak pernah lagi memperhatikan Nai. Padahal, Nai ingin sekali Bang Helmi menghabiskan waktu di rumah sama Nai dan Kiran,” ucap Naima akhirnya. Pikirannya langsung terbesit kebohongan itu.Naima tak peduli bagaimana respon mamanya setelah ini, yang terpenting dia sudah mengatakan sesuatu, daripada harus diam dan dicurigai.“Benarkah? Kamu nggak lagi bohong, kan, Sayang?” tanya Jani tak percaya dan berusaha meyakinkan.“Iya, Ma. Memang itu sebabnya, makanya Nai ke sini. Karena Nai kesepian di rumah sendirian."Rinjani mengelus punggung Naima, ia mencoba menenangkan apa yang putrinya ceritakan. Namun, tetap saja hati seorang ibu tak bisa dibohongi. Dia merasakan ada sesuatu yang disembunyikan oleh Naima. Rinjani mencoba percaya untuk saat ini, tetapi dia pasti akan mencari tahu lebih lanjut apa yang sebenarnya terjadi pada rumah tangga mereka.***"Entahlah, aku tidak yakin," ujar Naima dari sambungan telepon selulernya.Helmi selalu menghubunginya setiap hari. Namun, tentu saja responnya tidak selalu baik. Terkadang dia mengabaikan panggilan di ponselnya yang terus bergetar tanpa nada dering itu di meja. Naima tak peduli jika Helmi-lah yang menghubungi."Sayang, ini sudah satu minggu. Abang sangat rindu kalian," suara Helmi terdengar sangat memelas."Apa dengan pulang aku akan merasa nyaman? Semenjak apa yang kamu lakukan terus berputar di kepalaku." Ucapan sarkas Naima akhirnya terucap."Sayang, abang janji ... abang akan memberikan perhatian penuh untuk kamu dan Kiran. Pulang yah ... Naima, Sayang!"Permohonan Helmi mendapat ejekan sinis di raut wajah Naima. Dia tak lagi peduli, apa yang dikatakan suaminya itu benar atau tidak. Seolah Naima sudah tau apa yang terjadi disekitar Helmi sekarang."Kita lihat saja nanti. Abang jangan nelpon lagi nanya kapan aku pulang. Jika aku mau, aku pasti pulang," balas Naima akhirnya. Terdengar tegas dan tak ingin dibantah."Baik, Sayang ... abang ngak aka telepon lagi, asal kamu dan Kiran mau pulang ke rumah. Tapi, kabari abang ya ... abang akan jemput.""Emm ...," jawab Naima singkat. Panggilan itu pun dia matikan tanpa salam.Dan, Yah ... Naima memutuskan untuk pulang ke rumah, tentu saja tanda mengabarkan kepada Helmi. Akan tetapi, dia menitipkan Kiran pada orang tuanya. Dia beralasan kepada mamanya bahwa dia sudah mulai merasakan perutnya sakit dan cepat lelah. Jadi butuh bantuan untuk menjaga Kiran sementara waktu.Tidak mungkin jika dia terus menjaga Kiran dengan keterbatasan tenaganya yang sudah mulai berkurang. Tak seperti saat sebelum hamil. Meskipun ada asisten rumah tangganya yang membantu, tetapi tetap saja akan kalah perhatian dengan Jani—mamanya, yang memanjakan cucunya setulus hati.Alasan kedua, karena dia juga tidak ingin, Kiran melihat perseteruannya dengan Helmi. Tidak baik jika anak sekecil Kiran mengetahui pertengkaran orang tuanya.Di meja makan, setelah Naima menyelesaikan sarapan dengan kedua orang tuanya, kakak dan juga putri kecilnya. Dia segera pamit untuk pulang kepada papa dan kakaknya yang akan berangkat ke kantor terlebih dulu. Setelah mengantar ke depan pintu Naima juga berpamitan kepada mamanya.“Naima, kamu yakin mau pulang sekarang?” tanya Jani, yang merasa keberatan jika Naima meninggalkan rumah keluarganya itu.