Share

Kaos Partai

Penulis: Ayaya Malila
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56
Rasa marah, kecewa dan sakit hati yang teramat sangat kembali mendera. "Bodohnya aku," rutuk Jingga seraya memukuli dahinya pelan. Dia sangat menyesal karena tak pernah bisa melawan kehendak Ganendra.

Dengan langkah gontai, Jingga melangkah masuk, lalu berdiri di bawah shower. Dia menyalakan shower itu dan mulai terisak pelan. Air matanya bercampur dengan aliran air hangat yang tercurah dari shower. Tak akan ada yang tahu jika dirinya menangis saat itu. Termasuk Ganendra yang tiba-tiba sudah berdiri di belakangnya.

"Kenapa tidak membangunkan aku? Kan kita bisa mandi bersama," goda Ganendra sembari mengusap lembut lengan Jingga.

Merasa tak mendapat tanggapan, Ganendra bergerak semakin mendekat, lalu mengecup pundak istrinya. "Mandikan aku," pintanya lirih. Usil, Ganendra menggigit pelan daun telinga Jingga.

"Aw." Jingga memekik pelan. Dia sedikit menggeser tubuhnya menjauh dari Ganendra, lalu buru-buru menyelesaikan mandinya. "Maaf, Pak. Aku tiba-tiba tidak enak badan," elak Jingga.
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Pernikahan Sebatas Status   Ancaman

    "Kamu pikir aku tukang becak?" sungut Ganendra. "Kaos polo saja, lah," putusnya kemudian. "Di sebelah mana?" Jingga menoleh ke arah Ganendra. "Di sebelah lemari blazer," tunjuk pria yang hanya berbalut handuk itu. Jingga mengulum bibir, menahan tawa yang mendadak muncul. Dia membayangkan Ganendra seperti Tarzan yang suka sekali memamerkan tubuh atletisnya. "Yang ini?" Jingga mengambil sepotong polo shirt berwarna biru muda, serasi dengan dress yang dia pakai. "Boleh." Ganendra tersenyum penuh arti. "Outfit couple, ya," godanya. "Anda sendiri kan yang mengatakan kalau kita harus bersikap seperti suami istri sebenarnya di depan semua orang," dalih Jingga. "Betul." Senyum Ganendra semakin lebar. "Sekarang ambilkan pakaian dalam dan celana." "Astaga!" Jingga melotot tak percaya. "Cepat, aku sudah kedinginan," desak Ganendra. Dalam hati, Jingga meratapi nasib, tapi tetap tak bisa berbuat apa-apa untuk menolak keinginan Ganendra. Malu-malu, dia membuka laci besar yang menjadi temp

  • Pernikahan Sebatas Status   Menemukan Jodoh

    Ganendra tertawa mendengarkan ancaman Anggada. Dia menggeleng pelan sambil berkata, "Sepertinya kamu harus belajar hukum lebih dalam lagi. Menuduh tanpa bukti itu bisa dijerat dengan pasal pencemaran nama baik. Bisa-bisa, kamu yang kuseret ke penjara." Ganendra mengarahkan telunjuknya lurus kepada Anggada. Suasana menjadi tegang saat itu. Jingga dan Sandra saling pandang, tetapi sama-sama tak mengucapkan sepatah katapun. "Kalau begitu, bisakah anda ceritakan, darimana asal luka-luka yang diderita oleh Bu Jingga?" tanya Anggada datar. Ganendra mengetuk-ngetukkan jemarinya ke permukaan meja makan. Harapan agar bisa sarapan pagi dengan damai hanya bersama Jingga, musnah sudah. Kini, dia harus menghadapi segala keingintahuan Anggada. Awalnya, Ganendra berencana untuk menyembunyikan drama penculikan Jingga oleh Hilda. Dia ingin menggunakan kejadian itu sebagai senjata jika suatu saat Hilda berbalik menyerangnya. Namun, apa dikata, desakan Anggada membuat dirinya tak bisa berdiam diri.

