"Apakah begitu sulit bagimu mengandung sendiri anak kita?"
"Sudah kukatakan berkali-kali, ini demi kau dan juga diriku. Aku tak ingin tubuhku menjadi melar di mana-mana dan membuatmu tak berselera."
Pasangan suami istri itu kembali diam dalam beberapa waktu. Sejak enam tahun pernikahan mereka, Cataline selalu tegas mengatakan dirinya tak akan mengandung sendiri anaknya. Dia akan memakai jasa ibu pengganti untuk mendapatkan keturunan. Meski Rich ribuan kali meyakinkannya akan terus bersama gadis itu, Cataline tetap dengan pendiriannya.
"Kau tak akan menyesalinya, Cataline?" tanya Rich meyakinkan.
Cataline menggeleng cepat dan berkata, "Akan lebih menyesal jika aku yang mengandungnya. Aku tak ingin merusak tubuh indahku karena seorang anak. Lagian, bukankah banyak orang yang melakukannya? Ayolah, Rich... demi penampilan istrimu, kau harusnya mengerti. Bisa kau bayangkan teman-temanku akan mengejekku jika menjadi gendut karena hamil? Tolonglah... aku tak ingin hamil, tapi kita juga harus memiliki penerus untuk keluarga ini."
Bertahun Rich meyakinkannya tapi Cataline hanya sibuk dengan keindahan tubuh. Sampai mati pun istrinya itu tidak akan mau mengalah. Rich akan semakin tua dan bisa mati kapan saja. Lantas, untuk apa dia bekerja sangat keras jika tak memiliki keturunan untuk meneruskan nama dan bisnis keluarga? Rich ingin menimang putra, memberikan cinta pada anak-anaknya, membesarkan mereka sampai nanti melahirkan cucu-cucu yang banyak. Tapi jika Cataline tetap seperti ini, semua impian itu tak akan pernah nyata.
"Rich... bukankah kau berjanji akan menuruti semua inginku? Lantas kenapa kau tak bisa melakukannya kali ini?" Cataline memeluk lengan suaminya dan berkata dengan manja, "Kau akan melakukannya, kan? Usiaku sudah 35 tahun, aku tak ingin semakin tua karena mengandung."
Lelah dengan desakan istrinya, mau tak mau Rich harus mengalah. "Terserah kau saja, lakukan apa yang menurutmu benar."
"Kau setuju? Rich... aku sangat mencintaimu!" Cataline mencium Rich yang diam mematung.
***
[Halo, Nona Jovanka Abigail, kami sudah menemukan klien untukmu. Luangkan waktumu besok untuk menemui calon klien pertamamu. Kami akan mengirimkan pesan selanjutnya untuk tempat dan waktunya, terima kasih.]
Jantung Jovanka berdebar tak karuan membaca pesan yang masuk ke ponselnya. Ini adalah pesan ke dua setelah kemarin dia dinyatakan lulus pendaftaran tahap awal. Tak disangka, hanya kurun waktu satu hari sejak mendaftar di situs itu, Jovanka akan menemui kliennya.
"Bagaimana ini? Apakah aku harus menolak tawaran ini?" Jovanka bergumam ragu. "Tapi itu baru calon klien, belum tentu mereka akan memilihku." Dia kembali tenang memasuki kediaman keluarga Hernandez. Gelak tawa semua orang terdengar renyah menyambut kedatangan Jova. Semua orang pasti sedang berbahagia seperti biasanya. Jova tidak perlu ikut bergabung karena dia tak pernah diinginkan hadir di sana. Gadis itu menaiki anak tangga sebelum Adriana memanggilnya.
"Kau pulang, Jovanka?"
Jovanka menghentikan kakinya. Akan disebut tidak sopan jika dia tetap melangkah meninggalkan tempat itu.
"Selamat malam, semuanya. Maaf, aku pulang terlambat."
"Ya, ini sudah larut malam. Tak ada yang menyebut ini masih siang, kau tak melihat gelap di luar sana?" Bertrand menyindir sambil melirik jam di pergelangannya.
"Jovanka, sebenarnya apa yang kau lakukan di luar sana sampai tengah malam?"
Kali ini Ferry Hernandez yang bertanya dengan nada curiga. Jovanka dibuat tidak nyaman oleh tatapan mereka yang seakan menuduhnya melakukan sesuatu yang salah.
