“Bener, May. Cuma Medusa aja yang jahat, kamu jangan dekat-dekat loh! Awas nanti dikutuk jadi batu!” sahut Randy dari belakang Amaya, berjalan mendekat dan mensejajarinya sebelum menyenggol lengannya agar mereka pergi. Bersama dengan Alin, mereka menyisih dari hadapan Caecil yang wajahnya merah padam setelah mendengar Randy yang secara tak langsung mengatakan dirinya adalah ‘Medusa’. Sorakan mengiringi perginya Amaya—tapi sorakan itu bukan untuk Amaya melainkan untuk Caecil yang menggeram kesal di tempatnya. Tampak tengah melampiaskan kekesalannya dengan menghentakkan kakinya dengan keras. “Mulai hari ini kalau si Caecil itu ngebully orang kita nggak perlu diam lagi!” kata salah seorang mahasiswa yang berada di sana. Ikut pergi setelah Amaya juga pergi. “Kita bikin laporan bareng-bareng. Kalau bapaknya yang turun tangan, kita bikin petisi biar dia dapat pelajaran!” Caecil merapatkan giginya yang terasa nyeri. Napas seolah habis di tenggorokannya saat ia menyadari bahwa posisinya
Mata Amaya terpejam tak berdaya, ia menggigit bibirnya merutuki dirinya yang malah memilih kata yang sedikit ... kurang tepat. ‘Anu’ yang dikatakannya digunakan oleh Kelvin untuk menggodanya. Di sini, tepat di hadapan teman-temannya. “Ah—itu—maksud saya ... iya, saya udah lihat pas Bapak nolongin saya,” jawab Amaya akhirnya. “Udah nggak perlu tanya ke saya lagi, ‘kan?” Salah satu alis lebat Kelvin terangkat, seperti biasa akan sarat dengan godaan yang membuat pipinya menghangat dan berubah merona merah. Sebuah hal yang disukai oleh Kelvin—sebab ia pernah mengatakannya pada Amaya—tapi Amaya tidak suka karena apa yang mereka lakukan bisa dilihat oleh teman-temannya. “A-apa sih?” Amaya memandang Kelvin, isyarat matanya mengatakan agar prianya itu berhenti menggodanya. Tetapi sepertinya itu tidak dihiraukan. Karena Kelvin tertawa lirih sebelum sedikit menunduk saat berbisik, “Wajahmu seperti kepiting rebus, menyala wajah cantiknya amaya!” “Pak Kelvin!” tegur Amaya dengan suara yang
‘Oh, God ... I’m screwed,’ batin Amaya putus asa. Yang ia lakukan telah membuat konsentrasi dan ketenangan yang ada di dalam sana runtuh! Ia memandang Kelvin yang malah tersenyum saat dirinya dilanda oleh kepanikan. “Resmi tuh!” celetuk mahasiswa yang duduk di sebelah Alin, menggoda mereka berdua yang tampak sangat manis dengan menunjukkan dua ekspresi yang saling bertentangan. Amaya yang panik sementara Kelvin tampak sangat tenang. “M-maksudnya, ‘Terima kasih, Pak Kelvin’,” ralat Amaya dengan suara yang sedikit keras agar mereka yang ada di dalam ruangan itu dapat mendengarnya. “Ah yang bener, May?” goda yang lainnya yang membuat mahasiswa lain justru semakin tak bisa tenang. “Kalau resmi nggak perlu disembunyiin kok.” “Kasihlah kami ini kabar bahagia juga.” “SSSHTTT!” Amaya mengisyaratkan mereka agar tenang seraya meletakkan jari telunjuknya di depan bibirnya. “Nggak boleh berisik!” Amaya dapat mendengar tawa lirih Kelvin yang berdiri di sampingnya sebelum pria itu beranja
