Keesokan harinya, matahari terbit dengan sinar hangat yang menyinari jendela kamar hotel. Sebuah ketegangan masih terasa di udara setelah pertengkaran sengit semalam.
Adelia membuka mata dengan perasaan berat di dadanya. Pikirannya dipenuhi oleh ketidakpastian, cemas akan masa depannya dengan Afgan. Namun, meskipun hatinya dipenuhi kekhawatiran, dia menolak untuk tenggelam dalam rasa putus asa. Dengan tekad yang kuat, dia memaksa dirinya bangun dari tempat tidur, meski kakinya terasa begitu berat.
Terduduk di pinggiran ranjang, Adelia meraih keberanian dari dalam dirinya sendiri. Dia berbicara pada dirinya sendiri, "Aku harus kuat. Aku harus melangkah maju, bahkan jika langkah-langkah itu terasa sulit. Aku tidak boleh membiarkan kesedihan menghentikan hidupku. Aku harus bekerja, membangun masa depanku sendiri."
Setelah mengambil napas dalam-dalam, dia bangkit dan melangkah menuju kamar mandi. Air hangat menyiram tubuhnya, mencoba meredakan beban pikirannya. Di bawah pancuran, dia membiarkan air mengalir di atas kepalanya, mencoba membasuh segala kekhawatiran dan ketidakpastiannya.
Setelah mandi, Adelia mengeringkan tubuhnya dengan hati-hati, merawat dirinya dengan penuh perhatian meski hatinya hancur. Dia mengenakan pakaian kerjanya dengan mantap, mencoba menampilkan rasa percaya diri yang mungkin dia tidak rasakan saat ini.
Ketika dia menatap cermin, dia melihat mata sendu dan wajah lelah. Namun, di balik kelelahan itu, ada keteguhan yang baru ditemukan. Dia berbicara pada dirinya sendiri lagi, kali ini dengan suara yang lebih kuat, "Aku bisa melalui ini. Aku adalah perempuan kuat, dan aku tidak akan membiarkan keadaan mengalahkanku."
Dengan semangat yang baru ditemukan, Adelia segera keluar dari kamar hotel yang menjadi kamar malam pengantin semu.
Meskipun hatinya masih penuh dengan ketidakpastian, dia tahu bahwa dia harus menghadapi hari itu dengan keberanian dan tekad. Langkah pertamanya menuju masa depan yang tidak diketahui mungkin berat, tapi dia siap menghadapinya.
Dengan langkah mantap, dia keluar dari pintu rumahnya, siap menghadapi dunia luar dengan tekad yang baru ditemukannya.
Sementara Afgan, dengan perasaan marah dan kecewa bangun dengan kepala berat. Semalam dia memutuskan untuk meninggalkan kamar tidur yang seharusnya menjadi malam pengantin bagi mereka.
Keberuntungan berkata lain ketika Adelia tahu bahwa kamar pengantin mereka berada di hotel tempat dia bekerja.
"Aku tidak perlu buru-buru. Hanya turun ke bawah," gumam Adelia sambil menuruni tangga.
Saat dia tiba di tempat kerja, hatinya masih berdebar-debar. Dia tak tahu bagaimana harus bersikap ketika bertemu dengan Afgan. Kekhawatirannya bertambah ketika dia melihat Afgan turun dari tangga menuju lobi hotel. Wajahnya tegang, mata yang sebelumnya penuh kecemasan, sekarang terlihat dingin dan penuh dengan kebencian.
Mereka bertemu di anak tangga, di tengah-tengah gemerlapnya pagi yang cerah. Namun, kesan cerah itu sirna begitu melihat ekspresi Afgan yang keras dan penuh amarah.
Adelia mencoba tersenyum, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk mengucapkan, namun Afgan hanya melewatkannya begitu saja. Dia melangkah pergi, tanpa menyapa, tanpa sepatah kata pun. Kepergiannya meninggalkan Adelia dengan hati yang terasa hancur dan mata yang mulai berkaca-kaca.