"Aku beke-"
"Sudahlah, Sayang... jangan terlalu keras pada Jovanka, dia sudah dewasa. Bukankah wajar seorang gadis pulang malam setelah bertemu dengan teman-temannya?" potong Adriana. Nadanya sangat lembut seperti dia bukanlah orang yang kemarin mengutuk Jovanka di kamar. "Sayang, besok desainer interior akan mulai bekerja. Bukankah Jovanka juga seharusnya ikut memberi saran untuk dekorasi ulang tahun Queen? Dia sangat pintar, aku rasa dia memiliki ide," sambungnya menatap lembut sang suami.
Jovanka bisa menyadari kelicikan ibu tirinya, bahwa wanita itu tak menginginkan Jovanka ada di acara ulang tahun Queen. Hanya saja dia tak langsung mengatakannya dengan gamblang.
"Kau tak boleh di sini sampai acara ulang tahun Queen selesai. Pergilah ke rumah temanmu dan menginap di sana, aku tak ingin seseorang melihat kau ada di rumah ini," perintah Ferry Hernandez.
Jovanka melihat senyum kemenangan di wajah Adriana, rencananya sesuai dengan yang diharapkan.
"Baik, Ayah." Jovanka berpamitan pergi ke kamarnya dan tak ada yang peduli. Semua orang kembali bercengkrama seperti sebelum Jovanka pulang.
Menginap di rumah teman? Hahaha! Bahkan Jovanka tak memiliki teman selain Sarah Spencer, dan tak mungkin dia menginap di rumah gadis itu. Sarah tak boleh tau terlalu banyak tentang Jovanka atau dia akan mendapat hukuman dari sang ayah.
Begitulah peraturan di dalam hidupnya. Tak ada yang boleh tahu Jovanka adalah salah satu putri keluarga ini. Sebab itu pula Ferry Hernandez menyuruhnya pergi agar tidak mengundang kecurigaan orang lain. Ferry tak pernah mengakui Jovanka sebagai putrinya di depan umum dan hanya memperkenalkan ketiga anak lainnya. Jadi, Jova tidak boleh terlalu banyak bercerita tentang hidupnya pada Sarah.
Ketika Jovanka menceritakan tentang pesan yang dia dapat, gadis bermata besar itu melotot sampai matanya hampir memenuhi wajah.
"Kau serius? Itu baru kemarin dan mereka langsung menghubungimu?" tanya Sarah tak percaya. "Aku menjadi curiga, mungkin mereka menjual gadis-gadis ke luar negeri, jadi jangan temui mereka!"
"Kau berlebihan, Sarah. Mereka mengajak bertemu di restoran, itu tempat umum. Tak mungkin mereka menculikku di sana."
"Tapi tetap saja, Jovanka! Kau harus hati-hati dan jangan begitu cepat setuju!"
Sepulang kuliah dia pergi ke toko kue dan bekerja seperti biasa. Pukul tujuh malam dia meminta ijin pada Nyonya Green dengan alasan ada acara keluarga. Nyonya Green tidak mempermasalahkannya karena selama ini Jova adalah gadis yang rajin. Dan tentang kesalahpahamannya dengan pelanggan kemarin pun tidak dipermasalahkan wanita tua itu, meski mereka tetap meminta maaf padanya. Jovanka meminjam kamar mandi toko untuk membersihkan diri, mengganti bajunya dan bergegas ke alamat yang dikirimkan pihak pencari jasa ibu pengganti.
Sudah hampir pukul delapan malam saat Jovanka memasuki restoran itu, dia akan terlambat. Teleponnya berdering dan langsung mendapat cecaran dari seberang sana.
"Nona Jovanka, apa kau serius dengan pekerjaan ini? Klien sudah tiba, di mana kau?"
"Maaf, Nyonya, aku sudah di restoran." Penelepon memberitahu Jova nomor ruangannya dan meminta pelayan mengantarkan.
"Masuklah, dan jaga pandanganmu. Klien kita bukan orang sembarangan jadi jangan membuat kesalahan." Gadis berusia tiga puluhan itu mengajak Jovanka masuk.
Di dalam sudah ada pasangan suami istri dan ketua yayasan. Jova berdiri di belakang gadis yang membawanya tanpa berani mengangkat wajah, seperti yang diperingatkan.
