Seminggu pasca tindakan pemindahan embrio, Jovanka kerap merasakan nyeri dada dan perut kembung. Dokter berkata itu normal selama tidak mengganggu aktivitasnya, dia pun bisa melakukan aktivitas seperti biasa, meski dikatakan jangan terlalu kelelahan.
Siang itu Jovanka bekerja seperti biasa di toko kue, menyusun kue-kue yang masih hangat ke ranknya. Sesekali dia melirik saat pelanggan baru memasuki toko dan bertanya apa yang mereka cari. Tiba-tiba dia merasakan kram di perutnya, gadis itu segera berlutut mencegah tubuhnya bisa saja tumbang.
'Di sini ada calon bayi orang lain.' Kalimat itu dia ulang-ulang di dalam hati, menjaga agar dirinya tetap baik-baik saja. Bagaimana pun, Jovanka harus berhasil hamil agar tak sia-sia pengorbanannya.
Tapi meski sudah berlutut beberapa saat, Jova tidak merasakan ada keringanan, justru itu semakin hebat dia rasakan. Apakah mungkin embrio itu terganggu oleh aktivitasnya? Jovanka kalut dan berdiri perlahan, hal itu membuat Nyonya Green berlari padanya.
"Jovanka, kau sakit?" tanya Nyonya Green khawatir, sebab beberapa hari yang lalu gadis itu sempat meminta ijin libur dengan alasan sakit. "Jika kau belum benar-benar sembuh, kenapa kau masuk bekerja?"
"Maaf, Nyonya, aku hanya sakit perut. Sudah tiga hari aku mengalami sembelit dan mungkin karena itu."
"Astaga anak ini. Pergilah ke dokter jika begitu, aku tak ingin mempekerjakan orang penyakitan!" ketus Nyonya Green.
Benar. Jovanka butuh ke dokter untuk memastikan semua baik-baik saja, dia tak ingin membuang waktu sehingga segalanya menjadi sia-sia.
"Baik, Nyonya, maaf sudah membuat Anda kerepotan," ucap Jovanka merasa tak enak. Gadis itu mengambil tasnya dan berjalan menuju pintu keluar, tapi kemudian dia berhenti di depan toko.
"Aku tak memiliki uang yang cukup untuk bertemu dokter, bagaimana ini?" kata Jovanka mengingat sisa gajinya yang tak seberapa, sebab kemarin sudah mengembalikan uang Sarah. Kemudian dia menghubungi kepala yayasan, bagaimana pun mereka masih bertanggung jawab sampai kontrak ini berakhir.
Tapi kram di perutnya semakin hebat sehingga Jovanka tak kuat menahan, ponselnya jatuh sebelum panggilan terhubung. Kram di perutnya membuat Jovanka semakin lemah, kaki tak mampu lagi menahan bobot tubuhnya sehingga Jovanka goyah. Meski dia harus terjatuh, Jovanka mempertahankan diri agar perutnya tidak terbentur. Saat lututnya akan berbenturan dengan lantai, seseorang datang menangkap lengannya.
"Kau sakit?"
"To-tolong, perutku... sangat sakit," kata Jovanka meminta tolong, dia terkejut saat melihat orang itu adalah Tuan Cullen, orang yang menjadi kliennya. "Aku... sepertinya ada sesuatu yang keluar di sini," katanya menunjuk bagian bawahnya.
Tanpa memikirkan apa pun, Rich menggendong Jovanka di kedua tangan dan berlari membawa gadis itu menuju mobilnya di parkiran, seakan tubuh Jovanka hanya seuntal kain yang ringan. Dia membawa mobilnya menuju rumah sakit, setelah meletakkan gadis itu di kursi penumpang. Sesekali dia melirik ke belakang ketika terdengar suara gadis itu meringis kesakitan.
Begitu tiba di Rumah Sakit pun Rich menggendong Jovanka menuju kamar pemeriksaan dan menunggu dengan tak sabar. Ada banyak hal yang dia pikirkan tentang Jovanka dan keselamatannya.