Dalam ruangan kerjanya, Adelia mencoba untuk fokus pada pekerjaannya, mencoba melupakan pertemuan pahit itu. Namun, pikirannya terus mengembara ke saat-saat terakhir pertengkaran mereka, ketika kata-kata tajam terucap dengan penuh amarah dan sakit hati. Dia bertanya-tanya di mana hal itu salah, mengapa hidupnya bisa berubah begitu cepat menjadi kebencian yang begitu tajam.
Sementara dia sibuk memikirkan itu semua, Melinda, rekan kerjanya yang penuh perhatian, mendekati Adelia. Melihat ekspresi wajah Adelia yang suram, Melinda bertanya dengan lembut, "Apa yang terjadi, Adelia? Kamu terlihat sangat terganggu."
"Apakah kamu mengantarkan jas pengantin itu dengan benar? Adakah sesuatu yang terjadi?"
Adelia menatap Melinda, mencoba menahan air matanya. Dengan suara lirih, dia ingin bercerita tentang pertengkaran mereka semalam dan pertemuan pahit di lobi hotel, tetapi Adelia mengurungkan niatnya karena hal itu adalah aib.
Melinda memadangnya dengan penuh perhatian, menawarkan pundaknya sebagai sandaran bagi Adelia yang sedang hancur.
"Bisakah kau ceritakan tentang apa yang terjadi, Sayang?" Melinda bertanya, mencoba memahami situasinya lebih baik.
Adelia menghela nafas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menceritakan kisahnya. Namun, tidak ada sebuah kata pun yang keluar.
"Tidak ... , tidak ada masalah, hanya ... ini tentang hutang Ayahku," sahut Adelia mencoba berbohong.
"Melinda, aku harus tetap bekerja di sini. Aku harus membayar jumlah yang sangat banyak," Adelia berkata dengan suara serak, coba mencerna semua yang telah terjadi.
Melinda meraih tangan Adelia dengan penuh empati. "Utang memang bisa rumit, Adelia. Tapi aku akan membiarkanmu mengambil shift malam lebih banyak untuk menggantikanku."
Melinda mendekat dan membisikkan sesuatu di telinga Adelia, "aku akan punya pekerjaan lain."
Adelia mengangguk, mencoba meredakan gejolak emosinya. Dia tahu bahwa Melinda selalu mendukungnya. Setelah itu, Adelia pergi untuk mengantar tamu hotel yang baru datang ke kamar bersama dengan Melinda.
Sementara itu, Afgan mendekati meja resepsionis untuk menanyakan siapa yang bertugas di malam sebelumnya.
"Ya? Ada yang bisa kami bantu?" tanya petugas hotel yang sedang bertugas di meja resepsionis.
"Aku mau tahu siapa yang bekerja kemarin malam, dia mengantarkan jas pengantinku," kata Afgan.
"Ada masalah dengan jasnya?"
"Oh, tidak. Aku hanya lupa berterimakasih."
Petugas hotel yang lain memeriksa data shift sesaat sebelum menjawab, "Baik, hotelier yang bertugas saat itu bernama Melinda. Apakah Anda ingin kamu menghubunginya?"
"Oh tidak, berikan nomor ponselnya. Aku sendiri yang akan menghubunginya."
Baru saja petugas hotel hendak memberikan nomor ponsel Melinda, Adelia sudah turun dari tangga. Melinda berada di sampingnya dan masih berusaha menghibur temannya tersebut.
Kedua netra mereka bertemu dan ada sirat kebencian di sana.
"Ah, ini adalah Melinda. Tamu ini sedang mencarimu," ujar petugas hotel tadi.
Afgan memandang Melinda dengan perasaan bersalah yang teramat menyiksanya, sosok Melinda sama seperti yang dia bayangkan, cantik, ayu dan mempersona dengan kedua bola mata yang bersinar indah.
Afgan sama sekali tidak melirik ke arah Adelia yang berada di sebelah Melinda. Ketiga orang itu mematung di depan meja resepsionis dan terjadi keheningan sesaat.
"Ada apa mencariku?" tanya Melinda dengan heran.
Adelia memandang Afgan dengan kecemburan yang tinggi karena kedua mata suaminya menatap Melinda tanpa berkedip.
"Aku punya beberapa pertanyaan untukmu, mari kita berbicara," ucap Afgan lalu menarik tangan Melinda untuk mengikutinya.
