Perempuan 22 tahun itu terlihat rapuh. Tetapi tekad yang terpancar di kedua matanya tak bisa diabaikan begitu saja.Dan itu yang membuat Mandala kian tertarik pada Viona. Masalahnya, apa Viona mau menerima perasaannya? Apa dia tidak terlalu cepat jika mengungkapkan perasaannya sekarang?Namun Mandala tidak bisa menunggu lagi. Sudah terlalu lama dia diam melihat Alfie memperlakukan Viona dengan sangat buruk.Dia ingin Viona tahu masih ada lelaki normal yang siap menjaga dan memperlakukannya dengan penuh kasih sayang."Tidak. Dia hanya kecewa karena aku tidak memberitahukan tentang kehamilanku." Viona mengurai senyum pahit.Mandala menggeleng tak percaya.Bahkan setelah Alfie memperlakukan Viona dengan tidak manusiawi, perempuan itu masih berupaya melindunginya dengan tidak mengatakan tuduhan Alfie yang sangat kejam dan tidak berdasar.Terbuat dari apa hati Viona? Alfie benar-benar sudah membuang sebongkah berlian hanya untuk menyelamatkan egonya yang sebesar kacang kedelai. Alfie breng
"Kamu yakin dengan keputusan yang kamu buat?"Viona mengangguk mantap. Tak ada keraguan sedikit pun yang tergambar di wajahnya. "Saya tidak pernah seyakin ini dalam hidup saya, Pak."Viona sudah memutuskan untuk keluar dari kota ini atau dia akan terjebak dalam kenangan menyakitkan tentang masa lalunya. Lebih cepat lebih baik."Kamu bisa bekerja di sini selama yang kamu mau."Bibir Viona mengurai senyum tipis pada Khadafi yang masih terlihat kacau setelah dihajar Alfie kemarin. Hari ini dia bekerja untuk yang terakhir kalinya sebelum menghadap Khadafi dan menyampaikan pengunduran dirinya."Sebelum terima kasih atas tawarannya, tapi saya tidak bisa. Saya akan kembali ke Jakarta dan melanjutkan wisuda.""Apa saya menimbulkan masalah antara kamu dengan suami kamu? Apa kalian bertengkar hebat karena ucapan saya kemarin?" Khadafi mencondongkan tubuh dengan raut serius.'Bukan hanya bertengkar hebat. Kami bahkan bercerai,’ batin Viona dalam hati."Tidak ada apa-apa." Viona berbohong. Dia ti
Viona menatap Tirta yang masih terbaring di atas tempat tidur dengan berbagai selang yang menempel di tubuhnya dengan mata berkaca-kaca.Sudah dua bulan lebih lelaki tampan itu terbaring di sana tanpa menunjukkan tanda-tanda kapan dia akan bangun. Mulanya, dia bertekad akan tetap setiap dan menunggu Tirta sampai dia sadar.Namun kemudian dia menyadari satu hal, perasaannya sudah tidak sama seperti dulu lagi.Sadar atau tidak, ada nama lain yang perlahan mulai menggeser posisi Tirta di hatinya. Yang tersisa dalam hatinya sekarang adalah rasa sayang sebagai teman.Bagaimanapun juga, Tirta pernah ada di saat-saat buruk dalam hidupnya. Dia adalah orang pertama-selain Yuanita-yang menyediakan bahu untuk bersandar setiap kali Viona merasa sedih.Dan empat tahun bukanlah hal mudah untuk melupakan itu semua.Namun Ibu Tirta benar, dia tidak mungkin terus menunggu Tirta sedangkan hidup harus terus berjalan. Ada Sabda yang menunggu dirinya saat ini."Maaf, Tirta," bisik Viona sambil meraih tang