Apakah gadis itu menjadi sakit karena tindakan yang dilakukan? Apa maksudnya ada sesuatu yang keluar? Apakah... gadis itu mungkin mengalami keguguran? Tapi seingatnya, dokter berkata mereka akan melihat kehamilan di minggu kedua. Apakah bisa keguguran meski belum hamil? Rich sangat tegang, pikirannya tak karuan, dia berharap gadis itu baik-baik saja.
Saat dokter keluar dari pintu, Rich bergegas menghampirinya untuk bertanya.
"Bagaimana keadaannya, Dokter? Apakah gadis itu baik-baik saja?"
"Tenang saja, Tuan, dia hanya kelelahan, tak ada yang serius untuk dikhawatirkan," jawab sang dokter tenang.
Syukurlah... Rich sedikit lega oleh jawaban sang dokter sebelum kemudian dia teringat keluhan Jovanka.
"Dia berkata ada sesuatu yang keluar. Dokter, bagaimana dengan embrio yang disuntikkan? Itu... baik-baik saja?" tanya Rich kembali. Dia sangat berharap kejadian itu tidak berdampak buruk pada calon janinnya.
"Itu hanya flek dan biasa terjadi setelah embrio transfer. Angka HcG juga baik tapi kita belum bisa memastikan secepat ini. Sebaiknya, Nona Jovanka tidak stres dan jangan dulu melakukan aktivitas berat, menjaga embrio bisa menempel dengan sempurna."
Rich lega tapi menjadi sedikit kesal. Gadis itu, entah apa yang membuatnya harus bekerja di saat semua orang berharap padanya. Beruntung Rich datang ke toko kue sehingga bisa membantunya tepat waktu.
Dia memasuki ruang pemeriksaan dan menatap Jovanka yang terbaring lemah.
"Apa kau sangat terobsesi menjadi kaya, sampai tak sabar untuk bekerja? Sabarlah sedikit lagi, saat kau sukses mengandung, kau akan mendapatkan uang yang banyak," katanya bernada dingin.
Jovanka sangat tersinggung oleh perkataannya dan menjawab dengan nada menyindir.
"Maaf, Tuan, itu salahku. Tapi aku juga butuh pekerjaan untuk berjaga-jaga."
"Apa uang itu tidak cukup untukmu tidur di hotel?" tanya Rich, padahal dia sudah memberi sebagian uang pada yayasan.
Jovanka tersenyum kecut. "Aku akan mendapatkannya jika kehamilan terjadi. Yayasan tak mau mengambil risiko seandainya ini tidak berjalan sesuai yang diharapkan."
Rich menjadi malu oleh jawaban Jovanka. Ternyata uang yang diberikan pada yayasan belum bisa menjadi hak gadis itu.
"Mulai hari ini, jangan pergi bekerja. Aku akan menanggung tempat tinggal dan makanmu asalkan kau mendengarkanku. Itu harus berhasil tak peduli berapa kali pun harus diulang!" katanya, lantas meninggalkan Jovanka.
Maksudnya... dia akan membiayai Jovanka bahkan jika tindakan pertama ini gagal? Dia akan terus mencoba sampai Jovanka benar-benar bisa mengandung bayi mereka? Gadis itu tak ingin terlalu percaya diri, tapi jika kata-kata Rich diartikan, bukankah memang seperti itu maksudnya?