  • Pernikahan Sebatas Status   Gaun Pengantin

    "Eh, Pak. Maaf, saya pergi dulu. Saya baru ingat kalau ada pekerjaan yang belum saya selesaikan di kantor," pamit Sandra tiba-tiba. Dia tidak dapat menyembunyikan sikap gugupnya saat Ganendra memandang ke arahnya dengan sorot curiga. "Nanti kita lanjutkan lagi ngobrolnya ya, Bu," ucap Sandra lembut seraya melepaskan tangan Jingga yang sedari tadi dia genggam. Dia lalu meninggalkan ruang makan dengan tergesa-gesa. "Ah, sayang sekali. Kak Sandra belum sempat menyelesaikan sarapannya." Jingga menunjuk piring Sandra. "Dia sudah biasa makan sedikit. Sandra suka sekali menjalankan diet, karena takut gemuk," jelas Ganendra. "Anda sangat memahami Kak Sandra rupanya." Jingga tersenyum kecut. Setitik cemburu mulai menggodanya. "Begitulah. Sudah bertahun-tahun dia bekerja pada keluargaku. Mau tidak mau, aku jadi tahu kebiasaannya," papar Ganendra enteng. "Anda pasti senang, ya. Setiap hari selalu dikelilingi perempuan cantik," pancing Jingga. "Bagiku, setiap perempuan itu sama saja. Canti

  • Pernikahan Sebatas Status   Berlian Merah

    "Lantas? Apa maumu?" Ganendra menoleh pada Jingga seraya memicingkan mata.Bukannya menjawab, Jingga malah mengangkat bahu. "Kamu tidak ingin bercerai?" terka Ganendra, membuat wajah Jingga merah padam."Bukan!" elak Jingga dengan segera. "Se-seharusnya tidak perlu ada pesta besar-besaran! Toh, kita sudah sah menikah secara agama dan negara.""Itu menurutmu. Bagiku, sebuah pengesahan secara sosial itu penting. Dengan pesta, akan lebih banyak orang yang mengetahui dan mengakui status pernikahanku," papar Ganendra.Jingga menarik napas panjang. Dia tak memahami seluk beluk pergaulan kalangan atas, sehingga percuma baginya untuk protes.Jingga kembali terdiam sampai mobil yang ditumpangi, tiba di sebuah butik perhiasan."Ini langganan Hilda," jelas Ganendra tanpa diminta.Jingga kembali mengikuti langkah Ganendra, masuk ke bangunan mewah itu. Di pintu masuk, mereka langsung disambut oleh dua orang pegawai berserag

  • Pernikahan Sebatas Status   Kecelakaan

    "Kecelakaan?" Ponsel Jingga hampir saja terjatuh. Untung dia sigap menangkapnya. "Bagaimana keadaan suamiku? Di mana dia sekarang?" cecar Jingga panik."Pak Ganendra sudah dibawa ke rumah sakit. Kalau Nyonya ingin menyusul sekarang, biar Pak Amir yang mengantar ke rumah sakit," tutur Darni. "Iya, aku mau melihat keadaan suamiku ...." Seluruh tubuh Jingga gemetar. Tenaganya seolah menguap. Kakinya seakan kesulitan menopang tubuh, sehingga Jingga kesulitan berjalan mengikuti Darni yang tergesa.Sesampainya di teras, Jingga melihat mobil Anggada yang tadi sudah meninggalkan kediaman Ganendra, kembali masuk dan berhenti tepat di depan teras. Asisten pribadi Atmawirya itu buru-buru berlari mendekat ke arah Jingga, bersamaan dengan Amir, sopir pribadi Ganendra, yang juga turut menghampirinya."Saya sudah siap, Nyonya.""Ayo, kuantar." Amir dan Anggada berkata secara bersamaan.Jingga sempat memperhatikan dua pria berbeda usia di depannya itu bergantian."Biar saya saja yang mengantar, P

