Bab 97 Kamar yang dihiasi dengan bunga-bunga segar dan aroma lilin yang harum menciptakan suasana romantis. Adelia dan Afgan duduk di ujung tempat tidur, wajah mereka mencerminkan kecanggungan. Dalam hati, mereka mempertanyakan bagaimana kamar mereka seperti sengaja dipersiapkan dengan indah seperti layaknya untuk pasangan yang akan menjalani malam pertama. Adelia duduk di tepi ranjang yang mewah itu dengan nada kesal lalu berkata, "Ini sungguh tidak masuk akal, Afgan. Mengapa kita harus dinikahkan begitu saja? Kita bahkan tidak saling mencintai." Afgan coba menenangkan Adelia dengan duduk di sampingnya. "Kita bisa membuat ini berjalan dengan baik. Mungkin kita akan menemukan kesamaan di antara perbedaan kita," ucap Afgan lalu menatap kedua mata bening Adelia dalam-dalam. Mereka saling menatap cukup lama sebelum akhirnya Adelia mendengkus dan mengerutkan kening karena teringat dengan panggilan ponsel Afgan yang membelikan tas mewah untuk Melinda, sementara dia tidak pernah membeli
Afgan mendekatkan diri dan mencengkram leher kemeja Adelia, "Kamu tahu apa, Adelia? Kamu tidak mengerti sepenuhnya apa yang terjadi di hidupku. Kamu tidak tahu bagaimana aku berjuang untuk mencapai ini." "Berjuang? Kamu hanya membuat alasan. Kamu tidak bisa memberikan apa-apa yang aku butuhkan dari seorang suami." "Lepaskan!" teriak Adelia. Afgan buru-buru melepaskan tangannya. Afgan mengernyitkan alisnya lalu bertanya. "Memangnya, apa yang kau butuhkan dari seorang suami?" Adelia terdiam dan merasa pria di hadapannya itu sangat bodoh. Dia terlalu sibuk memberikan semuanya kepada Melinda, sementara dia tidak pernah memperhatikannya sebagai seorang istri. Afgan berusaha tenang lalu berkata, "Jika kamu memberiku kesempatan, mungkin kita bisa memahami satu sama lain. Jangan membuat kesimpulan terlalu cepat." Adelia mencibir, "Tidak ada kesempatan yang bisa mengubah kenyataan, Afgan. Kamu hanyalah penyesalan besar dalam hidupku." Atmosfer kamar semakin tegang. Pertengkaran mencapai
Melihat Adelia yang melangkah ke kamar mandi, Afgan merasakan frustasi yang memuncak seiring pertengkaran yang semakin intens. Dia memutuskan untuk mengambil nafas segar dan tidur di kamar lain, berharap jeda sejenak bisa membantu meredakan ketegangan. Afgan mengambil bantal dan bersiap-siap untuk membuka pintu, tetapi di saat yang sama, dia melihat ayahnya berdiri tak jauh dari pintu. Achmed mencari minuman segar dan tanpa sengaja berpapasan dengan kehadiran Afgan yang memeluk bantal. Dengan sorot mata penuh kecurgiaan Achmed membuka suara, "Afgan, ada apa denganmu? Mengapa kamu memeluk bantal dan selimut? Apakah ini menandakan kamu hendak tidur di kamar lain?" Afgan tertegun, tidak menyangka bahwa ayahnya ada di sana. Tatapannya yang tajam seakan-akan membaca setiap ketegangan yang dirasakannya. Afgan menghela nafas, "Tidak, bantal dan selimut ini jumlahnya terlalu banyak. Aku sekalian keluar hanya butuh waktu sendiri untuk mencari minuman segar." Achmed menyodorkan sebotol minum
