Arzen, seorang anak yang baru tumbuh dewasa dengan hanya dibesarkan oleh orang tua tunggal, semua tidak semudah yang terkira.
Nyatanya kepindahannya ke Indonesia, justru membuatnya setiap hari harus siap menerima kritikan pedas dari teman-teman yang tak menyukai. Salah satu yang diributkan adalah karena ia yang tak memiliki ayah seperti yang lain.Mungkin di luar negeri, itu bukan masalah besar. Namun di sini, semuanya berbeda karena statusnya bahkan dipertanyakan.Sempat ia bertanya, bagaimana sosok sang ayah, bagaimana rupanya, siapa namanya. Namun setiap kali membicarakan hal tersebut sang ibu selalu tampak tak baik-baik saja. Wajah muram dengan kilat luka yang terpancar dari sorot mata, itu membuatnya selalu iba dan memilih diam.“Kamu punya ayah, mommy pernah menikah. Kamu lahir dari hubungan sah, Zen.”Entah itu kebenaran atau hanya kebohongan, tetapi dari yang ia tahu status sang ibu sampai saat ini bahkan masih lajang. Juga, tak aAyesha mengusap potret pernikahan seorang wanita yang sangat cantik dengan seorang lelaki yang juga memiliki paras tampan. Dari keterangan tanggal yang tertera di sudut bingkai, tertulis tanggal 02-02-20012. Tanggal yang cantik menurut orang zaman sekarang, tetapi mengapa ia tak pernah sadar akan hal itu.Ketika ingatannya kembali memutar memori kebahagiaan tersebut bibirnya mengulas senyum tipis sebentar, hanya beberapa detik sebelum akhirnya senyum itu berubah jadi isak tangis dengan suara rendah dan pilu.Pernikahan yang diimpikan bahagia, ternyata hanya sebuah permainan, tetapi ia tak pernah benar-benar menyerah untuk terus bertahan dan bersabar. Hingga kebahagiaan itu benar-benar dapat dinikmati, tetapi lagi-lagi takdir seolah mempermainkan. Ia kembali terluka, berdarah-darah dan tertatih hingga berujung duka tanpa ujung yang membuat mereka terpisah.Mengingat hal itu ia kembali merasakan gejolak perasaan tak berdasar yang menenggelamkannya dalam duka
Arzen tercenung beberapa saat, ia mengingat sesuatu. Nama lelaki dewasa itu tak asing di telinga, tetapi ia lupa pastinya.‘Aku benar-benar pernah mendengar namanya, tapi di mana, ya.’Ia termenung di atas ranjang, bayangan sosok lelaki dewasa tersebut membuat bibirnya tersenyum. Entahlah … sejak kapan ia menyukai sosok orang asing yang baru ditemuinya dua kali, bahkan anehnya ia bisa menceritakan banyak hal pada orang asing tersebut.“Alfan Fatih Herlambang, namanya terdengar familiar,” gumam Arzen pelan, sebelum merebahkan tubuhnya di ranjang.Lelah badan dan hati yang dirasakan tak membutuhkan banyak waktu hingga membuatnya segera terlelap.Tak lama kemudian pintu kamar terbuka, sosok Ayesha muncul dengan langkah pelan. Ia tarik selimut untuk menutup tubuh sang putra sebelum akhirnya memberikan kecupan singkat di kening remaja itu.“Mommy menyayangimu, Zen. Jangan diamkan mommy seperti ini,” keluh Ayesha lirih.Keesok
Semenjak pertengkaran ibu dan anak tersebut, hubungan Arzen dan Ayesha merenggang, menyisakan jarak yang membekukan.Emosi Arzen yang tak stabil membuat pembicaraan mereka terdengar alot. Benar-benar mirip bapaknya. Keras kepala dan bebal.Sudah sejak seminggu yang lalu, Ayesha berbicara dan menjelaskan, tetapi sikap acuh dan dingin yang ditunjukkan membuat semua yang ingin diceritakan, ditahan kembali.Hampir setiap pagi, Arzen selalu berangkat lebih dulu, malam hari pun, ia selalu memilih makan malam di kamar daripada harus semeja dengan sang ibu. Terakhir kali pertengkaran hebat terjadi di meja makan, saat remaja itu berteriak marah karena ingin tahu siapa ayahnya.Jika memang sudah tiada, ingin tahu di mana makamnya. Jika memang masih hidup, di mana orangnya. Siapa namanya. Namun tuntutan itu tak bisa dikabulkan karena Ayesha hanya diam seribu bahasa. Tak bergeming bahkan tak terganggu sama sekali.Ayesha menghirup napas dalam-dalam s
