Namun, pertengkaran mereka tidak berakhir di situ. Pihak keamanan memutuskan untuk memanggil polisi untuk menyelesaikan perselisihan ini. Tak lama kemudian, kedua pria itu dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan.
Di ruang interogasi yang dingin, mereka duduk di sisi yang berlawanan dengan pandangan penuh kebencian. Afgan masih terasa marah, sedangkan Simon tampak kesal dan frustrasi. Seorang petugas polisi yang tenang mencoba mendengarkan kedua versi cerita mereka untuk menentukan apakah ada dasar hukum untuk tindakan lebih lanjut.
Petugas Polisi segera memisahkan kedua orang itu. Afgan dan Simon digiring masuk ke dalam mobil polisi dan dibawa ke kantor polisi.
"Baik, berikan keteranganmu masing-masing. Saya ingin mendengar versi cerita yang objektif!" titah seorang polisi dengan wajah tegas.
Afgan menjawab duluan dengan emosi, "Saya hanya mencoba menghentikan perilaku buruknya! Dia merusak hidupnya dan merugikan orang lain."
"Tidak apa-apa, pergilah," sahut Aiyana dengan ketus lalu menutup pintu. Wanita itu sama sekali tidak mengijinkan Afgan untuk masuk."Hei, tunggu." Afgan mencegah pintu tertutup dengan sebelah kakinya. Karena harus melakukan peran sandiwara yang panjang, Aiyana menyewa sebuah rumah kecil. Dia tidak ingin mengambil resiko bila rumah Rafael diketahui oleh Simon dan juga Afgan. Akibatnya, Aiyana dan anak-anak menempati rumah kecil itu sementara dengan alasan lebih dekat ke sekolah anak-anak.Aiyana terkejut saat mengetahui pintu yang tidak dapat ditutup tetapi telanjur menjepit kaki Afgan."Auwch!" teriak Afgan kesakitan."Eh, mengapa kakimu di sana. Astaga." Aiyana segera membuka pintu dengan panik. "Kamu tidak apa-apa.""Ini sakit sekali!" seru Afgan sambil melompat kecil memegang kakinya."Astaga, aduh ... maafkan saya, masuklah terlebih dahulu, saya akan memberikan kompres."Afgan memanfaatkan kesempatan ini untuk mengenal Aiyana leb
Tidak sampai satu jam, Bob hadir dengan Dokter Amira, seorang gadis cantik berkebangsaan Indonesia dan menyelesaikan studinya di Jakarta, tetapi atas permintaan Ibunya, menerima pekerjaan sebagai dokter pribadi keluarga Al-Futtaim. Gadis muda itu masih berusia 28 tahun dan belum pernah menjalin hubungan dengan siapa pun.Aiyana terpana saat membuka pintu, Dokter yang terlihat cantik dengan manik hitam nan bulat membalas tatapannya dengan senyuman hangat."Saya membawa Dokter untuk merawat Tuan Afgan," ucap Bob membuyarkan lamunan Aiyana."Eh, Oh ... mari masuk." Aiyana mengeser tubuhnya untuk mempersilahkan Dokter cantik itu masuk sementara Bob mengikutinya dari belakang.Aiyana mengantar mereka masuk ke dalam kamar di mana Afgan masih terbaring. Wanita itu sedikit terkejut karena Afgan sedang tertidur dengan memeluk bantal milik Aiyana. Wajah tampan pria itu begitu indah dilihat sehingga ketiga orang yang berdiri di sana sampai terpana dan mematung menya
Aiyana memutuskan untuk menghubungi Dokter Amira sesuai pesan Bob.Sementara Joanne kecil tetap sibuk memperhatikan kaki Afgan seolah-olah sedang mengobatinya. Tingkahnya membuat Afgan tertawa dengan riang dan Lucas kecil juga ikut membisikkan tentang adiknya yang sangat rewel dan sok tahu.Tidak lama kemudian, Dokter Amira tiba bersama Bob dan segera memeriksa Afgan. Setelah beberapa saat, dokter memberitahu bahwa tidak ada masalah medis yang terdeteksi pada Afgan. Kakinya juga hanya sedikit sakit karena salahgerak."Mungkin, Afgan hanya kelelahan dan butuh istirahat lebih," ucap dokter Amira kepada sambil melihat ke arah Aiyana."Afgan, kamu butuh istirahat yang cukup. Jangan terlalu memaksakan diri," kata Dokter Amira.Afgan menatap Aiyana dengan senyum lembut, "Aku minta maaf, kalau sudah membuatmu khawatir. Bolehkah aku beristirahat di sini sambil menunggu kepulihan saja? Di sini nyaman sekali.""Aku tertidur dengan nyenyak tadi tanpa s
