Kakinya gemetar memasuki ruang keluarga.
"Ayah," panggil Jovanka, bibir pucatnya gemetar menunggu sang ayah melirik padanya.
Tapi, sampai Jova menghitung hingga sepuluh, tak satu pun yang menyadari kedatangannya. Semua orang tengah asik bercengkrama, sangat harmonis keluarga ini telihat mata.
"Jadi, kau ingin kado apa untuk ulang tahunmu, Queen?" Ferry Hernandez menyesap teh di gelasnya, tanpa melepaskan pandangan dari wajah putri bungsunya.
Dengan manja gadis dua puluh tahun itu bergelayut di lengan sang ayah dan berkata, "Ayah, bukankah mobilku terlalu kuno untuk gadis seusiaku? Bagaimana jika ayah memberiku mobil baru? BMW baru saja merilis produk mereka, aku menginginkannya."
"Hahahaha!" Tawa pria itu sangat renyah di telinga. "HM... mobil terbaru, ya?" katanya mengangguk. "Baiklah. Karena kau sudah berhasil masuk ke universitas ternama, ayah akan memberikannya."
"Benarkah?" Queena menatap takjub ayahnya yang barusan menyanggupi permintaannya.
Tampaknya suasana hati Ferry Hernandez sedang sangat baik malam ini. Jovanka ikut tersenyum, dia yakin ayahnya juga tak akan keberatan dengan permintaannya yang bahkan tak sampai seperempat dari Queena.
"Ayah," panggil Jovanka kembali. Kali ini Adriana meliriknya dengan napas berat.
"Ada apa, Jovanka? Ada yang ingin kau katakan?" tanyanya melipat tangan di depan dada.
Semua yang ada di ruangan itu pun ikut mengalihkan matanya pada Jovanka. Hening, tak satu pun yang berbicara sekarang, seakan tawa mereka semua ikut menghilang atas kehadiran Jovanka. Hal itu tentunya membuat Jova menjadi kikuk. Kakinya bahkan membeku di tempat.
'Apakah kedatanganku sangat mengganggu mereka?'
"Heh! Kenapa hanya diam? Kau merusak suasana keluarga, lalu hanya diam setelahnya." Bertrand, kakak pertama berkata.
"Kalau ada perlu ya ngomong. Jangan mematung di sana." Barley, kakak kedua pun ikut berbicara.
Jovanka semakin tak nyaman oleh perkataan dari kedua kakak laki-lakinya, yang menatap sinis penuh kebencian.
"Bicaralah, jika tak ada yang ingin kau katakan, jangan mengusik kebahagiaan keluarga ini." Ferry berbicara tanpa melihat langsung pada Jovanka, yang justru sibuk membuka ponsel.
Sebenci itu kah mereka, sampai menganggap dirinya bukan bagian dari keluarga ini? Mata Jovanka memanas menahan air yang hampir lolos dari sudut matanya.
'Itu tak lebih penting, Jova. Jangan hiraukan kata-kata mereka, kau harus mendapatkan uang segera.' Dia hibur dirinya sendiri agar air mata itu tak betul-betul jatuh.
"Itu... uang semesterku sudah menunggak. Ayah, bolehkah aku meminta-"
"Ini mobil yang kau inginkan, Sayang?"
Kalimat Jovanka langsung terpotong oleh pertanyaan Ferry yang menyodorkan ponselnya pada Queena.
"Benar, Ayah, aku mau yang itu!" Gadis itu berseru kegirangan.
"Siap, Tuan Putri, tunggulah kadomu datang ke halaman rumah kita."
Sorak bahagia Queen dan semua orang memenuhi ruang keluarga itu. Semua berbahagia, memberikan pujian dan selamat pada Queen yang dua hari lagi akan berulang tahun. Hanya Jovanka yang tak bisa merasakan bahagia itu, sebab dirinya bagaikan tak dianggap ada di sana. Dia hanya mematung menatap wajah-wajah penuh kegembiraan, sedang matanya tak mampu lagi menahan air mata yang mulai menuruni pipi. Tak sanggup berlama-lama, Jovanka berlari ke dalam kamarnya untuk menumpahkan sesak yang sejak tadi ia tahan.
