Setelah melihat kepergian Herdian di tengah gerimis yang tiba-tiba datang, Kemala membalik badan. Namun tangan seseorang berhasil menahannya. Alhasil membuatnya tersentak kaget, lalu menoleh ke arah sosok tersebut.“Ohh–“ Kemala terperanjat, “Bu Mayang!” Matanya membelalak, degup jantungnya berpacu.“Apa yang kamu sembunyikan, Kemala?” Mayang menatap penuh amarah pada anak angkatnya.“Tttidak ada apa-apa, Bu. Mari silahkan masuk!” Kemala membuka pintu.Setiap ketukan dari langkah kaki Mayang bagaikan hitungan waktu dari sebuah bom yang siap meledak. Namun ia tahu, situasi ini akan datang. Salah satu penyebab ia tidak ingin bertemu dengan Herdian. Entahlah, sekarang otaknya mendadak berhenti berpikir. Ia tidak dapat menebak apa yang akan terjadi setelah ini.Dengan berat hati, Kemala pun duduk di hadapan Mayang. Ia tertunduk, tidak dapat mengatakan apapun. Dala
“Mir, tolong sampaikan pada suamimu bahwa mulai hari ini, dia tidak perlu pergi ke kantor!” Mayang melakukan panggilan suara dengan Mirna. “Tapi ... Mas Herdi sudah berangkat pagi-pagi sekali, Ma.” Mirna menjadi agak khawatir. “Ada apa, Ma? Mengapa Mas Herdi tidak boleh ke kantor?” Mirna mulai menggigit kuku tangannya karena panik. Menyadari suara putrinya yang bergetar, Mayang meralat kalimatnya, “Maksud mama–hari ini saja. Karena ada tim audit yang akan datang ke kantor. Jadi, biar mama saja.” Mayang mengakhiri panggilannya. Setelah mendengar kalimat yang dikatakan ibunya, Mirna merasa curiga. Tidak seperti biasa, sikap Mayang kali ini aneh. Ia berpikir keras, mungkin ada yang tidak ia ketahui. Sementara itu, Mayang bergegas pergi ke kantor begitu mengakhiri pembicaraan melalui telepon dengan Mirna. Sepertinya Mayang tidak dapat menahan lebih lama lagi untuk tidak bertemu dengan Herdian. Ia pun segera pergi ke ruangan menantunya setelah sampai di kantor. Pria yang sedang du
Mirna tidak menyangka jika wanita yang ia panggil ‘Mama’ tega mengatakan hal yang menyakiti hatinya. Tak hanya darahnya yang mendidih, dadanya pun seakan dihujam batu besar yang membuat napasnya terasa sesak. Ia hanya diam meskipun isi kepalanya menyimpan banyak pertanyaan. “Sebelum saya mengajukan pertanyaan, saya akan memberimu kesempatan untuk mengatakan yang sejujurnya.” Mayang menatap dingin ke arah Herdian. “Tentang apa itu, Ma? Saya tidak mengerti maksud pembicaraan ini.” Herdian tampak percaya diri. “Jeng–apakah anak saya melakukan kesalahan?” Yana menyela pembicaraan mereka. “Seperti yang saya bilang, saya benci kebohongan, pengkhianatan dan perselingkuhan.” Pandangan Mayang tetap lurus ke depan tanpa menghiraukan Mirna yang sedang menatapnya. Baru saja Herdian merasa percaya diri, tapi nyalinya mulai menciut setelah mendengar kalimat yang baru saja dikatakan oleh Mayang. Ia dan Yana saling melihat satu sama lain. Kata ‘perselingkuhan’ yang dilontarkan ibu Mertuanya mem