Mandala termangu selama bebarapa detik. Sepertinya Padma tidak sedang menelepon, tetapi bertengkar dengan alter egonya sendiri. Hal ini sering terjadi jika keduanya tidak sepakat dengan satu hal.Orang awam yang melihat Padma pasti akan berpikir dia gila karena bicara seorang diri. Dulu Mandala juga berpikir begitu sampai Padma sendiri yang memberitahu bahwa dia mengidap DID."Tidak apa-apa. Saya masuk saja," putus Mandala.Mindi hanya menatap Mandala dengan raut prihatin sambil berdoa semoga lelaki tampan berbadan kekar itu bisa keluar dari sana dengan selamat.Mandala mengetuk pintu tiga kali lalu langsung membukanya tanpa menunggu jawaban dari dalam. Saat menyelinap masuk, netranya menangkap sosok Padma yang tengah duduk bersandar di sofa dengan mata terpejam.Mandala mendekat lalu duduk di samping lelaki itu. "Padma?" panggilnya pelan.Perlahan Padma membuka mata, lalu menoleh ke arah Mandala dengan raut terkejut. "Aku tidak mendengar kamu masuk."Dari tone suara yang Mandala deng
Padma menerobos keluar dari ruangannya setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Mindi. Di belakangnya, Mandala menyusul sambil menelepon Linda, PR (public relation) dari Lion Capital.Wajah Padma tampak gusar saat mereka ada di dalam lift. Dia berusaha menenangkan diri atau Alfie akan muncul lagi. Padma tidak ingin ada masalah baru yang ditimbulkan oleh Alfie.Begitu sampai di lobi, Linda sudah lebih dulu ada di sana dan menjawab semua pertanyaan wartawan yang mencoba menerobos masuk.Padma sengaja berlindung di balik tembok bersama Mandala dan medengarkan apa saja yang ditanyakan oleh para wartawan."Benarkah Pak Arya sering melakukan kekerasan pada anaknya sendiri?""Apa benar Kalfian Adikara bukan anak kandung Pak Arya?""Benarkah rumor yang beredar bahwa Pak Arya memiliki anak lain selain Kalfian dan Cyntia?"Itu hanyalah segelintir pertanyaan wartawan yang Padma dengar dan membuat keningnya berkerut.Dia tahu ayahnya belum memberikan pernyataan resmi terhadap skandal video penga
Raut petugas keamanan itu langsung berubah. Penyesalan dan rasa bersalah tergambar di wajahnya. "Maaf, Bu. Pak Padma melarang Ibu masuk ke rumah ini lagi," ujarnya pelan.Pasti Alfie yang mengeluarkan larangan itu, karena Padma tidak mungkin melakukannya. Tetapi Viona tidak menyerah begitu saja.Dia menangkupkan tangan di depan dada dan menatap petugas keamanan di hadapannya dengan mata berkaca-kaca. "Tolong, Pak. Saya hanya ingin melihat Sabda. Saya rindu sekali."Petugas keamanan itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal.Dia iba melihat Viona yang memohon dengan wajah memelas. Tetapi perintah dari Padma sangat jelas. Viona tidak boleh masuk ke rumah ini apa pun yang terjadi."Saya mohon, Pak." Viona kembali mengiba. Kali ini ditambah setitik bulir bening yang sudah meleleh di pipinya. "Hanya lima belas menit. Setelah memastikan Sabda baik-baik saja, saya akan pulang."Petugas keamanan itu dilanda dilema.Di satu sisi dia ingin membantu Viona. Dia tahu perempuan muda itu sangat menya
Bisnis kuliner sangat erat hubungannya dengan kepercayaan konsumen. Kabar keracunan ini sudah pasti mengurangi tingkat kepercayaan konsumen. Apalagi beritanya sudah viral di media sosial.Sekarang semua tim sedang bekerja keras menyelidiki bagaimana keracunan itu bisa terjadi sebelum hujatan makin meluas dan berakibat buruk pada merek The Union yang tersebar di sepuluh kota."Tuan, kita sudah sampai."Alfie membuka mata dan menyapukan pandangan ke sekelilingnya.Rupanya dia sempat tertidur hingga tidak menyadari mobil sudah berhenti di pelataran sebuah hotel bintang lima.Alfie keluar dari mobil lalu berjalan cepat memasuki lobi hotel dan menghampiri resepsionis untuk memesan presidential suite untuk malam ini.Alfie sempat menangkap tatapan kekaguman dari resepsionis hotel yang dia abaikan. Toh dia sudah bisa melihat ekspresi kekaguman seperti itu.Hanya satu orang yang tidak pernah menatapnya dengan kagum dan penuh damba seperti itu. Viona.Ah, sial! Kenapa pikirannya malah tertuju