"Tuan dan Nyonya Cullen, ini kandidat kedua yang bisa kami kenalkan. Dia Jovanka Abigail, berusia 22 tahun dan berasal dari pinggir kota. Dia masih berkuliah dan ini pengalam pertamanya, seperti yang Nyonya Cullen inginkan."
Persis seperti sebuah barang, Jovanka ditawarkan pada calon klien yang akan memakai jasanya. Dan sebenarnya, hati gadis itu menangis mendapati dirinya tengah menjual harga diri.
"Jovanka, majulah ke depan dan berkenalan dengan calon klien."
Jova merasakan kakinya gemetar. Dia maju ke hadapan orang-orang yang sedang mempertimbangkan dirinya.
"Angkat wajahmu, biarkan calon klien kita melihatmu."
Masih dengan gemetar, Jovanka mengangkat wajahnya ragu-ragu. Betapa terkejut Jova melihat pria yang duduk di sebelah istrinya.
Bukankah itu pria yang kemarin berselisih paham dengannya di toko?
Pria itu Rich Damian Cullen, pria 39 tahun yang kemarin menuduh Jovanka mengutuknya di toko kue, pria yang juga sedang tertekan oleh keinginan istrinya. Alisnya sampai mengerut, tak menyangka mereka akan memakai jasa gadis penjual kue itu. "Tak ada yang lain?" Rich refleks mengatakannya sebab tak suka melihat Jovanka di pertemuan pertama mereka. "Maaf, Tuan Cullen, saat ini kami hanya memiliki dua gadis yang belum berpengalaman. Yang lain sudah pernah melakukannya bahkan ada yang sudah lima kali," sahut ketua yayasan penyalur jasa. "Kalau begitu kita pakai yang pertama." "Kenapa, Rich? Dia terlihat bagus. Gadis yang tadi aku tidak suka, dia terlalu banyak bicara." Cataline menyela ucapan suaminya. "Kalau begitu, kita tunggu gadis lainnya." Rich menolak lagi dan berkata pada ketua yayasan. "Hubungi kami saat ada gadis lainnya yang memenuhi syarat. Sangat angkuh. Entah apa masalahnya sampai menolak Jovanka seperti itu, seakan Jova adalah gadis yang tak benar. Hanya karena kesala
Rich sangat kesal. Karena sempat menolak gadis itu di restoran, istrinya menjadi curiga dan terus menyelidiki. Cataline memaksa Rich untuk jujur di mana dia bertemu gadis itu dan apa yang sudah mereka lakukan. Berapa kali pun Rich membela diri, Cataline masih terus mendesak bahkan sampai mengancam akan menanyakan sendiri pada Jovanka. Dan jika itu mengatakan yang sebenarnya, percayalah Cataline tidak akan percaya mereka bertemu di toko kue. Akan semakin panjang masalah yang Cataline buat untuk membuat suaminya frustasi. "Kau dendam padaku? Jawab!" tanya Rich sekali lagi, suaranya tak lagi keras seperti tadi. "Aku tidak mengerti maksud Anda, Tuan. Jika menurut Anda karena kejadian di toko itu, aku sudah meminta maaf. Tapi jika menurut Anda aku mengikuti dan mencari tahu tentangmu untuk sesuatu, itu jelas salah. Aku membutuhkan uang untuk kuliah, itu sebabnya aku mendaftarkan diri sebagai penyewa rahim." Jovanka menjelaskan panjang lebar, tak senang dia dituduh memata-matai seseorang.
