"Apa yang kalian bahas?" Aiyana masuk ke kamar dengan sebuah nampan makanan di tangannya."Sesuatu yang dibahas oleh pria. Bukankah Mom selalu tidak dapat menjawabnya bila aku bertanya?" Lucas berkacak pinggang sambil menatap kedua mata Ibunya dengan mimik serius."Tentang apa?" Aiyana meletakkan nampan makanan itu di nakas samping tempat tidur Afgan."Tentang bagaimana cara mengejar wanita misalnya," sahut Lucas."Ahh, itu gampang sekali, pria kecil!" Aiyana mengetuk kening Lucas dengan gemes."Oh ya? apakah Mom tahu caranya?""Tentu tahu, ajak saja teman wanita yang ingin kamu kejar itu liburan bersama kemudian berikan hadiah kecil yang khusus, sesuatu yang dia inginkan."Mendengar perkataan Aiyana, Lucas mengerlingkan sebelah matanya ke arah Afgan yang kemudian mengangguk tanda mengerti."Eh, siapa yang ingin kamu kejar, Lucas? Kamu masih sekolah kelas ... ""Bukan aku, Mom! Jangan khawatir, aku sedang membuat program
"Bob, selidiki semua tentang Simon dan semua rincian keuangannya dari 8 tahun yang lalu!" "Baik, Tuan." Afgan menutup panggilan setelah pesan tersampaikan. Pria itu melangkah kembali ke dalam rumah. Namun, pintu rumah kecil itu sudah terkunci sendiri dan pria itu tidak memiliki kunci. Dengan kesal, Afgan memutar kenop pintu tetapi pintu itu tidak bergeming. "Sial!" pekiknya dengan kesal. Akhirnya Afgan memutuskan untuk duduk di teras dan menunggu Aiyana pulang. Satu jam berlalu dan bayangan Aiyana masih juga tidak terlihat di balik pagar besi rumah. Cuaca yang dingin membuat Afgan mulai mengigil karena pria itu keluar tanpa mantel dan tanpa alas kaki. Afgan berusaha tiduran di dipan kecil dari bambu yang diletakkan di teras rumah sambil memeluk dirinya sendiri. Sementara Aiyana pergi untuk menemui Kakek Rafael setelah mengantar kedua anak kembarnya ke tempat kursus. Aiyana berusaha mencari solusi dari sang Kakek. "Kakek ... " A
Aiyana sudah pasti tidak sanggup untuk menggendong tubuh besar itu keluar dari kamar mandi."Sepertinya dia terminum air, aku ... aku harus melakukan CPR!"Aiyana segera menarik tuas pengait dalam bath tub untuk membuang air lalu dengan segera dia mengatur posisi Afgan agar sejajar. Akan tetapi kaki Afgan terlalu panjang.Aiyana segera memberikan CPR dengan napas buatan. Aiyana berusaha mengingat pelajaran pertolongan pertama yang pernah dia pelajari, fokus pada tindakan yang tepat.Detak jantungnya berdebar kencang, namun Aiyana tetap tenang, memberikan tekanan dada Afgan dan napas buatan melalui mulut pria itu secara bergantian. Setiap detik terasa seperti sebuah perjuangan melawan waktu yang tak terduga. Aiyana semakin gelisah dan mengharapkan keberhasilan dalam menyelamatkan nyawa pria itu."Kamu tidak boleh mati, Afgan! Aku ... aku mencintaimu!" isak tangis Aiyana sambil memompa jantung Afgan. Kedua matanya berkaca-kaca saat melihat Afgan yang