"Ayo duduk sini, Amaya," kata Kelvin sekali lagi, mungkin karena melihat Amaya yang hanya diam saja berdiri di tempatnya sehingga Kelvin kembali menegurnya. Tangan besar pria itu menepuk lembut pada kursi yang baru saja ia tarik. Tak enak karena rekan-rekan dosen Kelvin tampak tak keberatan dengan kehadirannya maka Amaya memutuskan untuk duduk di sana. "Nggak usah takut," kata dosen bernama Lucy saat Amaya baru saja duduk dan melepas tas yang ia kenakan. "Kami juga baru mau makan kok, Amaya." "I-iya, Bu Lucy," jawab Amaya. Ia memandang Kelvin yang duduk di sebelah kirinya, seakan tak peduli dengan betapa banyak jumlah pasang mata yang sekarang tengah menyaksikan mereka. Beberapa di antaranya bahkan harus berhenti untuk memastikan bahwa benar Kelvin dan Amaya duduk bersebelahan. "Menu yang kamu pilih sama kayak yang dibeli sama Kelvin," ujar Arsha yang duduk berseberangan meja dengan mereka, menunjuk ke nampan makan Amaya yang saat ia melihat pada Kelvin, yang dikatakan olehnya
"M-maaf, saya tidak sengaja," ucap Caecil seraya menegakkan tubuhnya yang tadi hampir mengenai Amaya. Ia menunduk di hadapan para dosen sebelum mengangkat wajah. "Saya bersihkan dulu sebentar," katanya. "Nggak usah!" jawab Lucy. Sedetik kemudian beliau berdeham karena sepertinya sadar suaranya terlalu tinggi. "Maksud saya nggak perlu," ralatnya dengan sedikit tenang dan seulas senyum yang Amaya sangat tahu itu tengah dipaksakan. "Kami juga udah mau habis makannya, dan nggak ada dari pakaian kami yang kotor, jadi kamu boleh pergi," katanya. Caecil sekali lagi menunduk dan mengatakan, "Terima kasih," sebelum akhirnya pergi. Lucy tampak mendengus, Amaya yang melihat Caecil merasa malu. Karena ia tahu sepertinya yang dituju oleh Caecil adalah dirinya. "M-maaf, Bu Lucy," kata Amaya setelah sekilas menyentuh paha Kelvin, isyarat agar ia melepas rangkulannya. "Maaf, Bapak dan Ibu semuanya." "Kenapa kamu yang minta maaf?" tanya Lucy keberatan. "Karena ...." Amaya menggigit bibirnya, r
Amaya perlahan membuka matanya saat mendengar suara bariton Kelvin yang sepertinya terhubung panggilan telepon dengan seseorang. Ia baru saja terlelap setelah menghabiskan sebentar waktu bersama dengan Kelvin di kamar mandi sebelum berpindah ke atas ranjang dan sejenak tidur siang hingga mendengar prianya itu yang mengatakan, “Iya, Kak Gaf, akan aku lihat setelah ini.” Amaya benar-benar membuka matanya, menarik lebih banyak selimut agar menutupi semua tubuhnya yang hanya mengenakan pakaian tidur bertali tipis di kedua bahunya. Ia merapatkan tubuhnya pada Kelvin yang kemudian merangkul bahunya sebelum kembali berkonsentrasi pada seseorang di seberang telepon yang jelas adalah kakak lelakinya—Gafi. “Terima kasih sebelumnya, bye ....” Kelvin terlihat mematikan panggilan itu kemudian meletakkan ponselnya di atas meja dan menoleh pada Amaya yang dengan penasaran bertanya, “Ada apa?” “Kak Gafi bilang kalau ada skandal yang beredar setelah berita di forum mahasiswa,” jawab Kelvin
Padahal ... Caecil baru saja berpikir bahwa dirinya bisa kembali menang karena semua orang pasti akan menyangka Amaya seolah tak diakui menjadi istri sebab statusnya dirahasiakan. Tapi ... Kelvin yang akhirnya buka suara adalah hal yang berada di luar kendalinya. Pria itu bahkan tak segan menyebut 'istrinya' dengan mengunggah foto buku nikah dengan kalimat yang menegaskan bahwa siapapun yang membuat berita buruk pada istrinya—yang Caecil tahu betul ini merujuk pada Amaya—akan berjumpa dengannya nanti di pengadilan. "Bukannya secara nggak langsung Pak Kelvin mengakui kalau Amaya beneran istrinya?" tanya Sarah yang duduk berseberangan meja dengan Caecil. Sedang yang ditanya seperti kehabisan akal harus bagaimana sekarang. Skandal yang disulutnya tidak berhasil! Alih-alih mendapat tangkapan besar atau dendamnya terbalaskan, yang terjadi justru jauh dari itu. Sarah benar ... Kelvin secara tak langsung mengakui bahwa Amaya adalah istrinya. "Terus gimana sekarang, Cil?" tanya Sarah s