Merayu suaminya? Ya, wanita itu baru saja menuduh Jovanka merayu suaminya. Ini kah yang dikhawatirkan pria itu sehingga mencari Jovanka tengah malam? Mulut Jovanka tergagu tak mampu untuk berbohong atau berkata jujur. "Nona Jovanka Abigail?" Asisten dokter memanggil dari pintu. "Ya, kami di sini." Ketua yayasan yang menjawab sembari melihat Cataline. "Ini sudah giliran kita, Nyonya." "Masuklah, tapi kau masih berutang penjelasan padaku," ucap Cataline, nadanya penuh penuntutan. Jovanka hanya mengangguk dan pergi mengikuti asisten dokter, dia dibawa ke ruang pemeriksaan untuk dilakukan tes. Itu sangat banyak dan membosankan. Jovanka hanya patuh pada arahan mereka sembari dokter melalukan Medical Check Up. Dia tidak begitu paham tentang kedokteran, tapi selain pemeriksaan fisik, mereka juga melakukan tes ke rahimnya dengan alet USG berkamera. Selain memastikan Jovanka layak untuk mengandung, semua itu juga demi kesehatan calon bayi yang nanti akan bersarang di rahimnya. Setelah
Ketika Jovanka tiba di kampus, Mr Mark memanggilnya ke kantor untuk membicarakan biaya kuliahnya yang sudah menunggak. "Mr Mark, bukankah Anda memberiku waktu dua bulan? Ini baru dua minggu, bagaimana aku bisa melunasi semuanya? Tolong beri aku waktu, kumohon," pinta Jovanka dengan mata berkaca-kaca, dia bahkan tak memiliki uang sekarang. "Maaf, Jovanka, kupikir tadinya bisa seperti sebelumnya. Tapi sekarang... aku juga tak bisa melakukan apa-apa. Kau masuk ke universitas ini tanpa sedikit pun biaya, jadi Rektor tak bisa memberimu keringanan lagi. Jika dalam minggu ini kau tidak segera melunasinya, kau tak bisa ikut ujian atau mungkin tidak mendapatkan hasil studimu sama sekali." Kepalanya terasa ditindih beban ribuan ton mendengar sanksi yang mungkin dia dapatkan. Jovanka sampai lemas tak mampu mengatakan apa-apa. Dia tak bisa terus memohon sebab kampus sudah sangat banyak membantu sehingga dia bisa berkuliah di sana. Jovanka meninggalkan kantor itu dengan perasaan yang sangat me
"Silakan di sini, Tuan." Rich menatap surat kontrak yang diberikan oleh pengacaranya, di sana sudah lebih dulu tertera tanda tangan Cataline. Pria itu menarik napas panjang, ada rasa ragu di hatinya. "Honey?" panggil Cataline, menarik Rich dari pikirannya. Istrinya sangat bersemangat dengan calon bayi mereka, jadi dia tak ingin mengecewakannya. Dia segera menandatangani surat itu seperti yang diinginkan sang istri. Setelahnya, pengacara memberikan kepada Jovanka selaku pihak kedua. Seperti tak memikirkan apa-apa gadis itu gergegas melakukannya sehingga surat kontrak kini berpindah pada kepala yayasan sebagai penanggung jawab. Surat kontrak itu pun disahkan oleh pengacara sesuai dengan hukum yang berlaku. 'Benarkah ini pengalaman pertamanya?' Rich bertanya di pikiran, tak percaya gadis itu sama sekali tidak terlihat canggung untuk hal yang sangat besar. Setelah urusan hukumnya selesai, ketua yayasan dan Cataline berbincang-bincang membicarakan rencana esok hari. Katanya malam in
Malam terasa sangat cepat sehingga berlalu begitu saja. Jovanka belum siap ketika dibawa dengan ranjang beroda menuju ruangan lain yang sudah di siapkan, dia akan segera menerima transfer embrio milik sang klien. Kepala yayasan dan pasangan suami istri itu turut hadir di sana mengantarkan Jovanka hingga ke pintu. "Rileks, jangan terlalu tegang, oke? Kau bisa melakukannya, percayakan saja pada dokter," pesan kepala yayasan memberi semangat yang dibalas anggukan oleh Jovanka. Rich sampai detik ini masih bingung dengan perasaannya. Apakah ini sudah benar? Apakah tidak ada masalah ke depannya nanti, karena calon bayi mereka harus dikandung orang lain? Dia sangat berharap istrinyalah yang mengandung sendiri sehingga mereka benar-benar yakin pada anak itu. Tapi sifat keras kepala Cataline tak bisa dia luluhkan, mau tak mau dia harus mengikuti cara ini demi mendapatkan keturunan. "Semoga berjalan lancar, kami berharap padamu," kata Rich akhirnya. Di pertemuan pertama Rich sangat kasar d
Seminggu pasca tindakan pemindahan embrio, Jovanka kerap merasakan nyeri dada dan perut kembung. Dokter berkata itu normal selama tidak mengganggu aktivitasnya, dia pun bisa melakukan aktivitas seperti biasa, meski dikatakan jangan terlalu kelelahan.Siang itu Jovanka bekerja seperti biasa di toko kue, menyusun kue-kue yang masih hangat ke ranknya. Sesekali dia melirik saat pelanggan baru memasuki toko dan bertanya apa yang mereka cari. Tiba-tiba dia merasakan kram di perutnya, gadis itu segera berlutut mencegah tubuhnya bisa saja tumbang.'Di sini ada calon bayi orang lain.' Kalimat itu dia ulang-ulang di dalam hati, menjaga agar dirinya tetap baik-baik saja. Bagaimana pun, Jovanka harus berhasil hamil agar tak sia-sia pengorbanannya. Tapi meski sudah berlutut beberapa saat, Jova tidak merasakan ada keringanan, justru itu semakin hebat dia rasakan. Apakah mungkin embrio itu terganggu oleh aktivitasnya? Jovanka kalut dan berdiri perlahan, hal itu membuat Nyonya Green berlari padanya.