"Apa maksudmu?" Afgan bertanya dengan mimik bingung."Pulanglah ke hotelmu. Di sini hanya ada dua kamar dan aku butuh istirahat."Aku tidak keberatan berbagi ranjang," ucap Afgan dengan polos.Wajah Aiyana langsung bersemu merah. "Tapi aku keberatan!" Aiyana berseru dengan kesal dan melangkah keluar dari kamar tanpa menanggapi reaksi Afgan lebih lanjut."Baik," sahut Afgan dengan lesu lalu melangkah dengan tertatih-tatih. Pada saat keluar dari kamar, Aiyana sudah siap berdiri di depan pintu yang terbuka sambil melipat tangannya di bawah dada.Afgan merasa kecewa karena diusir dalam keadaan sakit, padahal dia masih ingin berlama-lama dan mencari kebenaran yang masih menjadi misteri.Akhirnya terlintas dalam benak Afgan untuk berpura-pura jatuh. Pada saat mulai mendekati pintu keluar, Afgan sengaja memiringkan tubuhnya dan arah jatuh mengenai Aiyana."Aocwh!" pekik Afgan tiba-tiba.Aiyana segera menopang tubuh Afgan yang hampir t
Afgan merenung dalam kegelapan kamarnya, mencoba memahami betapa jauhnya jarak antara dirinya dan Adelia, istri yang dahulu begitu dekat dengannya. Dia teringat jelas betapa bahagianya mereka berdua pada hari pernikahan mereka yang lalu, walau mereka sering bertengkar dan banyak kesalahpahaman, tetapi sekarang, semua itu hanya tinggal kenangan yang menyakitkan. Kebakaran itu, tragedi yang menimpa Adelia, mengubah segalanya.Adelia tentu saja tidak tahu, setiap malam sejak kejadian itu, Afgan selalu terbangun dari tidurnya dengan berkeringat dingin, menghantui oleh bayangan api yang menghancurkan pernikahannya dan nyaris merenggut nyawa Adelia.Adelia pasti tidak tahu, bagaimana Afgan terpuruk dalam kehidupannya sampai tidak mempedulikan Melinda dan putrinya, melainkan lebih memilih berdiam diri di pemakaman palsu milik Adelia.Tentu saja dia merasa bersalah, bersalah karena tidak bisa melindungi istri dan anak-anaknya. Amak-anak yang tidak pernah dia tahu dan sa
"Paman!' teriak Joanne kecil dengan gembira. Gadis itu segera berlari kemudian memeluk Afgan, membuat pria itu merasa terharu dan benar-benar yakin bahwa itu adalah putrinya. "Joanne, mengapa kamu bukannya mandi dulu, malah segera masuk ke kamar dan memeluk Paman? Kamu bau sekali loh!" Aiyana segera menarik Joanne, tetapi gadis kecil itu segera merenggek. "Aku sudah rindu sekali kepada Paman." Joanne menatap wajah Afgan seolah-olah mengharapkan dukungannya. "Tidak apa-apa biarkan saja dia di sini." "Issh, Paman baik sekali," ujar Joanne lalu kembali memeluk tubuh Afgan yang besar. "Sepertinya Joanne jatuh cinta kepada Paman." "APA?!" teriak Aiyana dan Afgan serentak. Joanne segera menutup kedua telinganya dengan tangan. "Apa-an sih Mom? Paman? Kok bisa terkejut seperti itu, bersamaan pulak. Lebay akhh!" "Joanne!" Aiyana berusaha menarik Joanne agar keluar dari kamar. "Biarkan saja dia, saya akan menjelaskan dan memberi nasehat untuknya, bagaimana?" Aiya menatap Afgan dengan p