"Aku sudah mengajukan pada rektor agar kau diberi waktu dan itu hanya satu minggu, tapi kau bahkan tak bisa melunasinya." "Tapi, Mr Mark, jika aku melewatkan ujian ini, aku harus mengulangnya kembali. Tolonglah... aku akan melunasinya minggu depan." Dia memohon dengan sungguh-sungguh.Hanya menunggu satu minggu lagi. Jika dirinya dinyatakan hamil, Jovanka akan mendapat bagian dari kepala yayasan sebanyak yang dijanjikan di dalam kontrak. Itu uang yang sangat banyak meski klien hanya membayarnya dengan uang muka saja. Dan andai pun dia dinyatakan tidak hamil, Jovanka masih akan mendapatkan uang dari tindakan yang dilakukan padanya. Meski itu tidak terlalu banyak, Jovanka masih bisa melunasi biaya semester dan untuk uang sakunya."Mr Mark, Anda mendengarku? tolonglah kali ini," pinta Jovanka sekali lagi, melihat lawan bicaranya yang hanya diam."Itu di luar wewenangku, maaf, Nona Jovanka. Jika kau ingin mengikuti ujian ini, maka kau harus segera melunasinya sebelum ujian dimulai." Tak
Rich membawa Jovanka menuju mobil dan menyuruh supir mengantarkannya ke hotel. Sementara Rich dia ingin tahu apa yang dialami gadis itu sampai memohon pada dua wanita tadi."Jangan berani pergi dari hotel tanpa seijinku, kau paham?" perintahnya sebelum mobil itu melaju. Jovanka hanya diam menutup wajahnya dengan kedua tangan, tampaknya dia sangat malu dilihat oleh Rich.Setelah kepergian Jovanka, pria itu menemui biro administrasi kampus untuk mencari tahu tentang Jovanka dan betapa terkejut dia saat mendengar gadis itu tidak diijinkan ikut ujian karena belum membayar tunggakan uang semesternya."Bukankah kalian menerima sumbangan yang sangat besar? Seharusnya itu bisa membantu mahasiswa yang sedang kesulitan, kenapa membuatnya semakin tertekan?" kata Rich geram.Dia adalah penyumbang yang paling tinggi di kampus ini. Laporan yang dia dapatkan mengatakan sumbangan itu digunakan untuk beberapa mahasiswa yang kurang mampu, mendapatkan bantuan keringanan potongan uang semester dan pemban
Pagi itu Jovanka bangun sangat bersemangat dari ranjangnya. Bukan karena ranjang itu sangat empuk dan tak sama dengan kasur tipis yang dia miliki di rumah. Tetapi dia bersemangat karena pagi ini akan mengikuti ujian di kampus.Keberuntungan ternyata tidak meninggalkannya begitu saja, meski Jovanka mengalami kesulitan beberapa hari terakhir. Ponsel yang dia pikir menghilang ternyata ada pada Rich dan pria itu menyerahkannya kemarin, sebelum pergi dari hotel. Tak lama setelah Jovanka mengisi daya, ponselnya berdering dan dia mendapat kabar dirinya diperbolehkan ujian, bahkan dikatakan mendapat beasiswa. Jovanka sangat senang sampai menelepon Sarah di pagi-pagi sekali."Hei, Nona, apa yang terjadi sampai kau bersemangat begini?" Sarah bertanya, ikut tersenyum melihat wajah sahabatnya yang sangat cerah di layar ponsel."Sarah, aku tak tahu bagaimana mengatakannya." Jovanka mengambil jeda beberapa saat sebelum mulai bercerita tentang keberuntungan yang tiba-tiba dia dapatkan. "Ini di luar
