Sejak ucapan Ayesha yang menohok tersebut, wanita itu memilih menjaga jarak dari Alfan. Bahkan ia selalu memilih menghindar tiap kali lelaki itu ingin mengajaknya bicara.
Pertemuan setelah sekian lama itu tidak berjalan dramatis seperti kisah-kisah manis, yang akan saling berpelukan dan mencurahkan kerinduan.Mereka dua orang dewasa yang sama-sama saling merindukan, tetapi menyembunyikannya dengan cara yang berbeda. Jika Ayesha dominan dengan kemarahan, maka Alfan hanya akan menjadi pendengar.Siang itu Alfan baru saja tiba di rumah sakit setelah dari kantor untuk melakukan rapat penting.Saat berjalan di koridor rumah sakit, Alfan mengejar langkah Ayesha yang berjalan sendirian dengan dua kantong plastik di tangan.“Ayesha,” panggil Alfan lirih.Yang dipanggil hanya melirik singkat dengan wajah dingin, tanpa sepatah kata terucap.“Bisakah kita bicara?”“Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi,” sahut Ayesha datarWalau sudah ditolak, diabaikan, tetapi ternyata Alfan tidak menyerah dan putus asa. Ia tetap berada di sekitar Arzen dan Ayesha dan memilih membekukan hati untuk menerima sikap ibu dan anak tersebut.Alfan mendekat ke arah ranjang, menatap Arzen yang tengah sibuk dengan ponselnya. Bahkan remaja itu benar-benar tak sedikitpun melirik.“Arzen,” ucap Alfan pelan, ingin menyentuh sang anak tetapi remaja itu menghindar.“Maafkan aku, Nak. Maafkan kesalahan lelaki jahat ini, kamu boleh marah, memaki bahkan memukul, tapi jangan abaikan kehadiranku. Kesalahan di masa lalu memang tak bisa diperbaiki, yang bisa dilakukan hanya memperbaiki masa depan. Andai jika Tuhan mengizinkan waktu berputar, aku pasti akan mengubah semua jalan hidup kita. Jika bisa aku bahkan rela menukar hidupku untuk kalian,” lanjut Alfan, menatap dalam Arzen yang tak bereaksi apa pun.“Semua memang salahku, ibumu orang yang baik. Bahkan dia yang terbaik, aku saja yang bodoh. Sean
Kepulangannya disambut bahagia oleh Mama Silvi. Namun wanita tua itu sedikit menghindari Ayesha. Ia hanya menyapa seadanya, membuat wanita berhijab ungu tersebut memilih diam saja.“Arzen tidur di kamar daddy, ya,” tawar Mama Silvi dengan senyum cerah.“Terserah, Oma. Aku bisa tidur di kamar mommy juga tidak masalah.”“Biarkan Arzen memilih kamar yang diinginkan, Ma,” sela Alfan, ia tak mau membuat sang anak tidak nyaman dengan berada di satu ruangan yang sama. Walaupun ia menginginkannya.“Jika tidak keberatan aku ingin di kamarmu, Om.”Alfan mengangguk dengan senyum lebar.“Lho kok om, panggil dia daddy dong,” sahut Mama Silvi terdengar tak terima.“Sudahlah, Ma. Jangan memancing keributan,” bisik Papa Andre melerai. Sejak pertengkaran dengan Ayesha, sikap istrinya memang berubah. Dulu Mama Silvi adalah seseorang yang ada di garda terdepan jika menyangkut tentang Ayesha, tetapi kini semuanya berubah. Bisa jad
Malam semakin larut, tetapi mata enggan terpejam membuat Ayesha memilih mencari udara segar. Duduk di taman belakang sendirian, menatap kegelapan di depan mata dalam diam.Tanpa tahu bahwa ada seseorang yang tengah mengamati dengan hati yang berdesir nyeri. Keinginan untuk merengkuh wanita itu sangat kuat, terapi tak kuasa dilakukan. Alfan menyadari kesalahannya yang telah menyakiti Ayesha. Semua yang dilakukan telah membuat wanita itu menderita.Alfan sadar bahwa ia yang telah melukai berkali-kali. Mengharapkan sesuatu akan kembali seperti sebelumnya, hanyalah sebuah mimpi yang mungkin tak akan pernah terjadi. Luka dan kecewa itu akan tetap bersarang dan menghantui.Seperti sebuah takdir, Ayesha yang saat itu menatap lurus, tiba-tiba menoleh dan mendongak. Hingga ia menemukan keberadaan Alfan yang saat ini tengah menatapnya.Keduanya bertatapan dalam diam, walaupun jarak di antara mereka lumayan jauh, tetapi tak memadamkan gejolak yang ada di dal
Bumi berputar, waktu silih berganti menyapa, hari, minggu dan bulan terlewati begitu saja.Hidup harus terus berjalan, walaupun keadaan tidak sejalan dengan yang diinginkan.Sejak kembali ke Bali, Ayesha menyibukkan diri dengan mulai aktivitas baru. Wanita itu memilih kembali membuka butik dengan nama AA Store, yang diambil dari namanya dan Arzen.Semuanya berjalan dengan lancar walau ia, kadang mengalami sedikit kesulitan.Jika ditanya tentang perasaan, maka jawabannya sama. Ia masih mencintai lelaki itu, tetapi ia tak mau menjadikan perasaan itu sebagai beban. Biarkan semuanya berjalan seperti sebelumnya, jika Tuhan berkehendak maka jodoh tidak akan salah alamat.Oh ya, Ayesha juga lupa mengatakan bahwa saat ia ke Jakarta, ternyata Marvin datang mencarinya beberapa kali. Bahkan sempat menanyakan alamat yang ada di Jakarta, karena ingin menyusul. Namun Nena memilih menjawab tidak tahu, karena saat itu ia tidak bisa dihubungi.Hubungannya dengan Mama Silvi juga sudah membaik. Mereka su