"Apa yang kalian bahas?" Aiyana masuk ke kamar dengan sebuah nampan makanan di tangannya."Sesuatu yang dibahas oleh pria. Bukankah Mom selalu tidak dapat menjawabnya bila aku bertanya?" Lucas berkacak pinggang sambil menatap kedua mata Ibunya dengan mimik serius."Tentang apa?" Aiyana meletakkan nampan makanan itu di nakas samping tempat tidur Afgan."Tentang bagaimana cara mengejar wanita misalnya," sahut Lucas."Ahh, itu gampang sekali, pria kecil!" Aiyana mengetuk kening Lucas dengan gemes."Oh ya? apakah Mom tahu caranya?""Tentu tahu, ajak saja teman wanita yang ingin kamu kejar itu liburan bersama kemudian berikan hadiah kecil yang khusus, sesuatu yang dia inginkan."Mendengar perkataan Aiyana, Lucas mengerlingkan sebelah matanya ke arah Afgan yang kemudian mengangguk tanda mengerti."Eh, siapa yang ingin kamu kejar, Lucas? Kamu masih sekolah kelas ... ""Bukan aku, Mom! Jangan khawatir, aku sedang membuat program
"Bob, selidiki semua tentang Simon dan semua rincian keuangannya dari 8 tahun yang lalu!" "Baik, Tuan." Afgan menutup panggilan setelah pesan tersampaikan. Pria itu melangkah kembali ke dalam rumah. Namun, pintu rumah kecil itu sudah terkunci sendiri dan pria itu tidak memiliki kunci. Dengan kesal, Afgan memutar kenop pintu tetapi pintu itu tidak bergeming. "Sial!" pekiknya dengan kesal. Akhirnya Afgan memutuskan untuk duduk di teras dan menunggu Aiyana pulang. Satu jam berlalu dan bayangan Aiyana masih juga tidak terlihat di balik pagar besi rumah. Cuaca yang dingin membuat Afgan mulai mengigil karena pria itu keluar tanpa mantel dan tanpa alas kaki. Afgan berusaha tiduran di dipan kecil dari bambu yang diletakkan di teras rumah sambil memeluk dirinya sendiri. Sementara Aiyana pergi untuk menemui Kakek Rafael setelah mengantar kedua anak kembarnya ke tempat kursus. Aiyana berusaha mencari solusi dari sang Kakek. "Kakek ... " A
"Selamat ulang tahun, Sayang," ucap Afgan seraya mengecup mesra kening istrinya. Adelia terlihat cantik dalam gaun berwarna merah muda, memancarkan pesona yang memikat semua orang yang hadir. Senyumnya yang menawan membuat suasana semakin hangat dan penuh kebahagiaan.Taman yang indah menjadi latar belakang acara tersebut, dihiasi dengan dekorasi menarik yang dipenuhi balon berwarna-warni. Meja-meja penuh dengan hidangan lokal yang menggugah selera.Afgan sengaja mempersiapkan semua makanan khas lokal Indonesia supaya dapat mencerminkan kekayaan budaya dan rasa yang istimewa. Semua tamu yang diundang tampak menikmati setiap momen, tertawa dan berbincang dalam suasana yang meriah.Afgan sengaja memilih suasana taman ini untuk memberikan kesan alami dan romantis. Cahaya lampu hias yang tergantung di antara pepohonan menambah kehangatan malam itu, menciptakan suasana yang sempurna untuk merayakan ulang tahun Adelia."Tempat ini benar-benar indah, Afgan," kat
Nama itu terdengar seperti melodi yang manis di telinganya, dan wajahnya muncul di dalam bayangan gelap di hadapannya.Lima tahun yang lalu, mereka bertemu dalam sebuah acara pesta, di mana keponakannya, Edward, membawa Adelia sebagai pasangan dansa.Adam masih ingat betapa terpesonanya dia saat itu oleh kehadiran Adelia. Wajah dan penampilan wanita itu sangat mirip dengan mendiang istrinya, membuatnya tercengang dan tak bisa berkedip.Adelia, dengan senyum manisnya dan gerakannya yang anggun, menyihirnya dalam sekejap.Dalam kilatan lampu pesta, Adam melihat bayangan istrinya yang telah tiada, dan dia merasakan hatinya tergetar oleh gelombang nostalgia dan kesedihan yang mendalam.Ketika mereka memiliki kesempatan untuk berdansa sebagai pasangan, Adam merasa seperti dia berada di alam semesta yang sama sekali berbeda, di mana waktu berhenti berputar dan kehilangan tidak lagi terasa menyakitkan.Tetapi, seiring malam berakhir, kenyataan kemb
