Di tengah keheningan rumah, suara tawa ceria Rania memecah suasana. "Papa...!" serunya dengan penuh semangat saat melihat ayahnya sedang duduk di ruang tamu, tenggelam dalam bacaan korannya. Reygan segera menurunkan koran, menangkap tubuh putrinya yang melompat ke arahnya dengan gesit, lalu memeluknya erat penuh kerinduan.
"Nia kangen banget sama Papa. Kenapa perginya lama banget sih, Pa?" tanya Rania sambil melepaskan diri dan menatap wajah ayahnya dengan mata berbinar.
"Maafkan Papa ya, Sayang," jawab Reygan sambil meremas pipi anaknya dengan lembut, merasakan kehangatan yang hanya bisa diberikan oleh putrinya.
Namun, perlakuan berbeda datang dari Rian. Anak itu menjadi lebih pendiam. Saat melihat ayahnya pulang, dia hanya menyapa sekilas sebelum pergi ke meja makan.
Di kamar yang sama, namun terpisah di ranjang masing-masing, Ayrin dan Reygan tenggelam dalam pikiran mereka sendiri. Ayrin menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya mengumpulkan keberanian untuk berbicara."Mulai besok aku akan pindah, Mas," desah Ayrin dengan suara parau. Dia menatap langit-langit kamar, mencoba menahan gejolak perasaan yang menghimpit dadanya.Reygan, yang juga terperangkap dalam pikirannya sendiri, menoleh pelan. "Biar saya saja yang pergi, Rin," sahutnya dengan tenang yang dipaksakan. "Sejak awal ini rumahmu. Jadi, kamu yang lebih berhak."Ayrin tersenyum pahit. Bagaimana mungkin dia bisa tinggal di rumah ini, di mana setiap sudutnya menyimpan bayang-bayang masa lalu yang menyakitkan, kenangan yang tak bisa dia hapus begitu saja? "Aku nggak bisa tinggal di sini," katanya dengan suara getir. "Rasanya terlalu menyakitkan."Reygan terdiam, hatinya teriris mendengar kepahitan dalam suara istrinya. Dia tahu luka yang dia berikan terlalu dalam. "Maafkan saya, Rin. Kar
Ayrin menikmati minumannya seorang diri di salah satu lounge bar yang elegan di London. Lampu-lampu temaram memberikan kesan hangat, sementara suara denting gelas dan tawa riang dari pengunjung lain mengisi udara.Ayrin, duduk di pojok dengan segelas wine di tangannya, merasa sedikit terasing di tengah keramaian itu. Dia tenggelam dalam pikirannya, mengabaikan hiruk-pikuk di sekitarnya.Di seberang ruangan, seorang pria paruh baya dengan kemeja lengan pendek yang rapi, memperhatikannya. Dengan langkah mantap, dia mendekati meja Ayrin. "Selamat malam," sapanya dengan nada ramah, menghentikan lamunan Ayrin.Ayrin mendongak dengan enggan. Di depannya, berdiri seorang pria dengan senyuman hangat dan kacamata yang menambah kesan bersahabat. "Maaf, mengganggu. Boleh saya duduk di sini? Kebetulan semua meja sudah pen
Ayrin menatap pria di sampingnya dengan tatapan tak percaya. Bagaimana bisa takdir membawanya kembali bertemu dengan Frans di dalam pesawat yang sama? Perasaan campur aduk berkecamuk dalam dirinya, antara heran, takjub, dan sedikit tidak nyaman."Takdir yang aneh," gumam Ayrin dalam hati, sambil mencoba mengendalikan emosinya.Awalnya Ayrin memang tidak mengenalinya. Namun, saat pria itu menyapanya dengan senyuman khasnya, dia baru sadar jika pria yang duduk di sampingnya adalah Frans, pria yang pernah ditemuinya di bar London beberapa waktu lalu."Sudah habis liburannya?" tanya Frans dengan ramah, memecah kebekuan di antara mereka."Saya datang ke sini bukan untuk liburan," jawab Ayrin datar sambil menatap ke arah luar jendela, mencoba menghindari tatapan Frans. L
Ketika pesawat mereka mendarat dengan selamat, Frans dan Ayrin melangkah keluar bersama. Langit senja di bandara memberi suasana tenang yang anehnya kontras dengan perasaan kacau di dalam hatinya. Kini, Ayrin sudah merasa sedikit lebih nyaman dengan Frans karena sikap pria itu yang ternyata jauh dari bayangannya. Dia tidak tampak seperti pria yang hanya ingin menggoda wanita."Memikirkan apa, Bu dokter?" tanya Frans sambil menoleh ke arah Ayrin yang tertangkap basah sedang memperhatikannya. Ada senyum tipis di bibirnya, menambah kesan ramah yang sudah dimiliki sejak awal."Pikiran saya banyak sekali," sahut Ayrin dengan gelagapan. Dia langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain, merasa sedikit malu.Frans menahan tawanya sambil mengangguk. "Baiklah. Saya sangat percaya."
