“Sha, kamu nggak salah kayak gini?” tanya Mallory heran.
Jelas Mallory heran. Secara, ya, Luisa itu penyuka warna pink. Senang mengenakan dress pink, atau apalah yang berbau dengan pink. Lantas sekarang perempuan itu terlihat elegant dan berkelas. Rambutnya dicepal dengan menyisakan sedikit bagian depannya. Lalu wajahnay full make up. Emang sih natural. Tetap aja aneh.
Level dandan Luisa itu hanya liptik, blush on, eyeliner, alis, dan maskara. Hanya itu doang. Sesekali sih dia menempelkan eyeshadow di kelopak matanya. Lah, sekarang penampilannya beda banget. Wajar Lelaki pemilik mata hazer itu kaget heran.
“A-anu. Itu tadi temen pengen coba dandani aku, Mall. Aneh, ya?”
Mallory menggeleng. “Kamu terlihat cantik, Baby.”
Blush.
Luisa melengkungkan senyuman. Gadis itu duduk di samping Mallory, tangannya terus digenggang oleh lelaki yang mengenakan kemeja kotak-kotak lengan panjang itu. sesekali Mallory mengecup punggung tangan Luisa.
“Aku kangen, Sha.”
Luisa melengkungak senyuman. “Aku kangen banget sama kamu. Mall.”
Mallory memandangi wajah Luisa. Perempuan itu tampak berbeda dari biasanya. Jauh lebih anggun dan menarik.“Sha!” panggilnya lembut.
Luisa membalas tatapan Mallory.
“Kamu tahu, ada yang spesial dari hari ini?” tanyanya.
“Apa?” tanya Luisa tidak mengerti maksud sang kekasih.
“Kamu lupa?” satu alis lelaki itu naik lebih tinggi.Luisa diam. Dia masih mengingat-ngingat hari spesial apa yang dimaksud sang kekasih. Sialnya semakin dia berusaha, otaknya semakin nge-blank.
“Nggak tahu,” aku Luisa jujur.
Mallory agak sedikit kecewa. Ini bukan kali pertama Luisa melupakan hari spesial mereka. Ingatan gadis itu emang agak-agak. Agak parah lebih tepatnya.
“Boleh aku minta kamu tutup mata, Bi?” tanya Mallory.
“Kamu mau ngapain? Mau main sembunyi denganku?”
Mallory tersenyum kecil. “Tutup mata, Sayang! Please!”
Luisa menurut. Perempuan itu menutup matanya. Sebuah kecupan mendarat di keningnya. Saat Luisa ingin membuka mata. Mallory cepat-cepat mencegah.
“Sebentar, Sayang!” ujarnya.
Luisa menurut. Perempuan itu memejamkan mata beberapa saat.
“Oke, sekarang waktunya,” ujar Mallory. “Open your eyes, Bi!”
Luisa membuka matanya perlahan. Sebuah buket bunga mawar merah menyambutnya.
“Happy Anniversary, Bi!” ujar Mallory dengan mata berkaca-kaca.
Luisa tidak bisa menahan sesak air mata yang ingin keluar sedari tadi. Dia baru saja melupakan momen paling berharga mereka. Begitu pula dengan tahun lalu. Luisa lupa juga.
Mallory menyerahkan buket itu. Luisa menyambungnya dengan penuh haru. Tidak hanya buket. Mallory juga menyerahkan sebuah kotak berisi cincin berlian.
“Aku ingin melamarmu, Sha,” ujarnya dengan serius.
Deg!
Hati Luisa bahagia dan bercampur hancur. Perempuan itu kalut dibuatnya. Bibirnya kelu, tidak ada kalimat yang mampu keluar dari mulutnya saat ini.
“Empat tahun kayaknya udah cukup buat kita saling mengenal. Saling mengisi dan saling mencintai. Aku ingin memilikimu seutuhnya,” ujar Mallory serius.
