Sejak Ayrin kembali, kondisi ayahnya semakin membaik. Bahkan, Haris sudah diperbolehkan pulang oleh dokter.
“Pergilah, Rin. Ajaklah pemuda itu jalan-jalan. Kasihan dia… ke Indonesia masa yang dilihat cuma rumah sakit,” usul Haris, setengah bergurau.
“Mau diajak ke mana, Pa? Selama ini juga kan Ayrin jarang ke mana-mana.”
“Nah, kalau begitu tunggu apa lagi. Carilah tempat yang indah yang bisa membuat kalian melupakan sejenak kepenatan dan kelelahan, sebelum kamu juga kembali menjalani rutinitasmu.”
Ayrin terdiam sejenak, memikirkan saran ayahnya. Sudah lama dia tidak pergi ke mana-mana, sibuk dengan rutinitasnya yang padat. Tapi mungkin Papa benar, mungkin dia perlu sedikit waktu untuk bersantai dan menikmati hi
Paras Ayrin berubah pucat seketika begitu dia melihat sosok yang tak terduga berdiri di hadapannya. Matanya terpaku pada lelaki itu, sosok yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya, namun juga menjadi sumber luka yang tak terlupakan.Lima tahun berlalu, tetapi wajah pria itu masih sama seperti yang terpatri dalam ingatannya. Tubuhnya masih tegap dan kokoh seperti dulu, ketampanannya pun masih menghiasi wajahnya yang kini semakin matang.Tetapi yang paling sulit bagi Ayrin untuk dilupakan adalah cara Reygan menatapnya, tatapannya yang tajam namun masih mampu membuat hatinya terasa hangat.“Ayrin...” pria itu menyebut namanya dengan suara yang berat, menciptakan gelombang emosi yang bergelora di dalam diri Ayrin.“Mas Rey...” bal
Entah ada apanya dengan minumannya, tetapi Reygan merasa seperti sedang terjebak dalam ilusi yang terus mempermainkannya. Matanya tertuju pada sosok yang sudah lama tidak ia temui, tetapi kenangan tentangnya masih begitu hidup di benaknya. Tubuh mungilnya berada dalam dekapan seorang pemuda tampan.Ketika pria itu meninggalkan Ayrin, Reygan merasa dorongan untuk mendekat. Ia ingin memastikan apakah apa yang dilihatnya benar. Air mata hampir saja menetes ketika aroma yang begitu dikenalnya menyergap indra penciumannya.“Ayrin!” serunya tanpa sadar, dunia di sekelilingnya seakan runtuh. Ayrin menoleh, dan mata mereka bertemu. Wanita itu berubah begitu banyak. Reygan hampir tak percaya bahwa wanita cantik di hadapannya adalah Ayrin, mantan istrinya yang dulu polos dan sederhana.“Mas Rey!”
Ayrin merasakan sakit menyeluruh di sekujur tubuhnya, seolah-olah kesakitan itu merayapi setiap serat sarafnya. Air matanya berlinang, menetes ke pipinya yang pucat saat ingatan tentang malam itu terus berputar dalam benaknya, seperti layar film yang tak henti diputar ulang.“Apa yang kamu lakukan?” desis Ayrin dengan suara gemetar, berusaha menahan emosi yang meluap. Tubuhnya bergetar di bawah cengkeraman kuat tangan Reygan, tetapi setiap upaya untuk melepaskan diri sia-sia. Perbandingan kekuatan mereka membuatnya semakin sulit untuk bergerak.“Kamu mabuk, Mas. Lebih baik sekarang juga kamu pergi dari sini!” tegas Ayrin dengan suara meninggi, mencoba menemukan kekuatan dalam kata-katanya untuk menyingkirkan Reygan.“Tolong jangan suruh saya pergi, Rin!” Reygan semakin mendekat, w
Ayrin merasa napasnya terhenti sejenak, matanya membulat begitu melihat pemuda itu tegak di hadapannya. Sorot matanya yang dulu penuh cinta, kini menyimpan sejuta kekecewaan dan kepedihan yang menyayat hatinya.Secepat kilat, Ayrin bangkit dari tempat tidurnya, merapatkan selimut yang melilit tubuh polosnya. Dengan langkah gemetar, dia mendekati Raymond yang terus memandangnya dengan sorot mata yang penuh dengan kemarahan.“Raymond ini tidak seperti yang—”“Siapa pria itu?” potong Raymond dengan gusar. Matanya membeliak penuh amarah. Belum pernah Ayrin mendengar nada suara Raymond yang terdengar begitu dingin dan tajam seperti itu.“Aku bisa menjelaskan semuanya, Ray. Ini tidak seperti yang kamu lihat,” sergah Ayrin dengan suara yang gemetar, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan situasi yang rumit ini.“Jawab saja siapa pria itu!” desak Raymond dengan tajam, matanya