Kebersamaan dalam sarapan adalah sesuatu yang membuat Adelia canggung. Selama ini, dia selalu sarapan sendiri di hotel. Jadwal yang padat dan harus menerima pekerjaan sampingan, membuat dia juga sering lupa sarapan. Adelia duduk di samping Afgan, berhadapan dengan seberangnya adalah Kanya, sementara Achmed duduk di tengah-tengah mereka. "Ambillah yang kamu mau, tidak usah malu-malu," ucap Kanya dengan lembut. "Kamu harus makan banyak agar sehat dan cepat bisa memberikan cucu kepada kami, ayo ..." ajak Kanya. Adelia menelusuri meja mewah yang ada di hadapannya, roti dengan selai. Bubur kacang hijau, kacang merah, bihun goreng dan berbagai macam menu sarapan lainnya. Adelia heran bagaimana bisa menghabiskan semua ini, sementara mereka hanya berempat. "Aku minta bubur saja, Mom." Kanya mengangguk lalu menjulurkan semangkuk besar bubur ke hadapan Adelia yang malu-malu. Achmed juga segera memberikan ikan teri goreng dan kacang goreng sebagai cemilan di atas bubur. Walau pun di atas
Afgan masih membahas urusan kerjanya pada saat mendengar suara teriakan dari salah seorang pelayan. Achmed dan Afgan saling bertatapan untuk menyakinkan bahwa mereka memang mendengar teriakan panik dari salah seorang penghuni mansion tersebut. "Apa yang terjadi?" Afgan menaikkan bahunya menanggapi pertanyaan sang ayah. Pria itu segera menghampiri jendela di mana suara terdengar lebih jelas. "Adelia?" Dengan bergegas, Afgan keluar dari ruangan kerja sang ayah. Bersama-sama mereka menghampiri asal suara tersebut. Kanya juga keluar dari kamarnya dan mereka berpapasan di jalan menuju ke ruangan Adelia. Pintu dibuka dan tampak pelayan kecil sedang berusaha menahan agar tubuh Adelia tetap dalam posisi terduduk di ranjang. "Apa yang terjadi?" tanya Afgan dengan panik lalu membantu menahan tubuh sang istri yang sudah memerah seluruhnya. "Dia alergi!" pekik Kanya menyadarkan semua orang yang berada di sana. "Cepat panggil Dokter!" perintah Achmed dengan rasa terkejut yang besar. Seme
Adelia terbangun dengan perut yang lapar. Dengan kepala yang masih terhuyung, Adelia melirik Afgan tertidur di sampingnya. "Sepertinya dia kelelahan menungguiku. Aku akan ke dapur untuk mencari sedikit makanan," gumam Adelia lalu pelan-pelan duduk di tepi ranjang. Baru saja wanita itu hendak berdiri sambil memegang tongkat infusnya, terdengar suara bariton dari Afgan yang merasakan pergerakkan kecil di ranjang. "Mau ke mana?" Adelia segera menoleh. "Aku mau ke kamar mandi." Dengan langkah malas, Afgan berdiri lalu melangkah ke sisi lain dari ranjang, memegang tongkat sambil menguap. "Jalan ... " perintahnya. Adelia sebenarnya hanya beralasan ingin ke kamar mandi, padahal dia sangat kelaparan karena hanya sempat mengisi perut dengan semangkuk bubur tadi pagi. Dengan langkah terpaksa, Adelia menuju ke kamar mandi. "Kamu ikut juga?" Adelia melotot dan merasa tidak senang. Bagaimana dia bisa melakukan ritual pribadinya bila Afgan ikut serta? "Memangnya saya tidak pernah melihat se
Adelia sama sekali tidak tahu bahwa Afgan masuk kembali ke kamar beberapa jam kemudian. Dengan tubuh yang lelah, Afgan membaringkan dirinya ke sebelah Adelia lalu tertidur. Sebelumnya, Afgan memberikan kecupan penuh kasih sayang kepada Adelia. Afgan memandang wajah istrinya yang sudah lelap dalam tidurnya. Ada sebuah desiran yang sungguh tidak dapat dia sangkal. Sebuah perasaan ingin menyayangi wanita yang berbaring di sampingnya tersebut. Afgan lalu menatap langit-langit kamar dan merenung cukup lama sebelum akhirnya tertidur. *** Samar-sama, Adelia merasa terganggu atas dering ponsel Afgan. Walau pun deringan sudah diatur supaya kecil suaranya, tetapi suara berisik itu sungguh menganggu. Dengan mata masih berat dan mengantuk, Adelia menggerutu. "Angkatlah ponsel yang berdering ini? Siapa yang suka kali menganggu tidurku!" Afgan tersadar bahwa itu adalah ponselnya. Dengan langkah malas, Afgan berdiri lalu mengangkat ponselnya. "Hmmm." "Aku masih mengantuk." "Tidak kerja har