Saat ini Ayesha sedang dalam perjalanan menuju alamat mantan suaminya, karena beberapa menit yang lalu sang anak menghubungi dengan panik.Untunglah jalanan yang dilalui lumayan lenggang, hingga tak butuh waktu lama ia telah sampai di alamat yang dituju.“Assalamu’alaikum,” ucap Ayesha, mengintip ke dalam rumah yang tak tertutup.Sudah beberapa kali Ayesha mengucapkan salam, tetapi tak ada sahutan. Membuatnya berinisiatif menghubungi Arzen dan tak lama remaja itu muncul dari lantai dua.“Ayo, Mom!” Arzen menyeret ibunya.“Hei, tidak sopan kamu tarik-tarik begini. Ayahmu mana?” desis Ayesha sedikit kesal.“Ada di atas.”“Panggil saja dia ke bawah. Biar dia bertemu mommy di sini saja, rasanya tidak pantas jika mommy masuk ke rumah tanpa izin.”“Om Alfan pingsan, Mom!” jawab Arzen, membuat sang ibu seketika ikut menoleh ke arahnya.“Ya, aku menghubungi mommy karena tidak tahu harus menghubungi siapa.”“Di mana dia sekarang?” tanya Ayesha mendongak, menatap ke arah lantai dua.“Ya masih t
Pembicaraan tersebut didengar oleh Arzen yang ada di gawang pintu. Remaja itu memilih mematung di sana, mendengar obrolan kedua orang tuanya yang sepertinya sama-sama menahan perasaan.“Mom!”Ayesha menoleh. “Ada apa, Zen?” tanyanya dengan senyum canggung.Arzen mendekat dan bisa melihat jelas bahwa lelaki itu masih terbaring dengan mata sayu, juga wajah yang pucat.“Bagaimana keadaanmu, Om?” tanyanya sambil duduk di samping sang ibu.“Sudah lebih baik. Terima kasih kamu sudah datang, Nak.” Alfan melemparkan senyum teduh kepada sang anak. Walaupun panggilan om tentu saja membuatnya terluka.“Tentu saja. Jika aku tidak datang, mungkin kamu sudah tewas karena kejang,” sahut Arzen dengan tajam, membuat Ayesha segera menoleh dengan tatapan mengancam.“Jaga bicaramu, Zen. Tidak sopan kamu bicara dengan orang tua seperti itu,” hardik Ayesha penuh peringatan.Namun justru hal lain dilakukan oleh Alfan, lelaki itu terkekeh pelan sambil berkata, “Dia benar-benar mewarisi dirimu, Aye. Ucapannya
Sejak kedatangannya, Alfan masih setia duduk di teras, ditemani secangkir kopi hitam buatan Ayesha. Sayangnya wanita itu meminta Nena yang mengantarnya, tetapi Alfan tahu bahwa kopi itu adalah buatan mantan sang mantan .Sudah pukul setengah tujuh pagi, dari dalam rumah sudah terdengar suara teriakan Arzen, pekikan kesal Ayesha dan tawa Nena yang lumayan keras.Diam-diam Alfan tersenyum, membayangkan keutuhan keluarga dengan suasana hangat, pasti bahagia sekali.Terdengar suara pintu terbuka dan sosok Arzen muncul. Remaja itu mencium punggung tangan sang ayah sopan dan bergumam, “Gerak cepat juga, ya.” Diakhiri tawa pelan.“Iya, takut ditikung yang lain. Saingannya banyak,” jawab Alfan sambil mengusap kepala sang anak.“Di suruh mommy masuk, kasihan katanya. Om pasti belum sarapan.”“Mommy yang menyuruhmu? Wah, ternyata diam-diam dia masih menaruh perhatian.” Alfan tersenyum manis.“Itulah yang membuatku heran. Banyak lelaki yang mengejarnya, tapi justru pengecut yang diharapkan.” Arze
Setelah menyelesaikan pekerjaan, Ayesha berniat makan siang di luar. Namun, urung saat tiba-tiba ia dikejutkan dengan kedatangan Alfan yang membawa berbagai makanan kesukaannya.Awalnya ia merasa aneh dan heran, tetapi tak banyak bertanya karena ia tahu bahwa Arzen yang mungkin telah memberikan alamat ini.“Semoga makanan ini masih menjadi favoritmu,” ucap Alfan dengan senyum canggung.“Terima kasih,” sahut Ayesha tak kalah gugup. Bahkan saat kulit keduanya tak sengaja bersentuhan, ada getaran dan aliran listrik yang langsung menyengat.“Duduklah, aku akan siapkan piring lebih dulu. Oh, ya, kamu mau minum apa?” tanya Ayesha dengan kepala menunduk.“Air putih dan kopi, jika tidak keberatan.”Ayesha mengangguk dan keluar dari ruangan menuju dapur kecil di sudut tempat tersebut.Beberapa karyawan dengan penuh keingintahuan langsung menyerbunya dengan berbagai pertanyaan, tentang siapa lelaki itu. Ayesha terkenal baik, tetapi ia memang tidak terlalu suka mengatakan apa pun tentang hidupny