  • Pernikahan Sebatas Status   Perdebatan

    "Aku ingin kita melewati rute kecelakaanku tadi, Pak Anggada," pinta Ganendra."Untuk apa?" Jingga mengernyitkan dahi keheranan."Aku ingin melihat mobilku untuk terakhir kalinya," ujar Ganendra lesu.Mau tak mau, Anggada menuruti keinginan aneh majikannya itu. Sesampainya di tempat bekas kecelakaan, mereka melihat bahwa mobil Range Rover hitam keluaran terbaru milik Ganendra sudah diangkat ke pinggir jalan. Bagian depan dan atas kendaraan mewah itu ringsek tak berbentuk. Sebuah mobil derek, siap membawanya meninggalkan lokasi kecelakaan."Ya, ampun. Separah itu?" Jingga menutup mulutnya yang terbuka lebar dengan kedua tangan."Sepertinya Tuhan masih sayang padaku. Dengan kondisi mobil separah itu, aku hanya mengalami luka ringan," ujar Ganendra."Sepertinya Tuhan lebih sayang istri anda. Tuhan tak ingin Bu Jingga menderita dengan menjadi janda," sahut Anggada dari balik kemudi."Apa bisa, sekali saja anda tidak ikut campur obrolan kami?" gerutu Ganendra."Maaf, telinga saya tak seng

  • Pernikahan Sebatas Status   Kekasih Gelap

    Dada Jingga berdebar kencang saat Ganendra berkata demikian. Setitik harapan muncul, bahwa ada sedikit cinta dari Ganendra untuk dirinya. Namun, Jingga tak berani menanggapi. Dia hanya diam saat Ganendra berdiri gagah di depannya, seolah menjadi tameng untuk Jingga. "Akan kuingat kata-katamu, Pak Ganendra. Janganlah mengira jika aku tak berani melawan anda, karena status sosialmu yang berada jauh di atasku," desis Anggada. Dia sempat memandang ke arah Jingga yang masih bersembunyi di belakang suaminya, sebelum berlalu meninggalkan tempat itu. Ganendra baru membalikkan badan saat sosok Anggada sudah menghilang di ujung koridor. "Ada-ada saja," gerutunya sambil berjalan melewati Jingga yang masih membeku di ambang pintu. Ganendra lalu membaringkan tubuhnya hati-hati ke ranjang. Sesaat kemudian, dia menyadari sesuatu, lalu menoleh ke arah Jingga. "Kenapa masih di situ?" tanya Ganendra heran. Ragu-ragu, Jingga melangkah mendekat dan duduk di tepian ranjang. Diamatinya perban di kepala

  • Pernikahan Sebatas Status   Khawatir

    "Bu Hilda bicara apa? Saya sama sekali tidak mengerti," elak Sandra. Dalam kondisi terpojok seperti itu, dia masih bisa bersikap tenang."Sandiwaramu tidak mempan padaku," cibir Hilda merendahkan. "Jangan begitu, Bu Hilda. Saya takut nanti Bu Jingga salah paham. Tolong, jangan memperkeruh suasana," tutur Sandra kalem. Dia tak terpancing sama sekali."Oh, iya! Jingga ke mana, ya?" cetus Ganendra.Sementara Jingga merasa semakin takut saat namanya disebut. Dalam keadaan panik, dia bergegas membuka satu lemari kaca yang berukuran paling besar.Jingga bersembunyi di sana, di balik kemeja-kemeja Ganendra yang tergantung rapi."Ngga!" Terdengar suara Ganendra, nyaring memanggil namanya. Jingga beringsut mundur, lalu meringkuk di sudut lemari."Ke mana dia, ya?" Ganendra mulai khawatir. Tak biasanya Jingga pergi tanpa pamit. Pikirannya semakin rumit tatkala bekas jahitan di pelipis berdenyut nyeri.Ganendra meringis sambil memegangi kepala. Diurungkannya niat untuk turun dari ranjang dan m

