Afgan menatap ponselnya dengan wajah penuh kebingungan. Adelia memperhatikan reaksi Afgan dan bertanya, "Siapa itu, Afgan?" Padahal dia sudah tahu dengan jelas bahwa Melinda yang sudah menghubungi Afgan beberapa kali dan menganggu kebersamaan mereka dari tadi. Afgan menjawab dengan suara terbata, "Ini Melinda. Dia tiba-tiba datang ke kota ini." Adelia merasa hatinya berdebar. "Apa yang dia inginkan?" "Aku tidak yakin. Dia bilang dia sudah sampai di bandara," jawab Afgan sambil menyusun kata-kata untuk menghadapi situasi yang tak terduga ini. Afgan melirik Adelia yang tiba-tiba diam. "Adelia, apakah kau baik-baik saja?" tanya Afgan mulai khawatir. Adelia mengangguk, mencoba menenangkan Afgan. "Ya, aku baik-baik saja. Kita lihat saja apa yang dia inginkan. Ini mungkin hanya kebetulan." Mereka memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mereka di pusat perbelanjaan, meskipun atmosfer kebahagiaan sebelumnya agak terganggu. Afgan mencoba memusatkan perhatiannya pada Adelia, tetapi bayang
Saat Adelia tengah merenung di taman, tiba-tiba dia merasa diawasi. Dia menoleh ke sekitarnya dan melihat sekumpulan pria yang berdiri tidak jauh dari tempatnya duduk. Sorot mata mereka penuh dengan keingintahuan yang tidak diinginkan, dan tawa mereka terdengar di udara malam. "Kemarilah cantik, di sini banyak teman untuk curhat!" Suara pria itu terdengar mengerikan bagi Adelia. Adelia merasa tidak nyaman dan segera mencoba mengabaikan mereka, fokus pada pikirannya yang sedang kacau. Namun, kelompok pria itu mendekat dengan sikap yang semakin mengganggu. Mereka mulai berbisik-bisik dan tertawa keras, menimbulkan ketidaknyamanan yang semakin membesar di dalam Adelia. Merasa terganggu, Adelia berdiri dan mencoba untuk menjauhi mereka. Namun, kelompok pria itu terus mengikuti dan mengelilinginya dengan nada bicara yang semakin kasar. Adelia merasa takut dan tidak tahu harus berbuat apa. Saat situasi semakin memanas, tiba-tiba seseorang muncul dari kegelapan taman. Edward, yang melaca
Afgan tidak memberikan kesempatan untuk Adelia menanggapi. Sebaliknya, Adelia membalasnya dengan pertanyaan yang membuat suasana semakin tegang, "Dan kamu boleh menemani wanita lain di hotel itu juga?" Afgan terdiam dan menolehkan wajahnya ke arah lain. Tidak sudi melihat ke arah Adelia. Dia sendiri menyadari bahwa dia sedang bertemu dengan Melinda dan makan malam bersama tanpa mengingat tentang Adelia sama sekali. Adelia, yang sudah merasa hancur dan kecewa, mencoba untuk menjelaskan, "Afgan, aku tidak tahu bahwa kamu akan ada di sana. Edward hanya membantu aku setelah kejadian di taman." Afgan hanya menggelengkan kepala dengan sinis, "Tidak ada yang perlu dijelaskan. Sudah cukup." Pria arogan itu merasa tidak ingin dijerumuskan dengan kesalahan yang dia merasa tidak diperbuatnya sama sekali. Dia merasa dengan Melinda, dia hanya berusaha beramah tamah dan menganggap makan malam bersama seorang teman. Tidak melakukan hal aneh apa pun yang bisa dikategorikan sebagai sebuah pengkhia