"Aku sudah mengajukan pada rektor agar kau diberi waktu dan itu hanya satu minggu, tapi kau bahkan tak bisa melunasinya." "Tapi, Mr Mark, jika aku melewatkan ujian ini, aku harus mengulangnya kembali. Tolonglah... aku akan melunasinya minggu depan." Dia memohon dengan sungguh-sungguh.Hanya menunggu satu minggu lagi. Jika dirinya dinyatakan hamil, Jovanka akan mendapat bagian dari kepala yayasan sebanyak yang dijanjikan di dalam kontrak. Itu uang yang sangat banyak meski klien hanya membayarnya dengan uang muka saja. Dan andai pun dia dinyatakan tidak hamil, Jovanka masih akan mendapatkan uang dari tindakan yang dilakukan padanya. Meski itu tidak terlalu banyak, Jovanka masih bisa melunasi biaya semester dan untuk uang sakunya."Mr Mark, Anda mendengarku? tolonglah kali ini," pinta Jovanka sekali lagi, melihat lawan bicaranya yang hanya diam."Itu di luar wewenangku, maaf, Nona Jovanka. Jika kau ingin mengikuti ujian ini, maka kau harus segera melunasinya sebelum ujian dimulai." Tak
Rich turun terburu-buru dari mobilnya dan meraih tangan Cataline. Istri yang bertengkar dengannya tempo hari segera ditarik masuk ke dalam mobil. "Apa yang kau lakukan di sini, Kate? Kau memata-matai aku?" tanya Rich, menatap inti mata istrinya menjadi penjelasan. Namun, mata itu menunduk sendu, sebelum akhirnya menitikkan buliran hangat yang kemudian mengalir di kedua pipi. Cataline menangis? Sebuah pemandangan yang sangat jarang terjadi! Bingung. Begitulah isi kepala Rich sekarang. Mengingat yang terjadi di dalam rumah tangga mereka, seharusnya Cataline datang dengan amarah seperti yang sudah-sudah. Tapi kenapa kali ini dia menangis? "Kate, ada apa? Kenapa kau menangis?" tanya Rich sekali lagi. Bukannya menjawab, tangis Cataline semakin besar bahkan dia sesenggukan sekarang. Apakah istrinya sudah memikirkan kembali kenapa Rich menikahi Jovanka? Bagus jika itu benar. Setidaknya Cataline tahu kenapa Rich harus menikahi gadis itu. Tapi... bagaimana jika sesuatu yang buruk
"Halo, Sayangku." "Kau di mana, Brengsek! Kau sengaja menjauhiku?" Sejak tadi malam Cataline mencoba menghubungi pria itu, tetapi hanya layanan operator yang terdengar mengatakan nomornya tidak bisa dihubungi. Dia langsung mengumpat begitu Liam Nelson mengangkat panggilannya. "Hei, kenapa kau sangat marah? Aku baru kembali dari perjalanan bisnis," terang Liam, masih dengan suaranya yang tenang. Cataline semakin kesal oleh jawaban Liam, dia sudah menunggu di rumahnya sejak pagi tapi pria itu belum juga pulang. "Aku di rumahmu, Brengsek. Kau pulang ke mana? Ke hotel menemui gadis-gadismu?" "Benarkah? Aku baru saja memasuki gerbang, kau akan melihatku jika benar kau di rumahku," kata Liam.Cataline langsung berdiri melihat ke jendela, benar saja mobil Liam sedang memasuki garasi terbuka yang ada di sudut kanan. Gadis itu menutup telepon dan menunggu Liam masuk. Kemarahan atas perlakuan Rich masih terus membuatnya tak tenang. Cataline menenggak beer kaleng yang dibelinya saat di pe