Setelah raket yang tersangkut di leher Rajendra berhasil diangkat oleh Kelvin serta Gafi, mereka berpamitan untuk pulang. Amaya dengan tangan yang melingkar di lengan kekar Kelvin melambai pada dua mobil sedan yang meninggalkan halaman rumah itu. "Bye-bye, Aunty May sama Uncle Vin! See ya ...." Suara Arsen nyaring saat bocah kecil itu membalas lambaian tangan Amaya dan Kelvin dengan kepala yang keluar dari jendela. "Bye-bye ...." balas Amaya sebelum akhirnya mereka tak terlihat sekeluarnya dari pintu gerbang. Amaya tak begitu saja beranjak. Ia terdiam cukup lama sebelum merasakan guncangan kecil di tangannya yang membuatnya tersadar. Kelvin baru saja memanggilnya dan mengajaknya untuk kembali ke dalam rumah. "Ayo masuk, Sayang," ajak Kelvin yang dijawab anggukan sekilas oleh Amaya. Mereka menaiki tangga dan tiba di dalam kamar. Amaya duduk di tepi ranjang sementara Kelvin memandangnya yang hampir tak bersuara selain 'Bye-bye' yang ia katakan pada Arsen. "Kenapa?" tanya Kelvin
Amaya mendorong Kelvin dengan menggunakan kedua tangannya. Sepasang matanya membola menatap prianya itu yang malah tersenyum dengan tanpa dosanya padahal Amaya dilanda kepanikan.Ia menoleh ke kiri dan ke kanan, memastikan tak ada orang yang melihat apa yang mereka lakukan karena memang saat ini mereka ada di tempat umum."Mas Vin apaan sih ah!" tegur Amaya. "Kita di tempat umum loh, jangan main cium-cium begitu dong! Gimana kalau ada yang lihat coba?"Yang mendapat protes justru menoleh ke kiri dan ke kanan, menirukan saat Amaya melakukannya dengan sedikit panik tadi."Oh ya? Siapa?" tanyanya, persis seperti nada bicara Amaya barusan.Amaya yang kesal memukul dadanya, tangan kecilnya itu diraih oleh Kelvin yang menariknya agar mendekat sebelum ia menjawab dengan "Aku nggak menemukan siapapun di sekitar sini yang lihat aku cium kamu, Amaya," katanya. "Penjual lagi sibuk ngejualin orang, pohon sama tanaman sibuk menikmati hidup mereka yang tenang dan dibelai-belai angin, cuma Kelvin aj
'D-dia ngapain sih?' batin Amaya penuh dengan tanya. 'Dia beneran kesel sama aku yang ngomong kalau motornya Ziel keren kemarin? Astaga ... padahal yang aku puji tuh motor barunya, bukan orangnya. Ini model cemburu apa lagi, Kelvin?'Mata Amaya terpejam sesaat. Tak ada kata damai dalam hidupnya jika sikap agresif Kelvin sering kali tak tertebak.Hari ini dengan naik motor, lalu berhenti di hadapannya seolah ia sedang menunjukkan bahwa dirinya adalah suaminya Amaya.'Tadi bukannya dia ngantar kak Gafi ke chiropractor ya?' batinnya lagi. 'Jadi dia pulang dulu buat ngambil motornya terus ke kampus gitu?'Lagi pula kenapa Amaya tak sadar bahwa itu adalah motornya Kelvin?Ia hampir melihatnya setiap hari di garasi.Semua pikiran berkecamuk tanpa henti. Amaya sedikit tersentak saat mendengar Kelvin yang mengatakan, "Ayo."Kepala pria itu sekilas miring ke kiri, meminta Amaya untuk segera naik. Salah satu tangannya mengarah ke depan, menyerahkan helm pada Amaya yang bingung harus bagaimana
