Arzen mulai melancarkan aksinya. Setelah masuk kamar, ia mengganti pakaian dengan yang lebih santai.
Remaja berusia empat belas tahun itu semakin menarik curiga ketika lama Bulan terlontar begitu saja. Ia yakin sang ibu ada hubungannya dengan sosok yang disebut tersebut.Arzen keluar dengan wajah yang sudah segar, ia melangkah dengan mata yang awas melihat sekitar.Rumah mewah ini hampir mirip rumahnya di New York, tetapi suasana di sini lebih rindang dengan banyak tanaman dan pepohonan hijau yang menyejukkan sejauh mata memandang.Turun ke lantai bawah, banyak potret yang terpajang di dinding, foto kedua orang tua tersebut hampir memenuhi seluruh dinding di ruang keluarga.“Apa oma dan opa tak punya anak, ya?” tanya Arzen bergumam pada diri sendiri.Bahkan di sana ada potret sang ibu juga bersama dengan oma dan opanya, mungkin sewaktu muda dulu. Wajahnya sama sekali tidak berubah, hanya saja penampilan ibunya memang berbeda dari“Aku tahu, tidak perlu dijelaskan. Aku sudah biasa menerima jawaban yang sama. Tidak apa-apa, maafkan aku.” Arzen langsung berlari ketika tak ada jawaban dari kedua orang tua yang menjadi harapannya.Tak lama Ayesha muncul dengan wajah sembab. Sebenarnya sedari tadi, ia menguping pembicaraan tersebut. Ingin tahu apa yang sebenarnya ingin ditanyakan Arzen.Namun ketika pertanyaan sensitif itu muncul, ia harus menghentikannya. Jangan sampai mereka mengatakannya karena ia belum siap.Benar-benar belum siap jika harus bertemu dengan masa lalu, apalagi harus mengungkitnya lagi. Ini bukan hanya soal pembalasan dendam, Ayesha bahkan tak memiliki perasaan buruk itu.Semua ini juga bukan keinginannya. Bahkan sedikitpun ia tak memiliki niat untuk menjauhkan anak dan ayah tersebut. Namun, kembali lagi, hatinya belum siap membuka tabir masa lalu yang amat menyakitkan.“Maafkan Arzen, dia memang akhir-akhir ini kembali berulah.”“Sampai kapan kamu ak
Pukul sepuluh malam seorang lelaki datang kembali ke rumah orang tuanya. Ia datang tanpa kabar membuat kedua orang tuanya terkejut dan panik.Segera Papa Andre memintanya untuk segera masuk ke kamar. Membuat lelaki itu semakin curiga melihat gelagat kedua orang tuanya.“Ada apa, Pa?” tanyanya heran.“Ada apa kamu datang ke sini? Kenapa tidak berkabar dulu, kapan kamu sampai di Jakarta?” Pertanyaan beruntun itu ditodongkan Papa Andre.“Memangnya kenapa, apa yang kalian sembunyikan?”“Tidak ada, hanya heran.”“Apa mengunjungi orang tua harus memberikan kabar lebih dulu?”“Bukan itu yang kami maksud.”“Aku tahu ada yang kalian sembunyikan.”“Jangan bicara sembarangan, kami tidak menyembunyikan apa pun.”“Siapa Arzen?” todong lelaki itu membuat kedua orang tua itu menegang dengan mata yang melebar sempurna.“Arzen siapa, kami tidak tahu siapa yang kamu maksud!” bentak Papa Andre lantang.