Semuanya berjalan seperti seharusnya. Faradita jelas tahu apa yang harus dia lakukan. Sialnya, Alfie sama sekali tidak merasakan apa yang seharusnya dia rasakan.Seharusnya dia merasakan gelenyar familiar itu di sekujur tubuhnya. lya, kan? Atau minimal miliknya akan bereaksi sedikit. Tetapi tidak ada apa pun yang terjadi.Bahkan bayangan Viona yang coba Alfie munculkan dalam benaknya juga tidak berarti apa-apa. Tubuhnya seolah menolak stimulus yang dikirim oleh otaknya.Sampai lima belas menit berlalu, rahang Faradita mulai kebas dan pegal. Sialnya, Alfie masih tidak merasakan apa-apa. Lelaki itu akhirnya kesal dan mendorong Faradita menjauh."Pergilah!" usirnya. "Aku akan tetap membayar jasamu. Tapi tidak ada tips untuk malam ini.""Tapi, Tu-""Aku bilang pergi!" desis Alfie tajam dengan tatapan mematikan.Faradita yang ketakutan melihat perubahan ekspresi Alfie, buru-buru meraih tasnya yang tergeletak di lantai dan kabur dari sana bahkan tanpa pamit.Alfie mengerang frustrasi dan me
Terdengar helaan napas yang begitu berat dari seberang. Viona tidak tahu apa yang membuat Alfie begitu lama mengatakan jawabannya. Tetapi anehnya dia tetap menunggu."Aku menyukaimu, Viona. I really do. Butuh waktu lama bagiku untuk mendefinisikan perasaan ini. Kamu sendiri sudah tahu bahwa segala hal tentangmu adalah rasa yang baru."Ada jeda lagi. Sementara Viona membeku di kursi begitu mendengar pernyataan Alfie."Tapi kemudian aku sadar satu hal, aku terpacu untuk berubah menjadi lebih baik setelah mengenal kamu. Aku tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya."Aku bahkan tidak peduli jika seluruh dunia membenciku. Tapi aku sangat marah ketika kamu mengatakan muak dengan sikapku. Aku tidak ingin kamu memandangku seperti itu. Aku ingin kamu memandangku sebagai lelaki yang baik, Didit."Suara Alfie terdengar bergetar dan entah kenapa Viona makin merasakan kesepian, kesendirian dan kesedihan yang Alfie tanggung."Aku benar-benar serius saat mengatakan aku tidak suka melihatmu dengan
Kepalang tanggung. Meski tidak mengerti mengapa mulutnya mengucapkan ajakan untuk menikah lagi, Tetapi Alfie tidak bisa mundur sekarang.Kalimat itu mungkin terdengar impulsive bagi Alfie, tetapi setelah mengatakannya secara langsung di hadapan Viona, sakit di kepalanya mendadak menguap.Begitu juga dengan gelombang kemarahan yang membakar dirinya, kini mendadak surut begitu saja. Berganti dengan harapan semoga Viona mau kembali padanya.Viona mengerjap, lalu menggeleng beberapa kali sebagai tanda dia tidak percaya dengan ucapan Alfie. "Dan kamu pikir aku akan mengiakan permintaanmu?""Kenapa tidak? Sabda membutuhkanmu dan aku.... membutuhkanmu juga." Lidah Alfie terasa kelu saat mengucapkan tiga kata terakhir yang baru saja keluar dari mulutnya."Kita tidak harus menikah, Al." Viona mendesah lelah. "Pernikahan kita yang kemarin adalah sebuah bencana. Kamu terus menyakitiku dan aku makin benci padamu. Tidak bisakah kita tetap seperti ini?"Kalimat itu menohok Alfie hingga dia sempat m