Luisa tahu, lelaki itu tidak main-main dengan kalimatnya. Mallory memang beberapa kali menanyakan ingin dilamar seperti apa. Luisa hanya diam tidak bisa menjawab, lalu tibalah hari ini. Andai kejadian waktu itu tidak terjadi. Luisa tidak akan galau menjawab iya. Dia sangat ingin hidup bersama dengan lelaki yang telah empat tahun ini dicintainya. Tapi, keadaan saat ini sulit.
Mallory mengecup punggung tangan Luisa. “Sayang nggak perlu jawab sekarang. Aku akan kasih waktu,” ujar Mallory lagi.
“Mall!” panggil Luisa dengan lembut.
“Iya, Sayangku?”
Lelaki itu tersenyum manis.
Air mata Luisa terus mengalir. “Bi, ini momen paling mengharukan, aku happy banget,” aku Luisa.
“Aku jauh lebih happy, Bi. Bisa sama kamu. Bisa mencintai kamu, dan nantinya bisa hidup dengan kamu adalah hal yang luar biasa buat aku. I love you, Bi.”
“Love you more, Mall,” balas Luisa.
Mallory berdiri, lalu membantu Luisa untuk berdiri. Lelaki itu mendekatkan wajahnya dengan Luisa. Lalu satu tangan Mallory menangkup rahang Luisa, dan membuat wajah perempuan itu mendongak.
Wajah mereka samakin dekat. Sesaat kemudian bibir mereka sudah menyatu. Mallory semakin memperdalam ciuman mereka.
“Sha, aku masih punya sesuatu untukmu,” ujar Mallory saat ciuman mereka sudah terlepas.
“A-apa?” tanya Luisa tergagap. Demi apa pun. Perasaan perempuan itu campur aduk. Luisa takut, pernikahannya terbongkar dan membuat Mallory kecewa. Sungguh. Luisa tidak tenang dalam kondisi ini.
Satu sisi, Luisa ingin egois, dia ingin memiliki Mallory. Lelaki itu cinta pertamanya. Ciuman pertamanya dia serahkan pada lelaki itu. semua hal yang pertama dia berikan pada Mallory. Kecuali keperawanannya. Dia masih tetap perawan sampai hari ini berkat kegigihannya ingin tetap virgin sampai ada ikatan yang sah, yang menghalalkan mereka untuk berhubungan suami istri.
Mallory mengedipkan matanya centik. “Nanti malam kejutannya di apartemenku. Kamu nginap, ya! Sekali ini aja!”
Deg!Luisa ingin sekali menolak. Namun, dia tidak berani. Lantas, jika dia tidak pulang Emilio akan marah besar. Bagaimana ini? Adakah seseorang bisa menolong Luisa?
“Uh, terang banget! Aku masih mau tidur,” ujarnya sebal.Perempuan itu menutup matanya.Mentari telah naik keperaduan beberapa menit yang lalu dan sekarang sedang mengintip senyap-senyap pada celah jendela yang tertutup kain gorden kecoklatan itu.Gerakan Luisa agak sedikit terbatas, ada sesuatu yang mendesak di sekitarnya.“Apa sih ini?” gumamnya. Tangannya mulus dan munggil miliknya mendorong sesuatu yang terasa lembut dan halus. “Kok lembut?” tanya aneh dan polos.Luisa menekan-nekan dengan ujung jemarinya. Sesuatu itu bergerak, membuat tubuhnya bergetar. Cepat-cepat Luisa membuka mata.Gadis itu masih mengucek-ngucek mata, mengusir kantuk yang masih bersarang dipelupuk maatnya. Gadis itu sempat menguap sebentar, ia menutup mulutnya dengan telapak tangan. Kepalanya tampak berat. Ia memijat-mijat keningnya.Luisa sampai lupa niatnya membuka mata tadi. Benda kenyal dan lembut tadi hampir dia lupakan. Hidungnya mengendus, penciumannyamasih bagus, hidungnya mencium aroma maskulin yang
