haaaaii ini bab ke 2 ya ... terima kasih sudah membaca akak semua 🤗☺️ mampir juga ke RAHASIA HATI: TERPERANGKAP MENJADI ISTRI KEDUA CEO DINGIN terima kasih.... bye-bye.... TYSM ILYTTMAB 🌝🪄
Di meja kantin kampus, para mahasiswa semakin banyak yang berjalan meninggalkan tempat itu. Tapi tidak dengan Amaya dan teman-temannya yang masih ada di sana, menikmati waktu-waktu kebersamaan mereka sebelum libur panjang akhir semester dimulai. Amaya baru saja menceritakan tentang apa yang terjadi selepas ia pergi dari rumah Alin semalam. Tentang preman suruhan ayahnya Rama yang disingkirkan oleh Kelvin seorang diri. Menuai decak kagum, dan Randy mulai mengidekan bahwa ia akan masuk ke UKM taekwondo setelah ini. "Tapi nanti kamu mau ke mana pas liburan, May?" tanya Alin yang duduk di sebelahnya. "Pergi sama Pak Kelvin ke luar kota nggak?" Sekarang ... rasanya mereka sudah tak perlu sungkan menyebut tentang Amaya yang menjalin hubungan dengan Kelvin. Bukankah Amaya sudah pernah mengatakan sebelumnya bahwa itu telah menjadi rahasia umum? "B-belum ada rencana sih," jawab Amaya yang tentu saja berbohong karena ia tahu Kelvin telah mengagendakan untuk kepergian mereka dalam rangka 'bu
"Kalau Pak Kelvin mau, saya tunggu nanti hari Sabtu," kata Ziel sekali lagi. "Nggak baik loh Pak kalau nolak ajakan orang lain tuh, apalagi itu bukan ajakan yang buruk, olahraga loh itu." Kelvin menghela dalam napasnya, ia selangkah maju dengan seulas tawa lirihnya. Salah satu tangannya terarah ke depan saat ia menyentuh kerah jas almamater yang dikenakan oleh Ziel seraya menjawab, "Terima kasih sudah diajak, saya menghargai kamu. Tapi ... saya tuh udah tuntas main begituannya, Jaziel Armando," katanya. "Hal-hal menyenangkan yang kamu lakuin sekarang, saya udah tuntas dulu waktu saya masih muda. Motocross, hiking sampai hampir hilang di gunung, jadi presiden mahasiswa, mimpin demo, semuanya udah saya lakuin. Sekarang udah waktunya hidup tenang, misalnya ... menghabiskan waktu liburan dengan istri." Ziel seketika mendengus mendengar itu. Tatapan mereka bersirobok cukup lama sebelum Kelvin sedikit menunduk dan berujar, "Apa niatmu mengajak saya balapan?" tanyanya. "Biar saya ngajak Am
Kanada, Kelvin mengatakan bahwa negara ini adalah tujuan nanti ia akan mengejar gelar PhD jika Amaya sudah selesai kuliah. Dan sebagai sebuah 'percobaan', pria itu mengajak Amaya ke sini dalam jangka waktu yang terbilang panjang selama libur akhir semester. Amaya pikir ... prianya itu pasti sudah menyiapkan ini dari lama. Sebagaimana yang Amaya tahu, Kelvin selalu bertindak hati-hati, dan terarah. Mengingat bagaimana ia selalu melakukan sesuatu dengan diam-diam tanpa sepengetahuan Amaya, bukankah mungkin saja kepergian mereka ini sudah jauh hari direncanakannya? Mereka tiba setelah penerbangan dari Jakarta di sebuah rumah yang disebutkan oleh Kelvin adalah milik pamannya, adik lelaki dari Rajendra yang memang tinggal di Kanada. "Akhirnya Kelvin ke sini," sambut wanita berambut sebahu saat Kelvin dan Amaya keluar dari taksi yang mengantar mereka mereka dari bandara. "Akhirnya Tante bisa lihat istrinya Kelvin juga," lanjutnya seraya merentangkan tangannya untuk memeluk Amaya. "Asta