"Aku hanya meminta uang kuliah, tapi ayah sama sekali tak peduli. Sedangkan Queen, dia selalu mendapatkan apa yang diinginkan," ucapnya di sela tangisnya yang tak tertahan.
Hanya karena berulang tahun dan berhasil masuk ke universitas ternama, Queen bisa memiliki mobil keluaran terbaru. Padahal, baru beberapa bulan yang lalu gadis itu dibelikan mobil oleh ayah mereka. Sedangkan Jovanka? Jangankan mobil, bahkan ulang tahunnya tak pernah diingat oleh semua orang. Nilainya yang selalu bagus dan bisa masuk ke universitas yang sama, tak membuat sang ayah meliriknya. Jangan ucapan selamat, sedikit senyum dari mereka pun tak berhak Jova dapatkan.
Apa karena dia pembawa sial sampai tak berhak merasakan kebahagiaan bersama keluarga? Bahkan Jova pun tak pernah menginginkan kesialan itu melekat padanya. Andaikan bisa memilih, Jova akan lebih baik tak pernah terlahir ke dunia.
"Ibu... kenapa dulu tak memilih hidupmu saja? Kenapa harus aku yang ibu pilih?" Pertanyaan yang terus terulang keluar dari mulut Jovanka, tapi tak pernah mendapat jawabannya.
"Jika Diandra memilih hidupnya, kau tak akan pernah terlahir ke dunia. Dan tentu saja aku dan Queena pun tak akan masuk ke rumah ini. Apakah kau sebenci itu pada kami?"
Jovanka bangun dari ranjang menyadari Adriana dan Queen berada di dalam kamarnya. Dia salah tingkah oleh kehadiran ibu tiri sekaligus bibinya itu.
"Ma-maaf, aku tidak berpikir demikian, Bu."
"Jangan panggil aku demikian, aku bukan ibumu!" tegas Adriana tak senang.
Kedua kakaknya berhak memanggil Adriana sebagai ibu, tapi tidak dengan Jovanka.
"Bukankah sejak awal ayahmu melarang kau mendaftar kuliah? Kau begitu sombong menganggap dirimu mampu. Tapi lihatlah, baru di pertengahan pun kau sudah mengemis padanya," sindir Adriana menatap Jovanka dari atas ke bawah.
"aku juga berhak kuliah untuk mengubah masa depanku, sebab di rumah ini sudah jelas aku tak punya masa depan." Jova menjawab tegas.
"Orang sepertimu apakah pantas mendapatkan masa depan? Masih untung kau diberi tempat tinggal, jadi jangan berharap lebih!" Adriana membalik badan dan berkata, "Queen, ayo kembali ke kamarmu. Kau bisa terkena sial jika dekat dengannya."
Padahal Adriana adalah adik kandung ibu Jovanka, tapi dia selalu mengutuk gadis itu setiap hari.
"Oh malang... entah kenapa kau harus lahir ke dunia ini." Queen yang akan mengikuti ibunya pergi, tak lupa ikut melontarkan kata yang menyakitkan.
Jovanka tertawa kecil, menertawakan hidupnya yang sungguh menyedihkan.
Queena menghentikan langkah lantas bertanya kesal, "Kau menertawakanku?"
"Itu perasaanmu saja." Jova menjawab tak acuh dan merapikan bantalnya, tapi Queena tak melepaskannya begitu saja.
"Hei, anak pembawa sial! kenapa tak mati saja agar kau tak mengotori rumah ini? Kau sudah membunuh ibumu, atau mungkin kau juga berencana membunuh ayah dan saudaramu sendiri?"
Dada Jovanka bergemuruh disebut sebagai pembunuh ibunya. Meski bukan kali ini saja kata-kata itu dituduhkan padanya, dia sangat marah sampai menatap Queen dengan mata membunuh.
"Kenapa? Kau ingin membunuhku? Kau tak puas hanya membunuh ibumu saja?"
"Bukankah seharusnya kau berterima kasih padaku, Queen? Jika aku tak membunuh ibuku, kau dan ibumu tak akan pernah memasuki rumah ini!" ucap Jova sangat marah.
Quena mendengarnya ikut kesal dan berteriak di depan wajah Jovankan, "Diam kau, Sialan!" Tak enggan dia melayangkan tamparan ke muka Jova sampai membuah gadis itu terhempas ke atas ranjang. "Kau iri padaku karena ayah tak menolongmu membayar biaya kuliah, sementara aku dibelikan mobil, begitu kan? Sadar dirilah... sampai mati pun kau tak akan bisa menyaingiku!" Dia meninggalkan Jovanka di kamar berukuran kecil itu.