[Tuan Rich, Anda marah padaku? Aku sangat menyesal sudah membuatmu tersinggung.]Jovanka membaca ulang pesan yang diketiknya, dan kembali ragu untuk menekan tombol pengirim. Dia menghapus lagi pesan itu dan mengganti dengan yang lain.[Aku hanya bercanda, Tuan Rich, tolong jangan marah padaku.]Sekali lagi, dia hapus pesan itu dan berpikir keras kalimat yang benar untuk meminta maaf."Tapi kenapa aku harus meminta maaf? Dia memang melakukannya," kata gadis itu menggeleng, egonya ikut bermain.Rich sendiri yang lebih dulu menyinggung Jovanka. Pria itu patut mendapat balasan karena sudah menyebut Jovanka sebagai gadis yang tidak menarik."Tapi dia tidak berkata demikian, Jova... dia hanya berkata mempertimbangkan."Kembali Jovanka berkata sendiri.Bisa saja maksud Rich mempertimbangkan bukan karena menganggap Jovanka tidak menarik. Mungkin dia mempertimbangkan karena pria itu adalah suami orang lain sehingga tak seharusnya tidur dengan Jovanka. Apalagi dengan perjanjian pra nikah merek
Jovanka mengganti bajunya untuk ke sekian kali, dan melemparkan baju terakhir ke atas ranjang. Dia menatap tubuhnya yang hanya mengenakan dalaman, di pantulan cermin."Astaga... semua terasa tidak cocok," keluhnya kecewa.Baru berapa hari yang lalu dia berbelanja pakaian yang sangat banyak, tapi karena tidak teliti, Jovanka melakukan kesalahan. Semua pakaian itu dia beli dengan ukuran dirinya yang belum mengandung, tanpa mencoba terlebih dulu. Bagaimana bisa sesuai? Memang tidak menjadi sempit, hanya saja... perutnya yang mulai membuncit menjadi sedikit terlihat. "Ayolah, Jovanka... kenapa kau pikirkan itu? Ini belum seberapa, bobotmu akan bertambah berkali lipat lagi."Dia akhirnya mengenakan kembali pakaian itu, membuang rasa tak nyaman di kepalanya. Bagaimana pun semua orang di kampus juga akan tahu dirinya sedang mengandung. Hanya menunggu waktu saja.Tak lupa Jovanka memoles wajahnya dengan sedikit riasan, yang ikut dibeli tempo hari. Hanya bedak dan lipgloss tentu saja, sebab
Lihat lah pria itu berdiri dari duduknya. Tentu saja Cataline yang selalu menjadi pemenang. Mendengar istrinya bunuh diri, Rich pasti membujuk dan memohon agar Cataline tidak melompat dari jendela. Kesempatan itu tidak akan Cataline sia-siakan untuk lepas dari semua kejahatannya. Ya, Cataline sudah sering membalikkan kesalahan menjadi kemenangan untuknya, dan Rich selalu mengalah. Tak ubahnya hari ini, Cataline tahu suaminya akan kembali mengalah. Rich pasti memohon, bersujud demi bayi yang sudah lama diidamkan."Jangan mencegahku! Jika kau tidak meninggalkan gadis itu dan menggugurkan bayinya, maka kau akan kehilangan aku dan bayi kita!" Sekali lagi dia mengancam, menatap Rich yang berdiri di sana.Rich tidak bergeming, tetap diam di tempatnya berdiri. Cataline tidak sabar melihat Rich berjalan ke arahnya dan memohon. Tapi sialnya, kenyataan tidak sesuai dengan yang Cataline harapkan."Aku tahu kau hanya mengancam, Kate, sudahlah, kau sudah terlalu sering melakukannya padaku," kata
"Astaga, sudah berapa aku tertidur di sini?"Dia mengenakan pakaian buru-buru untuk mengusir rasa dingin di sekujur tubuh. Jovanka tidak ingat sejak kapan dia tertidur di dalam bath up itu, sehingga telapak tangan dan kakinya sudah mengeriput. Ketika keluar dari kamar mandi, semakin terkejut dia melihat jam digital yang menunjukkan hari sudah sore."Kenapa dia tak membangunkanku?" kata Jovanka menggerutu, mengingat meninggalkan Rich di balkon kamarnya. Mengatahui Jovanka tidak juga keluar, bukankah seharusnya Rich menggedor pintu? Dia keluar untuk mencari Rich di kamar sebelah, tapi pintunya sudah terkunci.Apa Rich sedang tidur? Jovanka mencoba mengintip dari lubang kunci, hanya gelap yang terlihat mata."Apa yang Anda cari, Nona?"Suara Kenrick memaksa Jovanka kembali berdiri, wajahnya sangat terkejut bercampur malu."Eh, itu... Anda melihat Rich, Tuan Ken?" tanya Jovanka, kemudian mengetuk kepala pelan.Sudahlah ketahuan mengintip, sekarang juga dia berkata jujur tengah mencari Ric