Jovanka masih tertegun di dekat pintu kamar hotel, menatap pria yang berdiri di dekat sofa. Pria itu mengeluarkan sebuah benda dari dalam kotaknya, tampaknya itu baru saja dia beli. "Kenapa kau masih di situ? Tutup pintunya, atau seseorang akan membuat masalah."Dia terperanjat setelah mendengar ucapan si pria, lalu menutup pintu segera."Ini. Kau bisa memakainya untuk berkuliah.""Maksudnya... Anda membelikanku laptop itu?"Serius? Dia memberi Jovanka sebuah laptop baru untuk dipakai berkuliah? Jovanka tidak mengerti dengan pikiran pria bernama Rich itu. "Maaf, tapi aku memilikinya di rumah. Kenapa Anda repot-repot membelikannya?""Aku melakukannya untuk keselamatan embrio yang ada di perutmu, jangan banyak bertanya," sahut Rich sebelum gadis itu bertanya kembali."Selesaikan ujianmu segera dan jangan stress. Kau ingat kata dokter? Kesehatanmu juga penting untuk keberhasilan transfer embrio itu." Dia kemudian pergi tanpa melihat ke belakang.Oke. Jovanka tahu dirinya sedang membaw
Sepuluh hari sudah berlalu sejak Jovanka menerima embrio transfer milik pasangan suami istri itu. Setelah mengantarkan jawaban ujiannya ke kampus, dia bergegas menuju Rumah Sakit di mana tindakan itu dilakukan padanya. Hari ini adalah jadwal melakukan pemeriksaan untuk melihat apakah hasilnya sesuai dengan yang diharapkan.Ketua yayasan sudah menghubunginya sejak tadi. Ketika tiba di depan ruang pemeriksaan, dia melihat Rich dan istrinya juga ada di sana. Dia menjadi kikuk kala mendengar perkataan Cataline yang langsung menyemprotnya.“Apa kau tidak bisa lebih konsisten, Nona Jovanka?”“Maaf, Nyonya, aku harus mengurus ujian kuliahku, tolong maafkan aku.” Jovanka setengah membungkuk dan menunjukkan wajah menyesal.“Dan kau pikir kami tidak memiliki kesibukan? Jangan berpikir hanya kami yang membutuhkanmu, kau juga membutuhkan uang dari kami!”“Kate, sudah, sudah.” Rich merasa sungkan oleh ucapan istrinya dan langsung menengahi. “Nona Jovanka, masuklah. Dokter sudah menunggu sejak tad
"Sayang, menurutmu apa jenis anak kita saat lahir nanti? Perempuan atau laki-laki?" "Rich, ini masih sangat lama. Jangan terlalu buru-buru memikirkan itu apa." "Tidak, Kate, kita harus memikirkannya sejak sekarang. Kau tidak memiliki harapan akan memiliki seorang bayi laki-laki atau perempuan?" Rich memutar tubuhnya menghadap Cataline untuk bisa melihat wajah istrinya. Raut bahagia yang dia tunjukkan membuat Cataline merasa tak senang."Entahlah, aku belum memikirkannya," sahut Cataline tak acuh. Sebenarnya, dia senang saja karena berhasil memberi anak untuk Rich. Tapi reaksi suaminya yang sangat bersemangat entah kenapa membuat dia menjadi tak senang. "Astaga, aku bingung ingin berdoa apa sekarang. Apakah aku harus meminta anak laki-laki, agar dia bisa menjaga adiknya kelak?" Sangat bersemangat Rich terus membahas anak yang akan mereka miliki nanti, dia tidak bisa tenang di atas ranjang dan terus membuat gerakan. "Ah aku pasti sudah keterlaluan. Kita sudah berhasil membuat ba
Perkataan Sebastian terus berputar di kepala pria itu, sehingga dia semakin geram. Langkah panjangnya tidak sabaran ingin segera tiba di pintu kamar Jovanka, yang masih berdiri di sana dengan seseorang. "Jovanka Abigail!"Ketika Rich memanggilnya, Jovanka dan pria itu langsung melihat padanya. "Hei... Rich Damian Cullen!" seru pria itu melebarkan kedua tangannya. "Wah! Apakah ini sebuah keberuntungan? Sungguh tak terduga bisa bertemu denganmu tanpa membuat janji."Pria itu adalah Liam Nelson, orang yang pernah mengganggu Cataline di awal pernikahannya dulu. Dan sejujurnya, Rich sangat tidak menyukainya, meski mereka memiliki beberapa kerjasama. Selain pernah mengganggu Cataline, Liam juga sudah terkenal sangat suka bermain-main dengan bergonta-ganti wanita. Mengetahui Jovanka bisa mengenal pria itu, dia menjadi semakin tidak senang. "Jovanka, masuklah."Mendengar nada memerintah Rich pada Jovanka, Liam terkekeh pelan dan berkata pada Jovanka, "Terima kasih, Manis. Mari kita berte