Meskipun ada rasa perih yang mencabik-cabik, Mayang tetap mengeraskan hatinya. Wajah putri semata wayangnya sempat membuat pendiriannya goyah. Namun ia memilih untuk tidak melunak sedikit pun. Sebab ia yakin, darah lebih kental dari pada air. Mungkin sekarang Mirna belum bisa melihat siapa yang tulus menyayanginya. Namun suatu saat, ia akan sadar bahwa semua yang Mayang lakukan untuk kebaikannya. “Mirna, mama akan bertanya sekali lagi padamu.” Mayang menatapnya, “Siapa yang berhak atas kepercayaanmu, mama atau suamimu?” tanya Mayang, ia berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Air muka wanita muda di hadapannya masih tampak kesal. Ia belum juga memahami situasi yang tengah terjadi. Dalam benaknya, kebenaran tetap milik suaminya. Meskipun Mayang telah berusaha membuka matanya dengan fakta. Mirna tetap memilih Herdian dari pada ibu yang telah melahirkannya. “Selama ini Mas Herdi selalu ada untuk Mirna. Mengapa butuh alasan lagi untuk tidak percaya?” Mirna menghindari kontak mata deng
Saat itu, pria yang baru saja kembali dari mengantar Mirna itu tampak nyaris tak sadarkan diri. Melihatnya limbung, wanita paruh baya yang baru saja melakukan pekerjaannya pun menuruti permintaan pria tersebut. Setelah menyajikan minuman hangat di atas meja, ia pun melanjutkan pekerjaannya. Tanpa rasa penasaran tentang apa yang terjadi pada pria yang bekerja sebagai sopir di rumah Mayang. “Bi, dia kenapa?” Mayang yang sudah bersiap pergi mendapati sopirnya tergeletak di atas karpet. “Saya juga tidak tahu, Bu. Dia baru saja datang sekitar 2 jam yang lalu. Dia tampak sangat kelelahan.” Bibi menyajikan susu hangat untuk Mayang. Mendengar cerita Bibi tentang sopirnya, Mayang tidak merasa heran. Justru ia sudah mengira akan seperti itu. Sebab Mirna tidak punya tujuan. Rumah pemberiannya yang pernah ditempati Yana pun telah ia amankan. Ia pikir Herdian dan Yana harus mendapatkan bayarannya. Meskipun ia juga terpaksa melihat Mirna kesulitan bersama mereka. Mungkin Mirna juga perlu belaj
“Lekas bawa wanita ini!” Seorang wanita memberi komando pada beberapa orang. Darah segar masih mengalir di kedua kaki Mirna. Sampai tiba di puskesmas terdekat, ia belum sadar. Tampak para petugas medis memberikan pertolongan segera. Salah seorang warga, tak lain merupakan wanita yang pertama kali menyadari ada yang salah pada Mirna pun memutuskan untuk tetap tinggal. “Siapa keluarga pasien?” Wanita muda berpakaian serba putih keluar dari ruangan UGD. “Saya bukan keluarganya, tapi saya yang membawanya ke sini.” Air mukanya tampak cemas. “Tapi–kami perlu berbicara lebih banyak dengan keluarga pasien. Kami harus segera memutuskan sesuatu karena pasien dalam keadaan darurat.” Wanita muda yang ternyata seorang perawat itu menjelaskannya pada si Wanita paruh baya. Wanita itu tampak bingung, apa yang harus ia lakukan. Jika tidak segera mendapat perawatan, mungkin Mirna tidak tertolong. Pada akhirnya, wanita tersebut mengajukan diri untuk menjadi wali agar Mirna segera mendapat peraw
“Jangan, Bu! Jangan beri tahu Mas Herdi, saya pun tidak bermaksud menipunya. Saya hanya–“ Mirna memohon sambil memegang kaki Yana, butiran bening masih mengalir deras di kedua pipinya. Yana membalik badan mendengar rintihan Mirna. Seketika ia punya rencana baru untuk wanita itu. Air mukanya yang tadi penuh dengan kemarahan berubah menjadi lebih ramah. Bukan menerima kondisi Mirna yang sekarat. Namun, ia ingin membuat kesepakatan dengan menantunya. “Imbalan apa yang akan kamu berikan jika saya tetap merahasiakannya dari Herdian?” Yana menatapnya dengan tatapan licik. Mirna menengadah, menatap wajah mertuanya. Ia mengusap pipinya yang basah kuyup lalu berdiri. Sejujurnya, ia tidak mengerti tentang apa yang dikatakan mertuanya. Meskipun mencoba untuk berpikir keras, tapi ia belum bisa menebaknya. “Imbalan seperti apa yang Ibu inginkan?” Mirna menatapnya tajam. “Akan kuberitahu setelah memikirkan apa yang kira-kira pantas. Sekarang kamu hanya perlu menyatakan persetujuan atas hal it