“Iya, Ma. Sudah seminggu Nai di sini, kasihan Bang Helmi kalau Nai kelamaan di sini,” tutur Naima. Dia berkelit mencari alasan agar mamanya mengizinkan.“Ya sudah, mama nggak bisa maksa kamu. Tapi, kamu pulang diantar sopir aja, ya,” pinta Jani yang langsung dibalas anggukan oleh Naima.Naima beranjak dari kursi, dan menghampiri Kiran yang sedang duduk manis sambil menikmati biskuit kesukaannya.“Sayang, Bunda pulang ke rumah dulu ya. Kiran di sini sama oma dan opa. Kiran jangan nakal, ya ....” Naima sedikit membungkuk dan mengelus lembut pucuk kepala kiran. Dia menatap sayu anaknya, wajah mungil tak berdosa itulah penyemangatnya saat ini.Naima tak bisa membayangkan jika dirinya berpisah dengan Helmi, bagaimana dengan putri kecilnya itu? Dan juga, anak yang bahkan belum melihat dunia di dalam perutnya ini. Apa mereka akan kehilangan sosok ayah?Mata Naima sedikit basah menatap sayu Kiran, anak kecil itu masih tidak tahu apa-apa tentang permasalahan kedua orang tuanya.“Nai, Sayang. Kenapa melamun?” tanya Jani saat memerhatikan Naima dari kursi seberang.“Ah, nggak, Ma. Nai hanya sedih, beberapa hari nanti, Nai nggak ketemu Kiran. Pasti kangen banget.”“Kan, masih bisa video call, Sayang. Sudah jangan khawatir. Kiran aman sama mama.”Naima pun mengangguk mendengar ucapan Jani. “Ya sudah kalau begitu, Ma. Nai pulang dulu, ya. Titip kiran, maaf Nai sudah merepotkan Mama,” ucap Naima sambil mengulurkan tangan mengajak Jani bersalaman. Keduanya pun berpelukan, Naima hanya menahan sesak di dada.Ingin rasanya dia menceritakan semuanya pada sang mama. Tapi dia belum siap. Naima memilih waktu yang tepat untuk membongkar semua kelakuan suaminya itu pada keluarganya."Apa yang akan terjadi jika aku ungkapkan semua ke semua orang?" batin Naima bertanya-tanya. "Mungkin semua akan semakin kacau dan ...."***Haiii Pembaca semuanya .... Terima kasih telah mengikuti novel "Pernikahan Tak Sempurna" , Silakan lanjutkan membaca hingga bab 30. Semoga dengan membaca kisah hasil halu author, dapat menghibur kalian. Author sadar masih banyak kekurangan dalam cerita ini. Follow ya IG @mamgemoy .... Akan ada hadiah untuk kalian di sepanjang tahun 2023 ini. Terima kasih
Asap kendaraan mengebul mencemari jalan raya kota, suara klakson bersahutan memekakkan telinga. Naima yang sedang berada di dalam mobil itu tengah melamun, melihat orang yang lalu lalang sibuk dengan urusan mereka di awal pagi ini.Pikiran Naima mulai kalut. Tak dapat dibayangkan sebelumnya, rumah tangga yang dia banggakan selama ini ternyata hanya drama. Perhatian suaminya, ternyata juga hanya sandiwara penuh kepalsuan. Buliran hangat lagi-lagi menetes dari pelupuk matanya, tak sanggup lagi dia bendung. Tak terasa, Naima hanyut dalam lamunannya hingga sampai rumah pun dia tidak menyadarinya. “Non ... sudah sampai,” panggil sang sopir yang menengok ke belakang, ke arah Naima. Naima tidak menjawab, pandangannya kosong terfokus pada jendela mobil yang mengarah ke jalan.“Non Naima ....” Lagi-lagi sopir itu menegur dan sedikit meninggikan nada suaranya. “Ah, iya, Pak. Ada apa?” Naima terkejut, lalu menoleh.“Sudah sampai rumah, Non.” “Astaga, maaf ya, Pak. Tadi saya sedikit ngantuk,
