Bisnis kuliner sangat erat hubungannya dengan kepercayaan konsumen. Kabar keracunan ini sudah pasti mengurangi tingkat kepercayaan konsumen. Apalagi beritanya sudah viral di media sosial.Sekarang semua tim sedang bekerja keras menyelidiki bagaimana keracunan itu bisa terjadi sebelum hujatan makin meluas dan berakibat buruk pada merek The Union yang tersebar di sepuluh kota."Tuan, kita sudah sampai."Alfie membuka mata dan menyapukan pandangan ke sekelilingnya.Rupanya dia sempat tertidur hingga tidak menyadari mobil sudah berhenti di pelataran sebuah hotel bintang lima.Alfie keluar dari mobil lalu berjalan cepat memasuki lobi hotel dan menghampiri resepsionis untuk memesan presidential suite untuk malam ini.Alfie sempat menangkap tatapan kekaguman dari resepsionis hotel yang dia abaikan. Toh dia sudah bisa melihat ekspresi kekaguman seperti itu.Hanya satu orang yang tidak pernah menatapnya dengan kagum dan penuh damba seperti itu. Viona.Ah, sial! Kenapa pikirannya malah tertuju
Semuanya berjalan seperti seharusnya. Faradita jelas tahu apa yang harus dia lakukan. Sialnya, Alfie sama sekali tidak merasakan apa yang seharusnya dia rasakan.Seharusnya dia merasakan gelenyar familiar itu di sekujur tubuhnya. lya, kan? Atau minimal miliknya akan bereaksi sedikit. Tetapi tidak ada apa pun yang terjadi.Bahkan bayangan Viona yang coba Alfie munculkan dalam benaknya juga tidak berarti apa-apa. Tubuhnya seolah menolak stimulus yang dikirim oleh otaknya.Sampai lima belas menit berlalu, rahang Faradita mulai kebas dan pegal. Sialnya, Alfie masih tidak merasakan apa-apa. Lelaki itu akhirnya kesal dan mendorong Faradita menjauh."Pergilah!" usirnya. "Aku akan tetap membayar jasamu. Tapi tidak ada tips untuk malam ini.""Tapi, Tu-""Aku bilang pergi!" desis Alfie tajam dengan tatapan mematikan.Faradita yang ketakutan melihat perubahan ekspresi Alfie, buru-buru meraih tasnya yang tergeletak di lantai dan kabur dari sana bahkan tanpa pamit.Alfie mengerang frustrasi dan me
Bu Retno tampak gugup. Dia lupa Alfie tidak tahu Viona sudah kembali ke Jakarta. "Eh, itu, Tuan. Sebenarnya Mbak Viona sempat memberi kabar pada Ibu kalau dia kembali ke Jakarta.""Bu Retno masih berhubungan dengan Viona?" desisnya tajam.Bu Retno menggeleng panik. "Bukan begitu, Tuan. Waktu itu saya hanya ingin memberitahu kalau Den Sabda baik-baik saja."Jika bukan karena Sabda yang meronta-ronta, Alfie mungkin akan lanjut menginterogasi Bu Retno. Alfie beralih menenangkan bayi itu dengan menepuk-nepuk pelan bokongnya."Bagaimana, Tuan?" desak Bu Retno tak sabar.Ego Alfie tentu saja menolak usul Bu Retno. Tetapi Padma ikut berteriak dalam benaknya. "Panggil dia, Al. Persetan dengan egomu itu. Kamu tidak mau Sabda bernasib sama seperti Cyntia, kan?"Alfie diserang rasa bimbang.Di satu sisi dia tidak ingin melihat Viona lagi. Tetapi di sisi lain, dia harus mengakui hanya Viona yang bisa menenangkan Sabda."Tuan?"Di tengah-tengah tangisan Sabda yang kian membahana, kebutuhan biologi