“Bu, tadi ada yang menitipkan ini.” Pak Satpam menyodorkan sesuatu. “Untuk saya?” Mayang mengerutkan dahinya. Pak Satpam hanya menganggukkan kepalanya. Setelah berpikir sejenak, Mayang melanjutkan langkahnya ke tempat parkir. Begitu Pak Satpam menyerahkan padanya, ia langsung tahu bahwa itu kunci ruko miliknya. Tanpa menunggu lama, ia segera pergi. Semua atribut yang berhubungan dengan Echo Bakery telah dilucuti. Sekarang ia hanya berdiri di depan sebuah ruko kosong miliknya. Langkah beratnya berayun masuk ke dalam ruko. Semua kembali ke keadaan semula. Hanya ada secarik kertas yang sengaja ditempelkan pada papan pesanan. Untuk Ibu Mayang Damayanti Saya ingin mengucapkan terima kasih atas perhatian dan bantuan Ibu selama ini. Mohon maaf, jika saya tidak mengatakannya secara langsung. Saya hanya tidak ingin momen perpisahan menjadi momen terakhir yang memberi kesan buruk. Kami membutuhkan ruang dan waktu untuk saling menjaga. Sejujurnya, saya telah menganggap Ibu Mayang seperti
Mayang terdiam, ia hanya membatin, ‘Siapa laki-laki ini, berani sekali bertanya tentang pembatalan pernikahan’. Ia mengernyitkan dahi, ingin memaki tapi masih memikirkan Kemala. Ia tentu akan malu sekaligus kecewa jika Mayang membuat keributan di acara pernikahannya. Dua bulan kemudian Mayang tampak sangat sibuk, beberapa hari belakangan, ia harus datang ke kantor polisi memenuhi panggilan sebagai saksi. Awalnya ia tidak mengerti mengapa dirinya harus berurusan dengan petugas penegak hukum. Setelah panggilan pertamanya, ia baru menyadari bahwa selama ini putrinya diam-diam menyiapkan sendiri drama penangkapan Herdian dengan berbagai bukti yang ia kumpulkan. “Jadi, selama ini dia menugaskan kamu untuk melakukan skenario yang telah ia susun sendiri?” tanya Mayang. Mereka keluar dari kantor polisi menuju ke tempat parkir. Sopirnya masih bermuka datar, tanpa mengatakan apapun, hanya mengangguk pelan. Mayang tak perlu penjelasan lagi, meski penasaran bagaimana Mirna dapat melakukan
“Tidak bisa begini!” Herdian berteriak, “KEMALA! Jawab AKU!” Kedua matanya memerah. Kemala masih memilih bungkam, ia sama sekali tidak terpengaruh dengan gertakan Herdian. Sementara sibuk mengatur emosi putranya, Yana membuang muka dari Kemala. Kemala melangkah ke luar, ia membisikkan sesuatu pada Yana. Namun seseorang menarik lengannya dengan sangat kasar sebelum ia mencapai pintu. Tangan yang sejak tadi terasa gatal mendarat keras di pipi mulus Kemala. Air mata Kemala seketika meluap tanpa ia sadari. “Saya bisa melaporkanmu atas tindak kekerasan dan penganiayaan terhadap putri saya.” Mayang memasang badan di depan Kemala. “Penjelasan apa lagi yang kamu butuhkan, Mas?” Kemala memegang pipinya yang terasa perih. “Perceraian itu tidak sah tanpa persetujuan suamimu!” serang Yana. “Saya pikir, anda tidak berhak ikut campur tentang urusan kami. Lagi pula–anda yang paling menginginkan perceraian kami sejak dulu. Lalu, mengapa sekarang justru tidak senang saat keinginan anda terwujud
