Malam pertama yang seharusnya dilakukanlah beberapa bulan yang lalu akhirnya terlaksana malam itu, di tempat yang terbatas namun begitu menggairahkan. Alfan melakukannya berulang kali sampai tubuh Bulan lemas tak bertenaga.
Keduanya akhirnya terlelap dengan saling berpelukan di atas kasur yang seadanya. Malam itu menjadi saksi bisu bahwa dua orang yang berstatus sah telah menjadi satu.
Pukul lima pagi, keduanya memutuskan pulang ke rumah untuk membersihkan diri. Ruangan Bulan yang awalnya rapi dan bersih kini terlihat berantakan dengan aroma bekas percintaan yang begitu kentara.
Bulan sedikit meringis kala merasakan sedikit nyeri dan perih di area kewanitaannya. Tapi bukan berarti dia tidak bisa berjalan. Tidak ada yang berubah, hanya saja cara berjalan Bulan sedikit terlihat berbeda.
Sepanjang jalan senyum Alfan terlihat begitu mengembang. Ada kebahagiaan yang tidak mampu diungkapkan.
<
“Terima kasih yang sebesar-besarnya untuk keluargaku yang malam ini hadir. Mami dan Papi, juga kedua mertua dan suamiku. Terima kasih karena telah mendukung dan menjadi support system terbaik bagi karir yang kujalani. Untuk suamiku, Alfan Fatih Herlambang, terima kasih atas dukungan baik, perhatian dan waktu yang telah kamu habiskan untuk menemaniku menyelesaikan rancangan busana yang malam ini aku keluarkan. Ucapan terima kasih saja mungkin tidak akan mampu untuk mengungkapkan perasaanku saat ini. Lebih dari itu aku bahagia karena telah sampai di titik ini. Terima kasih banyak untuk kalian semua yang selalu mendukungku.” Bulan mengungkapan rasa bahagianya. Bahkan terang-terangan dan bangga menyebutkan nama suaminya. Selama beberapa hari memang Alfan selalu menemaninya begadang untuk menyelesaikan pekerjaan. Bulan membungkukkan badan dengan sopan. Kemudian melemparkan senyum penuh haru. Acara akhirnya selesai. Bany
Zahra Jasmine, perempuan berusia 23 tahun. Berasal dari keluarga menengah ke bawah, nyaris kekurangan. Dibesarkan hanya dengan orang tua tunggal membuatnya harus menelan segala hinaan tentang statusnya. Selama ini, ia bahkan tidak pernah tahu siapa ayahnya. Bagaimana rupanya dan masihkah hidup atau sudah mati. Zahra dan kedua adiknya sudah terbiasa dengan hidup serba kekurangan. Bahkan semenjak ibunya diketahui telah pensiun dari pekerjaannya di kantor, Zahra dan kedua adiknya kerap kali kekurangan hanya sekadar untuk makan. Setelah lulus SMA, Zahra tidak melanjutkan pendidikan karena biaya yang tidak dimiliki. Bekerja di salah satu restoran sebagai pelayan adalah awal pertemuannya dengan Alfan Fatih Herlambang. Awalnya Zahra tidak pernah berharap untuk memiliki hubungan lebih dengan Alfan. Karena ia sadar bahwa status sosial mereka berbeda. Tapi wanita mana yang
“Ini nih pelakor yang merebut suami kakakku. Wajah cantik kalau hatinya busuk buat apa!” teriak suara itu lagi membuat keributan di sana tidak bisa dihindari. Beberapa orang terang-terangan menyaksikan aksi seorang perempuan belia yang tidak lain adalah adik Zahra sedang mencoba mempermalukan Bulan di tempat umum. “Cantik-cantik tapi maunya sama suami orang. Seperti tidak ada laki-laki lain saja,” sambungnya lagi berapi-api. Belum sempat Bulan bangkit, adik Zahra sudah menarik rambutnya dengan kasar hingga ia meringis menahan perih di kepalanya. “Zea, sudah. Kamu ini kenapa. Mbak Bulan tidak salah, Zea. Jangan sakiti dia.” Tiba-tiba Zahra sudah berdiri di hadapan Bulan dan mencekal tangan adiknya. “Ini kakakku dan ini pelakor yang merebut suaminya. Bayangkan saja, kakakku sedang hamil dan pelakor tidak tahu diri ini terang-terangan ingin merebutnya. Mbak Zahra-ku yang m