Bab terbaru

  • Pernikahan Sebatas Status   Awal Kisah Indah

    "Sejak aku pindah kemari, aku berangan-angan untuk melangsungkan pernikahan di resort yang kubangun dengan tangan sendiri. Sepertinya, cita-cita itu akan segera terwujud. Aku sudah mendapatkan pasangan sehidup sematiku." Ganendra mengecup punggung tangan Jingga yang sedari tadi dia genggam. "Jadi, apakah aku sudah boleh mengabari Bu Gita dan Pak Haidar?" tanya Jingga ragu. "Aku yakin Armas sudah menghubungi orang tuanya lebih dulu," cetus Ganendra. "Orang tuanya juga merupakan orang tua anda, Pak. Kalian bersaudara kandung," tutur Jingga. "Aku belum mengenalnya sama sekali. Mungkin besok aku akan mengajaknya ngobrol dari hati ke hati," ucap Ganendra. "Sekaligus mengatur pernikahan kita?" pinta Jingga penuh harap. "Itu pasti. Aku akan mengatur semuanya. Tak akan kubiarkan kamu menghilang lagi," tegas Ganendra. "Anda yang menghilang," balas Jingga."Gara-gara kamu!" Ganendra tak mau kalah. "Siapa yang tidak patah hati mendengar kabar kalau kamu menikah dengan Dewandaru?""Harusny

  • Pernikahan Sebatas Status   Cincin Kawin

    "Aku pertama kali merasakan jatuh cinta hanya denganmu. Kamu begitu berbeda dibandingkan wanita-wanita yang pernah dekat denganku. Perpisahan kita meninggalkan ruang kosong di sini." Ganendra menyentuh dadanya dengan ujung telunjuk. "Tak ada satupun yang bisa menggantikan posisimu, sampai detik ini," ungkap Ganendra tanpa malu. Dia mengesampingkan ego dan gengsinya demi membuat Jingga mengerti apa yang dia rasakan selama dua tahun terakhir. "Aku masih menyimpan cincin kawin kita," imbuh Ganendra. "Berlian merah," sahut Jingga sembari tersenyum. "Aku juga masih menyimpannya dan kubawa ke mana-mana." "Oh, ya?" "Iya!" Jingga mengangguk yakin. Dia lalu berdiri meraih tas selempang yang teronggok di sudut kamar dan mengeluarkan sebuah kotak beludru kecil. Jingga membuka kotak cincin itu kemudian menunjukkan isinya pada Ganendra. "Kenapa tidak kamu pakai?" tanya Ganendra dengan nada protes. Jingga menggeleng lemah. "Setiap kali aku memakainya, aku selalu teringat pada anda," jawabnya l

  • Pernikahan Sebatas Status   Penantian Akhir

    Ganendra melajukan SUV-nya dalam kecepatan sedang. Dia berkali-kali melirik ke arah Sophia yang nyaman tertidur dalam pangkuan Jingga di kursi tengah. Ganendra menyesal karena tak memiliki kursi khusus bayi dan balita. Sebenarnya, dia juga tak mengira akan bertemu dengan Jingga pada saat seperti ini. "Turunkan aku di South Street saja, supaya tidak perlu berbelok terlalu jauh," ujar Maude. "Tidak apa-apa. Ini sudah larut malam. Tidak baik wanita berjalan sendirian," sahut Ganendra. Jingga buru-buru memejamkan mata agar tak perlu mendengarkan percakapan itu. Namun, sepertinya semua sia-sia. Dia tidak bisa tidur sama sekali. Dadanya terasa sesak dan panas. Jika tidak memiliki rasa malu, mungkin Jingga akan menangis meraung-raung saat itu. Sekitar sepuluh menit kemudian, Ganendra menghentikan kendaraannya di depan sebuah rumah dua lantai. "Jangan lupa, besok jam sepuluh pagi," ucap Ganendra sambil membantu Maude turun dari kendaraan. "Iya, Tuan Pemaksa. Aku belum pikun," gurau Maude