"Eh, ini ... Lia," sahut Melinda dengan bingung sambil menoleh ke arah Adelia yang memandang mereka dengan wajah yang sudah merah padam.
Suami yang baru saja menikah dengannya semalam memilih tidur di kamar lain dan pagi ini menarik tangan teman kerjanya. Bagaimana dia tidak semakin senewen.
"Ganti ya!" teriak Melinda sambil lalu.
Adelia menelan saliva dengan susah payah, dia seharusnya hanya mengisi absensi hari ini dan mengambil cuti karena menukar jatah bekerja dengan Melinda, tetapi temannya itu malah berpergian dengan suaminya dan dia yang harus mengisi jadwal kerjanya lagi.
"Ada apa antara dia dengan Melinda?" tanya Adelia dalam hati dengan penasaran sambil menatap bayangan kedua orang itu yang sudah semakin menjauh dan menuju keluar dari hotel.
Adelia masih menjulurkan kepalanya dan melihat bagaimana Afgan membuka pintu mobil sport biru dan mempersilakan Melinda masuk dengan merentangkan sebelah tangannya.
"Afgan ... kamu keterlaluan!"
Melinda melirik Afgan yang tampan dan sedang memegang kemudi, melajukan mobil sport biru tersebut dengan stabil. Ini adalah pertama kalinya bagi Melinda menaiki mobil sport yang mahal."Aku minta maaf atas malam itu," ucap Afgan, memecah keheningan di antara mereka.Melinda mengernyitkan kedua alisnya karena tidak mengerti.Afgan menghentikan mobilnya di tepi jalan lalu memutar tubuhnya menghadap ke Melinda."Kamu mengantar jas milikku dan aku ... Maafkan atas apa yang sudah kulakukan semalam," ucap Afgan lalu meraih tangan Melinda dan mengenggamnya dengan perasaan tulus.Melinda mulai mengerti tentang keadaan semalam. Kepalanya yang pintar sudah mengerti apa yang dihadapi Adelia dan pria ini, tetapi karena Afgan begitu memukau dan tajir. Melinda tidak mau menyia-nyiakan kesempatan."Aku tak bisa begitu saja memaafkan apa yang Anda lakukan malam itu. Anda tahu 'kan harga diriku hancur?!" Melinda berusaha memasang wajah sedih.Afgan masih membeku menatapnya. Lalu, setelah dirasa cukup,
Afgan merasakan beban rasa bersalah mencekiknya begitu dia mencium aroma Adelia, merenungkan tindakan bodohnya sehari sebelumnya. Matanya penuh dengan penyesalan, dan hatinya dihantui oleh bayangan perempuan yang telah dia renggut keperawanannya sehari sebelum pernikahannya. Pria itu merasa dia juga tidak becus dalam pernikahan ini.Afgan mundur, melepaskan cengkramannya ke tangan Adelia lalu terduduk dengan napas yang menderu dan tidak teratur. "Adelia," panggil Afgan dengan suara patah, mencoba menahan amarah yang hendak meluap.Adelia menoleh, matanya berkaca-kaca, memancarkan kekecewaan yang dalam. "Apa yang kau inginkan, Afgan?" tanyanya dengan suara yang penuh dengan emosi.Afgan menelan ludahnya, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. "Aku... aku tidak tahu harus mulai dari mana," katanya pelan."Bila kamu menginginkan perceraian, maka ... "Adelia menunggu apa kelanjutan dari perkataan Afgan."Kembalikan mahar yang sudah dibayarkan untuk pernikahan paksa ini!"Mendengar hal
Adelia merasa terhina oleh kata-kata Afgan. Dia menyadari bahwa Afgan memang memiliki sifat yang dingin dan keras. Namun, dia tidak bisa menahan perasaan kecewa yang muncul dalam dirinya. "Baiklah, aku mengerti," ucapnya dengan nada pahit dan memilih diam.Adelia melayangkan tatapannya ke punggung Afgan pada saat pria itu sedang memakai kemejanya.Adelia menatap luka bakar di punggung Afgan dengan kebingungan. Namun, saat dia menatap lebih lama, gambaran tentang gurat aneh di punggung seorang laki-laki yang pernah menyakitinya terlintas begitu saja di benaknya. Rasa takut dan ketidaknyamanan seketika melanda dirinya.Afgan yang melihat tatapan Adelia dari pantulan cermin di depannya itu merasa terganggu. Dia membentaknya dengan nada tajam, "Apa yang kau lihat? Ini tubuhku dan aku tidak menginginkan pertanyaan apa pun. Jangan bersikap seolah kau memiliki hak atas tubuhku.""Kau hanya istri di atas kertas, paham!"Adelia merasa tertegun oleh reaksi A