Hubungan Bulan dan Alfan tidak membaik, begitu pun hubungan Alfan dan Zahra. Hubungan mereka semakin merenggang dan menyisakan jarak semenjak kejadian di rumah sakit. Bulan memilih menghindari Alfan. Sementara Zahra terus merengek kepada Alfan untuk memaafkan perbuatan Zea. Dua perempuan dengan sisi dan sikap yang berbeda. Untuk apa yang terjadi, Alfan sudah meminta maaf dengan Bulan. Seperti biasa hanya anggukan dan pemakluman yang selalu diungkapkan oleh Bulan seakan itu hal wajar yang dibenarkan. Jika di sini paling bersalah adalah Bulan, maka apa artinya ia menjelaskan panjang lebar yang hanya akan sia-sia. Bulan tidak merebut karena Alfan bukan miliknya. Justru Bulan yang ditarik dan dipaksa menerima keadaan. Alfan mengusahakan segala cara untuk menghapus rekaman yang ada di rumah sakit. Bahkan ia mengancam kepada siapa pun yang berani menyebarkannya. Alfan terliha
“Ada apa, Mas?”Bulan yang baru saja mendudukkan diri di sofa samping Alfan segera bertanya tentang maksud suaminya yang terlihat begitu serius.“Jauhi Tuan Marvin. Jangan pernah berhubungan lagi dengannya.”Bulan terlihat menatap Alfan dengan tatapan yang sulit diartikan.“Memangnya kenapa? Aku dan Marvin hanya berhubungan baik karena kita teman, tidak lebih.”“Berhubungan baik karena dia mencintaimu dan kamu mencintainya. Begitu? Tidak ada hubungan laki-laki dan perempuan yang benar-benar tulus, Bulan. Selalu ada tanda tanya dibalik hubungan laki-laki lajang dan istri orang.”“Jadi kamu menuduhku memiliki hubungan dengannya?” Bulan menatap Alfan dengan mata memicing. Hatinya terbakar mendengar tuduhan Alfan yang tentunya begitu menyakitkan.Apakah Alfan pikir Bulan serendah itu
Alfan menarik rambutnya dengan kasar. Kabar yang diterima baru saja dari dokter memang kabar bahagia. Tapi itu menjadi hal lain ketika kabar itu hadir di tengah-tengah mereka yang saat ini dalam keadaan tidak baik. Bulan hamil. Tentu saja itu anaknya. Bulan mengandung anaknya sama seperti Zahra yang saat ini juga mengandung. “Alfan, apa yang dikatakan dokter? Keadaan Bulan baik-baik saja, kan. Kamu pasti membiarkannya kelelahan bekerja!” Mama Silvi yang baru saja datang bersama dengan Papa Andre langsung mencecarnya dengan berbagai pertanyaan. “Bulan hamil, Ma.” “Apa!” Mama Silvi memekik karena terkejut. “Mama akan jadi oma. Kamu tidak bercanda, kan?” “Apa aku terlihat bercanda, Ma?” Alfan mendengkus dan menatap ibunya dengan tidak senang. “Jika Bulan hamil kenapa wajahmu terlihat tidak senang?” Alfan
Ruangan inap yang seharusnya tenang dan damai berubah menjadi seperti pengadilan ketika seluruh keluarga mendengar pengakuan Alfan tentang status pernikahan antara mereka bertiga. Setelah mendengar keributan yang telah dibuat oleh Zahra, Bulan langsung menghubungi Alfan dan memintanya segera datang. Begitu pun yang dilakukan oleh kedua wanita paruh baya tersebut. Mereka menghubungi suaminya dan meminta segera datang untuk membahas masalah ini. Bulan hanya mampu terdiam tanpa berani mengucap sepatah kata. Keadaannya yang semula membaik kini kembali terlihat pucat dan penuh tekanan. Beberapa kali terlihat tangannya menyeka air mata yang terus mengalir dari mata indahnya. Beberapa kali Papa Andre memukul Alfan karena emosi. Sementara kedua orang tua Bulan terlihat begitu kecewa. Bahkan Papi Jacob sempat ingin melayangkan pukulan kepada menantunya, namun dicegah oleh Bulan yang tidak mau membuat suaminya terluka.