Hidung Bob kembang kempis karena mendengar tentang kenaikan jabatan yang ditawarkan."Uhm, maaf ... Tuan, apakah jabatanku boleh diatur supaya berada di Dubai saja?"Afgan menatap pria berkacamata itu dalam-dalam. Lalu tersenyum.Wajah Bob mulai merona merah lalu dengan malu-malu melanjutkan kalimatnya. "Aku menyukai Dokter Amira. Sepertinya dia juga menyukaiku. Ini ... ""Tidak masalah, kamu bebas mencintai siapapun!" Afgan berkata dengan kesal. "Pergilah. Aku ingin beristirahat.""Baik, Tuan."Tidak lama kemudian, Aiyana dan Dokter Amira masuk ke dalam kamar. Sekilas, Dokter Amira melirik Bob yang keluar dengan wajah merona merah.Dokter Amira memberikan suntikan kepada Afgan lalu memberikan obat oral kepada Aiyana."Ini diminum tiga kali sehari. Ini obat tambahan, bila demam, segera kasih minum saja.""Baik, terima kasih, Dokter Amira.""Saya permisi dulu. Hubungi saya saja bila butuh sesuatu," ujar Dokter Amir
Pada saat masuk ke dalam kamar, Afgan sudah berada di lantai yang dingin. Aiyana buru-buru mengangkat tubuh Afgan."Eh, mengapa panas sekali. Astaga, Afgan! Kamu demam," ucap Aiyana dengan panik."Panas ... Bik," ucap Afgan masih sambil mengigau dalam tidurnya.Tiba-tiba Afgan berteriak seolah kesakitan pada bagian punggung dan tubuhnya kembali limbung ke lantai."Owhhh!""Afgan!" teriak Aiyana dengan panik."Api ...." Afgan berseru dengan suara parau. Terlihat keningnya basah oleh keringat sebesar biji jagung."Api?" Aiyana bingung dengan keadaan, tetapi dia masih berusaha untuk menolong Afgan agar bisa berbaring di atas ranjang."Bik Marni," ujar Afgan masih dengan suara parau."Mengapa dia menyebut nama kecil Bunda?" Aiyana tidak terputus dengan kebingungan yang semakin misterius, tetapi dia menggelengkan kepala pelan dan akhirnya setelah bersusah payah, dia berhasil membaringkan tubuh Afgan ke atas ranjang."Bik, aku takut," ucap Afgan sambil memeluk pinggang Aiyana secara mendada
"Ta ... tapi, aku bukan dia. Lepaskan, ini ... kumohon!""Mengapa kamu takut sekali bila kamu bukan dia?" tanya Afgan penuh selidik."Kamu demam! Harus segera minum obat, ini, tolong ... lepaskan!" seru Aiyana sambil memaksa melepaskan tangan Afgan yang melingkar di pinggangnya.Karena usaha wanita itu sangat keras, Afgan terpaksa melepaskannya."Huh!" Aiyana menarik napas lega setelah berhasil lepas dari Afgan. Wanita itu buru-buru menjauh dari pria itu."Habis makan, kamu harus minum obat. Besok, pagi-pagi sekali ... tolong ... segera keluar dari rumahku!"Aiyana membungkukkan tubuhnya lalu dengan canggung berlari kecil meninggalkan kamar itu dan masuk ke kamar anak-anak.Aiyana menempelkan tubuhnya di belakang daun pintu kamar anak sambil memegang bagian tengah dadanya."Tidak bisa terus-terusan begitu! Jantungku bisa copot!" gumam Aiyana dengan suara kecil.Dengan ekor matanya, Aiyana melirik Joanne dan Lucas yang terlihat sudah terlelap dalam tidurnya.Ranjang kecil sebanyak dua
Semalaman, Aiyana tetap setia di samping Afgan, menjaga dan mengawasinya dengan penuh perhatian. Meskipun lelahnya mulai melanda, dia tidak beranjak dari tempat tidur. Matanya terus memantau setiap napas yang dihembuskan Afgan, setiap gerakan kecil yang dilakukannya.Namun, kelelahan akhirnya mengalahkan Aiyana. Meskipun dia berusaha keras untuk tetap terjaga, tubuhnya tidak bisa menolak panggilan tidur yang menghampirinya. Tanpa disadari, Aiyana pun tertidur pulas di samping Afgan, kepala mereka saling bertemu dalam keheningan malam.Napas yang beradu dengan tempo yang teratur membentuk sebuah melodi tidak terdengar tetapi terdengar romantis. Sebuah nyanyian cinta yang terbelenggu oleh kesalahpahaman yang berkelanjutan.Kedua mereka tertidur dalam damai yang rapat, tak menyadari bahwa alam semesta terus berputar di sekitar mereka. Waktu terus berjalan, membawa perubahan dan kejutan yang tak terduga, namun untuk saat ini, mereka merasakan kedamaian yang datang d