Namun, Afgan tidak bersedia mendengarkan penjelasan lebih lanjut. Dia menunjukkan rasa kecewanya yang mendalam dan melangkah keluar dari ruang keluarga, meninggalkan Adelia yang terduduk dengan penuh kesedihan dan penyesalan. Ayah Afgan mencoba meredakan konflik, tetapi rasa kecewa dan pengkhianatan tampaknya telah mengukir kesenjangan yang dalam di antara anggota keluarga tersebut. Sementara Kanya, Ibunda Afgan hanya bisa menelan saliva berkali-kali. Dia tetap diam dan memandang kecewa ke arah Afgan juga Adelia. Adelia, yang merasa marah dan terhina karena tidak dipercayai oleh Afgan, akhirnya memutuskan untuk memberikan kebenaran yang sebenarnya. Adelia menyusul langkah Afgan sebelum pria arogan itu keluar dari kamar dan menepuk bahunya lalu berbicara dengan nada yang tajam, "Afgan, jika itu yang kau inginkan, maka dengarkan. Setelah kau meninggalkan aku di pusat perbelanjaan tadi, kau pergi menemui Melinda. Kau yang memilih untuk bertemu dengannya!" Afgan mengerutkan kening, me
Bab 109. Afgan terlelap dalam tidurnya, bersembunyi di dunia mimpi yang tak terduga. Suasana damai seketika tergantikan oleh kekacauan. Suara gemuruh, nyala api, dan jeritan meresap ke dalam mimpi Afgan. "Tidak, jangan! Bik Minah!" teriak Afgan dengan suara gemetar, mencoba menyuarakan ketakutan yang memenuhi hatinya. Namun, di dunia mimpi ini, tidak ada yang mendengarkan atau merespon. Afgan merasakan panas yang menusuk dari nyala api yang tak terkendali. Adelia terbangun dengan terkejut karena teriakan Afgan yang menggema di seluruh ruangan. Langkahnya yang terburu-buru membawanya mendekati sofa tempat Afgan tertidur. Adelia mencoba dengan lembut membangunkan Afgan, tetapi reaksi pria itu tak terduga membuatnya terkesiap. Afgan memukul tanpa arah. "Dah, mimpi saja rusuh!" geram Adelia dengan sedikit frustrasi. Dia merasakan sentuhan keras Afgan ketika mencoba membangunkannya. Adelia memilih untuk tidak terlalu memperpanjang insiden tersebut, memahami bahwa Afgan mungkin masih dal
"Apa yang ingin kau katakan?" Achmed melayangkan tatapan tajam ke arah Afgan lalu mengoleskan selai ke roti yang sedang dipegangnya. "Kamu sudah cemburu buta terhadap Edward selama ini!" Afgan menautkan kedua alisnya dan melihat ke arah Adelia dan Edward bergantian. "Duduklah terlebih dahulu, kamu mau makan apa?" tanya Kanya berusaha menenangkan emosi yang mulai ditunjukkan Afgan. "Kamu sudah salah karena menuduh hal yang tidak pantas dan bahkan tidak dilakukan oleh Adelia." Achmed menghentikan kalimatnya lalu memasukkan roti yang sudah diolesnya dengan sri kaya ke dalam mulutnya. "Edward mengatakan bahwa dia hanya dianggap teman oleh seorang Adelia yang cantik." Achmed memberikan senyuman hangat kepada Edward yang menggangguk sambil menikmati makanan yang disajikan. "Dan kamu menuduh mereka berselingkuh. Sekarang Dad bertanya kepadamu, di manakah kamu pada saat istrimu sedang menghadapi bahaya?" Afgan hampir tersedak dengan pertanyaan dari sang ayah. "Hum, saya sedang makan ma
Di dalam kamar, Adelia berusaha meronta dan melawan Afgan yang hendak meminta hak atas dirinya. "Sial! Brengsek! Lepaskan aku!" teriak Adelia pada saat Afgan mengigit bagian sensitif miliknya. Adelia memukul kepala Afgan lalu berdiri dan hendak melarikan diri ke kamar mandi, tetapi Afgan segera menangkapnya dan mereka kembali bergulat di lantai. Adelia tidak sengaja menyentuh vas bunga sehingga vas malang itu terjatuh dan pecah. Suara vas yang jatuh pasti terdengar sampai ke bawah, tetapi Adelia tidak mempedulikan hal tersebut. Dengan sekuat tenaga, dia berusaha lari dari Afgan yang masih juga seperti kerasukan dan mencumbunya dengan kasar. "Tidak, Afgan! aku tidak mau! Apa maksudmu melakukan semua ini?" Adelia berhasil meraih sebuah vas bunga lainnya dan bersiap melemparkan ke arah Afgan. Dengan tawa culas dan wajah penuh kelicikkan, Afgan membuka celananya sendiri dan melangkah mendekati Adelia yang sudah setengah polos. "Jangan mendekat! Aku akan melempar vas ini ke arahmu!