Rich membeku mendengar perkataan istrinya. Hanya karena dia membawa Jovanka ke rumah mereka, lantas istrinya ingin meninggalkan rumah?Baiklah. Rich tahu tak ada istri di mana pun yang mau rumahnya dimasuki perempuan lain, apalagi mereka bahkan tidak mengenal Jovanka. Tapi karena itu pula lah dia ragu membiarkan Jovanka tinggal jauh, sebab mereka tak akan tahu apa yang bisa dilakukan Jovanka pada bayi mereka. "Kate, dengar," kata Rich. Meski istrinya menutup telinga dan tak mau mendengarkan, dia harus tetap berbicara. "Dia bertemu Liam."Cataline yang tadinya dirasuki amarah, tiba-tiba menjadi diam seketika. Matanya membesar mendengar nama yang disebutkan suaminya."Liam? Maksudmu... Liam Nelson?" Akhirnya Cataline bisa menahan emosinya dan sekarang dia justru terlihat tak nyaman. "Ya, dia." Cataline memanggil pelayan dan menyuruhnya mengawasi Jovanka, sementara pasangan suami istri itu pergi berpindah ke lantai atas, untuk membahas pria bernama Liam Nelson."Dari mana gadis itu
Rich turun terburu-buru dari mobilnya dan meraih tangan Cataline. Istri yang bertengkar dengannya tempo hari segera ditarik masuk ke dalam mobil. "Apa yang kau lakukan di sini, Kate? Kau memata-matai aku?" tanya Rich, menatap inti mata istrinya menjadi penjelasan. Namun, mata itu menunduk sendu, sebelum akhirnya menitikkan buliran hangat yang kemudian mengalir di kedua pipi. Cataline menangis? Sebuah pemandangan yang sangat jarang terjadi! Bingung. Begitulah isi kepala Rich sekarang. Mengingat yang terjadi di dalam rumah tangga mereka, seharusnya Cataline datang dengan amarah seperti yang sudah-sudah. Tapi kenapa kali ini dia menangis? "Kate, ada apa? Kenapa kau menangis?" tanya Rich sekali lagi. Bukannya menjawab, tangis Cataline semakin besar bahkan dia sesenggukan sekarang. Apakah istrinya sudah memikirkan kembali kenapa Rich menikahi Jovanka? Bagus jika itu benar. Setidaknya Cataline tahu kenapa Rich harus menikahi gadis itu. Tapi... bagaimana jika sesuatu yang buruk
"Halo, Sayangku." "Kau di mana, Brengsek! Kau sengaja menjauhiku?" Sejak tadi malam Cataline mencoba menghubungi pria itu, tetapi hanya layanan operator yang terdengar mengatakan nomornya tidak bisa dihubungi. Dia langsung mengumpat begitu Liam Nelson mengangkat panggilannya. "Hei, kenapa kau sangat marah? Aku baru kembali dari perjalanan bisnis," terang Liam, masih dengan suaranya yang tenang. Cataline semakin kesal oleh jawaban Liam, dia sudah menunggu di rumahnya sejak pagi tapi pria itu belum juga pulang. "Aku di rumahmu, Brengsek. Kau pulang ke mana? Ke hotel menemui gadis-gadismu?" "Benarkah? Aku baru saja memasuki gerbang, kau akan melihatku jika benar kau di rumahku," kata Liam.Cataline langsung berdiri melihat ke jendela, benar saja mobil Liam sedang memasuki garasi terbuka yang ada di sudut kanan. Gadis itu menutup telepon dan menunggu Liam masuk. Kemarahan atas perlakuan Rich masih terus membuatnya tak tenang. Cataline menenggak beer kaleng yang dibelinya saat di pe