Seluruh ruangan kehilangan suasana hening, tangisan mereka pecah memenuhi bangsal nomor 237. Petugas medis pun telah melepas alat bantu kesehatan yang sebelumnya melekat di tubuh Mirna. Kemala menenangkan hati Mayang yang sedang hancur. Raga yang telah ditinggalkan ruh milik Mirna pun di bawa ke ruang jenazah. Selanjutnya, mereka membawa tubuh tak bernyawa itu ke rumah kediaman Mayang dengan iring-iringan beberapa mobil pelayat yang ingin mengantarkan Mirna ke peristirahatan terakhirnya. Kemala sudah tak dapat mengeluarkan kristal beningnya lagi, mata sembabnya menjadi saksi kesedihan yang juga ia rasakan. Di tempat lain, Bramantyo dan Ponirah sangat gelisah. Sebab Kemala belum kembali padahal mereka akan menggelar pernikahan 14 jam dari sekarang. Terakhir kali ia mengabarkan kalau Mayang akan mengutus sopirnya untuk mengantar pulang pagi tadi. Namun, ia belum juga dapat dihubungi hingga saat ini. “Coba telepon lagi, Nak!” suruh Ponirah, ia tampak cemas. Bram menuruti perintah Po
“Kamu hanya harus sembuh!” seru Kemala, “Maka, aku tidak perlu menjadi Kakak yang buruk.” Kemala mengusap kepala Mirna.Rasa bersalah yang memenuhi hati Mirna semakin sesak, ia tidak dapat mengerti apa yang ada dalam isi kepala Kemala. Mengapa wanita itu masih bersikap baik padanya? Kira-kira terbuat dari apa hatinya, mati rasa ataukah sudah kebal?Butiran bening mengalir tanpa dapat dihentikan dari kedua netranya, Mirna tidak sanggup membayangkan betapa sulitnya menjadi Kemala. Dia menjalankan perannya tanpa amarah meski sebuah belati berkali-kali menusuknya dalam keadaan sadar. Ia harus menahan perasaan yang sangat luar biasa setiap melihat kebahagiaan Mirna dan Herdian. Tanpa berpikir untuk membalas dendam, ia justru bersikap baik alih-alih memusuhi Mirna.Pagi itu, Kemala telah membersihkan diri sebelum ia pamit untuk menghirup udara segar di sekitar Rumah Sakit, tidak untuk memanjakan pandangannya, ia hanya bu
Keheningan mulai menyusup di antara waktu yang sedang bergulir menuju pergantian hari. Suara derap langkah kaki-kaki yang berat menyisakan kekhawatiran di benak Kemala. Semakin dirinya mendekat ke arah ruang perawatan Mirna, semakin ia merasakan degup kencang yang menghujam dadanya.Sesekali ia mengedarkan pandangan ketika terdengar suara brankar yang berpacu dengan bunyi alas kaki beberapa orang. Jantungnya seakan-akan ingin meloncat, mendengar sayup-sayup suara tangisan dari arah yang lain. Terkadang ia mengintip wajah Mayang yang menyembunyikan kecemasan di balik senyuman.“Mirna pasti sembuh, saya yakin dia kuat.” Kemala meraih tangan Mayang yaang berayun seirama dengan langkah kakinya.Ia tersenyum kecut, lalu berkata, “Kuharap ia melewati masa kritisnya setelah bertemu denganmu.”Pintu kamar bernomor 237 terbuka, Mayang mendorongnya perlahan. Mereka masuk ke dalam ruangan sambil berjinjit agar Mi
“Terima kasih,” ucap Bramantyo. “Aku tidak tahu, apa jadinya tanpa kamu di sisiku.” Bram menatap sendu ke arah wanita di hadapannya. “Tidak perlu berterima kasih, semua yang terjadi dalam hidupmu hampir pasti mengambil bagian di dalam hidupku.” Senyumnya kembali mengembang, semakin meyakinkan Bram tentang ketulusan yang dimiliki Kemala. Mereka kembali memeriksa beberapa hal mengenai persiapan pernikahan yang akan digelar 2 hari mendatang. Bram merasa hidupnya lebih ringan, jalannya semakin mulus tanpa ada yang mengganjal lagi. Kemala memang benar, dendam dan luka saling berhubungan. Luka tidak akan pernah bisa sembuh ketika kita masih memelihara dendam, membiarkannya bertindak sesuka hati, mengambil alih sebagian besar ruangan di dalam hati kita. Setiap kali mendengarkan kalimat bijak yang keluar dari mulut Kemala, keserakahannya atas rasa marah seketika menciut, lalu kehilangan keberanian yang sebelumnya merebut kendali atas pemikirannya. Mereka memang dua manusia berbeda latar b