Tubuh Arzen terpental akibat hantaman keras dari sebuah mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi. Darah mengalir deras, bahkan kedua lelaki dewasa itu terlihat histeris. Tanpa menunggu waktu mereka segera membawa Arzen ke rumah sakit.Sesampainya di sana, baru Papa Andre menghubungi istrinya dan memintanya datang bersama dengan Ayesha.Sementara Ayesha yang berdiam diri di kamar sama sekali tidak tahu dengan apa yang terjadi. Bahkan saat Mama Silvi mengetuk pintu berulang kali, ia terkejut saat tanpa aba-aba wanita tua itu menyeretnya pergi tanpa membiarkannya bertanya.“Kita mau ke mana, Ma?” tanya Ayesha saat mobil yang ditumpangi melesat dengan cepat. Namun dari wajah Mama Silvi yang panik dan cemas, ia menduga ada sesuatu yang tidak beres.“Ma, katakan sesuatu!”“Arzen kecelakaan.”Deg! Ayesha mematung. Kapan? Di mana? Mungkin itu pertanyaan yang ada di benaknya.“Bagaimana bisa? Arzen ada di kam
Arzen telah dipindahkan ke ruangan rawat setelah kondisinya dikatakan stabil. Tidak ada luka dalam yang terjadi, hanya saja benturan yang keras membuat kepalanya luka dan mengeluarkan banyak darah.Namun saat diperiksa lanjutan, tidak ada yang serius yang perlu dikhawatirkan. Semuanya aman.Ayesha masuk ke kamar, mendekati ranjang dan memberikan kecupan di puncak kepala sang anak. Ia menatap wajah sang putra yang masih belum sadarkan diri.“Cepat sembuh, Sayang. Mommy sedih melihatmu seperti ini,” ucapnya pelan, mengusap pipi yang menampilkan beberapa goresan tersebut.Ayesha berbalik dan melihat ketiga anggota keluarga Herlambang duduk dengan wajah yang mulai mengantuk.“Kalian bisa pulang, aku akan menjaga anakku sendiri,” ucap Ayesha datar.Sebelum Mama Silvi menjawab, Papa Andre lebih dulu melontarkan jawaban, “Iya.”Namun lima menit setelah mereka keluar ruangan, Alfan kembali masuk ke dalam ruangan. Tak bicara sepa
ALFAN FATIH HERLAMBANG merasakan sesuatu yang lebih dari disebut bahagia. Ketika mendengar kenyataan bahwa istri dan anaknya ternyata masih hidup, ada perasaan membuncah yang tak bisa dijelaskan.Kenyataan itu memang membuatnya syok, tetapi ia bahagia. Apalagi saat tahu bahwa remaja yang selama ini dekat dengannya adalah Rayan, anak kandungnya.Benar saja perasaan sayang itu muncul tanpa diduga, bahkan di pertemuan pertama mereka. Ada sesuatu yang menarik perhatian, atau mungkin itu adalah ikatan batin anak dan ayah.Sejak pertemuan pertama dengan Arzen, ia selalu memikirkannya. Bahkan selalu tak sabar untuk menunggu hari esok agar bisa bertemu kembali. Mungkin itu yang namanya takdir, tanpa diminta, tanpa diduga, akhirnya Tuhan mempertemukan mereka dengan cara yang berbeda.Arzen yang butuh sosok ayah, lalu ia yang masih berduka atas kepergian anak dan istrinya. Tuhan maha baik, tak hentinya Alfan bersyukur kepada-Nya untuk setiap skenario yang t
Sejak ucapan Ayesha yang menohok tersebut, wanita itu memilih menjaga jarak dari Alfan. Bahkan ia selalu memilih menghindar tiap kali lelaki itu ingin mengajaknya bicara.Pertemuan setelah sekian lama itu tidak berjalan dramatis seperti kisah-kisah manis, yang akan saling berpelukan dan mencurahkan kerinduan.Mereka dua orang dewasa yang sama-sama saling merindukan, tetapi menyembunyikannya dengan cara yang berbeda. Jika Ayesha dominan dengan kemarahan, maka Alfan hanya akan menjadi pendengar.Siang itu Alfan baru saja tiba di rumah sakit setelah dari kantor untuk melakukan rapat penting.Saat berjalan di koridor rumah sakit, Alfan mengejar langkah Ayesha yang berjalan sendirian dengan dua kantong plastik di tangan.“Ayesha,” panggil Alfan lirih.Yang dipanggil hanya melirik singkat dengan wajah dingin, tanpa sepatah kata terucap.“Bisakah kita bicara?”“Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi,” sahut Ayesha datar