Bab 189Pikiran Afgan melayang ke belakang, mengingat momen-momen hangat yang dia alami semalam di samping Aiyana. Ada kehangatan yang aneh dalam perhatian dan kehadiran wanita itu yang membuatnya merasa lebih baik, bahkan di tengah-tengah kelemahan dan penyakit."Tubuhku ini membutuhkan Adelia sebagai istri sah milikku," gumam pria itu sambil memegang bagian tengah dadanya yang berdesir.Namun, di balik keinginannya untuk terus merasakan kehangatan itu, Afgan juga menyadari bahwa kehadiran Aiyana dalam hidupnya mungkin hanya sementara bila dia tidak melakukan sesuatu.Saat ini, mereka adalah dua orang asing yang secara kebetulan bersama dalam situasi yang tidak biasa, dan tidak mungkin untuknya berharap lebih dari itu.Dengan perlahan, Afgan bangkit dari tempat tidur, merasakan tubuhnya masih terasa lemah dan tegang. Dia tahu bahwa dia harus beristirahat lebih lama untuk memulihkan tenaga, tetapi pikirannya terus melayang pada Aiyana yang sedang m
"Selamat ulang tahun, Sayang," ucap Afgan seraya mengecup mesra kening istrinya. Adelia terlihat cantik dalam gaun berwarna merah muda, memancarkan pesona yang memikat semua orang yang hadir. Senyumnya yang menawan membuat suasana semakin hangat dan penuh kebahagiaan.Taman yang indah menjadi latar belakang acara tersebut, dihiasi dengan dekorasi menarik yang dipenuhi balon berwarna-warni. Meja-meja penuh dengan hidangan lokal yang menggugah selera.Afgan sengaja mempersiapkan semua makanan khas lokal Indonesia supaya dapat mencerminkan kekayaan budaya dan rasa yang istimewa. Semua tamu yang diundang tampak menikmati setiap momen, tertawa dan berbincang dalam suasana yang meriah.Afgan sengaja memilih suasana taman ini untuk memberikan kesan alami dan romantis. Cahaya lampu hias yang tergantung di antara pepohonan menambah kehangatan malam itu, menciptakan suasana yang sempurna untuk merayakan ulang tahun Adelia."Tempat ini benar-benar indah, Afgan," kat
Nama itu terdengar seperti melodi yang manis di telinganya, dan wajahnya muncul di dalam bayangan gelap di hadapannya.Lima tahun yang lalu, mereka bertemu dalam sebuah acara pesta, di mana keponakannya, Edward, membawa Adelia sebagai pasangan dansa.Adam masih ingat betapa terpesonanya dia saat itu oleh kehadiran Adelia. Wajah dan penampilan wanita itu sangat mirip dengan mendiang istrinya, membuatnya tercengang dan tak bisa berkedip.Adelia, dengan senyum manisnya dan gerakannya yang anggun, menyihirnya dalam sekejap.Dalam kilatan lampu pesta, Adam melihat bayangan istrinya yang telah tiada, dan dia merasakan hatinya tergetar oleh gelombang nostalgia dan kesedihan yang mendalam.Ketika mereka memiliki kesempatan untuk berdansa sebagai pasangan, Adam merasa seperti dia berada di alam semesta yang sama sekali berbeda, di mana waktu berhenti berputar dan kehilangan tidak lagi terasa menyakitkan.Tetapi, seiring malam berakhir, kenyataan kemb