Adam membalas senyuman wanita itu dengan senyuman manis. "Maka aku akan menjadi milikmu."Sekali lagi mereka berciuman dengan penuh gairah. Sarah terhanyut dan merasa tidak berdaya, tetapi dalam ruang kecil hatinya yang tersisa, dia tahu dengan pasti bahwa Adam bukanlah tipe pria yang akan dengan mudah jatuh hati padanya.Dia menyadari bahwa perasaan Adam padanya hanyalah alat yang dimanfaatkannya untuk menyakiti Melinda lebih dalam lagi. Tetapi, meskipun dia sadar akan ini, dia terus menekan perasaannya sendiri, membiarkan dirinya larut dalam penipuan terhadap hatinya.Setiap hari, Sarah merasa semakin terjebak dalam permainan Adam. Dia memberi dirinya alasan bahwa ini adalah cara untuk menjaga Melinda tetap aman, meskipun di lubuk hatinya, dia tahu bahwa ini hanya sebuah pembenaran dari nafsu dan ketakutan akan kehilangan Adam.Saat malam tiba, Adam mengajaknya keluar untuk makan malam romantis, dan Sarah setuju tanpa ragu.Meskipun dia menyadari
Melinda menggelengkan kepala, matanya kosong memandang ke dalam ruangan. "Aku tidak tahu," ucapnya pelan. "Aku merasa seperti semua impianku hancur, seperti tidak ada lagi yang bisa kuinginkan."Sarah merangkulnya lebih erat. "Tetapi, Melinda, kamu masih punya banyak hal di depanmu. Kehidupanmu tidak berakhir di sini."Melinda menatap sahabatnya dengan pandangan yang penuh keraguan. "Tapi bagaimana aku bisa melupakan semua ini? Bagaimana aku bisa mempercayai seseorang lagi setelah ini?""Bagaimana membuktikan kebenaran bahwa aku hanya difitnah oleh Adam? Semua ini adalah jebakannya."Sarah tersenyum lembut. "Kamu mempunyai hak untuk didampingi seorang pengacara hukum, aku akan mengurusnya dan percayalah, tidak semua pria seperti Adam. Semua ini mungkin hanya salah paham."Melinda mengernyitkan alisnya perlahan, mencoba menyerap kata-kata yang diucapkan oleh Sarah. Namun, perjalanan untuk pulih dari luka ini masih terasa sangat jauh baginya dan kebe
Adam tersenyum dengan licik lalu melanjutkan kalimatnya di depan microphone yang sedang dipegang."Yayasan Melinda i-care sudah menipu publik dengan penjualan tiket konser di acara pertandingan baseball ini. Seharusnya saya mendapatkan applause untuk keberhasilan menjebak pelaku yang sudah menipu tiket kalian, bukan?"Perkataan Adam mendapat seru riuh dari para penonton. Mereka merasa keadilan sudah ditegakkan untuk mereka.Dua orang polisi wanita segera menarik dan memasangkan borgol ke tangan Melinda yang disatukan di belakang punggungnya."I-ini tidak benar! Kamu jahat sekali!" seru Melinda sambil berusaha meronta, tetapi dua orang yang memegangnya sangat kuat."Kamu juga melakukan hal yang sama terhadap keluarga Al-Futtaim, Sayang. Adelia adalah seorang wanita yang baik. Bila saya arus memilih, maka saya akan memilih Adelia menjadi istri yang layak menggantikan mendiang istriku karena wanita itu memiliki semua yang tidak kamu miliki."Me