Bayu menatap Melinda dengan wajah tidak percaya. "Apakah kamu sekejam itu?" Melinda sama sekali tidak berniat untuk menjawab pertanyaan pria yang berada di hadapannya saat ini. "Apakah kita tidak memiliki hubungan yang berharga untuk di perjuangkan?" Bayu melanjutkan kalimatnya, tetapi Melinda tetap diam dan bersikukuh dengan pendirian bahwa dia akan mencari Afgan daripada mengharapkan pria yang tidak memiliki apa-apa. "Melinda?" Melinda menoleh ke arah Bayu dengan tatapan merendahkan. "Masa depan seperti apa yang bisa kuharapkan dari kamu? Pekerjaan saja masih tidak menentu. Sanggupkah kau membayar barang mewah yang kuinginkan?" Bayu menundukkan kepalanya dengan lesu, mendengar pertanyaan Melinda yang sangat menusuk tajam ke lubuk hatinya. "Pergilah dari hidupku, Bayu. Kembalilah hanya pada saat kamu merasa yakin bahwa kau sudah bisa memberikan kehidupan bertaraf tinggi yang kuimpikan." Melinda berdiri dan meninggalkan Bayu di kamar hotel itu. Wanita itu merasa tidak perlu ber
"Selamat ulang tahun, Sayang," ucap Afgan seraya mengecup mesra kening istrinya. Adelia terlihat cantik dalam gaun berwarna merah muda, memancarkan pesona yang memikat semua orang yang hadir. Senyumnya yang menawan membuat suasana semakin hangat dan penuh kebahagiaan.Taman yang indah menjadi latar belakang acara tersebut, dihiasi dengan dekorasi menarik yang dipenuhi balon berwarna-warni. Meja-meja penuh dengan hidangan lokal yang menggugah selera.Afgan sengaja mempersiapkan semua makanan khas lokal Indonesia supaya dapat mencerminkan kekayaan budaya dan rasa yang istimewa. Semua tamu yang diundang tampak menikmati setiap momen, tertawa dan berbincang dalam suasana yang meriah.Afgan sengaja memilih suasana taman ini untuk memberikan kesan alami dan romantis. Cahaya lampu hias yang tergantung di antara pepohonan menambah kehangatan malam itu, menciptakan suasana yang sempurna untuk merayakan ulang tahun Adelia."Tempat ini benar-benar indah, Afgan," kat
Nama itu terdengar seperti melodi yang manis di telinganya, dan wajahnya muncul di dalam bayangan gelap di hadapannya.Lima tahun yang lalu, mereka bertemu dalam sebuah acara pesta, di mana keponakannya, Edward, membawa Adelia sebagai pasangan dansa.Adam masih ingat betapa terpesonanya dia saat itu oleh kehadiran Adelia. Wajah dan penampilan wanita itu sangat mirip dengan mendiang istrinya, membuatnya tercengang dan tak bisa berkedip.Adelia, dengan senyum manisnya dan gerakannya yang anggun, menyihirnya dalam sekejap.Dalam kilatan lampu pesta, Adam melihat bayangan istrinya yang telah tiada, dan dia merasakan hatinya tergetar oleh gelombang nostalgia dan kesedihan yang mendalam.Ketika mereka memiliki kesempatan untuk berdansa sebagai pasangan, Adam merasa seperti dia berada di alam semesta yang sama sekali berbeda, di mana waktu berhenti berputar dan kehilangan tidak lagi terasa menyakitkan.Tetapi, seiring malam berakhir, kenyataan kemb