Saat Alfie terbangun keesokan paginya, Viona dan Sabda sudah tidak ada di dalam kamar. Setelah mencuci muka dengan terburu-buru, dia keluar dan mencari mereka berdua.Alfi baru bisa menghela napas lega setelah melihat Viona berada di taman kecil lantai satu untuk menjemur Sabda sambil memberinya susu.Apa Viona sempat tidur semalam?Apa dia tidak merasa lelah terus menggendong Sabda?Setidaknya berat bayi itu sudah delapan kilo sekarang. Untuk perempuan semungil Viona, bayi itu pasti berat sekali."Kenapa kamu tidak bertanya sendiri pada Viona?" tanya Padma dalam benaknya."Cih! Aku tidak ingin tahu apa pun tentang perempuan itu." Alfie berkelit. "Aku hanya memastikan dia tidak menjatuhkan Sabda karena terlalu lelah."Padma berdecak sinis. "Sudah tahu barangmu tidak bisa berdiri begitu, masih saja belagu. Ego tidak akan membuat barangmu berdiri lagi, Al . Memalukan saja!""Hei, semalam aku kelelahan!" Alfie membela diri.Sial, dia jadi malu kalau mengingat kejadian tadi malam. Selama
"Tidak bisa! Sabda tidak boleh keluar dari rumahku." Alfie bersikeras. "Lagipula kamu tidak punya pekerjaan untuk bisa menghidupi Sabda dengan layak. Akan kamu beri apa dia? Air tajin?"Viona kembali mendesah panjang. Dia memang belum punya penghasilan berhubung dia masih pengangguran.Dari sekian puluh lamaran yang dia kirimkan pada berbagai perusahaan, belum ada satu pun panggilan wawancara untuknya. Untuk hal yang satu itu, dia tidak bisa mengelak.Tadinya, Viona akan meminta hak asuh Sabda setelah dia mendapatkan pekerjaan dengan gaji memadai. Tetapi setelah melihat Sabda sakit seperti ini, dia tidak bisa menunggu lebih lama."Kalau begitu izinkan aku menjenguk Sabda sesukaku." Viona mencoba menawar. Hanya itu pilihan terakhir yang dia punya. "Kamu tidak ingin Sabda terus sakit karena merindukanku, kan?""Dia tidak merindukanmu.""Buktinya dia langsung tenang begitu aku datang,” balas Viona telak. Menghadapi seorang lelaki dengan ego setinggi langit diperlukan strategi khusus deng
Urusan di Surabaya tidak berjalan lancar seperti yang Padma harapkan. Alih-alih menerima kedatangannya dan Mandala, keluarga korban mengusimya saat itu juga.Bantuan yang hendak diserahkan pun, ditolak mentah-mentah hingga Padma tak punya pilihan selain pergi dari rumah itu dengan perasaan gelisah.Sedangkan penyelidikan dari rekaman CCTV belum membuahkan hasil. Tidak ada yang mencurigakan di dapur hari itu. Pesanan pelanggan dimasak dan diantarkan sesuai SOP yang berlaku.Semua pegawai yang bekerja di dapur, termasuk head chef, sudah dimintai keterangan dan sejauh ini belum ada yang dijadikan sebagai tersangka.Kasus ini belum menemui titik terang, tetapi efek yang ditimbulkan sudah luar biasa. Dari cabang The Union yang tersebar di sepuluh kota, enam di antaranya sudah mengalami penurunan drastis hari ini.Dari rumah korban meninggal, Padma dan Mandala mengunjungi korban yang kritis di rumah sakit. Satu diantaranya sudah melewati masa kritis. Sedangkan dua lainnya yang belum ada per
Viona meregangkan tubuhnya yang terasa pegal setelah menggendong Sabda. Bayi itu sudah lebih tenang dan bisa diletakkan di atas tempat tidur setelah suhu tubuhnya terus menurun."Mbak Viona jalan-jalan dulu saja biar nggak bosan," nasehat Bu Retno yang iba melihat Viona yang terlihat lelah karena terus menggendong Sabda seharian ini.Bayi itu sama sekali tidak mau lepas dari Viona dan selalu menolak saat dia mencoba menggendongnya. Jadilah Viona hampir tidak bisa istirahat dengan tenang."Iya, Bu. Saya mau ke kantin dulu, ya. Mau cari kopi biar nggak ngantuk."Bu Retno tertawa kecil lalu mengangguk pada Viona yang berjalan keluar kamar. Suasana di luar kamar cukup sejuk karena hujan baru saja berhenti.Sambil berjalan menuju kantin rumah sakit, Viona menghirup dalam-dalam aroma petrikor yang menguar di udara dan bercampur dengan aroma karbol. Rasanya cukup menenangkan.Sebuah panggilan yang menyerukan namanya membuat langkah Viona terhenti. Dia memutar tubuh dan mendapati Mandala berj