Afgan merasa tersudutkan karena luka di punggungnya. Pria itu mengalami tragedi besar ketika dia masih seorang anak kecil. Dia tumbuh di tengah kesibukan orang tuanya yang jarang ada di rumah. Meskipun diabaikan oleh ayah dan ibunya yang terlalu sibuk dengan dunia mereka sendiri, Afgan menemukan penghiburan dan kasih sayang sejati dari seorang pengasuh paruh baya yang penuh cinta."Bik Minah," gumam Afgan dengan suara gemetar, mencoba menutupi rasa sakit yang menghantamnya begitu mendalam. Dia merasakan embun mulai terkumpul di kedua matanya, menandakan bahwa bahkan hatinya yang beku sekalipun tak bisa menahan emosinya.Afgan melajukan mobilnya lebih kencang. "Seharusnya aku yang meninggal dalam kejadian itu!" pekik Afgan dengan nada tinggi dan masih berusaha menahan amarahnya.Pengasuh itu adalah satu-satunya orang yang benar-benar peduli padanya, memberinya kasih sayang dan perhatian yang dia butuhkan. Dia menggantikan peran ayah dan ibunya yang tidak pernah ada di sana untuknya.Hu
Kedua wanita itu menoleh dengan serentak ke arah Afgan. Melinda segera membalas dengan senyum terindah yang dimilikinya sementara Adelia mengernyitkan alis dan menahan napasnya. "Kita sarapan, yuk," ajak Afgan, memandang Melinda dengan wajah dan kalimat penuh kelembutan. Sangat berbeda dengan cara bicara tadi pagi kepada Adelia. Hanya sekilas Afgan melirik Adelia yang menelan salivanya usai mendengarkan ajakan tersebut, dia tahu bahwa Adelia juga bekerja di hotel tersebut, tetapi dia memutuskan fokus kepada Melinda. Adelia menahan rasa lapar di perutnya, dia sendiri juga belum sarapan, tetapi suaminya mengajak wanita lain untuk sarapan bersama - teman kerjanya, seorang wanita di hadapannya. Adelia mengepalkan kedua tangannya erat-erat untuk menahan amarah yang bergemuruh di dalam dadanya. "Baik, Adelia ... tolong gantikan pekerjaanku ya, Sayang. Kamu baik sekali deh!" Melinda memonyongkan bibirnya membentuk ciuman jauh untuk Adelia lalu mengambil tasnya dan segera melangkah mendek
Afgan melangkah masuk ke dalam rumah dengan langkah tergesa-gesa, dia menarik dasinya dengan satu gerakan tepat pada saat melewati ruang makan sebelum menuju ke kamar yang berada di lantai kedua. Afgan menghentikan langkahnya melihat Adelia yang sedang menelan mie. Adelia mematung dan mereka saling tatap tanpa sengaja. Untaian mie yang panjang dari mulut ke mangkuk mie membuat Afgan meringgis melihatnya, pria itu menaikkan sudut bibirnya ke atas dengan pandangan melecehkan. "Makanan itu cocok untukmu. Kamu memang berada di level itu," ucap Afgan sambil lalu menuju tangga tanpa menghiraukan tanggapan Adelia sama sekali. Sluurppp! Adelia menyedot habis mie beserta supnya dengan menaikkan mangkuk. Para pelayan merasa risih dengan sikap dan cara makan Adelia, namun wanita itu terkesan tidak peduli. Dalam hati, Adelia sebenarnya merasa hancur oleh perkataan menyindir dari Afgan, namun dia memilih untuk bertahan. Meskipun hatinya terluka, dia tahu bahwa dia harus menerima bahwa Afgan