Adam membalas senyuman wanita itu dengan senyuman manis. "Maka aku akan menjadi milikmu."Sekali lagi mereka berciuman dengan penuh gairah. Sarah terhanyut dan merasa tidak berdaya, tetapi dalam ruang kecil hatinya yang tersisa, dia tahu dengan pasti bahwa Adam bukanlah tipe pria yang akan dengan mudah jatuh hati padanya.Dia menyadari bahwa perasaan Adam padanya hanyalah alat yang dimanfaatkannya untuk menyakiti Melinda lebih dalam lagi. Tetapi, meskipun dia sadar akan ini, dia terus menekan perasaannya sendiri, membiarkan dirinya larut dalam penipuan terhadap hatinya.Setiap hari, Sarah merasa semakin terjebak dalam permainan Adam. Dia memberi dirinya alasan bahwa ini adalah cara untuk menjaga Melinda tetap aman, meskipun di lubuk hatinya, dia tahu bahwa ini hanya sebuah pembenaran dari nafsu dan ketakutan akan kehilangan Adam.Saat malam tiba, Adam mengajaknya keluar untuk makan malam romantis, dan Sarah setuju tanpa ragu.Meskipun dia menyadari
Melinda menggelengkan kepala, matanya kosong memandang ke dalam ruangan. "Aku tidak tahu," ucapnya pelan. "Aku merasa seperti semua impianku hancur, seperti tidak ada lagi yang bisa kuinginkan."Sarah merangkulnya lebih erat. "Tetapi, Melinda, kamu masih punya banyak hal di depanmu. Kehidupanmu tidak berakhir di sini."Melinda menatap sahabatnya dengan pandangan yang penuh keraguan. "Tapi bagaimana aku bisa melupakan semua ini? Bagaimana aku bisa mempercayai seseorang lagi setelah ini?""Bagaimana membuktikan kebenaran bahwa aku hanya difitnah oleh Adam? Semua ini adalah jebakannya."Sarah tersenyum lembut. "Kamu mempunyai hak untuk didampingi seorang pengacara hukum, aku akan mengurusnya dan percayalah, tidak semua pria seperti Adam. Semua ini mungkin hanya salah paham."Melinda mengernyitkan alisnya perlahan, mencoba menyerap kata-kata yang diucapkan oleh Sarah. Namun, perjalanan untuk pulih dari luka ini masih terasa sangat jauh baginya dan kebe
Adam tersenyum dengan licik lalu melanjutkan kalimatnya di depan microphone yang sedang dipegang."Yayasan Melinda i-care sudah menipu publik dengan penjualan tiket konser di acara pertandingan baseball ini. Seharusnya saya mendapatkan applause untuk keberhasilan menjebak pelaku yang sudah menipu tiket kalian, bukan?"Perkataan Adam mendapat seru riuh dari para penonton. Mereka merasa keadilan sudah ditegakkan untuk mereka.Dua orang polisi wanita segera menarik dan memasangkan borgol ke tangan Melinda yang disatukan di belakang punggungnya."I-ini tidak benar! Kamu jahat sekali!" seru Melinda sambil berusaha meronta, tetapi dua orang yang memegangnya sangat kuat."Kamu juga melakukan hal yang sama terhadap keluarga Al-Futtaim, Sayang. Adelia adalah seorang wanita yang baik. Bila saya arus memilih, maka saya akan memilih Adelia menjadi istri yang layak menggantikan mendiang istriku karena wanita itu memiliki semua yang tidak kamu miliki."Me
Melinda merenggangkan lehernya, mencoba untuk melihat lebih jelas ke arah panggung yang sedang disiapkan di tengah lapangan.Ia merasa detak jantungnya semakin kencang seiring dengan lama menunggu. Hari ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu dengan penuh harap.Adam Offel, telah memberinya petunjuk bahwa hari ini akan menjadi salah satu yang tak terlupakan. Dia ingin memberikan kesempatan kedua kepada pria itu.Dengan gaun pengantin yang indah melilit tubuhnya, Melinda merasa seperti sang ratu yang siap menerima mahkota kebahagiaan. Tetapi, di tengah kerumunan, ia tidak melihat bayangan Adam yang diharapkannya. Ketidakpastian mulai merayap di dalam pikirannya.Melinda duduk di kursi yang sudah disediakan khusus untuknya. Menyaksikan pertandingan dengan perasaan tidak menentu.Tiba-tiba, lampu-lampu sorot mulai menyala, dan kerumunan berbisik-bisik dengan kegembiraan yang menggelora. Melinda merasakan kegelisahan memenuhi dadanya ketika seseorang mel