Walau sudah ditolak, diabaikan, tetapi ternyata Alfan tidak menyerah dan putus asa. Ia tetap berada di sekitar Arzen dan Ayesha dan memilih membekukan hati untuk menerima sikap ibu dan anak tersebut.Alfan mendekat ke arah ranjang, menatap Arzen yang tengah sibuk dengan ponselnya. Bahkan remaja itu benar-benar tak sedikitpun melirik.“Arzen,” ucap Alfan pelan, ingin menyentuh sang anak tetapi remaja itu menghindar.“Maafkan aku, Nak. Maafkan kesalahan lelaki jahat ini, kamu boleh marah, memaki bahkan memukul, tapi jangan abaikan kehadiranku. Kesalahan di masa lalu memang tak bisa diperbaiki, yang bisa dilakukan hanya memperbaiki masa depan. Andai jika Tuhan mengizinkan waktu berputar, aku pasti akan mengubah semua jalan hidup kita. Jika bisa aku bahkan rela menukar hidupku untuk kalian,” lanjut Alfan, menatap dalam Arzen yang tak bereaksi apa pun.“Semua memang salahku, ibumu orang yang baik. Bahkan dia yang terbaik, aku saja yang bodoh. Sean
Kepulangannya disambut bahagia oleh Mama Silvi. Namun wanita tua itu sedikit menghindari Ayesha. Ia hanya menyapa seadanya, membuat wanita berhijab ungu tersebut memilih diam saja.“Arzen tidur di kamar daddy, ya,” tawar Mama Silvi dengan senyum cerah.“Terserah, Oma. Aku bisa tidur di kamar mommy juga tidak masalah.”“Biarkan Arzen memilih kamar yang diinginkan, Ma,” sela Alfan, ia tak mau membuat sang anak tidak nyaman dengan berada di satu ruangan yang sama. Walaupun ia menginginkannya.“Jika tidak keberatan aku ingin di kamarmu, Om.”Alfan mengangguk dengan senyum lebar.“Lho kok om, panggil dia daddy dong,” sahut Mama Silvi terdengar tak terima.“Sudahlah, Ma. Jangan memancing keributan,” bisik Papa Andre melerai. Sejak pertengkaran dengan Ayesha, sikap istrinya memang berubah. Dulu Mama Silvi adalah seseorang yang ada di garda terdepan jika menyangkut tentang Ayesha, tetapi kini semuanya berubah. Bisa jad
“Ternyata suamiku ini memiliki banyak pengagum. Bahkan ada yang melamar meski sudah tahu jika sudah memilki istri. Apakah aku harus bersyukur atau justru takut, ya. Bagaimana menurutmu, Mas?” sindir Ayesha.“Aku benar-benar tidak mengenal mereka. Tiba-tiba datang dan melamar begitu saja.” Meski sama-sama bergelut dalam dunia bisnis, sepertinya Alfan tak begitu mengenal pasangan suami istri tersebut. Mungkin karena ia baru melebarkan sayapnya di kota ini atau bagaimana, yang pasti wajah mereka tak terlalu populer hingga Alfan dengan mudah mengenalinya.“Mereka bahkan menawarimu sebuah perusahaan dan akan memastikan seluruh bisnismu akan maju. Tawaran yang menggiurkan. Apa wanita itu cantik?” kata Ayesha. Ia mendengus jengkel meski kedua orang tamu tidak tahu diri itu sudah meninggalkan ruangan.“Putri mereka yang mana saja aku pun juga tidak tahu. Benar-benar aneh,” bantah Alfan.“Jika putrinya menyukaimu sejak pandangan pertama artinya pernah ada interaksi di antara kalian, Mas. Kamu
Setelah beberapa minggu berlalu, akhirnya berita tentangnya dan sang suami mereda dan tergantikan oleh berita panas lainnya.Butiknya telah kembali buka. Bahkan kini lebih banyak pengunjung yang datang dari kalangan pejabat dan beberapa istri-istri pengusaha.Tentu saja mereka bukan hanya datang karena sekadar tertarik dengan rancangan pakaiannya. Namun, beberapa dari mereka ada yang mencoba menjalin pertemanan.Entah itu benar-benar tulus atau menginginkan hal lain.Beberapa kali juga ia mendapatkan undangan untuk masuk ke dalam group sosialita.Ayesha hanya menanggapinya dengan senyum tipis seperti biasa.Setelah ujian selalu ada kebahagiaan. Tidak akan ada kehidupan yang akan berjalan lurus dan mulus. Selalu ada rintangan dan halangan.Begitulah kehidupan.Ayesha yang baru saja mengambil air dari dapur, tidak sengaja mendengar suara Dewi yang sedang berbicara dengan seseorang melalui ponsel. Ia menajamkan pendengaran untuk mengetahui isi obrolan tersebut. Namun, saat berjalan mende