Afgan berdiri di depan pintu Melinda, bingung dan hampa. Matanya menatap kosong daun pintu di hadapannya.Hatinya terombang-ambing antara kesenangan akan makan malam romantis dengan Melinda dan kebingungan mengenai perasaannya terhadap Adelia. Dia ingin mengetuk pintu, tetapi keraguan menghantuinya. Di dalam dirinya, Afgan merasa tak nyaman dengan sikapnya kepada Adelia di rumah sebelumnya. Meski begitu, nama Adelia terus saja terpaku dalam pikirannya.Bunga mawar yang dia bawa tadi terasa berat di tangannya, sebagai simbol kebingungannya sendiri. Mengapa dia merasa terikat pada Adelia, tetapi juga merasa harus hadir untuk Melinda?Dalam kehampaannya, Afgan memutuskan untuk mengetuk pintu. Namun, sebelum dia bisa melakukannya, pintu rumah sudah terbuka dari dalam. Melinda muncul dengan senyum bahagia di wajahnya, matanya bersinar melihat bunga mawar yang dibawa Afgan."Afgan," sapa Melinda dengan senyuman di wajahnya."Bunga ini untukku?" tanya Melinda, lalu tanpa ragu, dia memeluk Af
Saat mereka memasuki ruang pesta, mata Melinda hampir terbelalak melihat kemewahan sekelilingnya. Sebuah ruangan yang dihiasi dengan cahaya gemerlap, tumpukan bunga segar yang harum, dan orkestra yang memainkan musik klasik. Ini adalah pertama kalinya baginya berada di pesta orang-orang kaya. Melihat para tamu yang mengenakan gaun dan jas desainer, tampak sekali mereka bukan kalangan sembarangan, dia tidak dapat menyembunyikan kekagumannya.Sementara Melinda memperhatikan sekeliling dengan takjub, Afgan meninggalkannya sejenak untuk berbicara dengan koleganya. Melinda merasa canggung di tengah kerumunan orang-orang yang tampak begitu percaya diri dan elegan. Dia merasa seakan terdampar di dunia yang sama sekali baru baginya.Di dalam hatinya, Melinda menggumamkan, "Di sini penuh orang kaya, konglomerat! Sungguh luar biasa!" Dia mencoba mengendalikan kecanggungan, tetapi perasaannya campur aduk. Namun, dia memutuskan untuk tetap bersikap percaya diri dan bersik
"Selamat ulang tahun, Sayang," ucap Afgan seraya mengecup mesra kening istrinya. Adelia terlihat cantik dalam gaun berwarna merah muda, memancarkan pesona yang memikat semua orang yang hadir. Senyumnya yang menawan membuat suasana semakin hangat dan penuh kebahagiaan.Taman yang indah menjadi latar belakang acara tersebut, dihiasi dengan dekorasi menarik yang dipenuhi balon berwarna-warni. Meja-meja penuh dengan hidangan lokal yang menggugah selera.Afgan sengaja mempersiapkan semua makanan khas lokal Indonesia supaya dapat mencerminkan kekayaan budaya dan rasa yang istimewa. Semua tamu yang diundang tampak menikmati setiap momen, tertawa dan berbincang dalam suasana yang meriah.Afgan sengaja memilih suasana taman ini untuk memberikan kesan alami dan romantis. Cahaya lampu hias yang tergantung di antara pepohonan menambah kehangatan malam itu, menciptakan suasana yang sempurna untuk merayakan ulang tahun Adelia."Tempat ini benar-benar indah, Afgan," kat
Nama itu terdengar seperti melodi yang manis di telinganya, dan wajahnya muncul di dalam bayangan gelap di hadapannya.Lima tahun yang lalu, mereka bertemu dalam sebuah acara pesta, di mana keponakannya, Edward, membawa Adelia sebagai pasangan dansa.Adam masih ingat betapa terpesonanya dia saat itu oleh kehadiran Adelia. Wajah dan penampilan wanita itu sangat mirip dengan mendiang istrinya, membuatnya tercengang dan tak bisa berkedip.Adelia, dengan senyum manisnya dan gerakannya yang anggun, menyihirnya dalam sekejap.Dalam kilatan lampu pesta, Adam melihat bayangan istrinya yang telah tiada, dan dia merasakan hatinya tergetar oleh gelombang nostalgia dan kesedihan yang mendalam.Ketika mereka memiliki kesempatan untuk berdansa sebagai pasangan, Adam merasa seperti dia berada di alam semesta yang sama sekali berbeda, di mana waktu berhenti berputar dan kehilangan tidak lagi terasa menyakitkan.Tetapi, seiring malam berakhir, kenyataan kemb