Sepanjang perjalanan ke kantor, Padma sudah membayangkan bagaimana wajah Devita dan seperti apa penampilannya.Apa dia glamor seperti dan suka berdandan seperti Ghina? Atau justru tipikal pegawai kantoran dengan style membosankan?Begitu sampai di kantor dan berhadapan langsung dengan Ghina, Padma baru sadar perempuan paruh baya itu sama sekali tidak sama seperti bayangannya."Selamat malam, saya Padma." Padma mengulurkan tangan yang disambut Devita dengan senyum hangat dan mata berkaca-kaca."Saya Devita."Devita sama sekali jauh berbeda dengan Ghina atau ibu rumahan yang pernah Padma temui.Segala hal yang melekat di tubuhnya memang benda-benda bermerek dengan harga yang fantastis, tetapi sikap perempuan itu sangat membumi.Senyumnya hangat dan tulus tanpa tatapan meremehkan seperti yang sering Ghina layangkan pada orang yang baru ditemui. Perempuan paruh baya itu juga sangat jauh dari kata membosankan.Devita juga masih terlihat sangat menarik meski usianya tak lagi muda dan kilat
Terdengar helaan napas yang begitu berat dari seberang. Viona tidak tahu apa yang membuat Alfie begitu lama mengatakan jawabannya. Tetapi anehnya dia tetap menunggu."Aku menyukaimu, Viona. I really do. Butuh waktu lama bagiku untuk mendefinisikan perasaan ini. Kamu sendiri sudah tahu bahwa segala hal tentangmu adalah rasa yang baru."Ada jeda lagi. Sementara Viona membeku di kursi begitu mendengar pernyataan Alfie."Tapi kemudian aku sadar satu hal, aku terpacu untuk berubah menjadi lebih baik setelah mengenal kamu. Aku tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya."Aku bahkan tidak peduli jika seluruh dunia membenciku. Tapi aku sangat marah ketika kamu mengatakan muak dengan sikapku. Aku tidak ingin kamu memandangku seperti itu. Aku ingin kamu memandangku sebagai lelaki yang baik, Didit."Suara Alfie terdengar bergetar dan entah kenapa Viona makin merasakan kesepian, kesendirian dan kesedihan yang Alfie tanggung."Aku benar-benar serius saat mengatakan aku tidak suka melihatmu dengan
Kepalang tanggung. Meski tidak mengerti mengapa mulutnya mengucapkan ajakan untuk menikah lagi, Tetapi Alfie tidak bisa mundur sekarang.Kalimat itu mungkin terdengar impulsive bagi Alfie, tetapi setelah mengatakannya secara langsung di hadapan Viona, sakit di kepalanya mendadak menguap.Begitu juga dengan gelombang kemarahan yang membakar dirinya, kini mendadak surut begitu saja. Berganti dengan harapan semoga Viona mau kembali padanya.Viona mengerjap, lalu menggeleng beberapa kali sebagai tanda dia tidak percaya dengan ucapan Alfie. "Dan kamu pikir aku akan mengiakan permintaanmu?""Kenapa tidak? Sabda membutuhkanmu dan aku.... membutuhkanmu juga." Lidah Alfie terasa kelu saat mengucapkan tiga kata terakhir yang baru saja keluar dari mulutnya."Kita tidak harus menikah, Al." Viona mendesah lelah. "Pernikahan kita yang kemarin adalah sebuah bencana. Kamu terus menyakitiku dan aku makin benci padamu. Tidak bisakah kita tetap seperti ini?"Kalimat itu menohok Alfie hingga dia sempat m