Keesokan paginya berita tentang kejadian semalam membuat namanya dan nama butiknya terseret dalam berita surat kabar.Saat membacanya Ayesha masih bisa bernapas lega karena apa yang terjadi padanya tidak sampai terekspos keluar. Bukan karena tidak ingin nama baiknya hancur, kini ia kembali menyandang nama Herlambang yang membuatnya harus menjaga nama baik suaminya juga.Alfan mengusap bahunya lembut dan mengatakan kalimat yang menenangkan, bahwa semuanya akan baik-baik saja.“Mom, kudengar semalam mommy keluar. Ke mana?” tanya Arzen duduk di meja makan.Remaja itu sama sekali tidak tahu bahwa ada polisi yang menghampiri ke rumah mereka. Karena kebiasaan Arzen memang setelah masuk kamar, ia jarang keluar jika tidak perlu sesuatu.“Ya, mommy ada urusan.”“Are you okay, Mom?”“Sure, Son.” Melemparkan senyum tipis yang tulus.“Kamu tidak perlu cemas. Berita itu tidak akan keluar,” bisik Alfan pelan.“Aku ha
Hi, boleh absen dong yang masih setia baca cerita ini? Komen di setiap bab agar aku tahu bahwa kalian masih ada di sini. Makasih.♡♡♡“Maaf, Nyonya. Di bawah ada polisi yang ingin bertemu Anda.”Polisi, batinnya bertanya-tanya.“Ya, bilang saja suruh tunggu sebentar. Aku ganti baju dulu,” kata Ayesha segera masuk kamar dan mengganti pakaian.Saat ia turun ke ruang tamu, benar ada dua polisi yang sudah menunggunya.“Selamat malam, Nyonya. Maaf jika kedatangan kami mengganggu Anda. Kami dari Polresta Denpasar mendapat surat perintah penggeledahan butik Anda untuk melengkapi bukti bahwa saudari Clara Adelin terlibat dalam kasus peredaran dan penjualan narkoba jenis sabu.”Deg!Jantung Ayesha berdebar dengan sangat keras. Ia terkejut sekaligus syok dengan apa yang baru saja didengar.“Maaf, Pak polisi. Izinkan saya bertanya lebih dulu.”Ia menarik napas panjang dan mengembuskannya pe
Sebelum berangkat ia telah menghubungi suaminya dan meminta alamat kantor yang sampai saat ini belum diketahui.Mobil melaju dengan kecepatan sedang, diiringi suara musik dari penyanyi favoritnya.Tidak sampai tiga puluh menit mobil yang dikendarai tiba di sebuah gedung tinggi bertuliskan HM Group. Ayesha segera memarkirkan mobilnya di basement dan menuju resepsionis.“Ruangan Tuan Alfan Fatih Herlambang di mana, ya?” tanya Ayesha sopan.“Maaf, apa Anda sudah membuat janji?” tanya wanita itu dengan ramah.“Apa seorang istri perlu membuat janji untuk bertemu suaminya?” Ayesha tersenyum, tetapi kata-katanya menegaskan bahwa ia adalah istrinya.“Ah, maaf. Anda Nyonya Ayesha.” Wanita itu menunduk dan meminta maaf berkali-kali.“Mari saya antar ke ruangan beliau,” ucapnya kemudian mengarahkannya menuju lift khusus.Suara denting lift menandakan mereka telah sampai di lantai yang dituju. Lantai sepuluh, gedung teratas