Adam membalas senyuman wanita itu dengan senyuman manis. "Maka aku akan menjadi milikmu."Sekali lagi mereka berciuman dengan penuh gairah. Sarah terhanyut dan merasa tidak berdaya, tetapi dalam ruang kecil hatinya yang tersisa, dia tahu dengan pasti bahwa Adam bukanlah tipe pria yang akan dengan mudah jatuh hati padanya.Dia menyadari bahwa perasaan Adam padanya hanyalah alat yang dimanfaatkannya untuk menyakiti Melinda lebih dalam lagi. Tetapi, meskipun dia sadar akan ini, dia terus menekan perasaannya sendiri, membiarkan dirinya larut dalam penipuan terhadap hatinya.Setiap hari, Sarah merasa semakin terjebak dalam permainan Adam. Dia memberi dirinya alasan bahwa ini adalah cara untuk menjaga Melinda tetap aman, meskipun di lubuk hatinya, dia tahu bahwa ini hanya sebuah pembenaran dari nafsu dan ketakutan akan kehilangan Adam.Saat malam tiba, Adam mengajaknya keluar untuk makan malam romantis, dan Sarah setuju tanpa ragu.Meskipun dia menyadari
Melinda menggelengkan kepala, matanya kosong memandang ke dalam ruangan. "Aku tidak tahu," ucapnya pelan. "Aku merasa seperti semua impianku hancur, seperti tidak ada lagi yang bisa kuinginkan."Sarah merangkulnya lebih erat. "Tetapi, Melinda, kamu masih punya banyak hal di depanmu. Kehidupanmu tidak berakhir di sini."Melinda menatap sahabatnya dengan pandangan yang penuh keraguan. "Tapi bagaimana aku bisa melupakan semua ini? Bagaimana aku bisa mempercayai seseorang lagi setelah ini?""Bagaimana membuktikan kebenaran bahwa aku hanya difitnah oleh Adam? Semua ini adalah jebakannya."Sarah tersenyum lembut. "Kamu mempunyai hak untuk didampingi seorang pengacara hukum, aku akan mengurusnya dan percayalah, tidak semua pria seperti Adam. Semua ini mungkin hanya salah paham."Melinda mengernyitkan alisnya perlahan, mencoba menyerap kata-kata yang diucapkan oleh Sarah. Namun, perjalanan untuk pulih dari luka ini masih terasa sangat jauh baginya dan kebe
Adam tersenyum dengan licik lalu melanjutkan kalimatnya di depan microphone yang sedang dipegang."Yayasan Melinda i-care sudah menipu publik dengan penjualan tiket konser di acara pertandingan baseball ini. Seharusnya saya mendapatkan applause untuk keberhasilan menjebak pelaku yang sudah menipu tiket kalian, bukan?"Perkataan Adam mendapat seru riuh dari para penonton. Mereka merasa keadilan sudah ditegakkan untuk mereka.Dua orang polisi wanita segera menarik dan memasangkan borgol ke tangan Melinda yang disatukan di belakang punggungnya."I-ini tidak benar! Kamu jahat sekali!" seru Melinda sambil berusaha meronta, tetapi dua orang yang memegangnya sangat kuat."Kamu juga melakukan hal yang sama terhadap keluarga Al-Futtaim, Sayang. Adelia adalah seorang wanita yang baik. Bila saya arus memilih, maka saya akan memilih Adelia menjadi istri yang layak menggantikan mendiang istriku karena wanita itu memiliki semua yang tidak kamu miliki."Me
Melinda merenggangkan lehernya, mencoba untuk melihat lebih jelas ke arah panggung yang sedang disiapkan di tengah lapangan.Ia merasa detak jantungnya semakin kencang seiring dengan lama menunggu. Hari ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu dengan penuh harap.Adam Offel, telah memberinya petunjuk bahwa hari ini akan menjadi salah satu yang tak terlupakan. Dia ingin memberikan kesempatan kedua kepada pria itu.Dengan gaun pengantin yang indah melilit tubuhnya, Melinda merasa seperti sang ratu yang siap menerima mahkota kebahagiaan. Tetapi, di tengah kerumunan, ia tidak melihat bayangan Adam yang diharapkannya. Ketidakpastian mulai merayap di dalam pikirannya.Melinda duduk di kursi yang sudah disediakan khusus untuknya. Menyaksikan pertandingan dengan perasaan tidak menentu.Tiba-tiba, lampu-lampu sorot mulai menyala, dan kerumunan berbisik-bisik dengan kegembiraan yang menggelora. Melinda merasakan kegelisahan memenuhi dadanya ketika seseorang mel