Ayrin membelalak tak percaya ketika melihat Frans di rumah sakit tempat dia bekerja. Terlebih lagi, dia tak menyangka jika pria itu adalah direktur rumah sakit yang baru."Halo, Bu Dokter. Senang sekali kita bisa bertemu lagi di sini," sapa Frans sambil menatap Ayrin yang masih tertegun di tempatnya. Pria itu mengenakan jas dokter yang rapi, senyumnya yang hangat mengingatkan Ayrin pada pertemuan pertama mereka di lounge bar London beberapa bulan lalu."Bolehkah saya memeriksakan kesehatan jantung saya?" bisik Frans dengan nada menggoda, membuat lamunan Ayrin buyar seketika."Ah, ya. Dokter Frans," kata Ayrin dengan terbata-bata, berusaha menguasai dirinya."Kamu boleh tetap memanggil saya Frans," sahut pria itu sambil tersenyum.
Ayrin menatap kosong ke luar jendela, pikirannya kembali melayang ke wajah-wajah anaknya yang penuh kesedihan. Tiba-tiba, suara lembut Frans membuyarkan lamunannya, "Masih memikirkan mereka?" tanyanya dengan penuh perhatian.Ayrin menghela napas panjang, matanya berkaca-kaca. "Aku merasa sangat jahat pada mereka, Frans. Kalau saja aku bisa memaafkan suamiku. Barangkali semuanya tidak akan menjadi seperti ini," ucapnya dengan suara bergetar, air mata mulai mengalir di pipinya.Frans, yang berdiri di sampingnya, dengan lembut merangkul Ayrin, mencoba menenangkan gejolak hatinya. "Jangan terlalu menyalahkan diri sendiri, Rin. Kamu juga hanyalah korban dari kesalahan suamimu di masa lalu."Ayrin melepaskan tangisnya di dada Frans, menumpahkan segala kepedihan yang selama ini ditahannya. "Tapi kenapa anak-anakku harus ik
Suara langkah kaki Dokter Rasyid yang mendekat terdengar seperti dentuman keras di telinga Ayrin. Dia tahu, kabar yang akan disampaikan rekannya itu bukanlah kabar baik. Namun, hatinya tetap berharap, berdoa dalam hati agar semuanya hanya mimpi buruk. Namun, ketika kata-kata itu meluncur dari bibir pria itu, dunianya runtuh."Rania koma, Rin," kata Dokter Rasyid dengan suara lembut namun penuh keprihatinan."Koma?" ulang Ayrin hampir histeris. Anaknya koma? Ya Tuhan! Cobaan apa lagi yang kau berikan padaku? Pikirannya kacau, tubuhnya gemetar hebat.Ayrin hampir saja terjatuh kalau saja Frans tidak sigap menahannya. "Tenanglah, Rin. Kamu harus kuat demi Rania," bisik Frans, mencoba menenangkan sahabatnya itu, meski dirinya sendiri juga sangat terpukul oleh kabar tersebut.