"Aku sudah siap," ucap Adelia pelan. Dengan masih menahan rasa malu, dia hanya berhasil memakai handuk untuk membungkus tubuhnya. Tiang infus yang tersambung dengan jarum infus pada tangannya membuat dia kesulitan untuk memakai pakaian. Afgan segera masuk ke kamar mandi dan membantu menarik tiang infus, mereka berjalan perlahan menuju ke ranjang dan Adelia lalu duduk di atasnya. "Kamu jangan berpakaian dulu, biarkan aku mengoleskan salep." Dengan telaten, Afgan mengoleskan salep anti gatal di bagian yang tampak pada kulit putih nan lembut milik Adelia. Afgan berulang kali menelan salivanya karena sebagai pria normal, Adelia terlihat sangat menawan di matanya. Kulit yang putih mulus berbarengan dengan beberapa bagian yang terpapar reaksi alergi berwarna merah muda. Dalam pikiran Afgan, wanita yang berada di sampingnya ini termasuk sangat cantik sekali. Afgan merasa pasti akan bisa menyayangi istrinya secara penuh bila tidak teringat malam naas yang aneh bagi dia dan juga Adelia.
"Selamat ulang tahun, Sayang," ucap Afgan seraya mengecup mesra kening istrinya. Adelia terlihat cantik dalam gaun berwarna merah muda, memancarkan pesona yang memikat semua orang yang hadir. Senyumnya yang menawan membuat suasana semakin hangat dan penuh kebahagiaan.Taman yang indah menjadi latar belakang acara tersebut, dihiasi dengan dekorasi menarik yang dipenuhi balon berwarna-warni. Meja-meja penuh dengan hidangan lokal yang menggugah selera.Afgan sengaja mempersiapkan semua makanan khas lokal Indonesia supaya dapat mencerminkan kekayaan budaya dan rasa yang istimewa. Semua tamu yang diundang tampak menikmati setiap momen, tertawa dan berbincang dalam suasana yang meriah.Afgan sengaja memilih suasana taman ini untuk memberikan kesan alami dan romantis. Cahaya lampu hias yang tergantung di antara pepohonan menambah kehangatan malam itu, menciptakan suasana yang sempurna untuk merayakan ulang tahun Adelia."Tempat ini benar-benar indah, Afgan," kat
Nama itu terdengar seperti melodi yang manis di telinganya, dan wajahnya muncul di dalam bayangan gelap di hadapannya.Lima tahun yang lalu, mereka bertemu dalam sebuah acara pesta, di mana keponakannya, Edward, membawa Adelia sebagai pasangan dansa.Adam masih ingat betapa terpesonanya dia saat itu oleh kehadiran Adelia. Wajah dan penampilan wanita itu sangat mirip dengan mendiang istrinya, membuatnya tercengang dan tak bisa berkedip.Adelia, dengan senyum manisnya dan gerakannya yang anggun, menyihirnya dalam sekejap.Dalam kilatan lampu pesta, Adam melihat bayangan istrinya yang telah tiada, dan dia merasakan hatinya tergetar oleh gelombang nostalgia dan kesedihan yang mendalam.Ketika mereka memiliki kesempatan untuk berdansa sebagai pasangan, Adam merasa seperti dia berada di alam semesta yang sama sekali berbeda, di mana waktu berhenti berputar dan kehilangan tidak lagi terasa menyakitkan.Tetapi, seiring malam berakhir, kenyataan kemb