Sebelum menutup pintu, Queen melihat kebelakang dan berkata, "Aku dengar, banyak orang kaya yang mencari gadis muda untuk menjadi ibu pengganti. Kupikir kau mungkin cocok menjual dirimu pada mereka, untuk membayar biaya kuliah!"
"Katakan kau hanya bercanda. Kau tidak serius akan melakukan ini, kan? Kau... aku tahu kau sangat putus asa oleh ucapan Tuan Mark, tapi kau tak mungkin mendaftakan diri pada situs gila ini!" Sarah, sahabatnya terus mengoceh di sisi Jovanka yang fokus dengan layar laptop di pangkuannya. Dia mengabaikan pertanyaan random dari gadis itu. "Jova, hentikan ini. Masa depanmu masih panjang, jangan membuat dirimu dalam kesulitan." "Bahkan aku sudah kesulitan sejak terlahir ke dunia ini, Sarah... jangan terlalu dramatis." sahut Jovanka tanpa melihat sahabatnya. "Tapi kau akan lebih kesulitan, jika seseorang benar-benar menginginkan jasamu! Hentikan, kataku hentikan itu!" Jovanka menghentikan ketikannya sejenak. Yang diucapkan Sarah ada benarnya, dia sendiri bahkan tidak siap dengan apa yang sedang dia lakukan. Jika data dirinya benar-benar terdaftar ke link itu dan seseorang menginginkan jasanya, entah bagaimana dia akan menghadapi. Dia bahkan tak berpengalaman dengan laki-laki, bagaimana
"Apakah begitu sulit bagimu mengandung sendiri anak kita?" "Sudah kukatakan berkali-kali, ini demi kau dan juga diriku. Aku tak ingin tubuhku menjadi melar di mana-mana dan membuatmu tak berselera." Pasangan suami istri itu kembali diam dalam beberapa waktu. Sejak enam tahun pernikahan mereka, Cataline selalu tegas mengatakan dirinya tak akan mengandung sendiri anaknya. Dia akan memakai jasa ibu pengganti untuk mendapatkan keturunan. Meski Rich ribuan kali meyakinkannya akan terus bersama gadis itu, Cataline tetap dengan pendiriannya. "Kau tak akan menyesalinya, Cataline?" tanya Rich meyakinkan. Cataline menggeleng cepat dan berkata, "Akan lebih menyesal jika aku yang mengandungnya. Aku tak ingin merusak tubuh indahku karena seorang anak. Lagian, bukankah banyak orang yang melakukannya? Ayolah, Rich... demi penampilan istrimu, kau harusnya mengerti. Bisa kau bayangkan teman-temanku akan mengejekku jika menjadi gendut karena hamil? Tolonglah... aku tak ingin hamil, tapi kita juga
Pria itu Rich Damian Cullen, pria 39 tahun yang kemarin menuduh Jovanka mengutuknya di toko kue, pria yang juga sedang tertekan oleh keinginan istrinya. Alisnya sampai mengerut, tak menyangka mereka akan memakai jasa gadis penjual kue itu. "Tak ada yang lain?" Rich refleks mengatakannya sebab tak suka melihat Jovanka di pertemuan pertama mereka. "Maaf, Tuan Cullen, saat ini kami hanya memiliki dua gadis yang belum berpengalaman. Yang lain sudah pernah melakukannya bahkan ada yang sudah lima kali," sahut ketua yayasan penyalur jasa. "Kalau begitu kita pakai yang pertama." "Kenapa, Rich? Dia terlihat bagus. Gadis yang tadi aku tidak suka, dia terlalu banyak bicara." Cataline menyela ucapan suaminya. "Kalau begitu, kita tunggu gadis lainnya." Rich menolak lagi dan berkata pada ketua yayasan. "Hubungi kami saat ada gadis lainnya yang memenuhi syarat. Sangat angkuh. Entah apa masalahnya sampai menolak Jovanka seperti itu, seakan Jova adalah gadis yang tak benar. Hanya karena kesala
Rich sangat kesal. Karena sempat menolak gadis itu di restoran, istrinya menjadi curiga dan terus menyelidiki. Cataline memaksa Rich untuk jujur di mana dia bertemu gadis itu dan apa yang sudah mereka lakukan. Berapa kali pun Rich membela diri, Cataline masih terus mendesak bahkan sampai mengancam akan menanyakan sendiri pada Jovanka. Dan jika itu mengatakan yang sebenarnya, percayalah Cataline tidak akan percaya mereka bertemu di toko kue. Akan semakin panjang masalah yang Cataline buat untuk membuat suaminya frustasi. "Kau dendam padaku? Jawab!" tanya Rich sekali lagi, suaranya tak lagi keras seperti tadi. "Aku tidak mengerti maksud Anda, Tuan. Jika menurut Anda karena kejadian di toko itu, aku sudah meminta maaf. Tapi jika menurut Anda aku mengikuti dan mencari tahu tentangmu untuk sesuatu, itu jelas salah. Aku membutuhkan uang untuk kuliah, itu sebabnya aku mendaftarkan diri sebagai penyewa rahim." Jovanka menjelaskan panjang lebar, tak senang dia dituduh memata-matai seseorang.