“Maaf, Mir,” ucap Rama sekali lagi. “Buat semua kesalahan yang aku lakukan, buat aku yang udah menghancurkan hidupmu dan bahkan berniat membuatmu menghilang.”Miranda tertunduk di tempat ia duduk. Ia meremas jari-jarinya yang ada di atas paha.Hening kembali menghampiri, senja di luar yag menggelap menuntun mereka untuk mengingat, menapaki kembali jalan suram yang pernah mereka ambil.“Waktu itu ...” Miranda akhirnya membuka suaranya. “Waktu kamu dorong aku dari lantai dua Amore, apa itu betulan karena kamu rencanakan?” tanyanya. “Apa ... nggak seberharga itu aku buat kamu sekalipun hubungan yang sebelumnya kita lakukan itu salah?”Rama tampak menggertakkan rahangnya, ia menggeleng sebelum menjawab Miranda. “Nggak,” jawabnya. “Aku nggak pernah rencanain itu, Mir. Nggak pernah ada niat sejak awal buat dorong kamu. Aku cuma ... tertekan waktu itu. Aku takut kalau Papaku bakal buang aku ke tempat yang jauh dari sini. Maaf ....”Miranda tersenyum tipis, ia lalu menggigit bibirnya untuk me
Niat hati ingin mengelabui, ternyata malah tertangkap basah!“Siang bolong begini, Vin?” goda Riana setelah Rajendra lebih dulu berdeham dan meninggalkan mereka berdua.“Apa sih?” tanya Kelvin, ia menyapukan rambut hitamnya ke belakang saat Amaya menyenggol lengannya, isyarat agar Kelvin menjawab ibunya dengan sedikit lebih masuk akal. “Nggak ngapa-ngapain juga. Benerin ikat pinggang emangnya salah? Habis dari kamar mandi tadi.”“Oh—““Lagian kalau ngapa-ngapain tuh juga kenapa, Mam? Sama istri sendiri juga. Kayak nggak pernah muda aja,” imbuhnya. “Mama sama Papa dulu pasti juga sering—aaak!”Kelvin berteriak saat Riana mencubit dadanya, ia tarik dan ia puntir. “Mam—sakit, Mam—““Berani kamu godain Mama hah?”“Godain gimana sih?” tanya Kelvin balik seraya mengusap dadanya. Ia terdorong menyingkir dari hadapan Riana setelah ibunya itu membuatnya hampir terjengkang.“Maaf ya, Sayang ....” kata Riana pada Amaya. Mendekat dan memeluknya. “Maklum di usianya yang udah kepala tiga si Kelvin
Amaya yang mendengar celotehan Arsen yang tengah berjalan di belakang punggungnya tak bisa menahan tawa.Entah kenapa mulut julid Arsen selalu menghibur. Kali ini ... si bapaknya yang tak lolos darinya.Carl Fredricksen ia bilang?Si kakek-kakek tua berambut putih yang ada di film UP.Arsen mengatakan begitu mungkin karena jalan Gafi yang terbungkuk dengan bantuan tongkat.Dan jika Amaya perhatikan lebih jauh, tongkatnya itu sebenarnya adalah gagang sapu yang entah ia dapatkan dari mana.Ditambah dengan dirinya yang bau minyak tawon, maka sempurnalah mulut julid Arsen saat me-roasting bapaknya."Ada apa?" tanya Serena yang berpapasan jalan dengan Amaya.Kakak iparnya itu terlihat baru saja datang karena masih membawa tas di tangannya."Itu, Kak Rena—" Amaya sekilas menoleh ke belakang, pada Gafi yang dibantu berjalan oleh Kelvin sementara di depannya Arsen menjadi pemandu sorak. "AYO, PAPA! MAJU-MAJU!""Arsen bilang kalau Kak Gafi udah kayak kakek tua ubanan di film UP," lanjut Amaya
Amaya yakin kalimat Ziel yang mengatakan ‘tadinya mau nawarin bareng ke Amaya, tapi kayaknya nggak dulu deh’ yang tadi diucapkannya itu selain karena ingin mengatakan bahwa memang Randy yang akan pulang dengannya, pasti karena Ziel melihat Kelvin sudah ada di sana. Sehingga pemuda itu ‘lari tunggang-langgang’. Tapi saat hal itu Ziel lakukan, hal yang seharusnya membuat Amaya aman, dirinya malah melontarkan pujian ‘keren banget’ pada Ziel yang bisa didengar oleh Kelvin. “Suami nggak tuh!” kata Alin seraya berpegangan tangan dengan Naira. Seolah saling menguatkan diri agar tak tiba-tiba berteriak semakin keras atau memeluk tiang listrik. “Kamu mau pulang bareng aku nggak?” tanya Kelvin, masih dengan matannya yang tak berpaling dari Amaya. “Aku-kamu nggak tuh,” imbuh Naira saat mendengar sebutan Kelvin untuk Amaya. “Katanya mau habisin makanan sebelum pergi ke rumahnya Mama? Jadi?” tanya Kelvin sekali lagi. Amaya bergeming. Benar-benar tak bisa menepis apapun sekarang! “J-jadi,”