Setelah sampai di sana, Melinda langsung berpura-pura bertanya, mencari informasi, namun tidak ada yang mengetahui acara lain selain acara baseball yang memang setiap akhir pekan dilaksanakan di sana."Besok yang bertanding adalah group banteng dengan group singa. Apakah Anda ingin membeli tiket?" tanya petugas tanpa mencurigai apa pun.Wajah dan reaksinya datar, bahkan dia malas untuk melihat ke arah orang yang menanyakan tiket."Baik, terima kasih, aku sudah punya tiket masuk," sahut Melinda lalu bergerak keluar meninggalkan gedung.Malam harinya, wanita itu tidak bisa tidur. Sama sekali tidak bisa memberi istirahat kepada matanya yang sudah lelah.Sesekali dia mematut dirinya di depan cermin dengan memegang gaun yang indah.Keesokan harinya, Melinda terbangun dengan mata yang terasa berat di bawah kelopaknya. Goresan-goresan hitam di sekitar matanya menandakan betapa dalamnya tidur yang dia alami."Mama?" Silvia masuk ke kama
Bel pintu berbunyi, membuyarkan lamunannya yang dalam. Melinda menghela napas dalam-dalam, merenggangkan otot-ototnya yang tegang, lalu beranjak menuju pintu dengan langkah gontai. Dia menghirup udara dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum membuka pintu."Siapa ya yang datang sekarang?" gumamnya pelan.Dengan ragu, ia membuka pintu dan dihadapkan pada seorang pria pengantar paket yang tersenyum ramah di depannya. Paket besar berwarna cokelat muda tergeletak di depan kakinya."Maaf mengganggu, Ma'am. Ini paket untuk Anda," kata pria itu sambil menyodorkan sebuah formulir pengiriman.Melinda mengangguk, mengambil formulir tersebut, dan menandatangani dengan cepat. Pikirannya masih melayang-layang antara rasa penasaran dan kekhawatiran.Pria pengantar itu kemudian menyerahkan paket tersebut kepadanya dengan senyuman hangat sebelum bergegas pergi. Melinda menutup pintu dan kembali ke dalam rumah dengan paket besar yang terasa begitu misterius di tangannya.Dengan hati-hati, ia memb
"Maaf, Nyonya Melinda. Kami hendak memberitahukan bahwa bahan material bangunan yang dipesan atas nama Melinda i-care sudah jatuh tempo. Sejumlah satu Milyar!"Hatinya berdegup kencang. Bagaimana mungkin dia berutang sebanyak itu atas sebuah proyek bangunan?"S-saya tidak pernah memesan apa pun," sahut Melinda dengan suara terputus-putus.Melinda berusaha memeriksa ingatannya, mencari-cari jejak apa pun yang bisa menjelaskan situasi ini, tetapi tidak ada yang muncul. Rasanya seperti terjatuh ke dalam jurang tanpa dasar."Maaf, saya tidak yakin tentang hutang ini," ucap Melinda dengan suara gemetar, mencoba menutupi kepanikannya."Seseorang bernama Tuan Adam yang mengurus semuanya," sahut penagih hutang dengan nada tajam. "Dan dia menyatakan bahwa Anda bertanggung jawab atas pembayarannya. Bukankah semua material itu dikirim kepada Melinda i-care?"Melinda menelan salivanya yang terasa pahit, merasa seakan-akan dunianya runtuh sek