Setelah sampai di sana, Melinda langsung berpura-pura bertanya, mencari informasi, namun tidak ada yang mengetahui acara lain selain acara baseball yang memang setiap akhir pekan dilaksanakan di sana."Besok yang bertanding adalah group banteng dengan group singa. Apakah Anda ingin membeli tiket?" tanya petugas tanpa mencurigai apa pun.Wajah dan reaksinya datar, bahkan dia malas untuk melihat ke arah orang yang menanyakan tiket."Baik, terima kasih, aku sudah punya tiket masuk," sahut Melinda lalu bergerak keluar meninggalkan gedung.Malam harinya, wanita itu tidak bisa tidur. Sama sekali tidak bisa memberi istirahat kepada matanya yang sudah lelah.Sesekali dia mematut dirinya di depan cermin dengan memegang gaun yang indah.Keesokan harinya, Melinda terbangun dengan mata yang terasa berat di bawah kelopaknya. Goresan-goresan hitam di sekitar matanya menandakan betapa dalamnya tidur yang dia alami."Mama?" Silvia masuk ke kama
Bel pintu berbunyi, membuyarkan lamunannya yang dalam. Melinda menghela napas dalam-dalam, merenggangkan otot-ototnya yang tegang, lalu beranjak menuju pintu dengan langkah gontai. Dia menghirup udara dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum membuka pintu."Siapa ya yang datang sekarang?" gumamnya pelan.Dengan ragu, ia membuka pintu dan dihadapkan pada seorang pria pengantar paket yang tersenyum ramah di depannya. Paket besar berwarna cokelat muda tergeletak di depan kakinya."Maaf mengganggu, Ma'am. Ini paket untuk Anda," kata pria itu sambil menyodorkan sebuah formulir pengiriman.Melinda mengangguk, mengambil formulir tersebut, dan menandatangani dengan cepat. Pikirannya masih melayang-layang antara rasa penasaran dan kekhawatiran.Pria pengantar itu kemudian menyerahkan paket tersebut kepadanya dengan senyuman hangat sebelum bergegas pergi. Melinda menutup pintu dan kembali ke dalam rumah dengan paket besar yang terasa begitu misterius di tangannya.Dengan hati-hati, ia memb
"Maaf, Nyonya Melinda. Kami hendak memberitahukan bahwa bahan material bangunan yang dipesan atas nama Melinda i-care sudah jatuh tempo. Sejumlah satu Milyar!"Hatinya berdegup kencang. Bagaimana mungkin dia berutang sebanyak itu atas sebuah proyek bangunan?"S-saya tidak pernah memesan apa pun," sahut Melinda dengan suara terputus-putus.Melinda berusaha memeriksa ingatannya, mencari-cari jejak apa pun yang bisa menjelaskan situasi ini, tetapi tidak ada yang muncul. Rasanya seperti terjatuh ke dalam jurang tanpa dasar."Maaf, saya tidak yakin tentang hutang ini," ucap Melinda dengan suara gemetar, mencoba menutupi kepanikannya."Seseorang bernama Tuan Adam yang mengurus semuanya," sahut penagih hutang dengan nada tajam. "Dan dia menyatakan bahwa Anda bertanggung jawab atas pembayarannya. Bukankah semua material itu dikirim kepada Melinda i-care?"Melinda menelan salivanya yang terasa pahit, merasa seakan-akan dunianya runtuh sek