Wanita yang perutnya telah membesar itu, menunduk perlahan dan berjongkok mengambil selembar foto yang dekat dengan kakinya. Kemudian dia bangkit dan melihat foto itu sambil mengangkat sebelah sudut bibirnya. Naima melihat sesuatu yang tidak asing baginya. Pemandangan yang selalu dia lakukan saat mengantar kepergian suaminya. Mencium tangan suami dan setelah itu mendapat kecupan hangat di keningnya. Naima kembali menjatuhkan foto itu dan Helmi hanya diam tanpa kata. "Dan ada hal yang paling mengejutkan. Wanita itu ada di kota ini bukan? Tidak jauh, sekitar lima kilometer dari sini." Naima bertepuk tangan dengan wajah sinisnya di depan wajah Helmi. "Hebat, sangat hebat."Tidak terbayangkan bagaimana rasanya jadi Naima. Membuka kedok suami dengan cara yang sangat tidak biasa. Sangat menyakitkan, tentu saja itu sangat sakit. Naima berusaha tegar, berusaha bersikap tenang. Dia tidak ingin terlihat lemah di mata sang suami. Naima bukan wanita yang tidak mudah dijatuhkan.Naima menekan d
"Sayang ...."Naima terlihat seperti tidak peduli akan pengkhianatan sang suami. Padahal, sebagai wanita normal pada umumnya, harusnya dia akan sangat kecewa dan sangat marah jika suaminya memiliki wanita lain di luaran sana.Namun, itu hanya yang terlihat di depan saja, tidak di dalam batinnya yang sangat tersiksa. Itu adalah cara Naima untuk memperlihatkan ketidak sukaannya pada pernikahan kedua suaminya. Dia sengaja menyepelekan ucapan Helmi. "Apa perkataan aku ada yang salah?"Naima berusaha menahan amarahnya, sepertinya hatinya sudah mulai kuat untuk merasakan kesedihan yang berlarut-larut. Sehingga dia lelah untuk menangis, dan memilih untuk sedikit menekan suaminya.Helmi memejamkan mata sejenak. "Sayang, kenapa kamu bicara seperti itu? Abang akan pulang kesini, oke .... Nanti kita bicarakan lagi, Abang buru-buru mau ke kantor." Helmi mengecup kening Naima. Pria itu pun bersiap-siap dan segera berangkat. Saat dia berpamitan, Naima bahkan tidak berniat mengantarkannya ke depan
***Hari sudah beranjak malam, saat ini Nara masih menemani Naima. Mereka banyak bercerita, tentang butiknya dan pelanggan setia yang menanyakan keberadaan Naima selama satu minggu ini. Sebisa mungkin, Nara membuka topik baru agar pikiran Naima teralihkan dengan hal lain, dan beban sabatnya itu sedikit lebih ringan. "Naima … kamu sudah merasa lebih baik?" "Emm, makasih, Ra. Aku sudah merasa lebih baik."Nara memeluk dan mengelus punggung sahabatnya itu. "Syukurlah … kamu harus berpikir positif, apa pun yang terjadi. Ingat kandungan kamu, butuh ketenangan. Jangan terlalu banyak berpikir." Nasehat Nara kemudian. "Tadi, untung aja Tante dan Oma nggak curiga."Naima tersenyum lucu. "Iya, aku mengerti. Perkataanmu seperti orang yang sudah berpengalaman saja," sindir Naima."Hisss, dikasih tau juga. Biar begini aku juga sering baca-baca. Apalagi sejak kehamilan kamu yang sekarang, aku lebih banyak mencari informasi di internet," terang Nara membela diri.Selain perhatian, Nara juga bisa m
***Sekuat apa pun ketegaran hati seorang wanita. Jika saatnya runtuh, maka akan jatuh juga dalam tangisan yang tak mampu lagi terbendung. Naima yakin dia kuat, dan dia harus kuat menghadapi