Dalam keadaan rapuh seperti ini, Reygan merasa tak berdaya. Seperti kapal tanpa kemudi yang terombang-ambing di tengah lautan gelap, dia merasa tak berguna dan tidak dibutuhkan.Setiap hari, pikirannya dipenuhi oleh bayangan suram yang terus menggerogoti hatinya. Berkali-kali, dia berpikir untuk mengakhiri hidupnya, tetapi saat membayangkan wajah-wajah ceria anak-anaknya, terutama Rania, pikiran itu segera dienyahkan."Rania sayang, Papa. Sayang sekali pokoknya." Suara lembut dan penuh kasih Rania terus terngiang dalam benaknya, seperti lagu yang terus diputar tanpa henti. Ingatan itu membuat setetes air matanya jatuh perlahan ke pipi."Maafkan Papa ya, Nia. Gara-gara dosa Papa kamu jadi seperti ini," gumam Reygan pada dirinya sendiri, dengan suara penuh penyesalan. Dadanya terasa sesak, hatinya re
Ayrin duduk dengan gelisah di sebuah bangku kayu yang menghadap kolam. Hatinya dipenuhi dengan berbagai perasaan, harapan, dan kecemasan. Dia terus memandangi jalan setapak yang mengarah ke taman, menunggu kehadiran Lily. Frans telah berjanji untuk membawa gadis itu ke sana, dan saat itu akhirnya tiba.Ketika Lily muncul di kejauhan, melangkah mendekatinya dengan perlahan, Ayrin merasa ada kehangatan yang tak bisa dijelaskan dalam hatinya. Gadis itu tumbuh menjadi remaja cantik, penuh pesona, namun di mata Ayrin, Lily masih seperti anak kecil yang dulu pernah hilang dari pelukannya.Mereka saling pandang untuk beberapa saat, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Keheningan itu begitu penuh makna, seolah semua yang ingin mereka katakan sudah tercurah dalam tatapan mereka."Lily..." suara Ayrin bergetar saat dia akhirny
Frans tampak gelisah ketika dia menemui Ayrin di tempat prakteknya. Sejenak mereka hanya saling bertatapan, seolah kata-kata yang ingin diucapkan Frans begitu berat untuk disampaikan."Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan, Rin," kata Frans akhirnya, suaranya terdengar gemetar.Ayrin menatapnya dengan cemas. "Ada apa sih, Frans? Kenapa akhir-akhir ini kamu aneh sekali?" desaknya, penasaran dan khawatir karena tidak biasanya Frans datang ke tempat prakteknya dengan ekspresi seperti ini."Kamu tidak sakit, kan?" tuntutnya lagi dengan nada gemetar, takut kalau-kalau ada sesuatu yang buruk terjadi pada sahabatnya.Frans menggelengkan kepalanya perlahan, tatapannya penuh kebimbangan. Dia menatap Ayrin dengan lekat, seakan mencari keberanian dalam pandangannya sebelum akhirnya
"Selamat datang, silakan duduk," sambut Ayrin dengan senyum tulus, matanya berbinar-binar bahagia.Lily dan Frans duduk di tempat yang telah disiapkan, dan tanpa menunggu lama, mereka mulai menyantap hidangan yang telah tersedia. Suasana terasa nyaman dan akrab, seolah mereka sudah menjadi satu keluarga besar."Wah, masakan Tante memang oke juga," puji Lily dengan jujur setelah mencicipi satu suapan. "Semuanya enak, Tan."Ayrin baru akan menjawab, tetapi Rania dengan cepat menyela. "Iya, dong. Masakan Mama emang yang paling enak," ujarnya penuh kebanggaan. Pujian itu membuat semua orang di meja makan tersenyum."Kalau begitu, aku main ke sini setiap hari deh, biar bisa makan enak terus," goda Lily sambil melirik ke arah Rania.