Merayu suaminya? Ya, wanita itu baru saja menuduh Jovanka merayu suaminya. Ini kah yang dikhawatirkan pria itu sehingga mencari Jovanka tengah malam? Mulut Jovanka tergagu tak mampu untuk berbohong atau berkata jujur. "Nona Jovanka Abigail?" Asisten dokter memanggil dari pintu. "Ya, kami di sini." Ketua yayasan yang menjawab sembari melihat Cataline. "Ini sudah giliran kita, Nyonya." "Masuklah, tapi kau masih berutang penjelasan padaku," ucap Cataline, nadanya penuh penuntutan. Jovanka hanya mengangguk dan pergi mengikuti asisten dokter, dia dibawa ke ruang pemeriksaan untuk dilakukan tes. Itu sangat banyak dan membosankan. Jovanka hanya patuh pada arahan mereka sembari dokter melalukan Medical Check Up. Dia tidak begitu paham tentang kedokteran, tapi selain pemeriksaan fisik, mereka juga melakukan tes ke rahimnya dengan alet USG berkamera. Selain memastikan Jovanka layak untuk mengandung, semua itu juga demi kesehatan calon bayi yang nanti akan bersarang di rahimnya. Setelah
Ketika Jovanka tiba di kampus, Mr Mark memanggilnya ke kantor untuk membicarakan biaya kuliahnya yang sudah menunggak. "Mr Mark, bukankah Anda memberiku waktu dua bulan? Ini baru dua minggu, bagaimana aku bisa melunasi semuanya? Tolong beri aku waktu, kumohon," pinta Jovanka dengan mata berkaca-kaca, dia bahkan tak memiliki uang sekarang. "Maaf, Jovanka, kupikir tadinya bisa seperti sebelumnya. Tapi sekarang... aku juga tak bisa melakukan apa-apa. Kau masuk ke universitas ini tanpa sedikit pun biaya, jadi Rektor tak bisa memberimu keringanan lagi. Jika dalam minggu ini kau tidak segera melunasinya, kau tak bisa ikut ujian atau mungkin tidak mendapatkan hasil studimu sama sekali." Kepalanya terasa ditindih beban ribuan ton mendengar sanksi yang mungkin dia dapatkan. Jovanka sampai lemas tak mampu mengatakan apa-apa. Dia tak bisa terus memohon sebab kampus sudah sangat banyak membantu sehingga dia bisa berkuliah di sana. Jovanka meninggalkan kantor itu dengan perasaan yang sangat me
"Silakan di sini, Tuan." Rich menatap surat kontrak yang diberikan oleh pengacaranya, di sana sudah lebih dulu tertera tanda tangan Cataline. Pria itu menarik napas panjang, ada rasa ragu di hatinya. "Honey?" panggil Cataline, menarik Rich dari pikirannya. Istrinya sangat bersemangat dengan calon bayi mereka, jadi dia tak ingin mengecewakannya. Dia segera menandatangani surat itu seperti yang diinginkan sang istri. Setelahnya, pengacara memberikan kepada Jovanka selaku pihak kedua. Seperti tak memikirkan apa-apa gadis itu gergegas melakukannya sehingga surat kontrak kini berpindah pada kepala yayasan sebagai penanggung jawab. Surat kontrak itu pun disahkan oleh pengacara sesuai dengan hukum yang berlaku. 'Benarkah ini pengalaman pertamanya?' Rich bertanya di pikiran, tak percaya gadis itu sama sekali tidak terlihat canggung untuk hal yang sangat besar. Setelah urusan hukumnya selesai, ketua yayasan dan Cataline berbincang-bincang membicarakan rencana esok hari. Katanya malam in