“Raymond!” desisnya, suaranya penuh dengan keputusasaan dan rasa sesak yang melanda dadanya.Ayrin merasakan detakan jantungnya semakin cepat, seperti lonceng yang berdentang keras di telinganya. Dengan sisa-sisa tenaganya, dia menghambur ke depan. Mencekal pergelangan kaki Raymond dengan erat, menahannya agar tidak pergi.Bahkan, saat selimut yang menutupi tubuh polosnya tersingkap dan terhempas ke lantai, Ayrin tidak peduli. Yang terpenting bagi dia saat ini adalah mencegah Raymond meninggalkannya dengan amarah yang membara seperti itu.Bulir-bulir air matanya semakin meleleh ketika Raymond menyentakkan kakinya dengan gusar. Sekuat tenaga, ia merangkul kaki pemuda itu dan memeluknya dengan tubuh gemetarRaymond menoleh, matanya mencari sesuatu dalam tatapan Ayrin. Sejenak, tampaknya ia terpaku, melihat bagaimana wanita itu menggenggam erat kakinya, memohon dengan tatapan penuh rasa takut dan harapan.Ketika merasakan tungkai pem
Ayrin merasakan dadanya terasa sesak, ketika Raymond memeluknya dengan erat. Segala beban yang dia rasakan seolah-olah sirna saat tubuhnya berada dalam dekapan pemuda itu.“Maafkan aku karena tidak bisa menjagamu dengan baik, Lily,” desah Raymond, suaranya terdengar penuh penyesalan. Dia membiarkan wanita itu menangis sepuasnya di dadanya. “Seharusnya aku tidak membiarkanmu pergi dari kamarku!”Ayrin menggeleng lemah. “Aku ingin kembali, Ray! Aku tidak ingin melihatnya lagi!”“Kita akan pergi, Lily,” sahut Raymond lembut. “Kau tidak akan pernah melihatnya lagi!” Janji itu diucapkan dengan tekad yang bulat, seolah ingin memastikan Ayrin bahwa masa lalu yang kelam tidak akan menghan
Ketika Ayrin memilih bersembunyi di balik tubuh Raymond, hatinya berdegup kencang. Dia tidak tahan melihat wajah mantan suaminya lagi. Setiap detik yang berlalu terasa seperti siksaan, menyiksa hatinya yang sudah rapuh.“Untuk apa lagi kau datang?” geram Raymond sengit, matanya memancarkan api kemarahan. “Masih belum cukup kau mengganggunya?”Reygan menatap Raymond dengan dingin, tanpa terpengaruh oleh amarahnya. “Itu sama sekali bukan urusanmu.”Raymond melangkah maju, mencengkeram kerah kemeja Reygan dengan kuat. Ayrin langsung memeluknya dari belakang, mencoba menenangkan keadaan. “Sebaiknya kita pergi dari sini, Ray,” bisiknya lemah, mencoba meredakan kemarahan pemuda itu.Dengan berat hati, Raymond melepaskan cengkrama
Ayrin memandang kosong ke luar jendela, tatapan matanya terlihat menyelam dalam dalam pikirannya sendiri. Sebuah tatapan yang terlalu sering dilihat oleh Raymond dalam beberapa minggu terakhir.“Masih belum bisa melupakannya, Lily?” Raymond bertanya dengan suara lembut, tetapi penuh kekhawatiran. Dia melihat betapa Ayrin tampak terpuruk setelah kembali dari perjalanan ke Indonesia, dan dia tidak tahu apa yang bisa dia lakukan untuk membantu kekasihnya itu.Ayrin menarik nafas dalam-dalam, berusaha menahan gelombang emosinya yang mendesak untuk pecah. “Bagaimana aku bisa melupakannya, Ray? Luka yang dia berikan kali ini jauh lebih dalam,” keluhnya dalam hati, meskipun dia mencoba memaksa senyumnya muncul di bibirnya.Raymond mendekatinya dan dengan lembut memeluk Ayrin. Dia bisa merasakan geta