Beberapa orang berpeci dan berjas berdiri tegap di depan pintu. Wajah mereka sangat dingin. Bak aparat yang sedang menangkap pelaku kriminal. Tak ada senyum, tanya tatapan penuh kebencian dan merendahkan.Jelas Emilio terkejut dan tak suka dengan tatapan itu."Siapa kalian dan mau apa kalian?" tanya dengan wajah dingin juga.Salah seorang dari mereka, muncul dari belakang. Wajahnya agak lebih teduh dan bersahabat. Lelaki itu sempat melengkungkan sedikit senyuman."Permisi, kami mendapat informasi, telah terjadi perzinahan di sini. Bapak tahu kamu punya aturan, dan bapak atas perbuatan bapak tersebut, akan mendapatkan hukuman dari kami.”‘Oh Shit!’ maki Emilio dalam hati. Panik jelaslah panik. Mereka tampak serius, dan Emilio yakin, namanya dan reputasinya akan hancur dalam sekejab.“Kami ingin masuk!” kata salah seorang dari orang itu. wajahnya cukup tegang dan datar. Intonasinya pun tegas.Emilio diam, lelaki itu bingung dengan situasi, kepalanya agak sedikit lola. Jelas, di dalam ad
Emilio menaikkan satu alisnya, lelaki itu tidak habis pikir, antara polos atau memang bodoh perempuan di sampingnya ini. Kepalanya tak henti-henti menggeleng. Lelaki itu menggulung lengan kemeja hingga ke siku, menampilkan lengannya yang padat dan sedikit berurat.“Hanya gara-gara ini lo ke situ?” tanya tak habis pikir.Luisa mengangguk. Perempuan itu mengambil ponselnya. Tadi, dia menunjukkan chat yang dikirim oleh Merry.“Dia sahabatku, aku sering menjemputnya saat dia mabuk,” jawab Luisa jujur.“Lo nggak takut ke club. Tapi, lo takut tinggal sendirian di rumah. Aneh!”“Beda, Il,” sanggah Luisa. Perempuan itu membenarkan posisi duduknya, celana panjang yang dia kenakan cukup longgar, Luisa tak biasa mengenakan pakaian ketat atau pendek, walaupun di rumah.“Tetap aja aneh,” ujarnya. Emilio mengambil ponsel Luisa lagi, lelaki itu menyalin nomor Merry, lalu membuat pelacakan pada nomor tersebut. Kening Emilio mengerut seketika, dia tahu Luisa tidak berbohong. Namun, nomor yang menurut
Luisa memandangi pantulan wajahnya yang pucat pasi pada cermin bulat di depannya itu. Kedua tangannya mencengkeram erat pada sisi wastafel. “Kayak nyata,” ujarnya dengan penuh keyakinan. Luisa membiarkan rambutnya tergerai. Kantung matanya agak lebam, bibirnya pucat tanpa lipstick. “Mall, kangen,” ujarnya. Kelopak matanya langsung memerah. Setiap kali mengingat kekasihnya, air matanya tidak bisa tahan untuk tidak jatuh. Emilio memang bukan seperti yang dia bayangkan. Lelaki ini bahkan tidak berani macam-macam dengannya. Namun, cintanya, kekasih hatinya, Luisa merasa sudah menodai cintanya dengan Mallory. “Mall, bisakah kamu selamatkan aku dari keadaan seperti ini? Aku hanya pengen hidup dengan kamu. Mall,” ujarnya dengan perasaan penuh luka. “Sha, lo oke?” tanya Emilio khawatir. Hampir satu jam Luisa di kamar mandi, dan perempuan itu tidak keluar sama sekali. Luisa terperanjat. Perempuan itu membasuh wajahnya, lalu mengelapnya dengan handuk kecil. Luisa memutar tubuh, membuka pi