Alfie terperangah.Tadi sore dia baru mendapatkan kabar dari pengacaranya bahwa gugatan perceraian yang dia ajukan dikabulkan oleh hakim. Secara hukum mereka resmi bercerai hari ini.Seharusnya Viona tidak tahu karena Alfie sama sekali tidak mengatakan apa-apa. Dia juga tidak pernah datang ke persidangan. Lalu siapa yang memberitahu Viona?"Pengacaramu yang memberitahuku." Viona menjawab pertanyaan yang belum sempat terlontar dari mulut Alfie. Dia bisa melihat kebingungan di wajah Alfie."Di mata agama dan hukum, kita sudah bukan suami istri lagi. Aku berhak dekat dan pergi dengan siapa pun juga. Jadi, berhenti mengancamku atau mengatakan aku adalah milikmu. Aku benar-benar muak dengan sikapmu, Al."Viona berbalik lalu meninggalkan Alfie yang masih mematung di depan gedung. Tetapi langkahnya terhenti ketika Alfie kembali mencekal lengannya, lalu menariknya pergi dari sana."Alfie, lepas!" Viona mencoba melepaskan cekalan tangan Alfie. "Kamu menyakitiku, Al!"Tak ada yang terjadi. Jang
Puluhan menit kemudian, mereka sampai di tempat resepsi. Pelataran parkir tampak dipenuhi oleh deretan mobil mewah, yang menunjukkan sang penyelenggara acara berasal dari kalangan berada."Shall we?"Viona menatap lengan Mandala yang disodorkan padanya. Atas dasar kesopanan, Viona menyelipkan tangannya di lengan Mandala sebelum melangkah masuk menuju lobi.Setelah masuk ke bagian dalam gedung, Mandala langsung mengajak Viona untuk bertemu dengan keluarganya yang duduk di area VVIP yang khusus diperuntukkan untuk keluarga.Pada keluarganya, Mandala mengenalkan Viona sebagai personal assistant. Tetapi Viona bisa menangkap pandangan berbeda yang dilayangkan keluarga Mandala, terutama kedua orang tuanya.“PA atau pacar, Mandala?" goda ibunya yang sejak tadi tak berhenti memandangi Viona dengan wajah semringah."PA, Ma," jawab Mandala sabar meski dia sudah mengatakannya tiga kali. "Daripada aku terus ditanya sama orang-orang kenapa aku kondangan sendirian, lebih baik aku ajak Viona.""Ya,
Pertengkaran dengan Alfie benar-benar merusak suasana hati Viona di sisa hari itu.Dia paham Alfie sangat bermasalah dengan emosi. Si Sumbu Pendek itu mudah meledak jika ada hal yang berjalan di luar keinginannya. Tetapi, apa dia harus selalu mengancam agar keinginannya terpenuhi?Belum lagi pilihan katanya sangat ambigu dan membuat Viona harus berpikir keras sepanjang sore. Sejak kapan dia adalah milik Alfie? Bukankah mereka sudah bercerai?"Ada masalah?"Suara Mandala membuyarkan lamunan Viona, yang tanpa sadar mematung di depan deretan gaun yang tergantung di rak. Perempuan itu menoleh dengan seulas senyum yang dipaksakan."Tidak ada, Pak," balasnya singkat."Kamu yakin? Sejak tadi kamu sering melamun."Senyum Viona kian lebar. Dia mengenyahkan berbagai macam gejolak dalam pikirannya dan mengangguk untuk meyakinkan Mandala. "Saya hanya memikirkan pekerjaan, Pak."Mandala mendekat lalu mengambil satu gaun yang sejak tadi menarik perhatiannya. Gaun peach selutut model off-shoulder de
Setelah itu dia keluar dan menuju ruangan Mandala. Ada yang harus dia tanyakan pada lelaki itu karena Mandala-lah yang pernah berkunjung ke aparteman Fira saat perempuan itu sakit.Begitu sampai di ruangan Mandala, dia mendengar lelaki itu sedang bicara pada Viona. Lewat pintu yang tidak tertutup rapat, Alfie bisa menangkap percakapan itu."Viona, nanti malam kamu ada acara?"Viona yang tengah mengecek jadwal Mandala untuk satu minggu ke depan sontak menoleh pada lelaki itu. "Tidak ada, Pak. Ada yang bisa saya bantu?""Kalau begitu temani saya ke resepsi pernikahan sepupu saya, ya? Saya tidak nyaman kalau datang sendiri. Selain itu ada beberapa vendor yang bekerja sama dengan Lion Capital yang diundang."Menganggap itu adalah bagian dari pekerjaannya sebagai PA, Viona mengangguk hormat. "Apa baju untuk nanti malam sudah disiapkan?""Belum. Nanti sore jadwal saya kosong, kan?"Viona melihat ke organizer-nya lalu mengangguk."Kalau begitu nanti sore temani saya memilih jas, ya. Sekalian