cobaan itu. Namun, kekuatannya tentu ada batas. Naima tidam bisa selalu berdiri jika kakinya tidak lagi bisa menopang."Sayang, maafkan abang." Helmi kembali ingin mengusap air mata Naima."Aku bilang jangan sentuh!" Lagi-lagi Naima berteriak. Kali ini lebih keras, hingga suaranya terdengar nyaring."Naima … Sayang. Abang ….""Aarrgghhhh," Naima meraung memukuli dada Helmi dengan keras berkali-kali. Dia meluapkan seluruh emosinya yang tertahan.Helmi berusaha menenangkan. "Sayang, stop, hentikan!" Dia memeluk istrinya itu.Helmi yang sejak tadi berusaha menenangkan Naima, rupanya itu tak berpengaruh sama sekali. Naima masih terus meraung dan berteriak dalam dekapannya. Wanita itu bukan lagi seperti Naima yang Helmi kenal sebelumnya. Naima yang tenang, Naima yang sabar. Bahkan baru pertama kali ini
***"Nona, Nara … hahaha, gadis yang dulunya banyak ngomong, sekarang jadi pendiam." Sakti kembali tersenyum melihat wajah Nara memerah."Sebaiknya aku pergi, jika hanya jadi bahan candaan." Nara pun berdiri, sontak membuat Sakti ikut berdiri dan menahannya."Ra … tunggu." Sakti meraih tangan wanita itu. "Masa gitu aja ngambek, aku kan bercanda doang."Nara pun kembali ke tempat duduknya. Wajahnya yang cemberut ditekuk, sedikit kesal dengan godaan Sakti. "Udah, Non … jangan ngambek. Ntar cantiknya hilang loh," sengir pria itu melihat wajah cemberut Nara. "Udah, diminum tuh," ucapnya kemudian menunjuk minuman di depan Nara.Mereka pun akhirnya bisa mengobrol lebih santai. Seperti biasa, Sakti bisa mencairkan suasana. Nara mulai merasa nyaman. Pria tampan di hadapannya itu selalu bisa mencuri perhatiannya. Semula dia tidak berniat untuk menyatakan perasaannya. Takut jika Sakti akan menolak. Sekarang dia akhirnya sudah bisa tertawa lepas."Ra, sejak kapan kamu suka aku? Jangan bilang su
***Naima seorang wanita yang tegar. Wanita yang punya pendirian, keteguhan hati. Selalu membuat orang kagum dan terheran dengan jalan pikirannya yang berbeda dari wanita lain. Kesulitan tidak membuatnya menyerah pada keadaan. Gigih mengejar keinginannya, seperti yang orang tuanya ajarkan selama ini.Kamar tidur yang semula adalah tempat paling romantis bagi sepasang suami istri itu. Sekarang jadi tempat terpanas, tempat mereka saling meluapkan emosi. Ruangan ini menjadi saksi bisu penderitaan yang Naima alami saat ini, tempat paling menyedihkan baginya. "Acara tujuh bulanan akan diadakan seminggu lagi. Aku mau dalam dua hari ini abang harus bisa mengambil keputusan. Resikonya kedua orang tua kita bisa tahu semuanya," tutur Naima sedikit menekan. Dia mengelus lembut perutnya yang buncit.Helmi yang duduk di samping istrinya itu mulai marah. "Kamu sedang mengancam?" Wanita itu berdiri dengan cepat, pertanyaan Helmi kembali membangkitkan amarahnya. "Mengancam? Jadi, Abang sudah punya p
***Saat semua orang sedang terdiam menanti Sakti melanjutkan pembicaraan. Kiran merengek minta kudanya kembali berjalan."Kakek! Ayo jalan ...!" rengek batita itu manja.Empat pasang mata langsung beralih memandang ke arah Kiran. Radit mengangkat cucu kesayangannya itu dan menurunkan dari punggung Bara. "Aaahhh, Opa, kenapa udahan?" tanyanya dengan heran melihat ke arah Radit. "Kakek …!" Kiran merengek."Nanti lagi ya, Sayang. Kakek capek, Kiran main sama Tante Ita dulu ya?" Tutur Radit meminta Kiran bermain dengan pengasuhnya. "Ita!" Sang pengasuh yang berdiri tidak jauh dari mereka mendekat. "Ya, Tuan.""Bawa Kiran main kebelakang dulu, ya.""Baik, Tuan."Dengan wajah cemberut, Kiran dibawa pergi dari ruang keluarga. Dia masih belum puas bermain kuda-kudaan. Semua orang memandang dan tersenyum pada gadis kecil itu. Disertakan lambaian tangan dan ciuman jarak jauh. Sedetik kemudian semua kembali fokus pada Sakti."Jadi, apa yang mau kamu sampaikan tadi, Sakti?" Radit mulai bertany
*** "Kamu meragukan dirimu sekarang, Fian? Apakah tekadmu hanya akan sampai di sini?" Naima bertanya melengkungkan alisnya. Tatapannya mengharapkan jawaban yang tak ingin ada keraguan. Bukankah hatinya kini bisa terbuka karena kegigihan pria dihadapannya."Tidak, bukan begitu, Ima. Apa aku tidak terlalu jahat jika nantinya memisahkan kebersamaan ayah dan anak? Aku tidak akan mundur, aku sungguh ingin hubungan kita berhasil, dan kamu akan aku jadikan wanita paling bahagia di dunia ini." Alfian tak ingin Naima salah sangka dengan perkataannya.Naima tersenyum simpul menanggapi hal ini. "Dokter Alfian, kamu meragukan keberhasilan hubungan kita karena Helmi?""Aku memikirkan anak-anak, Sayang." Dia mengungkapkan isi hatinya.Naima menghela napasnya sejenak, dia mengerti jalan pikiran kekasihnya saat ini. "Fian, nggak ada yang perlu kamu khawatirkan. Anak-anak tidak akan kekurangan kasih sayang dari ayahnya. Malahan mereka akan sangat beruntung mendapatkan kasih sayang yang melimpah dari s
***Sementara itu di rumah sakit.Bara dan Andita masih berusaha mayakinkan Helmi untuk mendapatkan pengobatan secara intensif. Setelah dokter menyampaikan hasil tes hari ini. Helmi menjadi keras kepala. Dokter mengatakan bahwa Helmi terlalu banyak mengkonsumsi alkohol, ditambah lagi dengan pola makannya yang tidak teratur dan istirahat yang sangat sedikit. Sehingga kini dia mengalamai perlemakan pada hati. Helmi masih harus melakukan beberapa tes lagi setelah ini, untuk mendeteksi apakah ada gejala lain lagi pada hatinya. Perlemakan pada hati akan semakin parah jika tidak mendapatkan penanganan yang benar. Andita juga meminta Helmi untuk tinggal lagi bersamanya. Tinggal sendirian di rumah itu hanya akan memperparah kondisi Helmi. Tidak ada yang memperhatikannya secara intens."Helmi baik-baik saja, Ma. Ayolah ... Helmi hanya mau tinggal sendiri saja." Pria itu memohon lagi. Wanita kesayangannya itu masih memaksanya untuk pindah kembali ke rumah utama."Setelah apa yang terjadi sama
***Kembali dari rumah sakit Naima langsung bersih-bersih dan merebahkan diri di kasur. Efek lelah karena begadang semalaman, Naima ingin istirahat dengan tenang. Setelah kondisi Helmi dia sampaikan kepada keluarganya, mereka pun ikut lega mendengar hal itu . Sepuluh menit setelah berbaring, ponselnya berbunyi. Benda itu lupa dia bawa kemarin. Tentu banyak panggilan yang masuk.Semalam ketika Mamanya memberitahu bahwa Helmi berada di UGD, mereka semua bergegas ke rumah sakit. Hingga Naima lupa memberitahu Alfian tentang hal ini. Dia merasa bersalah kepada kekasihnya itu.Permukaan kasur