Sebelum kepergian mereka ke Kanada, Gafi mengatakan bahwa ia akan menyusulnya nanti. Mungkin berselang tiga atau lima hari setelahnya karena Serena harus lebih dulu menyelesaikan jadwal yang sudah terlanjur ia sepakati. Tenang ... soal pinggangnya yang sakit tempo hari sekarang sudah baikan. Ia tak lagi berjalan terbungkuk-bungkuk seperti nenek moyang penyu saat Amaya dan Kelvin berpamitan padanya sebelum berangkat kala itu. Gafi sebenarnya juga mengajak Riana dan Rajendra, tapi ayahnya Kelvin itu menolak. Dengan jujur dan gamblang menyebut bahwa ia kurang suka dengan cuaca di Kanada sekarang. Musim dingin, ia mengatakan pasti akan membutuhkan berdus-dus kotak Tōlak Angin jika ia ikut anak-anak muda itu pergi ke sana nanti. Maka, hanya Gafi, Serena dan bocah kecil bernama Arsen yang berisik itu yang ikut. Tentu .. itu dengan peringatan dari Amaya agar Gafi tak perlu membawa kolor Patrick-nya yang sudah berlubang selebar piring makan itu. Amaya baru saja membuka matanya, merapat
Calista sedang berada di rumah Kaluna saat gadis itu diminta oleh ibunya membawakan kue ke sana.Kebetulannya, Arsha sedang ada di sana juga. Mereka yang duduk berdampingan itu menyambut kedatangannya dengan melambaikan tangan, mempersilahkan Calista masuk dan duduk di ruang tamu.“Kalian nggak pergi liburan?” tanya Calista setelah kue yang ia bawa diterima oleh seorang pembantu rumah tangga.“Besok sih rencananya,” jawab Kaluna terlebih dahulu. “Mau ikut kamu?”“Hm ....” Gadis itu memiringkan kepalanya sekilas ke kiri penuh dengan keraguan. “Kalau aku ikut bakalan jadi obat nyamuk kalian dong.”“Kita nggak cuma pergi berdua kok,” jawab Arsha lebih dulu. “Sama keluarga juga. Masih belum nikah mana boleh berdua-duaan begitu?”Calista mengangguk, mengerti akan maksudnya.“Kamu nggak ngajak temenmu itu, Kak Sha?”“Temen?” ulang Arsha yang disambut anggukan oleh Calista. “Temen yang mana—aah ... Kelvin maksudnya?”Calista mengangguk membenarkannya, “Iya, Kelvin.”“Dia ada kegiatan sendiri
Amaya merapatkan padding yang ia kenakan sekeluarnya ia dari ruang ganti Ski Mont Blanc Quebec, tempat di mana ia menghabiskan hari pertama bulan madunya bersama dengan Kelvin selama di Kanada. Jarak tempuh dari rumah Liana dan Danuarta yang mereka tempati menuju ke tempat ini hanya sekitar dua puluh menit dengan menggunakan mobil. Mereka tiba setelah lewat pukul satu siang dan menghabiskan waktu hingga hampir gelap. Amaya tadinya ragu jika Kelvin bisa tahu jalan untuk tiba di tempat ini. Tetapi ... bukankah tak perlu ada yang ia khawatirkan jika itu bersama dengan Kelvin? Prianya itu mengatakan sudah pernah ke tempat ini sebelumnya bersama dengan sepupunya—Devin anak dari Om dan tantenya itu—sehingga perjalanan terkendali tanpa hambatan. Amaya tak pandai berolahraga, ia hanya mengikuti instruksi Kelvin bagaimana caranya berdiri di atas dua papan ski yang diikat di kakinya. Awalnya memang sulit, tapi setelah beberapa kali percobaan—lengkap dengan kesabaran suaminya yang sebesar
Saat Kelvin kembali dari kamar mandi dan hendak masuk ke dalam mobil tempat di mana Amaya menunggunya di sana, ia dibuat terkejut karena istri kecilnya itu tidak berada di sana. "Di mana dia?" tanyanya bingung. Pandangannya mengedar, sepasang matanya tertuju ke dalam kafe. Berpikir barangkali Amaya tengah berada di sana, kembali untuk membeli cokelat hangat agar bisa dibawa pulang. Kelvin mengayunkan kakinya untuk kembali ke kafe itu, tapi sejauh matanya memandang, Amaya tidak ia temukan. Merasa ada sesuatu yang tidak beres, ia kembali ke dalam mobil. Niat hati ingin menghubungi Amaya, tapi rasanya itu akan sia-sia karena ia malah menjumpai dua ponsel milik mereka ada di dalam sana. Kelvin merasa ini seperti deja vu, perasaannya tak tenang seperti saat ia kehilangan kontak dengan Amaya sebelum ia menemukannya tak sadarkan diri di dalam kamar mandi kampus tempo hari. Kecemasan itu membuatnya berpikir bahwa kali ini situasinya sama. Ia tak menemukan Amaya sebab ia pingsan di sua