Alfie terperangah.Tadi sore dia baru mendapatkan kabar dari pengacaranya bahwa gugatan perceraian yang dia ajukan dikabulkan oleh hakim. Secara hukum mereka resmi bercerai hari ini.Seharusnya Viona tidak tahu karena Alfie sama sekali tidak mengatakan apa-apa. Dia juga tidak pernah datang ke persidangan. Lalu siapa yang memberitahu Viona?"Pengacaramu yang memberitahuku." Viona menjawab pertanyaan yang belum sempat terlontar dari mulut Alfie. Dia bisa melihat kebingungan di wajah Alfie."Di mata agama dan hukum, kita sudah bukan suami istri lagi. Aku berhak dekat dan pergi dengan siapa pun juga. Jadi, berhenti mengancamku atau mengatakan aku adalah milikmu. Aku benar-benar muak dengan sikapmu, Al."Viona berbalik lalu meninggalkan Alfie yang masih mematung di depan gedung. Tetapi langkahnya terhenti ketika Alfie kembali mencekal lengannya, lalu menariknya pergi dari sana."Alfie, lepas!" Viona mencoba melepaskan cekalan tangan Alfie. "Kamu menyakitiku, Al!"Tak ada yang terjadi. Jang
Puluhan menit kemudian, mereka sampai di tempat resepsi. Pelataran parkir tampak dipenuhi oleh deretan mobil mewah, yang menunjukkan sang penyelenggara acara berasal dari kalangan berada."Shall we?"Viona menatap lengan Mandala yang disodorkan padanya. Atas dasar kesopanan, Viona menyelipkan tangannya di lengan Mandala sebelum melangkah masuk menuju lobi.Setelah masuk ke bagian dalam gedung, Mandala langsung mengajak Viona untuk bertemu dengan keluarganya yang duduk di area VVIP yang khusus diperuntukkan untuk keluarga.Pada keluarganya, Mandala mengenalkan Viona sebagai personal assistant. Tetapi Viona bisa menangkap pandangan berbeda yang dilayangkan keluarga Mandala, terutama kedua orang tuanya.“PA atau pacar, Mandala?" goda ibunya yang sejak tadi tak berhenti memandangi Viona dengan wajah semringah."PA, Ma," jawab Mandala sabar meski dia sudah mengatakannya tiga kali. "Daripada aku terus ditanya sama orang-orang kenapa aku kondangan sendirian, lebih baik aku ajak Viona.""Ya,
Pertengkaran dengan Alfie benar-benar merusak suasana hati Viona di sisa hari itu.Dia paham Alfie sangat bermasalah dengan emosi. Si Sumbu Pendek itu mudah meledak jika ada hal yang berjalan di luar keinginannya. Tetapi, apa dia harus selalu mengancam agar keinginannya terpenuhi?Belum lagi pilihan katanya sangat ambigu dan membuat Viona harus berpikir keras sepanjang sore. Sejak kapan dia adalah milik Alfie? Bukankah mereka sudah bercerai?"Ada masalah?"Suara Mandala membuyarkan lamunan Viona, yang tanpa sadar mematung di depan deretan gaun yang tergantung di rak. Perempuan itu menoleh dengan seulas senyum yang dipaksakan."Tidak ada, Pak," balasnya singkat."Kamu yakin? Sejak tadi kamu sering melamun."Senyum Viona kian lebar. Dia mengenyahkan berbagai macam gejolak dalam pikirannya dan mengangguk untuk meyakinkan Mandala. "Saya hanya memikirkan pekerjaan, Pak."Mandala mendekat lalu mengambil satu gaun yang sejak tadi menarik perhatiannya. Gaun peach selutut model off-shoulder de
Setelah itu dia keluar dan menuju ruangan Mandala. Ada yang harus dia tanyakan pada lelaki itu karena Mandala-lah yang pernah berkunjung ke aparteman Fira saat perempuan itu sakit.Begitu sampai di ruangan Mandala, dia mendengar lelaki itu sedang bicara pada Viona. Lewat pintu yang tidak tertutup rapat, Alfie bisa menangkap percakapan itu."Viona, nanti malam kamu ada acara?"Viona yang tengah mengecek jadwal Mandala untuk satu minggu ke depan sontak menoleh pada lelaki itu. "Tidak ada, Pak. Ada yang bisa saya bantu?""Kalau begitu temani saya ke resepsi pernikahan sepupu saya, ya? Saya tidak nyaman kalau datang sendiri. Selain itu ada beberapa vendor yang bekerja sama dengan Lion Capital yang diundang."Menganggap itu adalah bagian dari pekerjaannya sebagai PA, Viona mengangguk hormat. "Apa baju untuk nanti malam sudah disiapkan?""Belum. Nanti sore jadwal saya kosong, kan?"Viona melihat ke organizer-nya lalu mengangguk."Kalau begitu nanti sore temani saya memilih jas, ya. Sekalian