Ayrin duduk dengan gelisah di sebuah bangku kayu yang menghadap kolam. Hatinya dipenuhi dengan berbagai perasaan, harapan, dan kecemasan. Dia terus memandangi jalan setapak yang mengarah ke taman, menunggu kehadiran Lily. Frans telah berjanji untuk membawa gadis itu ke sana, dan saat itu akhirnya tiba.Ketika Lily muncul di kejauhan, melangkah mendekatinya dengan perlahan, Ayrin merasa ada kehangatan yang tak bisa dijelaskan dalam hatinya. Gadis itu tumbuh menjadi remaja cantik, penuh pesona, namun di mata Ayrin, Lily masih seperti anak kecil yang dulu pernah hilang dari pelukannya.Mereka saling pandang untuk beberapa saat, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Keheningan itu begitu penuh makna, seolah semua yang ingin mereka katakan sudah tercurah dalam tatapan mereka."Lily..." suara Ayrin bergetar saat dia akhirny
Frans tampak gelisah ketika dia menemui Ayrin di tempat prakteknya. Sejenak mereka hanya saling bertatapan, seolah kata-kata yang ingin diucapkan Frans begitu berat untuk disampaikan."Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan, Rin," kata Frans akhirnya, suaranya terdengar gemetar.Ayrin menatapnya dengan cemas. "Ada apa sih, Frans? Kenapa akhir-akhir ini kamu aneh sekali?" desaknya, penasaran dan khawatir karena tidak biasanya Frans datang ke tempat prakteknya dengan ekspresi seperti ini."Kamu tidak sakit, kan?" tuntutnya lagi dengan nada gemetar, takut kalau-kalau ada sesuatu yang buruk terjadi pada sahabatnya.Frans menggelengkan kepalanya perlahan, tatapannya penuh kebimbangan. Dia menatap Ayrin dengan lekat, seakan mencari keberanian dalam pandangannya sebelum akhirnya
"Selamat datang, silakan duduk," sambut Ayrin dengan senyum tulus, matanya berbinar-binar bahagia.Lily dan Frans duduk di tempat yang telah disiapkan, dan tanpa menunggu lama, mereka mulai menyantap hidangan yang telah tersedia. Suasana terasa nyaman dan akrab, seolah mereka sudah menjadi satu keluarga besar."Wah, masakan Tante memang oke juga," puji Lily dengan jujur setelah mencicipi satu suapan. "Semuanya enak, Tan."Ayrin baru akan menjawab, tetapi Rania dengan cepat menyela. "Iya, dong. Masakan Mama emang yang paling enak," ujarnya penuh kebanggaan. Pujian itu membuat semua orang di meja makan tersenyum."Kalau begitu, aku main ke sini setiap hari deh, biar bisa makan enak terus," goda Lily sambil melirik ke arah Rania.
Setelah semua ketegangan ini mereda, Ayrin dan Reygan kembali ke rumah mereka sambil saling bergandengan tangan, perasaan lega dan bahagia terpancar dari wajah mereka."Hai, Sayang," sapa mereka pada anak-anaknya yang tengah duduk bersama di ruang keluarga. Rian dan Rania, yang sedang asyik dengan aktivitas mereka, segera menoleh bersamaan. Melihat kedua orang tuanya datang bersama dengan senyum bahagia membuat hati mereka meledak oleh kebahagiaan."Mama dan Papa nggak akan berpisah, kan?" tanya Rian dengan hati-hati setelah beberapa saat lamanya mereka duduk bersama. Ada kekhawatiran di balik tatapan matanya yang polos, kekhawatiran akan perpisahan yang mungkin terjadi lagi.Reygan tersenyum sambil menoleh ke arah Ayrin, tatapannya penuh kasih. "Bodoh kalau Papa melepaskan wanita sebaik Mama, Rian," katanya dengan
Setelah akhirnya pulih, Ayrin memutuskan untuk menemui Lily bersama Reygan.Saat mereka masuk, mata Lily menatap mereka dengan perasaan campur aduk. Tidak ada lagi sorot tajam dan kebencian seperti dulu. Yang terlihat di sana hanyalah penyesalan yang mendalam. Gadis itu menundukkan kepalanya, suaranya gemetar saat berkata, "Maafkan Lily, Tante. Maafkan sikap Lily selama ini."Ayrin merasakan gelombang kesedihan mengalir di hatinya. Dia mendekati Lily dengan langkah pelan dan mendekap tubuh gadis itu dengan lembut. "Maafkan Tante juga, Lily. Maaf karena sikap Tante membuatmu salah paham. Maaf karena membuatmu tidak nyaman selama ini," balasnya dengan suara bergetar.Lily pun menangis, menumpahkan segala penyesalan dan kesedihannya di dada Ayrin. Dalam dekapan hangat itu, semua ketegangan yang selama ini a