Adam membalas senyuman wanita itu dengan senyuman manis. "Maka aku akan menjadi milikmu."Sekali lagi mereka berciuman dengan penuh gairah. Sarah terhanyut dan merasa tidak berdaya, tetapi dalam ruang kecil hatinya yang tersisa, dia tahu dengan pasti bahwa Adam bukanlah tipe pria yang akan dengan mudah jatuh hati padanya.Dia menyadari bahwa perasaan Adam padanya hanyalah alat yang dimanfaatkannya untuk menyakiti Melinda lebih dalam lagi. Tetapi, meskipun dia sadar akan ini, dia terus menekan perasaannya sendiri, membiarkan dirinya larut dalam penipuan terhadap hatinya.Setiap hari, Sarah merasa semakin terjebak dalam permainan Adam. Dia memberi dirinya alasan bahwa ini adalah cara untuk menjaga Melinda tetap aman, meskipun di lubuk hatinya, dia tahu bahwa ini hanya sebuah pembenaran dari nafsu dan ketakutan akan kehilangan Adam.Saat malam tiba, Adam mengajaknya keluar untuk makan malam romantis, dan Sarah setuju tanpa ragu.Meskipun dia menyadari
Melinda menggelengkan kepala, matanya kosong memandang ke dalam ruangan. "Aku tidak tahu," ucapnya pelan. "Aku merasa seperti semua impianku hancur, seperti tidak ada lagi yang bisa kuinginkan."Sarah merangkulnya lebih erat. "Tetapi, Melinda, kamu masih punya banyak hal di depanmu. Kehidupanmu tidak berakhir di sini."Melinda menatap sahabatnya dengan pandangan yang penuh keraguan. "Tapi bagaimana aku bisa melupakan semua ini? Bagaimana aku bisa mempercayai seseorang lagi setelah ini?""Bagaimana membuktikan kebenaran bahwa aku hanya difitnah oleh Adam? Semua ini adalah jebakannya."Sarah tersenyum lembut. "Kamu mempunyai hak untuk didampingi seorang pengacara hukum, aku akan mengurusnya dan percayalah, tidak semua pria seperti Adam. Semua ini mungkin hanya salah paham."Melinda mengernyitkan alisnya perlahan, mencoba menyerap kata-kata yang diucapkan oleh Sarah. Namun, perjalanan untuk pulih dari luka ini masih terasa sangat jauh baginya dan kebe
Adam tersenyum dengan licik lalu melanjutkan kalimatnya di depan microphone yang sedang dipegang."Yayasan Melinda i-care sudah menipu publik dengan penjualan tiket konser di acara pertandingan baseball ini. Seharusnya saya mendapatkan applause untuk keberhasilan menjebak pelaku yang sudah menipu tiket kalian, bukan?"Perkataan Adam mendapat seru riuh dari para penonton. Mereka merasa keadilan sudah ditegakkan untuk mereka.Dua orang polisi wanita segera menarik dan memasangkan borgol ke tangan Melinda yang disatukan di belakang punggungnya."I-ini tidak benar! Kamu jahat sekali!" seru Melinda sambil berusaha meronta, tetapi dua orang yang memegangnya sangat kuat."Kamu juga melakukan hal yang sama terhadap keluarga Al-Futtaim, Sayang. Adelia adalah seorang wanita yang baik. Bila saya arus memilih, maka saya akan memilih Adelia menjadi istri yang layak menggantikan mendiang istriku karena wanita itu memiliki semua yang tidak kamu miliki."Me