Amaya tak bisa menahan air mata saat Kelvin merengkuh dan menarik dirinya ke dalam pelukannya sekali lagi. Ia berusaha menerima dan menurut apa kata Kelvin yang mengatakan bahwa mereka bisa membeli cicin pernikahan yang baru. Tetapi hatinya tidak iklas, ia tak menerima seandainya benar cincin itu menghilang dan mereka tak bisa kembali bersua. “Ayo kita pulang,” bisik Kelvin saat ia melepaskan Amaya dan menarik tangannya untuk pergi dari sana. Pipi Amaya rasanya membeku. Bekas air mata yang tersisa di pipinya seakan berubah menjadi kristal es yang membuat tubuhnya bergeligi. Setiap langkah yang ia ambil terasa sangat berat. Salju tebal yang menutupi daratan saat hari beranjak petang membuat dadanya berdebar setiap kali membayangkan bahwa cincin itu masih di sana, tertumpuk oleh salju dan tak akan pernah ditemukan. Tak ada yang bicara selain dirinya yang berulang kali terus menahan air mata, hingga mereka tiba di parkiran dan Kelvin membukakan pintu untuknya. “Kita pulang dul
Kelvin dengan segera mengikuti ke mana Amaya berlari. Seperti yang baru saja ia katakan, rupanya benar bahwa Arsen juga ada di sana. Ia bersama dengan Riana yang membelikannya balon, tapi pilihannya bukan yang panda. Melainkan yang bergambar kucing."Kalian mau ke mana?" tanya Kelvin yang berlari mengikuti bocah kecil bernama Arsen yang sudah menarik Amaya entah akan ke mana itu."Astaga ...."Jika sudah begini artinya Kelvin yang akan dibuat kewalahan.Hilang sudah momen manis yang tadi mereka bangun setelah Amaya berbagi sel otak yang sama dengan Arsen.Pemandangan di mana Kelvin mengejar Amaya itu dapat disaksikan oleh Gafi yang duduk di bangku, di bawah lampu taman yang cantik di Wonderland.Ia duduk bersama dengan Rajendra yang mengeluh sepertinya ia nanti akan kerokan setelah kembali ke hotel.Selagi Serena bersama dengan Riana, mengikuti Arsen dan Amaya, ia lebih memilih duduk di sini.Selain karena ada penghangat di dekatnya, alasan lain adalah karena ada kanopi berbentuk say
Amaya membeku di tempat ia berdiri. Pupil matanya bergerak gugup memandang Kelvin yang masih menunjukkan senyumnya.Salah satu alis lebat prianya itu terangkat, menunggu jawaban Amaya atas ‘Maukah kamu berdansa denganku, My Princess’ yang ia katakan.Sepertinya bukan hanya Kelvin yang menunggu Amaya. Beberapa pengunjung—yang sebagian besar—memilih untuk berhenti dan melihat apa yang mereka lakukan. Jawaban apa yang akan diberikan oleh Amaya atas ajakan itu.Tapi ... Amaya tak bisa berdansa.Dansa yang ia lakukan itu hanya dalam khayalan saja, saat ia menonton drama atau drama musical.‘Nanti aku akan kasih tahu Kelvin,’ batinnya.Ia tak mungkin membuat Kelvin selamanya menunggu sehingga ia menyambut uluran tangan itu. Tepuk tangan terdengar riuh di sekitarnya saat Amaya melakukan itu.Kelvin merengkuh pinggangnya dan membawanya untuk bergerak.Amaya hanya mengimbangi sebisanya, ia melirik orang-orang yang ada di sekitarnya yang kembali berdansa sehingga ia menggunakan kesempatan itu u