Langit gelap telah berganti terang. Matahari mulai tampak malu-malu menunjukkan sinarnya.Cuaca yang masih terasa dingin membuat dua sosok lelaki di ruangan yang berbeda kembali menggulung dirinya di dalam selimut tebal yang menghangatkan.Setelah urusan dapur usai, Ayesha bergegas naik ke lantai dua dan membangunkan sang anak. Beberapa kali remaja itu menggeliat dan bergumam, tetapi tak juga membuka mata.Ayesha yang kesal langsung menarik selimutnya dengan kasar dan membuka tirai. Membiarkan cahaya pagi menembus jendela dan mengusik si pemilik kamar.“Zen! Bangun! Mommy akan menyirammu dengan air jika kamu tidak segera bangun,” ancam Ayesha dengan suara rendah.“Oh, Mommy!” keluhnya dengan suara serak. Manik cokelat itu akhirnya mengerjap, menyesuaikan diri dengan cahaya sebelum akhirnya terbuka.“Sudah. Aku bangun,” lanjutnya, ia masih duduk di tepi ranjang. Menyahut segelas air di atas nakas dan meneguknya hingga tandas. Matanya menoleh ke arah jam dinding dan terkejut saat menyad
Empat hari kemudian, mereka resmi pindah ke rumah Alfan. Lelaki itu hanya meminta anak dan istrinya membawa pakaian dan surat-surat penting lainnya.Nena juga ikut serta bersama mereka. Sebab, Ayesha sudah menganggap wanita itu seperti saudarinya.Setelah hampir dua jam merapikan kamar, Ayesha memilih merebahkan tubuhnya di ranjang. Pindahan memang membutuhkan tenaga ekstra.Alfan yang baru masuk kamar bertanya, “Sudah selesai?”“Belum. Ruang ganti masih berantakan, aku lelah sekali.”Ayesha memang tidak mau dibantu asisten untuk merapikan kamar dan ruang ganti. Ia ingin merapikannya sendiri agar tahu di mana letak ia menyimpan barang-barangnya.Alfan berjalan ke ruang ganti dan melihatnya. Memang masih sangat berantakan, beberapa koper masih teronggok dengan isi yang sudah carut marut.“Istirahat saja. Masih ada waktu besok lagi, jangan memaksakan diri.”Ayesha mengangguk. “Aku tahu. Kamar Arzen sudah selesai?”“Sudah. Nena sedang merapikannya.”Beberapa hari yang lalu Alfan sudah ke
Seminggu telah berlalu dengan cepat. Hari ini menjadi perpisahan antara Ayesha dan kedua orang tuanya.Mereka mengantar keduanya sampai di bandara. Bahkan Arzen turut libur sekolah karena ingin mengantarkan oma dan grandpa kesayangannya.Isak tangis Ayesha sudah terdengar sejak mereka dalam perjalanan. Kini, semakin keras suara tangis itu saat kedua orang tuanya semakin tak terlihat lagi dalam pandangan.Alfan merengkuh tubuh sang istri dan mencoba menenangkannya. Setelah keadaannya berangsur tenang mereka meninggalkan bandara.“Mau mampir ke suatu tempat dulu?” tanya Alfan.“Langsung pulang saja,” balas Ayesha pelan, tak bersemangat.“Zen?” Menatap sang putra melalui kaca mobil. Remaja itu juga tampak tak bersemangat.“Ya, Dad.” Tatapannya kembali mengarah ke luar.Setelah sampai di rumah. Ibu dan anak itu mengurung diri di kamar sampai melewatkan makan malam.Alfan yang ada di meja makan sendirian menjadi tidak tenang. Ia meminta Nena menyiapkan makanan untuk dibawa ke kamar anak da
Masuk ke kamar sepasang suami istri itu kembali melanjutkan kegiatan yang tertunda. Kembali menyelami nikmatnya surga dunia. Mencapai nirwana tertinggi di iringi deru napas yang memburu.Dingin di luar sana sama sekali tak mendinginkan keduanya. Justru semakin memanas, bagaikan kobaran api yang baru saja disiram bensin.Membara.Peluh menetes, menjadi saksi betapa bersemangatnya mereka. Kerinduan, kasih sayang, gairah, semuanya melebur menjadi satu.Entah sudah berapa lama mereka melakukannya, Ayesha bahkan sampai tak bisa bernapas dengan lega karena terus-menerus dihabisi oleh sang suami.“Sudah, Mas. Aku lelah,” ucap Ayesha dengan suara lemah.Umur yang hampir menyentuh kepala empat sama sekali tak membuat Alfan melunak sedikit pun.Ingatan tentang saat pertama kali lelaki itu menjamah dirinya terlintas. Betapa buas dan sama sekali tak menahan diri.“Tahan sebentar lagi, Sayang,” bisik Alfan, mengecup lembut pelipis sang istri.Suara erangan panjang menjadi penutup kegiatan malam it