  • Pernikahan Sebatas Status   Damai

    Beberapa saat kemudian, seorang wanita paruh baya menghampiri Jingga. Wanita itu berwajah Asia dan menanyakan sesuatu dalam bahasa yang tidak Jingga mengerti. "Maaf, saya tidak paham bahasa Mandarin," tolak Jingga sopan. Namun, wanita itu bersikukuh. Dia malah mengeluarkan peta dan menunjukkannya pada Jingga. Wanita tersebut menunjukkan beberapa titik pada peta. Jingga terpaksa memperhatikan, sehingga tak menyadari Sophia yang beringsut turun dari sofa. Balita cantik itu tertarik pada bola warna-warni yang menggelinding dari salah satu barang bawaan pengunjung bandara. Kaki Sophia yang mungil berlari pelan mengikuti arah gerak bola sampai berhenti di depan pintu kaca yang terus bergerak, bergeser membuka dan menutup. Sophia ragu hendak melewati pintu itu, sampai sepasang tangan mencegahnya. "Sophia! Hampir saja mama kehilanganmu," tegur Jingga. Dia membungkuk, hendak menggendong Sophia ketika tatapannya terpaku pada sepasang kaki berbalut celana bahan yang berdiri di depannya dan t

  • Pernikahan Sebatas Status   Oranje Licht

    "Anda tidak sedang bercanda, kan?" Suara Jingga bergetar menahan emosi yang meletup-letup di dalam dada. Perutnya terasa mulas sekaligus geli. "Selama ini, akulah yang menghalangi pencarian Bu Gita. Padahal sudah beberapa bulan terakhir ini aku menemukan keberadaan Ganendra, tapi aku menyembunyikannya dengan segala cara dari kalian," ungkap Dewandaru. "Di mana dia?" Air mata haru mengalir deras di pipi Jingga. "Di Belanda. Ganendra membangun resort di pesisir Utara. Kamu bisa mencarinya di mesin pencarian internet. Akan tetapi, nama yang tercantum sebagai pemilik resort itu adalah Markus Meinn. Sepertinya Ganendra memang berniat menyembunyikan identitas diri. Entah untuk apa," jelas Dewandaru."Kamu tahu, Ngga? Dia menamai resortnya 'Oranje Licht'. Bahasa Belanda yang bermakna Cahaya Jingga," sambung pria tampan itu."Tidak." Jingga menggeleng lemah. Dia menutupi wajahnya dengan kedua tangan. "Ganendra juga sempat kemari, dua tahun yang lalu," timpal Lukman tiba-tiba. "Dia menanya

  • Pernikahan Sebatas Status   Penyesalan

    "Hei, ada tamu rupanya," sapa Armas yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Jingga. Armas yang awalnya berada di dalam kamar sambil menjaga dua bocah yang tengah tertidur, bergegas mengikuti Jingga ke ruang tamu.Dewandaru tak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya saat melihat sosok adik kandung Ganendra itu. Wajahnya begitu mirip dengan sosok pria yang dia benci. "Siapa dia, Ngga?" desis Dewandaru."Armas," sahut pria bertubuh tegap tersebut seraya maju menghampiri Dewandaru. Dia mengulurkan tangan sambil menyunggingkan senyuman hangat.Dewandaru tak segera menyambut uluran tangan itu. Dia masih sibuk memindai paras tampan yang terus menatapnya penasaran. "Armas?" ulang Dewandaru beberapa saat kemudian."Gita Wulandari dan Haedar Dhanurendra adalah nama orang tuaku." Senyuman Armas semakin lebar tatkala memperhatikan raut bingung Dewandaru. "Apa mereka tidak pernah bercerita tentangku?"Dewandaru menggeleng. "Mereka selalu tertutup selain untuk urusan pekerjaan," jawabnya pelan."Ah