dirabanya. Benar saja, ponsel Naima berbunyi karena panggilan masuk dari Alfian."Halo." Terdengar helaan napas dari pria itu. "Akhirnya kamu jawab juga, Sayang."Naima paham kenapa Alfian berkata seperti itu, dia pun langsung menjelaskan. "Fian? Maaf semalam aku di rumah sakit, lupa bawa ponsel. Aku juga minta maaf lupa kasih tau mama untuk ngabarin kamu." "Iya, aku udah tau kok. Semalam waktu aku
***Beberapa hari kemudian.Ketika jam makan siang, Rafka--sekretaris Helmi merasa sedikit khawatir, melihat sang bos tampak tidak sehat. Meskipun tau sedang tidak baik-baik saja, Helmi tetap memaksakan dirinya untuk pergi rapat dengan klien. Sore harinya, Andita ditelepon oleh sekretaris Rafka untuk mengabarkan tentang kondisi sang putra. Helmi menolak dibawa ke rumah sakit, sehingga sang sekretaris pun terpaksa mengantar pulang ke rumah. Andita dan Bara pun bergegas ke rumah Helmi untuk memastikan keadaannya.Saat masuk ke dalam rumah, Andita di sambut oleh ART. “Helmi udah pulang kan, Bi?”“Iya, Nyonya, Tuan Helmi udah naik ke kamarnya, baru lima belas menit yang lalu,” jawab sang ART menjelaskan. “Tuan Helmi kelihatannya tidak sehat, Nyonya. Tapi saat saya tanya, katanya nggak apa-apa.”“Iya udah, saya langsung naik aja.”“Baik, Nyonya, Tuan.”Pintu kamar Helmi langsung dibuka. Sang putra terlihat tengah berbaring di tempat tidur. Andita dan Bara langsung menghampiri. Saat mereka
Hari ini hari pertama Naima dan Alfian sebagai sepasang kekasih. Berita bahagia ini tak ingin disimpan lebih lama, Alfian bermaksud untuk mengatakan secara langsung kepada kedua orang tua Naima. Alfian pun mengantar Naima pulang kerja, sekalian bertemu dengan orangtua kekasihnya itu.Sebenarnya Naima masih mau merahasiakan ini dulu. Tetapi Alfian membujuknya untuk segera mempublikasikan kepada orang terdekat. Alfian ingin segera membagi kebahagiaannya dengan semua, yang pada akhirnya Naima pun menyetujui. Ketika Naima memasuki rumah, semua orang sedang berkumpul di ruangan keluarga. Mama, Papa, serta anak-anaknya ada di sana. Sedangkan Sakti dan Nara masih belum pulang dari bulan madu. Naima merasa sedikit gugup saat harus mengatakannya secara langsung. Begitupun Alfian, dia juga merasa sedikit gugup. "Naima, ada Alfian di sini, kenapa nggak kamu suruh duduk? Malah berdiri dua-duanya?" tanya Rinjani."Ini, Ma, Pa … Alfian mau ngomong sesuatu." Mata Naima beralih pada Kiran dan Arthu
"Kalau kamu tidak dengar, ya sudah? Bukan aku yang rugi." Naima memanyunkan bibirnya. Mengalihkan pandangannya ke arah lain. Wajahnya telah memerah, sedikit merasa malu dengan ucapannya sendiri."Aku dengar, aku dengar. Kamu nggak usah ulangi. Akhirnya, kamu menyukaiku? Kamu benar-benar menyukaiku?" tanya Alfian penuh semangat, dan menarik Naima hingga berhadapan dengannya. Mereka pun saling pandang, menatap dalam mata masing-masing. Debaran jantung mereka saling berpacu, terbawa suasana hati yang sangat tak bisa dikendalikan. Terukir senyuman bahagia dari wajah mereka. Entah kenapa Naima tiba-tiba mengatakan hal itu. Dia sudah berpikir lama tentang perasaannya. Awalnya Naima tak mau lagi memikirkan kehidupan percintaan. Gagal satu kali sudah cukup, dia tak akan mengulanginya lagi. Namun, seiring berjalannya waktu. Perhatian yang Alfian tunjukkan semakin membuatnya berpikir, kenapa dia tidak mencobanya saja. Perasaan sukanya pada Alfian adalah nyata. Jika Naima menolak, bukannya aka