Dua minggu kemudian semua urusan pengalihan tugas telah usai. Ayesha resmi mengundurkan diri dan sudah mendapatkan sekretaris pengganti.“Terima kasih untuk kesempatan baik yang kamu berikan. Maaf jika aku ada salah.”“Kenapa memilih jalan ini? Aku ingin berjuang untukmu.”Ayesha menggeleng pelan.“Mengapa?”“Berjuanglah untuk seseorang yang mengharapkannya. Tapi bukan aku orangnya. Selama ini aku tak pernah membalas ucapanmu, bahkan sudah berkali-kali aku mengatakan untuk tak menaruh harapan lebih.”“Kamu memang tak mengatakannya, tapi sikapmu sudah cukup menunjukkan bahwa kamu juga memiliki perasaan yang sama.”Ayesha mengangguk. Ia tak menampik hal tersebut.“Kupikir memang begitu. Jantungku berdebar ketika ada di dekatmu. Tapi, maaf, harus aku katakan jika perasaan itu ternyata bukan cinta.”“Lalu? Jangan menyangkalnya, Ayesha! Ini adalah cinta, cinta kita.”‘Ini bukan cinta. Aku dan kamu s
“Mom, boleh aku bertanya sesuatu?”Ayesha mengangguk. “Sure,” sahutnya yang masih sibuk dengan beberapa kertas yang berserakan di atas karpet.“Apa aku benar-benar tidak punya daddy hingga kamu merahasiakannya, Mom? Aku hanya ingin tahu nama dan wajahnya saja,” ucap Arzen dengan wajah memohon.Seketika itu juga Ayesha membeku, ia menoleh sekilas dan tersenyum. “Berapapun kamu bilang tidak punya daddy, aku menyangkal Zen. Karena semua yang kamu pikirkan sama sekali tidak benar,” sahutnya sambil menggelengkan kepala.“Lalu siapa namanya?”“Aku sudah pernah mengatakannya dulu, kamu yang melupakannya, Zen,” jawab Ayesha menahan senyum, menggoda sang anak adalah salah satu hobi barunya.Arzen selalu terlihat serius ketika bertanya siapa ayahnya. Dan wajah serius itu mengingatkannya pada sosok lelaki yang dulu dicintai sekaligus penyebab segala sengsara yang dilalui.“Kapan, Mom?”“Saat usiamu tujuh tahun.”“
Arzen mulai melancarkan aksinya. Setelah masuk kamar, ia mengganti pakaian dengan yang lebih santai.Remaja berusia empat belas tahun itu semakin menarik curiga ketika lama Bulan terlontar begitu saja. Ia yakin sang ibu ada hubungannya dengan sosok yang disebut tersebut.Arzen keluar dengan wajah yang sudah segar, ia melangkah dengan mata yang awas melihat sekitar.Rumah mewah ini hampir mirip rumahnya di New York, tetapi suasana di sini lebih rindang dengan banyak tanaman dan pepohonan hijau yang menyejukkan sejauh mata memandang.Turun ke lantai bawah, banyak potret yang terpajang di dinding, foto kedua orang tua tersebut hampir memenuhi seluruh dinding di ruang keluarga.“Apa oma dan opa tak punya anak, ya?” tanya Arzen bergumam pada diri sendiri.Bahkan di sana ada potret sang ibu juga bersama dengan oma dan opanya, mungkin sewaktu muda dulu. Wajahnya sama sekali tidak berubah, hanya saja penampilan ibunya memang berbeda dari
“Aku tahu, tidak perlu dijelaskan. Aku sudah biasa menerima jawaban yang sama. Tidak apa-apa, maafkan aku.” Arzen langsung berlari ketika tak ada jawaban dari kedua orang tua yang menjadi harapannya.Tak lama Ayesha muncul dengan wajah sembab. Sebenarnya sedari tadi, ia menguping pembicaraan tersebut. Ingin tahu apa yang sebenarnya ingin ditanyakan Arzen.Namun ketika pertanyaan sensitif itu muncul, ia harus menghentikannya. Jangan sampai mereka mengatakannya karena ia belum siap.Benar-benar belum siap jika harus bertemu dengan masa lalu, apalagi harus mengungkitnya lagi. Ini bukan hanya soal pembalasan dendam, Ayesha bahkan tak memiliki perasaan buruk itu.Semua ini juga bukan keinginannya. Bahkan sedikitpun ia tak memiliki niat untuk menjauhkan anak dan ayah tersebut. Namun, kembali lagi, hatinya belum siap membuka tabir masa lalu yang amat menyakitkan.“Maafkan Arzen, dia memang akhir-akhir ini kembali berulah.”“Sampai kapan kamu ak
Pukul sepuluh malam seorang lelaki datang kembali ke rumah orang tuanya. Ia datang tanpa kabar membuat kedua orang tuanya terkejut dan panik.Segera Papa Andre memintanya untuk segera masuk ke kamar. Membuat lelaki itu semakin curiga melihat gelagat kedua orang tuanya.“Ada apa, Pa?” tanyanya heran.“Ada apa kamu datang ke sini? Kenapa tidak berkabar dulu, kapan kamu sampai di Jakarta?” Pertanyaan beruntun itu ditodongkan Papa Andre.“Memangnya kenapa, apa yang kalian sembunyikan?”“Tidak ada, hanya heran.”“Apa mengunjungi orang tua harus memberikan kabar lebih dulu?”“Bukan itu yang kami maksud.”“Aku tahu ada yang kalian sembunyikan.”“Jangan bicara sembarangan, kami tidak menyembunyikan apa pun.”“Siapa Arzen?” todong lelaki itu membuat kedua orang tua itu menegang dengan mata yang melebar sempurna.“Arzen siapa, kami tidak tahu siapa yang kamu maksud!” bentak Papa Andre lantang.