“Meskipun beliau bukan ibu kandungmu, kurasa ia memang tulus. Aku melihat dari sorot matanya yang penuh penyesalan.” Kemala tersenyum. Pria itu mendengarkan setiap kata yang diucapkan Kemala. Setiap kali berbicara dengan tunangannya, Bramantyo merasa tenang. Wanita yang akan ia nikahi memang selalu bersikap bijak menghadapi persoalan yang terjadi. Sebab itulah, ia yakin Kemala adalah orang yang tepat menjadi pendamping hidupnya. “Kapan kamu akan pergi?” tanya Bramantyo, ia menggandeng tangan Kemala. “Mungkin, besok pagi. Kebetulan besok aku berencana tutup toko.” Kemala melepas genggaman tangan Bram. “Baiklah, kuharap tidak ada lagi hambatan yang memberatkan persiapan pernikahan kita.” Bram melangkah pergi, ia meninggalkan Kemala yang tengah berdiri di depan rumahnya._____________ Seperti yang Kemala janjikan, ia mengunjungi rumah kediaman Sekar. Ia membawa rantang berisi beberapa kue dan masakan kesukaan Sekar. Setelah Bram meninggalkan rumahnya tadi malam, Kemala mencari tahu
Bramantyo hanya bisa menatap Kemala lekat tanpa dapat mengeluarkan suara, di dalam pikirannya berkecamuk berbagai hal, menghimpit isi kepalanya yang tak mampu menemukan jalan keluar. Di hadapannya, Kemala memilih untuk tidak memaksakan diri agar Bram menuruti apa yang ia katakan tentang melepas segala beban. Justru Kemala lebih memahami keinginannya, wanita itu membiarkan Bram berpikir sejenak tentang sesuatu yang merenggut setengah ruangan di dalam benaknya. “Kurasa wafle madu dengan secangkir coklat panas, cukup menyenangkan.” Kemala tersenyum tulus. Yah, dia selalu tahu apa yang dibutuhkan Bram saat ini. Sudah lama Bram tidak menikmati makanan buatan Kemala itu, ia selalu menyempatkan diri menyantapnya di echo bakery, paduan rasanya cukup mampu meringkus kejenuhan yang kerap ia rasakan. “Tapi–apakah masih tersedia untukku?” Bram membalas senyum calon istrinya. “Tentu. Tidak akan lama, kamu dapat menunggu sembari bermain bersama Dylan.” Kemala menarik tangannya, mereka pergi
Setelah Marco mengantarkan Sekar sampai ke luar rumah, ia kembali menemui Bramantyo. Kali ini Marco tidak ingin bungkam, jika sebelumnya ia memilih tidak bersuara karena dirinya berada di posisi salah, sekarang tidak begitu. Marco merasa terusik untuk menjelaskan tentang bagaimana seorang Sekar sesungguhnya. “Apa lagi yang kamu mau?” Bram bertanya sinis saat melihat Marco datang. “Tidak ada. Aku hanya ingin kamu lebih membuka hati. Oke, kalau di masa lalu Bu Sekar memang pribadi yang buruk. Namun, cobalah sedikit berempati sebab aku tahu beliau bertahun-tahun melakukan banyak hal demi bisa menebus dosa-dosanya padamu.” Marco menatap Bram sangat tajam. “Siapapun bisa dengan mudah mengatakan hal semacam itu, termasuk kamu. Tapi, aku tidak yakin kau akan tetap berpikir begitu jika kau berada di posisiku.” Bram tidak kalah kesal dari Marco. Perdebatan di antara mereka berujung saling diam, hingga saat Kemala datang. Mereka masih dalam situasi canggung, tidak ada seorang pun diantar