Malam terasa sangat cepat sehingga berlalu begitu saja. Jovanka belum siap ketika dibawa dengan ranjang beroda menuju ruangan lain yang sudah di siapkan, dia akan segera menerima transfer embrio milik sang klien. Kepala yayasan dan pasangan suami istri itu turut hadir di sana mengantarkan Jovanka hingga ke pintu. "Rileks, jangan terlalu tegang, oke? Kau bisa melakukannya, percayakan saja pada dokter," pesan kepala yayasan memberi semangat yang dibalas anggukan oleh Jovanka. Rich sampai detik ini masih bingung dengan perasaannya. Apakah ini sudah benar? Apakah tidak ada masalah ke depannya nanti, karena calon bayi mereka harus dikandung orang lain? Dia sangat berharap istrinyalah yang mengandung sendiri sehingga mereka benar-benar yakin pada anak itu. Tapi sifat keras kepala Cataline tak bisa dia luluhkan, mau tak mau dia harus mengikuti cara ini demi mendapatkan keturunan. "Semoga berjalan lancar, kami berharap padamu," kata Rich akhirnya. Di pertemuan pertama Rich sangat kasar d
Rich turun terburu-buru dari mobilnya dan meraih tangan Cataline. Istri yang bertengkar dengannya tempo hari segera ditarik masuk ke dalam mobil. "Apa yang kau lakukan di sini, Kate? Kau memata-matai aku?" tanya Rich, menatap inti mata istrinya menjadi penjelasan. Namun, mata itu menunduk sendu, sebelum akhirnya menitikkan buliran hangat yang kemudian mengalir di kedua pipi. Cataline menangis? Sebuah pemandangan yang sangat jarang terjadi! Bingung. Begitulah isi kepala Rich sekarang. Mengingat yang terjadi di dalam rumah tangga mereka, seharusnya Cataline datang dengan amarah seperti yang sudah-sudah. Tapi kenapa kali ini dia menangis? "Kate, ada apa? Kenapa kau menangis?" tanya Rich sekali lagi. Bukannya menjawab, tangis Cataline semakin besar bahkan dia sesenggukan sekarang. Apakah istrinya sudah memikirkan kembali kenapa Rich menikahi Jovanka? Bagus jika itu benar. Setidaknya Cataline tahu kenapa Rich harus menikahi gadis itu. Tapi... bagaimana jika sesuatu yang buruk
"Halo, Sayangku." "Kau di mana, Brengsek! Kau sengaja menjauhiku?" Sejak tadi malam Cataline mencoba menghubungi pria itu, tetapi hanya layanan operator yang terdengar mengatakan nomornya tidak bisa dihubungi. Dia langsung mengumpat begitu Liam Nelson mengangkat panggilannya. "Hei, kenapa kau sangat marah? Aku baru kembali dari perjalanan bisnis," terang Liam, masih dengan suaranya yang tenang. Cataline semakin kesal oleh jawaban Liam, dia sudah menunggu di rumahnya sejak pagi tapi pria itu belum juga pulang. "Aku di rumahmu, Brengsek. Kau pulang ke mana? Ke hotel menemui gadis-gadismu?" "Benarkah? Aku baru saja memasuki gerbang, kau akan melihatku jika benar kau di rumahku," kata Liam.Cataline langsung berdiri melihat ke jendela, benar saja mobil Liam sedang memasuki garasi terbuka yang ada di sudut kanan. Gadis itu menutup telepon dan menunggu Liam masuk. Kemarahan atas perlakuan Rich masih terus membuatnya tak tenang. Cataline menenggak beer kaleng yang dibelinya saat di pe
[Tuan Rich, Anda marah padaku? Aku sangat menyesal sudah membuatmu tersinggung.]Jovanka membaca ulang pesan yang diketiknya, dan kembali ragu untuk menekan tombol pengirim. Dia menghapus lagi pesan itu dan mengganti dengan yang lain.