Alfie tidak langsung menjawab. Dia memajukan bar stool-nya hingga lutut mereka bersentuhan.Viona sontak memundurkan tubuh karena terlalu dekat dengan Alfie.Namun Alfie lebih dulu menarik lengannya hingga wajah mereka nyaris bersentuhan. Viona meneguk ludah gugup begitu mata kelam Alfie memakunya, lalu turun ke bibir dan berhenti di sana.Viona haya bisa memandang Alfie dengan waspada. Jaga-jaga kalau lelaki itu mendadak menciumnya tanpa aba-aba seperti beberapa hari yang lalu."Mungkin karena aku mulai mengenalmu,” balas Alfie sangat pelan hingga Viona sempat berpikir dia salah dengar. "Kamu tidak seburuk yang aku kira. Selama ini... aku mungkin sudah salah menilaimu."Suasana yang begitu lengang di dapur membuat Viona bisa mendengar detak jantungnya sendiri yang berdegup lebih kencang dari biasanya. Pengakuan Alfie yang sudah lama dia tunggu akhirnya tercetus juga dari mulut lelaki itu."Kalau begitu tarik semua tuduhanmu tentang aku!" tuntut Viona. "Termasuk tuduhan bahwa aku tidu
Kesal pada dirinya sendiri karena tak kunjung bisa mengenyahkan bayang-bayang Alfie, Viona mematikan TV lalu bangkit dan beranjak menuju kamar.Namun baru dua langkah, dia mendengar suara dari arah ruang tamu. Sepertinya ada yang membuka pintu depan. Tubuh Viona seketika menegang.Hal pertama yang terlintas dalam benaknya adalah suara itu adalah perampok yang mencoba masuk ke rumah ini. Tetapi dia kemudia ingat bahwa rumah ini punya penjagaan yang sangat ketat.Ada dua pengawal yang berjaga di depan. Ditambah security yang berjaga di pos keamanan yang ada di depan pagar. Seharusnya tidak ada perampok yang bisa menerobos masuk.Jika bukan perampok, lalu siapa?Viona baru akan berpikir tentang apa yang harus dia lakukan saat sebuah suara berat dan serak yang familiar menyapa telinganya."Viona, kamu baik-baik saja?"Viona tersentak. Dia mengerjap saat melihat Alfie berjalan ke arahnya dengan tergesa. Dia tidak salah lihat, kan? Bukankah seharusnya Alfie masih ada di Bandung?"Are you ok
Persetan! Kalau dengan membayangkan Viona bisa membuatnya bergairah dan turn on, maka dia akan melakukannya. Alfie benar-benar butuh pelampiasan malam ini.Tepat saat celananya meluncur turun, ponsel Alfie yang tadi dilempar Darla ke atas tempat tidur berdering nyaring.Mengabaikan Darla yang baru saja akan menyenangkan miliknya, Alfie bergerak menuju tempat tidur lalu menyambar benda pipih itu dengan tidak sabar. Siapa tahu Viona yang meneleponnya.Darla yang sudah terlanjur bergairah, mengikuti Alfie dan mendorongnya ke tempat tidur agar dia bisa melanjutkan 'pekerjaannya'."Ada apa?" sapa Alfie kasar karena panggilan itu bukan berasal dari Viona melainkan pengawal yang dia utus untuk mendampingi perempuan itu."Nona Viona sudah sampai di rumah sejak jam delapan malam, Tuan. Tetapi ada sebuah mobil yang mengikuti kami."Alis Alfie bertaut. "Kamu memotret plat mobilnya?""Tidak, Tuan. Mobil itu berada cukup jauh dari mobil kami, tapi saya yakin dia mengikuti kami. Begitu kami masuk g