Ayrin menatap wajah Lily yang pucat di ranjang rumah sakit sebelum operasi transplantasi ginjal yang sebentar lagi akan dilakukan. Hatinya serasa diremas melihat betapa rapuhnya gadis itu. Di dalam hatinya, ada perasaan yang tak terlukiskan. Entah dari mana datangnya perasaan ini, setiap kali berada di samping gadis ini, dia merasakan ada tali tak kasat mata yang mengikat mereka, seolah-olah Lily adalah bagian dari dirinya sendiri.Dengan lembut, Ayrin membelai kepala Lily, sentuhan yang penuh kasih dan kelembutan, seakan gadis itu adalah anaknya sendiri. "Cepatlah sembuh, Lily. Cepatlah kembali pulih. Izinkan Tante meminta maaf padamu. Izinkan Tante menjelaskan semuanya," bisik Ayrin dengan suara yang hangat namun penuh harap. Matanya berkaca-kaca, berharap agar gadis itu segera membuka mata indahnya lagi.Jika dulu Ayrin sangat tidak menyukai tatapan Lily yan
Reygan duduk di sudut ruang tunggu rumah sakit, dengan tatapan kosong yang menatap ke langit-langit putih yang terang. Setiap hari, ia merasa tersiksa oleh pertanyaan tak terjawab dan rasa bersalah yang membelit hatinya. Air mata sering kali tak bisa ia tahan lagi, mengalir deras ketika melihat Rania yang terbaring tak sadarkan diri di ranjang perawatan, dan Lily yang masih berjuang untuk hidupnya."Kalau memang dosa-dosaku lah yang menyebabkan semua ini. Tolong limpahkan semuanya padaku, Tuhan. Jangan pada anak istriku. Mereka tidak bersalah. Akulah yang penuh dosa," gumam Reygan dengan suara gemetar, bibirnya bergetar dalam keputusasaan yang mendalam.Tidak hanya Reygan yang dihantui rasa bersalah yang mendalam, tetapi juga Frans. Setiap hari, pria itu duduk di sisi ranjang Lily, memegang tangannya yang lemah, membelai rambutnya dengan penuh kasih sayang. Kat
Reygan melangkah masuk ke dalam klub malam yang gemerlap, tempat di mana dia pertama kali bertemu dengan Lily. Lampu berwarna-warni yang berkedip-kedip dan musik yang menghentak keras tidak mampu mengalihkan perhatiannya dari kekhawatiran yang menghimpit hatinya. Dia menelusuri setiap sudut klub, berharap menemukan gadis itu di antara kerumunan orang. Namun, sia-sia. Lily tidak terlihat di mana pun."Di mana kamu, Lily?" bisiknya putus asa pada diri sendiri, suaranya tenggelam di tengah bisingnya musik. Rasa bersalah semakin mencengkeram hatinya dengan setiap detik yang berlalu tanpa menemukan gadis itu.Dia hampir tergoda untuk mengalihkan perasaannya dengan segelas minuman. Namun, saat tangan terulur menuju bar, ponselnya bergetar. Panggilan dari Ayrin menyentak kesadarannya."Lily, Mas. Kami sudah bertemu d
Ayrin dan Reygan kembali bersama ke rumah sakit. Langkah mereka terayun mantap, seakan sudah menemukan keputusan besar yang akan mengubah segalanya. Ketika Frans melihat mereka, matanya langsung menangkap sinyal yang jelas—Ayrin telah membuat keputusan untuk memaafkan suaminya."Jadi, inikah kejutannya?" kata Frans dengan tenang, matanya yang penuh pengertian menatap dalam ke mata Ayrin. Setelah Reygan pergi ke sudut lain ruangan untuk memberi keduanya privasi, mereka akhirnya mendapatkan kesempatan untuk berbicara."Maafkan aku, Frans," gumam Ayrin sambil menundukkan kepalanya, jemarinya saling meremas dengan gelisah. Dia merasa berat untuk mengucapkan kata-kata itu, tetapi tahu bahwa dia harus melakukannya.Frans mendekat dan memegang kedua pundak Ayrin dengan lembut namun tegas, memaksa wanita itu men