Alfie tidak langsung menjawab. Dia memajukan bar stool-nya hingga lutut mereka bersentuhan.Viona sontak memundurkan tubuh karena terlalu dekat dengan Alfie.Namun Alfie lebih dulu menarik lengannya hingga wajah mereka nyaris bersentuhan. Viona meneguk ludah gugup begitu mata kelam Alfie memakunya, lalu turun ke bibir dan berhenti di sana.Viona haya bisa memandang Alfie dengan waspada. Jaga-jaga kalau lelaki itu mendadak menciumnya tanpa aba-aba seperti beberapa hari yang lalu."Mungkin karena aku mulai mengenalmu,” balas Alfie sangat pelan hingga Viona sempat berpikir dia salah dengar. "Kamu tidak seburuk yang aku kira. Selama ini... aku mungkin sudah salah menilaimu."Suasana yang begitu lengang di dapur membuat Viona bisa mendengar detak jantungnya sendiri yang berdegup lebih kencang dari biasanya. Pengakuan Alfie yang sudah lama dia tunggu akhirnya tercetus juga dari mulut lelaki itu."Kalau begitu tarik semua tuduhanmu tentang aku!" tuntut Viona. "Termasuk tuduhan bahwa aku tidu
Kesal pada dirinya sendiri karena tak kunjung bisa mengenyahkan bayang-bayang Alfie, Viona mematikan TV lalu bangkit dan beranjak menuju kamar.Namun baru dua langkah, dia mendengar suara dari arah ruang tamu. Sepertinya ada yang membuka pintu depan. Tubuh Viona seketika menegang.Hal pertama yang terlintas dalam benaknya adalah suara itu adalah perampok yang mencoba masuk ke rumah ini. Tetapi dia kemudia ingat bahwa rumah ini punya penjagaan yang sangat ketat.Ada dua pengawal yang berjaga di depan. Ditambah security yang berjaga di pos keamanan yang ada di depan pagar. Seharusnya tidak ada perampok yang bisa menerobos masuk.Jika bukan perampok, lalu siapa?Viona baru akan berpikir tentang apa yang harus dia lakukan saat sebuah suara berat dan serak yang familiar menyapa telinganya."Viona, kamu baik-baik saja?"Viona tersentak. Dia mengerjap saat melihat Alfie berjalan ke arahnya dengan tergesa. Dia tidak salah lihat, kan? Bukankah seharusnya Alfie masih ada di Bandung?"Are you ok
Persetan! Kalau dengan membayangkan Viona bisa membuatnya bergairah dan turn on, maka dia akan melakukannya. Alfie benar-benar butuh pelampiasan malam ini.Tepat saat celananya meluncur turun, ponsel Alfie yang tadi dilempar Darla ke atas tempat tidur berdering nyaring.Mengabaikan Darla yang baru saja akan menyenangkan miliknya, Alfie bergerak menuju tempat tidur lalu menyambar benda pipih itu dengan tidak sabar. Siapa tahu Viona yang meneleponnya.Darla yang sudah terlanjur bergairah, mengikuti Alfie dan mendorongnya ke tempat tidur agar dia bisa melanjutkan 'pekerjaannya'."Ada apa?" sapa Alfie kasar karena panggilan itu bukan berasal dari Viona melainkan pengawal yang dia utus untuk mendampingi perempuan itu."Nona Viona sudah sampai di rumah sejak jam delapan malam, Tuan. Tetapi ada sebuah mobil yang mengikuti kami."Alis Alfie bertaut. "Kamu memotret plat mobilnya?""Tidak, Tuan. Mobil itu berada cukup jauh dari mobil kami, tapi saya yakin dia mengikuti kami. Begitu kami masuk g