"Istriku, kau sudah mandi?""Kau akan ke mana, Istriku?""Kau menginginkan sesuatu, Istriku?""Istriku, hati-hati ketika berjalan.""Hei, Istriku, jangan banyak termenung, itu tidak baik untuk orang hamil."Gila, ini benar-benar gila. Jovanka takut dirinya akan terbawa suasan jika Rich terus melakukannya. Dia menatap pria itu tajam, menunjukkan bibir sinisnya."Jangan memanggilku seperti itu, Tuan, aku tidak suka!""Kenapa? Bukankah kau memang istriku? Terlepas aku tak boleh menyentuhmu, kau tetaplah istriku yang sah."Ya Tuhan... bisa kah Jovanka menutup mulut Rich dengan sepatunya? Bayangkan saja, sejak pagi tadi di dalam kamar, Rich terus memanggil Jovanka dengan sebutan itu, sampai rasanya Jovanka muak mendengarnya. Ke mana pun Jovanka pergi, Rich mengikuti dari belakang memperhatikan gerak-geriknya. Saat Jovanka melakukan apa pun, Rich akan memanggil dengan sebutan istri seperti yang baru saja dia lakukan.Pernikahan ini hanya sebuah status, bukan pernikahan pada umumnya. Jika Ri
Cemas, sedih, bahkan takut sudah menyergap Jovanka sejak dia menandatangi akta pernikahannya di catatan sipil. Ditambah kunjungan ke rumah orang tua Rich, berhadapan dengan wanita yang terlihat tenang tapi juga sinis dan menakutkan, sungguh membuat Jovanka tak bisa tenang.Dia hanya berpura menikmati dua mangkuk es krim untuk menyembunyikan perasaan yang sebenarnya, dan banyak bertanya membuat wajah ceria agar Rich merasa senang. Tapi sesungguhnya, hanya Jovanka lah yang tahu semua isi kepalanya.Menikah? Sejak kapan Jovanka berpikir akan menikah? Bahkan dia pernah bersumpah tidak akan menikah sampai mati, mengingat begitu malang nasib yang dijalani. Tapi tiba-tiba saja dia menerima tawaran Rich menjadi istri kedua, dan harus berhadapan dengan keluarga kaya raya. Hanya demi seorang bayi yang bahkan bukan miliknya sendiri.Bagaimana jika Nyonya Ruth Cullen tidak menerima Jovanka dan bayinya? Apa yang akan dia lakukan jika wanita itu berwatak sama dengan Cataline, berniat menggugurkan k
"Maaf tidak bisa memberi kesan baik di hari pernikahan kita.""Apa?" Jovanka tertawa kecil. "Kita tidak seperti pasangan pada umumnya, Tuan, kenapa harus meminta maaf? Aku bisa melakukannya kelak jika urusan kita sudah selesai," kata Jovanka enteng, tapi tangannya yang gemetar mengangkat sendok itu cukup bisa menunjukkan getir di dalam dada. Rich bisa melihatnya. Jovanka tengah membohongi diri sendiri untuk terlihat biasa saja, tapi tentu saja gadis itu hanya berpura kuat.Siapa gadis yang tak memiliki pernikahan impian? Semua wanita di dunia ini pasti pernah bermimpi menjadi ratu di hari pernikahannya, yang menjadi pusat perhatian semua orang. Tapi Jovanka tidak bisa meraskan itu, justru Rich membawanya pada keluarga yang kemudian merusak hari pertama mereka. Jika ditanya, tentu saja Rich menyesal datang terlalu awal. Seharusnya dia menuruti Jovanka untuk memberi jeda dan sedikit waktu. "Tapi bagaimana pun, aku tetap meminta maaf untuk semua yang terjadi hari ini, Jovanka.""Kenap