Alfan mengetukkan kepalanya di meja berkali-kali. Tangannya menarik rambut dengan kasar. Suara gumaman lirih penuh keluh itu keluar dari bibirnya ketika matanya melihat ke arah ranjang. Biasanya di waktu seperti ini, perempuan cantik dengan senyum hangat itu pasti masih lelap bergulung di bawah selimut.Waktu masih menunjukkan pukul tiga dini hari tapi mata laki-laki itu enggan terpejam. Dadanya masih begitu dilanda perasaan sesak yang membuatnya merasakan nyeri teramat.Belum sehari dia kehilangan istrinya, namun perasaan itu sudah tidak karuan. Biasanya dia akan selalu melihat sosok perempuan tersebut dari CCTV yang terpasang di setiap sudut rumah rumah. Tapi kini tidak ada lagi yang bisa dilihat.Kembali air mata meluncur melewati pipinya dengan deras. Tiada kata yang keluar, tapi air matanya cukup menjelaskan bahwa laki-laki itu benar-benar merasa kehilangan.Setelah pulang dari rumah sakit tadi, Alfan mengantarkan Zahra dan adiknya kembali ke rumah s
“Ternyata suamiku ini memiliki banyak pengagum. Bahkan ada yang melamar meski sudah tahu jika sudah memilki istri. Apakah aku harus bersyukur atau justru takut, ya. Bagaimana menurutmu, Mas?” sindir Ayesha.“Aku benar-benar tidak mengenal mereka. Tiba-tiba datang dan melamar begitu saja.” Meski sama-sama bergelut dalam dunia bisnis, sepertinya Alfan tak begitu mengenal pasangan suami istri tersebut. Mungkin karena ia baru melebarkan sayapnya di kota ini atau bagaimana, yang pasti wajah mereka tak terlalu populer hingga Alfan dengan mudah mengenalinya.“Mereka bahkan menawarimu sebuah perusahaan dan akan memastikan seluruh bisnismu akan maju. Tawaran yang menggiurkan. Apa wanita itu cantik?” kata Ayesha. Ia mendengus jengkel meski kedua orang tamu tidak tahu diri itu sudah meninggalkan ruangan.“Putri mereka yang mana saja aku pun juga tidak tahu. Benar-benar aneh,” bantah Alfan.“Jika putrinya menyukaimu sejak pandangan pertama artinya pernah ada interaksi di antara kalian, Mas. Kamu
Setelah beberapa minggu berlalu, akhirnya berita tentangnya dan sang suami mereda dan tergantikan oleh berita panas lainnya.Butiknya telah kembali buka. Bahkan kini lebih banyak pengunjung yang datang dari kalangan pejabat dan beberapa istri-istri pengusaha.Tentu saja mereka bukan hanya datang karena sekadar tertarik dengan rancangan pakaiannya. Namun, beberapa dari mereka ada yang mencoba menjalin pertemanan.Entah itu benar-benar tulus atau menginginkan hal lain.Beberapa kali juga ia mendapatkan undangan untuk masuk ke dalam group sosialita.Ayesha hanya menanggapinya dengan senyum tipis seperti biasa.Setelah ujian selalu ada kebahagiaan. Tidak akan ada kehidupan yang akan berjalan lurus dan mulus. Selalu ada rintangan dan halangan.Begitulah kehidupan.Ayesha yang baru saja mengambil air dari dapur, tidak sengaja mendengar suara Dewi yang sedang berbicara dengan seseorang melalui ponsel. Ia menajamkan pendengaran untuk mengetahui isi obrolan tersebut. Namun, saat berjalan mende