Adam membalas senyuman wanita itu dengan senyuman manis. "Maka aku akan menjadi milikmu."Sekali lagi mereka berciuman dengan penuh gairah. Sarah terhanyut dan merasa tidak berdaya, tetapi dalam ruang kecil hatinya yang tersisa, dia tahu dengan pasti bahwa Adam bukanlah tipe pria yang akan dengan mudah jatuh hati padanya.Dia menyadari bahwa perasaan Adam padanya hanyalah alat yang dimanfaatkannya untuk menyakiti Melinda lebih dalam lagi. Tetapi, meskipun dia sadar akan ini, dia terus menekan perasaannya sendiri, membiarkan dirinya larut dalam penipuan terhadap hatinya.Setiap hari, Sarah merasa semakin terjebak dalam permainan Adam. Dia memberi dirinya alasan bahwa ini adalah cara untuk menjaga Melinda tetap aman, meskipun di lubuk hatinya, dia tahu bahwa ini hanya sebuah pembenaran dari nafsu dan ketakutan akan kehilangan Adam.Saat malam tiba, Adam mengajaknya keluar untuk makan malam romantis, dan Sarah setuju tanpa ragu.Meskipun dia menyadari
Melinda menggelengkan kepala, matanya kosong memandang ke dalam ruangan. "Aku tidak tahu," ucapnya pelan. "Aku merasa seperti semua impianku hancur, seperti tidak ada lagi yang bisa kuinginkan."Sarah merangkulnya lebih erat. "Tetapi, Melinda, kamu masih punya banyak hal di depanmu. Kehidupanmu tidak berakhir di sini."Melinda menatap sahabatnya dengan pandangan yang penuh keraguan. "Tapi bagaimana aku bisa melupakan semua ini? Bagaimana aku bisa mempercayai seseorang lagi setelah ini?""Bagaimana membuktikan kebenaran bahwa aku hanya difitnah oleh Adam? Semua ini adalah jebakannya."Sarah tersenyum lembut. "Kamu mempunyai hak untuk didampingi seorang pengacara hukum, aku akan mengurusnya dan percayalah, tidak semua pria seperti Adam. Semua ini mungkin hanya salah paham."Melinda mengernyitkan alisnya perlahan, mencoba menyerap kata-kata yang diucapkan oleh Sarah. Namun, perjalanan untuk pulih dari luka ini masih terasa sangat jauh baginya dan kebe
Adam tersenyum dengan licik lalu melanjutkan kalimatnya di depan microphone yang sedang dipegang."Yayasan Melinda i-care sudah menipu publik dengan penjualan tiket konser di acara pertandingan baseball ini. Seharusnya saya mendapatkan applause untuk keberhasilan menjebak pelaku yang sudah menipu tiket kalian, bukan?"Perkataan Adam mendapat seru riuh dari para penonton. Mereka merasa keadilan sudah ditegakkan untuk mereka.Dua orang polisi wanita segera menarik dan memasangkan borgol ke tangan Melinda yang disatukan di belakang punggungnya."I-ini tidak benar! Kamu jahat sekali!" seru Melinda sambil berusaha meronta, tetapi dua orang yang memegangnya sangat kuat."Kamu juga melakukan hal yang sama terhadap keluarga Al-Futtaim, Sayang. Adelia adalah seorang wanita yang baik. Bila saya arus memilih, maka saya akan memilih Adelia menjadi istri yang layak menggantikan mendiang istriku karena wanita itu memiliki semua yang tidak kamu miliki."Me
Melinda merenggangkan lehernya, mencoba untuk melihat lebih jelas ke arah panggung yang sedang disiapkan di tengah lapangan.Ia merasa detak jantungnya semakin kencang seiring dengan lama menunggu. Hari ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu dengan penuh harap.Adam Offel, telah memberinya petunjuk bahwa hari ini akan menjadi salah satu yang tak terlupakan. Dia ingin memberikan kesempatan kedua kepada pria itu.Dengan gaun pengantin yang indah melilit tubuhnya, Melinda merasa seperti sang ratu yang siap menerima mahkota kebahagiaan. Tetapi, di tengah kerumunan, ia tidak melihat bayangan Adam yang diharapkannya. Ketidakpastian mulai merayap di dalam pikirannya.Melinda duduk di kursi yang sudah disediakan khusus untuknya. Menyaksikan pertandingan dengan perasaan tidak menentu.Tiba-tiba, lampu-lampu sorot mulai menyala, dan kerumunan berbisik-bisik dengan kegembiraan yang menggelora. Melinda merasakan kegelisahan memenuhi dadanya ketika seseorang mel