[Tuan Rich, Anda marah padaku? Aku sangat menyesal sudah membuatmu tersinggung.]Jovanka membaca ulang pesan yang diketiknya, dan kembali ragu untuk menekan tombol pengirim. Dia menghapus lagi pesan itu dan mengganti dengan yang lain.[Aku hanya bercanda, Tuan Rich, tolong jangan marah padaku.]Sekali lagi, dia hapus pesan itu dan berpikir keras kalimat yang benar untuk meminta maaf."Tapi kenapa aku harus meminta maaf? Dia memang melakukannya," kata gadis itu menggeleng, egonya ikut bermain.Rich sendiri yang lebih dulu menyinggung Jovanka. Pria itu patut mendapat balasan karena sudah menyebut Jovanka sebagai gadis yang tidak menarik."Tapi dia tidak berkata demikian, Jova... dia hanya berkata mempertimbangkan."Kembali Jovanka berkata sendiri.Bisa saja maksud Rich mempertimbangkan bukan karena menganggap Jovanka tidak menarik. Mungkin dia mempertimbangkan karena pria itu adalah suami orang lain sehingga tak seharusnya tidur dengan Jovanka. Apalagi dengan perjanjian pra nikah merek
Jovanka mengganti bajunya untuk ke sekian kali, dan melemparkan baju terakhir ke atas ranjang. Dia menatap tubuhnya yang hanya mengenakan dalaman, di pantulan cermin."Astaga... semua terasa tidak cocok," keluhnya kecewa.Baru berapa hari yang lalu dia berbelanja pakaian yang sangat banyak, tapi karena tidak teliti, Jovanka melakukan kesalahan. Semua pakaian itu dia beli dengan ukuran dirinya yang belum mengandung, tanpa mencoba terlebih dulu. Bagaimana bisa sesuai? Memang tidak menjadi sempit, hanya saja... perutnya yang mulai membuncit menjadi sedikit terlihat. "Ayolah, Jovanka... kenapa kau pikirkan itu? Ini belum seberapa, bobotmu akan bertambah berkali lipat lagi."Dia akhirnya mengenakan kembali pakaian itu, membuang rasa tak nyaman di kepalanya. Bagaimana pun semua orang di kampus juga akan tahu dirinya sedang mengandung. Hanya menunggu waktu saja.Tak lupa Jovanka memoles wajahnya dengan sedikit riasan, yang ikut dibeli tempo hari. Hanya bedak dan lipgloss tentu saja, sebab
Lihat lah pria itu berdiri dari duduknya. Tentu saja Cataline yang selalu menjadi pemenang. Mendengar istrinya bunuh diri, Rich pasti membujuk dan memohon agar Cataline tidak melompat dari jendela. Kesempatan itu tidak akan Cataline sia-siakan untuk lepas dari semua kejahatannya. Ya, Cataline sudah sering membalikkan kesalahan menjadi kemenangan untuknya, dan Rich selalu mengalah. Tak ubahnya hari ini, Cataline tahu suaminya akan kembali mengalah. Rich pasti memohon, bersujud demi bayi yang sudah lama diidamkan."Jangan mencegahku! Jika kau tidak meninggalkan gadis itu dan menggugurkan bayinya, maka kau akan kehilangan aku dan bayi kita!" Sekali lagi dia mengancam, menatap Rich yang berdiri di sana.Rich tidak bergeming, tetap diam di tempatnya berdiri. Cataline tidak sabar melihat Rich berjalan ke arahnya dan memohon. Tapi sialnya, kenyataan tidak sesuai dengan yang Cataline harapkan."Aku tahu kau hanya mengancam, Kate, sudahlah, kau sudah terlalu sering melakukannya padaku," kata
"Astaga, sudah berapa aku tertidur di sini?"Dia mengenakan pakaian buru-buru untuk mengusir rasa dingin di sekujur tubuh. Jovanka tidak ingat sejak kapan dia tertidur di dalam bath up itu, sehingga telapak tangan dan kakinya sudah mengeriput. Ketika keluar dari kamar mandi, semakin terkejut dia melihat jam digital yang menunjukkan hari sudah sore."Kenapa dia tak membangunkanku?" kata Jovanka menggerutu, mengingat meninggalkan Rich di balkon kamarnya. Mengatahui Jovanka tidak juga keluar, bukankah seharusnya Rich menggedor pintu? Dia keluar untuk mencari Rich di kamar sebelah, tapi pintunya sudah terkunci.Apa Rich sedang tidur? Jovanka mencoba mengintip dari lubang kunci, hanya gelap yang terlihat mata."Apa yang Anda cari, Nona?"Suara Kenrick memaksa Jovanka kembali berdiri, wajahnya sangat terkejut bercampur malu."Eh, itu... Anda melihat Rich, Tuan Ken?" tanya Jovanka, kemudian mengetuk kepala pelan.Sudahlah ketahuan mengintip, sekarang juga dia berkata jujur tengah mencari Ric