***Tiga bulan kemudian ….Keadaan pun semakin membaik. Setelah semua hari yang buruk, saat bahagia pun akan datang. Tak selamanya manusia akan tenggelam dalam keterpurukan. Satu waktu ada saatnya dia untuk bangkit dan menjalani hari yang baru. Kehidupan akan terus berjalan dan berputar. Ada kalanya seseorang berada di atas, dan ada kalanya berada di bawah. Biarbagaimanapun tidak ada yang akan baik-baik saja tentang sebuah perpisahan, itu adalah perasaan sedihnya. Yang terpenting bagaimana kita memulai dari awal dan kemudian mengakhirinya ditempat yang sama.Naima, telah melewati banyak hal dalam beberapa bulan ini. Beruntung dia sangat kuat dan tegar. Beruntung dia mempunyai keluarga yang sangat menyayangi dirinya. Beruntung dia mempunyai dua buah hati yang menjadi sumber kekuatannya. Dan dia juga sangat beruntung memiliki orang yang sangat mencintainya. Saat ini ….Di kediaman Sanjaya. Sedang berlangsung perhelatan besar. Di depan rumah terpasang tenda tinggi dari pagar hingga ke
***Dini hari itu, setelah Sherra ditemukan di pinggiran sungai, kehebohan tiba-tiba terjadi di rumah sakit. Wanita itu dibawa tanpa identitas, pihak rumah sakit tak tau harus menghubungi keluarganya kemana. Warga yang membawa wanita itu pun tak tau apa-apa. Rumah sakit pun memutuskan untuk melaporkan ke kantor polisi. Karena mereka menduga pasien itu merupakan korban sebuah tindakan kejahatan.Pihak kepolisian segera turun tangan dan mengusut kasus ini. Wanita itu terbaring lemah di ranjang dengan selang infus, oksigen serta alat pendeteksi detak jantung yang menempel di tubuhnya. Hingga pagi harinya, Bawahan Bara datang dan mengatakan bahwa dia adalah orang yang mereka cari. Sehingga berita itu langsung mereka sampaikan ke atasan mereka. Banyak sekali bekas luka di pergelangan tangan Sherra, sekujur tubuhnya juga dipenuhi luka. Hal itu pun menjadi perbincangan para perawat. Meraka sangat prihatin melihat kondisi wanita itu. "Maya … kira-kira kenapa tubuh pasien wanita di kamar itu
***Pukul 01.00 dini hari, di area gudang tempat Sherra disekap. Tiba-tiba terdengar suara yang sangat keras, seperti ada benda menabrak sesuatu yang keras. Sherra yang berada di dalam kamar, terbangun karena terkejut. Entah keributan apa yang terjadi di luar sana. Tiba-tiba ada seseorang yang menerobos masuk. Sherra berteriak, seorang pria dengan pakaian serba hitam berdiri di hadapannya.Pria itu berdiri tanpa melakukan apa pun. Dia terus menatap pada Sherra yang telah ketakutan. Mata wanita itu melihat pada pintu yang terbuka lebar. Dia pun mengambil kesempatan untuk kabur. Namun, ketika dia berada tepat di depan pintu, satu orang pria lain, menyergap dirinya. Mulut Sherra dibekap dengan tangan kekar pria itu. "Ermmm … ermmm …." Sherra terbelalak, meronta minta dilepaskan. Sesaat kemudian, tubuhnya tiba-tiba diangkat, dia terus berteriak dan meronta. Sherra dibawa pergi dari pintu belakang. Menuju ke sebuah mobil yang telah menunggu mereka. Kemudian dia dilemparkan masuk kedalam