[Aku hanya bercanda, Tuan Rich, tolong jangan marah padaku.]Sekali lagi, dia hapus pesan itu dan berpikir keras kalimat yang benar untuk meminta maaf."Tapi kenapa aku harus meminta maaf? Dia memang melakukannya," kata gadis itu menggeleng, egonya ikut bermain.Rich sendiri yang lebih dulu menyinggung Jovanka. Pria itu patut mendapat balasan karena sudah menyebut Jovanka sebagai gadis yang tidak menarik."Tapi dia tidak berkata demikian, Jova... dia hanya berkata mempertimbangkan."Kembali Jovanka berkata sendiri.Bisa saja maksud Rich mempertimbangkan bukan karena menganggap Jovanka tidak menarik. Mungkin dia mempertimbangkan karena pria itu adalah suami orang lain sehingga tak seharusnya tidur dengan Jovanka. Apalagi dengan perjanjian pra nikah merek
Jovanka mengganti bajunya untuk ke sekian kali, dan melemparkan baju terakhir ke atas ranjang. Dia menatap tubuhnya yang hanya mengenakan dalaman, di pantulan cermin."Astaga... semua terasa tidak cocok," keluhnya kecewa.Baru berapa hari yang lalu dia berbelanja pakaian yang sangat banyak, tapi karena tidak teliti, Jovanka melakukan kesalahan. Semua pakaian itu dia beli dengan ukuran dirinya yang belum mengandung, tanpa mencoba terlebih dulu. Bagaimana bisa sesuai? Memang tidak menjadi sempit, hanya saja... perutnya yang mulai membuncit menjadi sedikit terlihat. "Ayolah, Jovanka... kenapa kau pikirkan itu? Ini belum seberapa, bobotmu akan bertambah berkali lipat lagi."Dia akhirnya mengenakan kembali pakaian itu, membuang rasa tak nyaman di kepalanya. Bagaimana pun semua orang di kampus juga akan tahu dirinya sedang mengandung. Hanya menunggu waktu saja.Tak lupa Jovanka memoles wajahnya dengan sedikit riasan, yang ikut dibeli tempo hari. Hanya bedak dan lipgloss tentu saja, sebab
Lihat lah pria itu berdiri dari duduknya. Tentu saja Cataline yang selalu menjadi pemenang. Mendengar istrinya bunuh diri, Rich pasti membujuk dan memohon agar Cataline tidak melompat dari jendela. Kesempatan itu tidak akan Cataline sia-siakan untuk lepas dari semua kejahatannya. Ya, Cataline sudah sering membalikkan kesalahan menjadi kemenangan untuknya, dan Rich selalu mengalah. Tak ubahnya hari ini, Cataline tahu suaminya akan kembali mengalah. Rich pasti memohon, bersujud demi bayi yang sudah lama diidamkan."Jangan mencegahku! Jika kau tidak meninggalkan gadis itu dan menggugurkan bayinya, maka kau akan kehilangan aku dan bayi kita!" Sekali lagi dia mengancam, menatap Rich yang berdiri di sana.Rich tidak bergeming, tetap diam di tempatnya berdiri. Cataline tidak sabar melihat Rich berjalan ke arahnya dan memohon. Tapi sialnya, kenyataan tidak sesuai dengan yang Cataline harapkan."Aku tahu kau hanya mengancam, Kate, sudahlah, kau sudah terlalu sering melakukannya padaku," kata
"Astaga, sudah berapa aku tertidur di sini?"Dia mengenakan pakaian buru-buru untuk mengusir rasa dingin di sekujur tubuh. Jovanka tidak ingat sejak kapan dia tertidur di dalam bath up itu, sehingga telapak tangan dan kakinya sudah mengeriput. Ketika keluar dari kamar mandi, semakin terkejut dia melihat jam digital yang menunjukkan hari sudah sore."Kenapa dia tak membangunkanku?" kata Jovanka menggerutu, mengingat meninggalkan Rich di balkon kamarnya. Mengatahui Jovanka tidak juga keluar, bukankah seharusnya Rich menggedor pintu? Dia keluar untuk mencari Rich di kamar sebelah, tapi pintunya sudah terkunci.Apa Rich sedang tidur? Jovanka mencoba mengintip dari lubang kunci, hanya gelap yang terlihat mata."Apa yang Anda cari, Nona?"Suara Kenrick memaksa Jovanka kembali berdiri, wajahnya sangat terkejut bercampur malu."Eh, itu... Anda melihat Rich, Tuan Ken?" tanya Jovanka, kemudian mengetuk kepala pelan.Sudahlah ketahuan mengintip, sekarang juga dia berkata jujur tengah mencari Ric