Keesokan paginya berita tentang kejadian semalam membuat namanya dan nama butiknya terseret dalam berita surat kabar.Saat membacanya Ayesha masih bisa bernapas lega karena apa yang terjadi padanya tidak sampai terekspos keluar. Bukan karena tidak ingin nama baiknya hancur, kini ia kembali menyandang nama Herlambang yang membuatnya harus menjaga nama baik suaminya juga.Alfan mengusap bahunya lembut dan mengatakan kalimat yang menenangkan, bahwa semuanya akan baik-baik saja.“Mom, kudengar semalam mommy keluar. Ke mana?” tanya Arzen duduk di meja makan.Remaja itu sama sekali tidak tahu bahwa ada polisi yang menghampiri ke rumah mereka. Karena kebiasaan Arzen memang setelah masuk kamar, ia jarang keluar jika tidak perlu sesuatu.“Ya, mommy ada urusan.”“Are you okay, Mom?”“Sure, Son.” Melemparkan senyum tipis yang tulus.“Kamu tidak perlu cemas. Berita itu tidak akan keluar,” bisik Alfan pelan.“Aku ha
Hi, boleh absen dong yang masih setia baca cerita ini? Komen di setiap bab agar aku tahu bahwa kalian masih ada di sini. Makasih.♡♡♡“Maaf, Nyonya. Di bawah ada polisi yang ingin bertemu Anda.”Polisi, batinnya bertanya-tanya.“Ya, bilang saja suruh tunggu sebentar. Aku ganti baju dulu,” kata Ayesha segera masuk kamar dan mengganti pakaian.Saat ia turun ke ruang tamu, benar ada dua polisi yang sudah menunggunya.“Selamat malam, Nyonya. Maaf jika kedatangan kami mengganggu Anda. Kami dari Polresta Denpasar mendapat surat perintah penggeledahan butik Anda untuk melengkapi bukti bahwa saudari Clara Adelin terlibat dalam kasus peredaran dan penjualan narkoba jenis sabu.”Deg!Jantung Ayesha berdebar dengan sangat keras. Ia terkejut sekaligus syok dengan apa yang baru saja didengar.“Maaf, Pak polisi. Izinkan saya bertanya lebih dulu.”Ia menarik napas panjang dan mengembuskannya pe
Sebelum berangkat ia telah menghubungi suaminya dan meminta alamat kantor yang sampai saat ini belum diketahui.Mobil melaju dengan kecepatan sedang, diiringi suara musik dari penyanyi favoritnya.Tidak sampai tiga puluh menit mobil yang dikendarai tiba di sebuah gedung tinggi bertuliskan HM Group. Ayesha segera memarkirkan mobilnya di basement dan menuju resepsionis.“Ruangan Tuan Alfan Fatih Herlambang di mana, ya?” tanya Ayesha sopan.“Maaf, apa Anda sudah membuat janji?” tanya wanita itu dengan ramah.“Apa seorang istri perlu membuat janji untuk bertemu suaminya?” Ayesha tersenyum, tetapi kata-katanya menegaskan bahwa ia adalah istrinya.“Ah, maaf. Anda Nyonya Ayesha.” Wanita itu menunduk dan meminta maaf berkali-kali.“Mari saya antar ke ruangan beliau,” ucapnya kemudian mengarahkannya menuju lift khusus.Suara denting lift menandakan mereka telah sampai di lantai yang dituju. Lantai sepuluh, gedung teratas
Langit gelap telah berganti terang. Matahari mulai tampak malu-malu menunjukkan sinarnya.Cuaca yang masih terasa dingin membuat dua sosok lelaki di ruangan yang berbeda kembali menggulung dirinya di dalam selimut tebal yang menghangatkan.Setelah urusan dapur usai, Ayesha bergegas naik ke lantai dua dan membangunkan sang anak. Beberapa kali remaja itu menggeliat dan bergumam, tetapi tak juga membuka mata.Ayesha yang kesal langsung menarik selimutnya dengan kasar dan membuka tirai. Membiarkan cahaya pagi menembus jendela dan mengusik si pemilik kamar.“Zen! Bangun! Mommy akan menyirammu dengan air jika kamu tidak segera bangun,” ancam Ayesha dengan suara rendah.“Oh, Mommy!” keluhnya dengan suara serak. Manik cokelat itu akhirnya mengerjap, menyesuaikan diri dengan cahaya sebelum akhirnya terbuka.“Sudah. Aku bangun,” lanjutnya, ia masih duduk di tepi ranjang. Menyahut segelas air di atas nakas dan meneguknya hingga tandas. Matanya menoleh ke arah jam dinding dan terkejut saat menyad