  • Pernikahan Sebatas Status   Gagal Move on

    Semalam sudah Jingga menginap di rumah sendiri. Kini, dia dapat bernapas lega karena tak perlu sekamar lagi dengan Armas. Pria tampan itu menempati kamar tamu bersama Elio.Keesokan harinya, Jingga mengajak Armas bertemu dengan Echa dan Marini di rumah mereka. Tak terkira betapa senangnya Marini melihat kedatangan Jingga."Ya, ampun. Kamu makin cantik saja, Ngga!" sanjung Echa takjub."Ini Sophia, ya? Akhirnya kita bisa bertemu secara langsung. Biasanya cuma lewat panggilan video!" ujar Marini antusias seraya menggendong balita cantik itu."Dan ini Elio. Anak tampan yang selalu mengganggu panggilan video kalian." Jingga mendorong lembut tubuh Elio agar semakin mendekat pada Echa."Akhirnya, aku bisa mencubit pipimu, ya!" seru Echa sembari mengusap gemas pipi Elio, lalu mencubitnya pelan."Ini Papa. Dia juga sering lewat di sebelah Tante Jingga setiap kali Tante sedang menelepon. Papa suka penasaran dan sering cemburu," celoteh Elio yang begitu lancar berbicara bahasa Indonesia. Dia ta

  • Pernikahan Sebatas Status   Masih Mencari

    Armas termangu menatap paras cantik yang kini sudah terlelap itu. Meninggalkan dirinya terjaga sendirian dalam kegalauan. Diperhatikannya wajah Jingga yang tampak begitu damai. Matanya terpejam rapat, sedangkan bibirnya yang penuh dan ranum itu sedikit terbuka, membuat naluri kelelakian Armas bangkit sempurna.Beruntung, suara rengekan Sophia menyadarkannya. "Mama, cucu," pinta Sophia sambil menangis.Lagi-lagi Armas harus bersyukur. Sophia kini sudah disapih. Dia tidak lagi minum ASI sang ibu. Sophia kini beralih pada susu botol. Bisa gawat seandainya balita lucu itu masih harus menyusu pada Jingga. Bisa-bisa Armas akan terkena serangan jantung mendadak, karena melihat apa yang seharusnya tak dia lihat."Kamu haus, Sayang? Biar aku yang membuatkan susu untukmu, karena sepertinya ibumu sedang pingsan." Armas tertawa geli melihat Jingga yang tak jua bangun. Pria rupawan itu bangkit perlahan. Disingkirkannya tangan mungil Elio yang melingkar di lengan Armas.Dia lalu turun dari ranjang

  • Pernikahan Sebatas Status   Menyerah

    Hari itu menjadi hari yang paling menyenangkan sekaligus menegangkan bagi Jingga. Untuk pertama kalinya, dia melakukan perjalanan jauh bersama balita kecil yang tak jua berhenti merengek di pangkuannya."Cici pusing," keluh Sophia. Dia selalu menyebut namanya dengan sebutan 'Cici'. "Tidak apa-apa, Cici. Nanti kalau pesawat ini sudah berada di atas awan, kamu tidak akan pusing lagi!" seru Elio yang duduk bersama sang ayah, agak jauh dari Jingga.Beruntung mereka memesan penerbangan kelas satu dengan kursi tambahan sehingga anak-anak dapat bergerak dengan nyaman."Cici takut." Kini balita cantik yang genap berusia dua tahun itu merengek."Jangan takut. Ada mama, Sayang," hibur Jingga seraya memeluk putrinya erat-erat. "Kita terbang untuk bertemu dengan Papa Cici. Dia ada di Indonesia," bujuknya sedikit berbohong."Papa?" Mata bulat itu terbelalak dan tampak menggemaskan. Setelah mendengar kata 'Papa', barulah Sophia merasa tenang. Perjalanan yang ditempuh selama kurang lebih 22 jam, b

DMCA.com Protection Status