Melinda merenggangkan lehernya, mencoba untuk melihat lebih jelas ke arah panggung yang sedang disiapkan di tengah lapangan.Ia merasa detak jantungnya semakin kencang seiring dengan lama menunggu. Hari ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu dengan penuh harap.Adam Offel, telah memberinya petunjuk bahwa hari ini akan menjadi salah satu yang tak terlupakan. Dia ingin memberikan kesempatan kedua kepada pria itu.Dengan gaun pengantin yang indah melilit tubuhnya, Melinda merasa seperti sang ratu yang siap menerima mahkota kebahagiaan. Tetapi, di tengah kerumunan, ia tidak melihat bayangan Adam yang diharapkannya. Ketidakpastian mulai merayap di dalam pikirannya.Melinda duduk di kursi yang sudah disediakan khusus untuknya. Menyaksikan pertandingan dengan perasaan tidak menentu.Tiba-tiba, lampu-lampu sorot mulai menyala, dan kerumunan berbisik-bisik dengan kegembiraan yang menggelora. Melinda merasakan kegelisahan memenuhi dadanya ketika seseorang mel
Setelah sampai di sana, Melinda langsung berpura-pura bertanya, mencari informasi, namun tidak ada yang mengetahui acara lain selain acara baseball yang memang setiap akhir pekan dilaksanakan di sana."Besok yang bertanding adalah group banteng dengan group singa. Apakah Anda ingin membeli tiket?" tanya petugas tanpa mencurigai apa pun.Wajah dan reaksinya datar, bahkan dia malas untuk melihat ke arah orang yang menanyakan tiket."Baik, terima kasih, aku sudah punya tiket masuk," sahut Melinda lalu bergerak keluar meninggalkan gedung.Malam harinya, wanita itu tidak bisa tidur. Sama sekali tidak bisa memberi istirahat kepada matanya yang sudah lelah.Sesekali dia mematut dirinya di depan cermin dengan memegang gaun yang indah.Keesokan harinya, Melinda terbangun dengan mata yang terasa berat di bawah kelopaknya. Goresan-goresan hitam di sekitar matanya menandakan betapa dalamnya tidur yang dia alami."Mama?" Silvia masuk ke kama
Bel pintu berbunyi, membuyarkan lamunannya yang dalam. Melinda menghela napas dalam-dalam, merenggangkan otot-ototnya yang tegang, lalu beranjak menuju pintu dengan langkah gontai. Dia menghirup udara dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum membuka pintu."Siapa ya yang datang sekarang?" gumamnya pelan.Dengan ragu, ia membuka pintu dan dihadapkan pada seorang pria pengantar paket yang tersenyum ramah di depannya. Paket besar berwarna cokelat muda tergeletak di depan kakinya."Maaf mengganggu, Ma'am. Ini paket untuk Anda," kata pria itu sambil menyodorkan sebuah formulir pengiriman.Melinda mengangguk, mengambil formulir tersebut, dan menandatangani dengan cepat. Pikirannya masih melayang-layang antara rasa penasaran dan kekhawatiran.Pria pengantar itu kemudian menyerahkan paket tersebut kepadanya dengan senyuman hangat sebelum bergegas pergi. Melinda menutup pintu dan kembali ke dalam rumah dengan paket besar yang terasa begitu misterius di tangannya.Dengan hati-hati, ia memb
"Maaf, Nyonya Melinda. Kami hendak memberitahukan bahwa bahan material bangunan yang dipesan atas nama Melinda i-care sudah jatuh tempo. Sejumlah satu Milyar!"Hatinya berdegup kencang. Bagaimana mungkin dia berutang sebanyak itu atas sebuah proyek bangunan?"S-saya tidak pernah memesan apa pun," sahut Melinda dengan suara terputus-putus.Melinda berusaha memeriksa ingatannya, mencari-cari jejak apa pun yang bisa menjelaskan situasi ini, tetapi tidak ada yang muncul. Rasanya seperti terjatuh ke dalam jurang tanpa dasar."Maaf, saya tidak yakin tentang hutang ini," ucap Melinda dengan suara gemetar, mencoba menutupi kepanikannya."Seseorang bernama Tuan Adam yang mengurus semuanya," sahut penagih hutang dengan nada tajam. "Dan dia menyatakan bahwa Anda bertanggung jawab atas pembayarannya. Bukankah semua material itu dikirim kepada Melinda i-care?"Melinda menelan salivanya yang terasa pahit, merasa seakan-akan dunianya runtuh sek