Empat hari kemudian, mereka resmi pindah ke rumah Alfan. Lelaki itu hanya meminta anak dan istrinya membawa pakaian dan surat-surat penting lainnya.Nena juga ikut serta bersama mereka. Sebab, Ayesha sudah menganggap wanita itu seperti saudarinya.Setelah hampir dua jam merapikan kamar, Ayesha memilih merebahkan tubuhnya di ranjang. Pindahan memang membutuhkan tenaga ekstra.Alfan yang baru masuk kamar bertanya, “Sudah selesai?”“Belum. Ruang ganti masih berantakan, aku lelah sekali.”Ayesha memang tidak mau dibantu asisten untuk merapikan kamar dan ruang ganti. Ia ingin merapikannya sendiri agar tahu di mana letak ia menyimpan barang-barangnya.Alfan berjalan ke ruang ganti dan melihatnya. Memang masih sangat berantakan, beberapa koper masih teronggok dengan isi yang sudah carut marut.“Istirahat saja. Masih ada waktu besok lagi, jangan memaksakan diri.”Ayesha mengangguk. “Aku tahu. Kamar Arzen sudah selesai?”“Sudah. Nena sedang merapikannya.”Beberapa hari yang lalu Alfan sudah ke
Seminggu telah berlalu dengan cepat. Hari ini menjadi perpisahan antara Ayesha dan kedua orang tuanya.Mereka mengantar keduanya sampai di bandara. Bahkan Arzen turut libur sekolah karena ingin mengantarkan oma dan grandpa kesayangannya.Isak tangis Ayesha sudah terdengar sejak mereka dalam perjalanan. Kini, semakin keras suara tangis itu saat kedua orang tuanya semakin tak terlihat lagi dalam pandangan.Alfan merengkuh tubuh sang istri dan mencoba menenangkannya. Setelah keadaannya berangsur tenang mereka meninggalkan bandara.“Mau mampir ke suatu tempat dulu?” tanya Alfan.“Langsung pulang saja,” balas Ayesha pelan, tak bersemangat.“Zen?” Menatap sang putra melalui kaca mobil. Remaja itu juga tampak tak bersemangat.“Ya, Dad.” Tatapannya kembali mengarah ke luar.Setelah sampai di rumah. Ibu dan anak itu mengurung diri di kamar sampai melewatkan makan malam.Alfan yang ada di meja makan sendirian menjadi tidak tenang. Ia meminta Nena menyiapkan makanan untuk dibawa ke kamar anak da
Masuk ke kamar sepasang suami istri itu kembali melanjutkan kegiatan yang tertunda. Kembali menyelami nikmatnya surga dunia. Mencapai nirwana tertinggi di iringi deru napas yang memburu.Dingin di luar sana sama sekali tak mendinginkan keduanya. Justru semakin memanas, bagaikan kobaran api yang baru saja disiram bensin.Membara.Peluh menetes, menjadi saksi betapa bersemangatnya mereka. Kerinduan, kasih sayang, gairah, semuanya melebur menjadi satu.Entah sudah berapa lama mereka melakukannya, Ayesha bahkan sampai tak bisa bernapas dengan lega karena terus-menerus dihabisi oleh sang suami.“Sudah, Mas. Aku lelah,” ucap Ayesha dengan suara lemah.Umur yang hampir menyentuh kepala empat sama sekali tak membuat Alfan melunak sedikit pun.Ingatan tentang saat pertama kali lelaki itu menjamah dirinya terlintas. Betapa buas dan sama sekali tak menahan diri.“Tahan sebentar lagi, Sayang,” bisik Alfan, mengecup lembut pelipis sang istri.Suara erangan panjang menjadi penutup kegiatan malam it