Setelah sampai di sana, Melinda langsung berpura-pura bertanya, mencari informasi, namun tidak ada yang mengetahui acara lain selain acara baseball yang memang setiap akhir pekan dilaksanakan di sana."Besok yang bertanding adalah group banteng dengan group singa. Apakah Anda ingin membeli tiket?" tanya petugas tanpa mencurigai apa pun.Wajah dan reaksinya datar, bahkan dia malas untuk melihat ke arah orang yang menanyakan tiket."Baik, terima kasih, aku sudah punya tiket masuk," sahut Melinda lalu bergerak keluar meninggalkan gedung.Malam harinya, wanita itu tidak bisa tidur. Sama sekali tidak bisa memberi istirahat kepada matanya yang sudah lelah.Sesekali dia mematut dirinya di depan cermin dengan memegang gaun yang indah.Keesokan harinya, Melinda terbangun dengan mata yang terasa berat di bawah kelopaknya. Goresan-goresan hitam di sekitar matanya menandakan betapa dalamnya tidur yang dia alami."Mama?" Silvia masuk ke kama
Bel pintu berbunyi, membuyarkan lamunannya yang dalam. Melinda menghela napas dalam-dalam, merenggangkan otot-ototnya yang tegang, lalu beranjak menuju pintu dengan langkah gontai. Dia menghirup udara dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum membuka pintu."Siapa ya yang datang sekarang?" gumamnya pelan.Dengan ragu, ia membuka pintu dan dihadapkan pada seorang pria pengantar paket yang tersenyum ramah di depannya. Paket besar berwarna cokelat muda tergeletak di depan kakinya."Maaf mengganggu, Ma'am. Ini paket untuk Anda," kata pria itu sambil menyodorkan sebuah formulir pengiriman.Melinda mengangguk, mengambil formulir tersebut, dan menandatangani dengan cepat. Pikirannya masih melayang-layang antara rasa penasaran dan kekhawatiran.Pria pengantar itu kemudian menyerahkan paket tersebut kepadanya dengan senyuman hangat sebelum bergegas pergi. Melinda menutup pintu dan kembali ke dalam rumah dengan paket besar yang terasa begitu misterius di tangannya.Dengan hati-hati, ia memb
"Maaf, Nyonya Melinda. Kami hendak memberitahukan bahwa bahan material bangunan yang dipesan atas nama Melinda i-care sudah jatuh tempo. Sejumlah satu Milyar!"Hatinya berdegup kencang. Bagaimana mungkin dia berutang sebanyak itu atas sebuah proyek bangunan?"S-saya tidak pernah memesan apa pun," sahut Melinda dengan suara terputus-putus.Melinda berusaha memeriksa ingatannya, mencari-cari jejak apa pun yang bisa menjelaskan situasi ini, tetapi tidak ada yang muncul. Rasanya seperti terjatuh ke dalam jurang tanpa dasar."Maaf, saya tidak yakin tentang hutang ini," ucap Melinda dengan suara gemetar, mencoba menutupi kepanikannya."Seseorang bernama Tuan Adam yang mengurus semuanya," sahut penagih hutang dengan nada tajam. "Dan dia menyatakan bahwa Anda bertanggung jawab atas pembayarannya. Bukankah semua material itu dikirim kepada Melinda i-care?"Melinda menelan salivanya yang terasa pahit, merasa seakan-akan dunianya runtuh sek