"Istriku, kau sudah mandi?""Kau akan ke mana, Istriku?""Kau menginginkan sesuatu, Istriku?""Istriku, hati-hati ketika berjalan.""Hei, Istriku, jangan banyak termenung, itu tidak baik untuk orang hamil."Gila, ini benar-benar gila. Jovanka takut dirinya akan terbawa suasan jika Rich terus melakukannya. Dia menatap pria itu tajam, menunjukkan bibir sinisnya."Jangan memanggilku seperti itu, Tuan, aku tidak suka!""Kenapa? Bukankah kau memang istriku? Terlepas aku tak boleh menyentuhmu, kau tetaplah istriku yang sah."Ya Tuhan... bisa kah Jovanka menutup mulut Rich dengan sepatunya? Bayangkan saja, sejak pagi tadi di dalam kamar, Rich terus memanggil Jovanka dengan sebutan itu, sampai rasanya Jovanka muak mendengarnya. Ke mana pun Jovanka pergi, Rich mengikuti dari belakang memperhatikan gerak-geriknya. Saat Jovanka melakukan apa pun, Rich akan memanggil dengan sebutan istri seperti yang baru saja dia lakukan.Pernikahan ini hanya sebuah status, bukan pernikahan pada umumnya. Jika Ri
Cemas, sedih, bahkan takut sudah menyergap Jovanka sejak dia menandatangi akta pernikahannya di catatan sipil. Ditambah kunjungan ke rumah orang tua Rich, berhadapan dengan wanita yang terlihat tenang tapi juga sinis dan menakutkan, sungguh membuat Jovanka tak bisa tenang.Dia hanya berpura menikmati dua mangkuk es krim untuk menyembunyikan perasaan yang sebenarnya, dan banyak bertanya membuat wajah ceria agar Rich merasa senang. Tapi sesungguhnya, hanya Jovanka lah yang tahu semua isi kepalanya.Menikah? Sejak kapan Jovanka berpikir akan menikah? Bahkan dia pernah bersumpah tidak akan menikah sampai mati, mengingat begitu malang nasib yang dijalani. Tapi tiba-tiba saja dia menerima tawaran Rich menjadi istri kedua, dan harus berhadapan dengan keluarga kaya raya. Hanya demi seorang bayi yang bahkan bukan miliknya sendiri.Bagaimana jika Nyonya Ruth Cullen tidak menerima Jovanka dan bayinya? Apa yang akan dia lakukan jika wanita itu berwatak sama dengan Cataline, berniat menggugurkan k
"Maaf tidak bisa memberi kesan baik di hari pernikahan kita.""Apa?" Jovanka tertawa kecil. "Kita tidak seperti pasangan pada umumnya, Tuan, kenapa harus meminta maaf? Aku bisa melakukannya kelak jika urusan kita sudah selesai," kata Jovanka enteng, tapi tangannya yang gemetar mengangkat sendok itu cukup bisa menunjukkan getir di dalam dada. Rich bisa melihatnya. Jovanka tengah membohongi diri sendiri untuk terlihat biasa saja, tapi tentu saja gadis itu hanya berpura kuat.Siapa gadis yang tak memiliki pernikahan impian? Semua wanita di dunia ini pasti pernah bermimpi menjadi ratu di hari pernikahannya, yang menjadi pusat perhatian semua orang. Tapi Jovanka tidak bisa meraskan itu, justru Rich membawanya pada keluarga yang kemudian merusak hari pertama mereka. Jika ditanya, tentu saja Rich menyesal datang terlalu awal. Seharusnya dia menuruti Jovanka untuk memberi jeda dan sedikit waktu. "Tapi bagaimana pun, aku tetap meminta maaf untuk semua yang terjadi hari ini, Jovanka.""Kenap