Winterfest, Kelvin setuju untuk datang ke sini setelah Amaya memberi tahunya bahwa ibunya—Riana—meminta mereka untuk bergabung.Tiketnya tak terlalu mahal untuk bisa melihat pemandangan menakjubkan di dalam sana. Hanya sekitar tiga puluh dolar—sekitar empat ratus ribu—yang memuaskan atas apa yang mereka berikan.Saat Amaya bertanya mengapa dulu Kelvin menolak ajakan ibunya untuk datang, jawabannya adalah ... ‘Mau ngapain di sana kalau nggak sama pasangan? Emangnya aku harus lihat orang pacaran? Yang ada malah aku yang jadi tontonan orang karena dianggap aneh, ‘kan?’‘Aneh kenapa?’ tanya Amaya memperjelas—saat percakapan semalam terjadi.‘Di tengah-tengah orang pacaran aku malah datang sendirian, apa nggak dianggap amoeba aku ini?’‘Kok amoeba? Kenapa?’‘Ya karena hidup bebas dan mandiri.’Amaya tak bisa membendung tawanya mendengar itu. Kelvin tetaplah menjadi Kelvin yang memiliki banyak kosa kata hanya untuk menghibur Amaya. Percakapan itu mereka lakukan setelah malam yang panjang p
Benar-benar merinding sekujur badan mendengar apa yang dikatakan oleh Kelvin dari belakangnya.‘Kelvin dan Amaya junior dia bilang?’ ulang Amaya dalam hati.Kedua tangannya yang tadinya sudah ada di sekat kaca yang mengembun di hadapannya dengan gegas ia tarik. Ia menoleh ke belakang, bukan hanya kepalanya saja melainkan juga tubuhnya.Pada Kelvin yang kedua sudut bibirnya menunjukkan lengkung senyuman, manis dengan bonus lesung pipi seperti biasa. Menunggu Amaya memberinya jawaban.“T-tapi ....” Amaya menelan ludahnya, pupilnya bergerak ragu menatap Kelvin yang menunduk agar suara Amaya bisa sampai di indera pendengarnya. “Tapi mana bisa?” tanyanya. “A-aku 'kan minum obat?”“Aku cuma bercanda, Sayang,” kata Kelvin.Tangannya mengarah ke depan, menyentuh dagu Amaya yang sepasang matanya tampak berbinar, cahaya lampu kamar mandi yang terang itu membias di dalam irisnya yang bening.“Aku cuma godain kamu yang barusan itu,” lanjut Kelvin memperjelasnya. “T-tunggu—“ Kelvin menatap Amaya l
Amaya bilang akan memikirkan itu. Dan memang resepsi itu bukan ide yang buruk. Hanya saja ... apakah itu bisa diterima oleh orang lain semisal mereka secara terang-terangan meresmikan hubungan? Mereka sepertinya juga perlu memberitahu ini pada keluarga dulu .... Menjelang petang ini, Amaya yang hendak mandi lebih dulu memilih untuk menjawab panggilan dari Riana. Ibu mertuanya itu bisa saja khawatir sejak ia dan Kelvin tak terlihat baik selama di rumah Liana dan Danuarta tadi. "Kamu baik-baik aja sama Kelvin, Sayang?" tanyanya. "Kalian nggak berantem atau marahan, 'kan?" Meski tak berhadapan, Amaya seakan bisa melihat seperti apa ekspresi Riana sekarang ini. Alis berkerut cemas dan tatapan matanya yang lembut pasti ada di wajahnya yang cantik. "Nggak kok, Mam," jawab Amaya. "Aku baik-baik aja sama Mas Vin. Tadi itu cuma ... ada kesalahpahaman sedikit aja." "Syukurlah kalau begitu. Mama nggak punya keinginan lain selain kamu sama Kelvin bisa terus akur," ucap Riana dengan masih
Amaya tertawa saat ia menjatuhkan kepalanya di bahu bidang sebelah kanan milik Kelvin seraya mengulangi kalimat prianya itu. "Biji-bijian ...." "Sayang—" panggil Kelvin, melingkarkan kedua tangannya di pinggang Amaya yang masih tertawa dengan hal kecil yang baru saja ia katakan. "Kenapa kamu ketawa begitu? Padahal aku cuma bilang biji-bijian loh ...." "Apa itu nggak lucu?" tanya Amaya balik. "Yang bikin aku heran tuh, Mas Vin selalu nemu kalimat yang orang lain aja kadang perlu mikir seribu kali buat ngomong. Tapi kalau lewat bibirnya Kelvin Indra semuanya jadi gampang. Mas Vin sebelas dua belas sama Arsen." Amaya menarik kepalanya dari bahu Kelvin. Menatap matanya yang berbinar. "Tadi pas kamu ngobrol sama Tante Liana Mama juga bilang kalau Arsen itu persis aku." "Mulutnya tajem kayak pisau begitukah?" tanya Amaya memastikan. "Iya." "Tapi Mama nggak salah kok. Coba hitung aja berapa kali Mas Vin bikin kalimat yang bikin shock. Kalau di aku mungkin jatuhnya lucu karena kita p