Melinda merenggangkan lehernya, mencoba untuk melihat lebih jelas ke arah panggung yang sedang disiapkan di tengah lapangan.Ia merasa detak jantungnya semakin kencang seiring dengan lama menunggu. Hari ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu dengan penuh harap.Adam Offel, telah memberinya petunjuk bahwa hari ini akan menjadi salah satu yang tak terlupakan. Dia ingin memberikan kesempatan kedua kepada pria itu.Dengan gaun pengantin yang indah melilit tubuhnya, Melinda merasa seperti sang ratu yang siap menerima mahkota kebahagiaan. Tetapi, di tengah kerumunan, ia tidak melihat bayangan Adam yang diharapkannya. Ketidakpastian mulai merayap di dalam pikirannya.Melinda duduk di kursi yang sudah disediakan khusus untuknya. Menyaksikan pertandingan dengan perasaan tidak menentu.Tiba-tiba, lampu-lampu sorot mulai menyala, dan kerumunan berbisik-bisik dengan kegembiraan yang menggelora. Melinda merasakan kegelisahan memenuhi dadanya ketika seseorang mel
Setelah sampai di sana, Melinda langsung berpura-pura bertanya, mencari informasi, namun tidak ada yang mengetahui acara lain selain acara baseball yang memang setiap akhir pekan dilaksanakan di sana."Besok yang bertanding adalah group banteng dengan group singa. Apakah Anda ingin membeli tiket?" tanya petugas tanpa mencurigai apa pun.Wajah dan reaksinya datar, bahkan dia malas untuk melihat ke arah orang yang menanyakan tiket."Baik, terima kasih, aku sudah punya tiket masuk," sahut Melinda lalu bergerak keluar meninggalkan gedung.Malam harinya, wanita itu tidak bisa tidur. Sama sekali tidak bisa memberi istirahat kepada matanya yang sudah lelah.Sesekali dia mematut dirinya di depan cermin dengan memegang gaun yang indah.Keesokan harinya, Melinda terbangun dengan mata yang terasa berat di bawah kelopaknya. Goresan-goresan hitam di sekitar matanya menandakan betapa dalamnya tidur yang dia alami."Mama?" Silvia masuk ke kama
Bel pintu berbunyi, membuyarkan lamunannya yang dalam. Melinda menghela napas dalam-dalam, merenggangkan otot-ototnya yang tegang, lalu beranjak menuju pintu dengan langkah gontai. Dia menghirup udara dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum membuka pintu."Siapa ya yang datang sekarang?" gumamnya pelan.Dengan ragu, ia membuka pintu dan dihadapkan pada seorang pria pengantar paket yang tersenyum ramah di depannya. Paket besar berwarna cokelat muda tergeletak di depan kakinya."Maaf mengganggu, Ma'am. Ini paket untuk Anda," kata pria itu sambil menyodorkan sebuah formulir pengiriman.Melinda mengangguk, mengambil formulir tersebut, dan menandatangani dengan cepat. Pikirannya masih melayang-layang antara rasa penasaran dan kekhawatiran.Pria pengantar itu kemudian menyerahkan paket tersebut kepadanya dengan senyuman hangat sebelum bergegas pergi. Melinda menutup pintu dan kembali ke dalam rumah dengan paket besar yang terasa begitu misterius di tangannya.Dengan hati-hati, ia memb
"Maaf, Nyonya Melinda. Kami hendak memberitahukan bahwa bahan material bangunan yang dipesan atas nama Melinda i-care sudah jatuh tempo. Sejumlah satu Milyar!"Hatinya berdegup kencang. Bagaimana mungkin dia berutang sebanyak itu atas sebuah proyek bangunan?"S-saya tidak pernah memesan apa pun," sahut Melinda dengan suara terputus-putus.Melinda berusaha memeriksa ingatannya, mencari-cari jejak apa pun yang bisa menjelaskan situasi ini, tetapi tidak ada yang muncul. Rasanya seperti terjatuh ke dalam jurang tanpa dasar."Maaf, saya tidak yakin tentang hutang ini," ucap Melinda dengan suara gemetar, mencoba menutupi kepanikannya."Seseorang bernama Tuan Adam yang mengurus semuanya," sahut penagih hutang dengan nada tajam. "Dan dia menyatakan bahwa Anda bertanggung jawab atas pembayarannya. Bukankah semua material itu dikirim kepada Melinda i-care?"Melinda menelan salivanya yang terasa pahit, merasa seakan-akan dunianya runtuh sek