"Istriku, kau sudah mandi?""Kau akan ke mana, Istriku?""Kau menginginkan sesuatu, Istriku?""Istriku, hati-hati ketika berjalan.""Hei, Istriku, jangan banyak termenung, itu tidak baik untuk orang hamil."Gila, ini benar-benar gila. Jovanka takut dirinya akan terbawa suasan jika Rich terus melakukannya. Dia menatap pria itu tajam, menunjukkan bibir sinisnya."Jangan memanggilku seperti itu, Tuan, aku tidak suka!""Kenapa? Bukankah kau memang istriku? Terlepas aku tak boleh menyentuhmu, kau tetaplah istriku yang sah."Ya Tuhan... bisa kah Jovanka menutup mulut Rich dengan sepatunya? Bayangkan saja, sejak pagi tadi di dalam kamar, Rich terus memanggil Jovanka dengan sebutan itu, sampai rasanya Jovanka muak mendengarnya. Ke mana pun Jovanka pergi, Rich mengikuti dari belakang memperhatikan gerak-geriknya. Saat Jovanka melakukan apa pun, Rich akan memanggil dengan sebutan istri seperti yang baru saja dia lakukan.Pernikahan ini hanya sebuah status, bukan pernikahan pada umumnya. Jika Ri
Cemas, sedih, bahkan takut sudah menyergap Jovanka sejak dia menandatangi akta pernikahannya di catatan sipil. Ditambah kunjungan ke rumah orang tua Rich, berhadapan dengan wanita yang terlihat tenang tapi juga sinis dan menakutkan, sungguh membuat Jovanka tak bisa tenang.Dia hanya berpura menikmati dua mangkuk es krim untuk menyembunyikan perasaan yang sebenarnya, dan banyak bertanya membuat wajah ceria agar Rich merasa senang. Tapi sesungguhnya, hanya Jovanka lah yang tahu semua isi kepalanya.Menikah? Sejak kapan Jovanka berpikir akan menikah? Bahkan dia pernah bersumpah tidak akan menikah sampai mati, mengingat begitu malang nasib yang dijalani. Tapi tiba-tiba saja dia menerima tawaran Rich menjadi istri kedua, dan harus berhadapan dengan keluarga kaya raya. Hanya demi seorang bayi yang bahkan bukan miliknya sendiri.Bagaimana jika Nyonya Ruth Cullen tidak menerima Jovanka dan bayinya? Apa yang akan dia lakukan jika wanita itu berwatak sama dengan Cataline, berniat menggugurkan k
"Maaf tidak bisa memberi kesan baik di hari pernikahan kita.""Apa?" Jovanka tertawa kecil. "Kita tidak seperti pasangan pada umumnya, Tuan, kenapa harus meminta maaf? Aku bisa melakukannya kelak jika urusan kita sudah selesai," kata Jovanka enteng, tapi tangannya yang gemetar mengangkat sendok itu cukup bisa menunjukkan getir di dalam dada. Rich bisa melihatnya. Jovanka tengah membohongi diri sendiri untuk terlihat biasa saja, tapi tentu saja gadis itu hanya berpura kuat.Siapa gadis yang tak memiliki pernikahan impian? Semua wanita di dunia ini pasti pernah bermimpi menjadi ratu di hari pernikahannya, yang menjadi pusat perhatian semua orang. Tapi Jovanka tidak bisa meraskan itu, justru Rich membawanya pada keluarga yang kemudian merusak hari pertama mereka. Jika ditanya, tentu saja Rich menyesal datang terlalu awal. Seharusnya dia menuruti Jovanka untuk memberi jeda dan sedikit waktu. "Tapi bagaimana pun, aku tetap meminta maaf untuk semua yang terjadi hari ini, Jovanka.""Kenap