[Memutuskan—Menetapkan pemberhentian (Drop Out) mahasiswa atas nama Caecilia Harjono sebagaimana tercantum di dalam lampiran sebagai mahasiswa Universitas G....] Caecil membacanya hingga habis setelah ia mengambil ponsel dari dalam tasnya. Tangannya terasa kebas dan gemetar. Jika email ini sudah sampai kepadanya ... artinya surat fisiknya juga bisa saja telah sampai di rumah dan barangkali sudah dibaca oleh Adrian serta Belinda—kedua orang tuanya. “Akh!” Caecil menggeram kesal, matanya berair dan ia mengangkat wajahnya, pergi dari layar ponselnya yang menyala untuk menatap pada Sarah dan Oliv. “Kita harus bales ini ke Amaya!” katanya menggebu-gebu. “Bener apa yang aku bilang kalau Amaya itu kurang ajar, ‘kan? Selain ngadu ke Pak Kelvin, dia juga bikin aku di DO dari kampus.” Celotehannya justru membuat kedua bahu Sarah dan Oliv seketika jatuh. Kedua temannya itu secara kompak merotasikan bola mata mereka dengan enggan. “Kalian nggak setuju?” tanya Caecil saat menjumpai ra
"Udah masuk sendiri dia," celetuk Randy sementara mahasiswa lain yang melihat Caecil terperosok kepalanya di dalam tong sampah malah tertawa tanpa henti. "TOLONG!" seru Caecil sekali lagi. Kedua tangannya mengepak-ngepak seperti burung yang terbang sedang kepalanya bertopikan tong sampah. Amaya hampir mendekat, berniat untuk menolongnya karena tidak tega. Akan jadi buruk jika Caecil kehabisan oksigen dan tak bisa bernapas saat kepalanya terperangkap di dalam sana. Sekalipun yang ia lakukan itu adalah karena ulahnya sendiri—yang berkeinginan menyerang Alin tapi gagal—tapi mendengarnya meminta tolong membuat Amaya tergerak hatinya. Tapi, pada langkah pertamanya, ia terhenti sebab teman Caecil datang. Kedua gadis yang dikenal Amaya bernama Sarah dan Oliv itu lebih dulu menghampiri Caecil. Menariknya dan mengangkat tong sampah yang membuat kepalanya terjebak itu. Sampah-sampah yang kebetulannya adalah sampah basah berhamburan ke lantai saat tong tersebut terangkat sehingga memunculk
Setelah akhir pekan dan ditambah oleh satu hari libur, pada akhirnya kesibukan di kampus telah kembali. Pagi ini, di rumah mereka sendiri, Amaya dengan kesadaran penuh bangun lebih awal, ia membuat sarapan untuknya dan Kelvin—anggap saja ini sebagai balasan karena kemarin penuh dengan ‘princess treatment.’“Jangan pedes-pedes kenapa?” tanya Kelvin saat ia menyuap ayam bumbu yang dibuat oleh Amaya saat akhirnya mereka duduk berseberangan di meja makan.“Nggak masuk seleranya Mas Vin ya?” tanya Amaya balik.“Masuk, Sayang. Tapi ini kepedesan, buat pagi di mana perut kita belum terisi apapun, aku kurang setuju.”“K-kalau gitu simpan di kulkas aja nggak sih?” usul Amaya yang mendapat tanggapan dari Kelvin. “Boleh, yang masih ada di mangkuk masukin kulkas, kita cemilin nanti pulang dari kampus.”Amaya mengangguk, ia mengikuti Kelvin yang meneguk minuman dan memang harus ia akui rasanya memang pedas!“Tapi terima kasih buat effort kamu,” kata Kelvin setelah ia menyuap ayam bumbu terakhir