Emilio memindai tampilan Luisa, mata lelaki itu ke bawah, ke atas. Menatap penampilan Luisa dengan tatapan aneh.“Gini mau keluar dengan pacar lo?”“Iya, ada yang salah?”Emilio mendecakkan lidahnya. “Lebih bagus daster ART di rumah mama gue, Sha,” komentarnya.Luisa mendecakkan lidah. Tidak ada yang salah dengan tampilannya. Kemeja bermotif bunga besar-besar melekat ditubuhnya. Tidak norak sama sekali. Warna di motif juga kalem. Sengaja Luisa menggunakan belt di pinggang, dan celana warna putih. Hingga tidak tabrak lari fashionnya hari ini.Tetap aja salah di mata Emilio.“Ganti! Masa mau keluar kayak gini. Minimal pake dress, atau baju kemeja polos yang senada,” komentarnya.Luisa memutar kedua bola matanya dengan sebal. “Ini aku yang mau ngadate atau kamu sih?”“Lo. Tapi mata gue sakit ngelihatnya. Ganti! Ganti!”Luisa merengus sebal. Entah sejak kapan lelaki ini jadi rempong seperti ini. Seakan-akan yang pergi ngedate itu mereka.Luisa masuk ke dalam kamar. Melepas kemeja bermoti
“Sha, kamu nggak salah kayak gini?” tanya Mallory heran.Jelas Mallory heran. Secara, ya, Luisa itu penyuka warna pink. Senang mengenakan dress pink, atau apalah yang berbau dengan pink. Lantas sekarang perempuan itu terlihat elegant dan berkelas. Rambutnya dicepal dengan menyisakan sedikit bagian depannya. Lalu wajahnay full make up. Emang sih natural. Tetap aja aneh.Level dandan Luisa itu hanya liptik, blush on, eyeliner, alis, dan maskara. Hanya itu doang. Sesekali sih dia menempelkan eyeshadow di kelopak matanya. Lah, sekarang penampilannya beda banget. Wajar Lelaki pemilik mata hazer itu kaget heran.“A-anu. Itu tadi temen pengen coba dandani aku, Mall. Aneh, ya?”Mallory menggeleng. “Kamu terlihat cantik, Baby.”Blush.Luisa melengkungkan senyuman. Gadis itu duduk di samping Mallory, tangannya terus digenggang oleh lelaki yang mengenakan kemeja kotak-kotak lengan panjang itu. sesekali Mallory mengecup punggung tangan Luisa.“Aku kangen, Sha.”Luisa melengkungak senyuman. “Aku k
Emilio memindai tampilan Luisa, mata lelaki itu ke bawah, ke atas. Menatap penampilan Luisa dengan tatapan aneh.“Gini mau keluar dengan pacar lo?”“Iya, ada yang salah?”Emilio mendecakkan lidahnya. “Lebih bagus daster ART di rumah mama gue, Sha,” komentarnya.Luisa mendecakkan lidah. Tidak ada yang salah dengan tampilannya. Kemeja bermotif bunga besar-besar melekat ditubuhnya. Tidak norak sama sekali. Warna di motif juga kalem. Sengaja Luisa menggunakan belt di pinggang, dan celana warna putih. Hingga tidak tabrak lari fashionnya hari ini.Tetap aja salah di mata Emilio.“Ganti! Masa mau keluar kayak gini. Minimal pake dress, atau baju kemeja polos yang senada,” komentarnya.Luisa memutar kedua bola matanya dengan sebal. “Ini aku yang mau ngadate atau kamu sih?”“Lo. Tapi mata gue sakit ngelihatnya. Ganti! Ganti!”Luisa merengus sebal. Entah sejak kapan lelaki ini jadi rempong seperti ini. Seakan-akan yang pergi ngedate itu mereka.Luisa masuk ke dalam kamar. Melepas kemeja bermoti
Luisa memandangi pantulan wajahnya yang pucat pasi pada cermin bulat di depannya itu. Kedua tangannya mencengkeram erat pada sisi wastafel. “Kayak nyata,” ujarnya dengan penuh keyakinan. Luisa membiarkan rambutnya tergerai. Kantung matanya agak lebam, bibirnya pucat tanpa lipstick. “Mall, kangen,” ujarnya. Kelopak matanya langsung memerah. Setiap kali mengingat kekasihnya, air matanya tidak bisa tahan untuk tidak jatuh. Emilio memang bukan seperti yang dia bayangkan. Lelaki ini bahkan tidak berani macam-macam dengannya. Namun, cintanya, kekasih hatinya, Luisa merasa sudah menodai cintanya dengan Mallory. “Mall, bisakah kamu selamatkan aku dari keadaan seperti ini? Aku hanya pengen hidup dengan kamu. Mall,” ujarnya dengan perasaan penuh luka. “Sha, lo oke?” tanya Emilio khawatir. Hampir satu jam Luisa di kamar mandi, dan perempuan itu tidak keluar sama sekali. Luisa terperanjat. Perempuan itu membasuh wajahnya, lalu mengelapnya dengan handuk kecil. Luisa memutar tubuh, membuka pi