Amaya urung mendekat. Ia benar-benar hanya berdiri di samping meja dengan keadaan tubuh yang rasanya kebas. Pandangannya tertuju pada Kelvin yang menjauhkan ponsel itu dari telinganya. Wajahnya tertunduk, ibu jarinya bergerak cepat. Sepertinya untuk memblokir nomor Calista untuk kali ke dua atau ... entahlah! Amaya tak tahu. Ia merasa hubungan manisnya dengan Kelvin itu selalu memiliki gangguan. Apakah memang seperti ini rumah tangga? Apa orang-orang di luar sana juga mengalami masalah hati seperti yang diterimanya ini? Dadanya berat, ada desakan yang membuat Amaya seolah tak bisa bernapas dengan bebas. Rasa panas menjalar, lambat laun ia sadari bahwa ini adalah cemburu. Ia cemburu pada Calista! Ia tak suka pada perempuan itu. Meski Amaya adalah istri sahnya Kelvin, tapi mengingat Calista membuatnya merasa ... kecil. Ini bukan yang pertama Amaya tahu Calista mendekati Kelvin. Dari sana saja ia tahu segigih apa Calista. Dia adalah wanita dewasa yang cantik dan menarik. Ti
Tidak! Untungnya Kelvin dengan cepat menahan celana milik Gafi sehingga celana gombrong itu tak sempat jatuh atau pun merosot. Semua orang yang tadinya tegang kini bisa mendorong napasnya dengan lega. "Kak Gafi apaan banget sih!" celetuk Amaya saat Gafi dengan cepat turut menahan celananya. "Apaan apanya?" tanya Gafi balik. "Udah aki-aki juga masih pakai celana nggak sekalian ikat pinggangnya," jawab Amaya, sekilas menoleh pada Serena seolah itu adalah permintaan izin agar ia mengomeli abangnya itu. "Bener apa yang dibilang Arsen, celanamu segede kurungan gajah. Nanti di rumahnya Tante Liana minta deh tuh tali rafia atau tali jemuran, buat ngikat celanamu biar nggak berkibar-kibar begitu. Kak Gafi tiang reklame? Makanya pakai celana selebar spanduk begitu?" "Durhaka!" seru Gafi seraya menunjuk Amaya yang sudah memalingkan wajah dan melangkah lebih dulu bersama dengan Arsen yang menirukan apa yang dikatakan olehnya. "Spanduk?" ulangnya. "Spanduk itu apa, Aunty May?" "Yang dipasa
Amaya satu langkah mundur, menyembunyikan dirinya di belakang Kelvin yang hanya tersenyum melihatnya. "Nggak apa-apa," kata Kelvin seraya mengikuti pandang ke mana Amaya pergi. Lengan kekarnya melingkar di pinggang Amaya, membawanya kembali ke samping ia berdiri, sejajar dengannya dan berhadapan dengan lima orang yang baru datang yang tengah menyaksikan adegan romantis di dekat pintu rumah. "Malu," jawab Amaya lirih, wajahnya terasa sangat panas, rasanya ia ingin menghilang dari bumi, menggali lubang dan mengubur dirinya sendiri. "Kenapa malu? Nggak ada yang salah dengan yang kita lakuin," sambut Kelvin seraya mengusap puncak kepalanya. Amaya memandang mereka yang masih tersenyum, terutama Riana yang terlihat sangat senang dengan interaksi manis anak lelakinya dan Amaya. "Aunty May," panggil Arsen seraya berlari ke arahnya. Bocah kecil itu memeluk Amaya sehingga ia membalasnya. "Arsen, kangen banget sama kamu." "Tapi kayaknya Aunty May nggak begitu mikirin Arsen deh," protesn