Emilio menaikkan satu alisnya, lelaki itu tidak habis pikir, antara polos atau memang bodoh perempuan di sampingnya ini. Kepalanya tak henti-henti menggeleng. Lelaki itu menggulung lengan kemeja hingga ke siku, menampilkan lengannya yang padat dan sedikit berurat.“Hanya gara-gara ini lo ke situ?” tanya tak habis pikir.Luisa mengangguk. Perempuan itu mengambil ponselnya. Tadi, dia menunjukkan chat yang dikirim oleh Merry.“Dia sahabatku, aku sering menjemputnya saat dia mabuk,” jawab Luisa jujur.“Lo nggak takut ke club. Tapi, lo takut tinggal sendirian di rumah. Aneh!”“Beda, Il,” sanggah Luisa. Perempuan itu membenarkan posisi duduknya, celana panjang yang dia kenakan cukup longgar, Luisa tak biasa mengenakan pakaian ketat atau pendek, walaupun di rumah.“Tetap aja aneh,” ujarnya. Emilio mengambil ponsel Luisa lagi, lelaki itu menyalin nomor Merry, lalu membuat pelacakan pada nomor tersebut. Kening Emilio mengerut seketika, dia tahu Luisa tidak berbohong. Namun, nomor yang menurut
Beberapa orang berpeci dan berjas berdiri tegap di depan pintu. Wajah mereka sangat dingin. Bak aparat yang sedang menangkap pelaku kriminal. Tak ada senyum, tanya tatapan penuh kebencian dan merendahkan.Jelas Emilio terkejut dan tak suka dengan tatapan itu."Siapa kalian dan mau apa kalian?" tanya dengan wajah dingin juga.Salah seorang dari mereka, muncul dari belakang. Wajahnya agak lebih teduh dan bersahabat. Lelaki itu sempat melengkungkan sedikit senyuman."Permisi, kami mendapat informasi, telah terjadi perzinahan di sini. Bapak tahu kamu punya aturan, dan bapak atas perbuatan bapak tersebut, akan mendapatkan hukuman dari kami.”‘Oh Shit!’ maki Emilio dalam hati. Panik jelaslah panik. Mereka tampak serius, dan Emilio yakin, namanya dan reputasinya akan hancur dalam sekejab.“Kami ingin masuk!” kata salah seorang dari orang itu. wajahnya cukup tegang dan datar. Intonasinya pun tegas.Emilio diam, lelaki itu bingung dengan situasi, kepalanya agak sedikit lola. Jelas, di dalam ad
“Uh, terang banget! Aku masih mau tidur,” ujarnya sebal.Perempuan itu menutup matanya.Mentari telah naik keperaduan beberapa menit yang lalu dan sekarang sedang mengintip senyap-senyap pada celah jendela yang tertutup kain gorden kecoklatan itu.Gerakan Luisa agak sedikit terbatas, ada sesuatu yang mendesak di sekitarnya.“Apa sih ini?” gumamnya. Tangannya mulus dan munggil miliknya mendorong sesuatu yang terasa lembut dan halus. “Kok lembut?” tanya aneh dan polos.Luisa menekan-nekan dengan ujung jemarinya. Sesuatu itu bergerak, membuat tubuhnya bergetar. Cepat-cepat Luisa membuka mata.Gadis itu masih mengucek-ngucek mata, mengusir kantuk yang masih bersarang dipelupuk maatnya. Gadis itu sempat menguap sebentar, ia menutup mulutnya dengan telapak tangan. Kepalanya tampak berat. Ia memijat-mijat keningnya.Luisa sampai lupa niatnya membuka mata tadi. Benda kenyal dan lembut tadi hampir dia lupakan. Hidungnya mengendus, penciumannyamasih bagus, hidungnya mencium aroma maskulin yang