Setelah semua ketegangan ini mereda, Ayrin dan Reygan kembali ke rumah mereka sambil saling bergandengan tangan, perasaan lega dan bahagia terpancar dari wajah mereka."Hai, Sayang," sapa mereka pada anak-anaknya yang tengah duduk bersama di ruang keluarga. Rian dan Rania, yang sedang asyik dengan aktivitas mereka, segera menoleh bersamaan. Melihat kedua orang tuanya datang bersama dengan senyum bahagia membuat hati mereka meledak oleh kebahagiaan."Mama dan Papa nggak akan berpisah, kan?" tanya Rian dengan hati-hati setelah beberapa saat lamanya mereka duduk bersama. Ada kekhawatiran di balik tatapan matanya yang polos, kekhawatiran akan perpisahan yang mungkin terjadi lagi.Reygan tersenyum sambil menoleh ke arah Ayrin, tatapannya penuh kasih. "Bodoh kalau Papa melepaskan wanita sebaik Mama, Rian," katanya dengan
Setelah akhirnya pulih, Ayrin memutuskan untuk menemui Lily bersama Reygan.Saat mereka masuk, mata Lily menatap mereka dengan perasaan campur aduk. Tidak ada lagi sorot tajam dan kebencian seperti dulu. Yang terlihat di sana hanyalah penyesalan yang mendalam. Gadis itu menundukkan kepalanya, suaranya gemetar saat berkata, "Maafkan Lily, Tante. Maafkan sikap Lily selama ini."Ayrin merasakan gelombang kesedihan mengalir di hatinya. Dia mendekati Lily dengan langkah pelan dan mendekap tubuh gadis itu dengan lembut. "Maafkan Tante juga, Lily. Maaf karena sikap Tante membuatmu salah paham. Maaf karena membuatmu tidak nyaman selama ini," balasnya dengan suara bergetar.Lily pun menangis, menumpahkan segala penyesalan dan kesedihannya di dada Ayrin. Dalam dekapan hangat itu, semua ketegangan yang selama ini a
Ayrin menatap wajah Lily yang pucat di ranjang rumah sakit sebelum operasi transplantasi ginjal yang sebentar lagi akan dilakukan. Hatinya serasa diremas melihat betapa rapuhnya gadis itu. Di dalam hatinya, ada perasaan yang tak terlukiskan. Entah dari mana datangnya perasaan ini, setiap kali berada di samping gadis ini, dia merasakan ada tali tak kasat mata yang mengikat mereka, seolah-olah Lily adalah bagian dari dirinya sendiri.Dengan lembut, Ayrin membelai kepala Lily, sentuhan yang penuh kasih dan kelembutan, seakan gadis itu adalah anaknya sendiri. "Cepatlah sembuh, Lily. Cepatlah kembali pulih. Izinkan Tante meminta maaf padamu. Izinkan Tante menjelaskan semuanya," bisik Ayrin dengan suara yang hangat namun penuh harap. Matanya berkaca-kaca, berharap agar gadis itu segera membuka mata indahnya lagi.Jika dulu Ayrin sangat tidak menyukai tatapan Lily yan
Reygan duduk di sudut ruang tunggu rumah sakit, dengan tatapan kosong yang menatap ke langit-langit putih yang terang. Setiap hari, ia merasa tersiksa oleh pertanyaan tak terjawab dan rasa bersalah yang membelit hatinya. Air mata sering kali tak bisa ia tahan lagi, mengalir deras ketika melihat Rania yang terbaring tak sadarkan diri di ranjang perawatan, dan Lily yang masih berjuang untuk hidupnya."Kalau memang dosa-dosaku lah yang menyebabkan semua ini. Tolong limpahkan semuanya padaku, Tuhan. Jangan pada anak istriku. Mereka tidak bersalah. Akulah yang penuh dosa," gumam Reygan dengan suara gemetar, bibirnya bergetar dalam keputusasaan yang mendalam.Tidak hanya Reygan yang dihantui rasa bersalah yang mendalam, tetapi juga Frans. Setiap hari, pria itu duduk di sisi ranjang Lily, memegang tangannya yang lemah, membelai rambutnya dengan penuh kasih sayang. Kat
Reygan melangkah masuk ke dalam klub malam yang gemerlap, tempat di mana dia pertama kali bertemu dengan Lily. Lampu berwarna-warni yang berkedip-kedip dan musik yang menghentak keras tidak mampu mengalihkan perhatiannya dari kekhawatiran yang menghimpit hatinya. Dia menelusuri setiap sudut klub, berharap menemukan gadis itu di antara kerumunan orang. Namun, sia-sia. Lily tidak terlihat di mana pun."Di mana kamu, Lily?" bisiknya putus asa pada diri sendiri, suaranya tenggelam di tengah bisingnya musik. Rasa bersalah semakin mencengkeram hatinya dengan setiap detik yang berlalu tanpa menemukan gadis itu.Dia hampir tergoda untuk mengalihkan perasaannya dengan segelas minuman. Namun, saat tangan terulur menuju bar, ponselnya bergetar. Panggilan dari Ayrin menyentak kesadarannya."Lily, Mas. Kami sudah bertemu d
Ayrin dan Reygan kembali bersama ke rumah sakit. Langkah mereka terayun mantap, seakan sudah menemukan keputusan besar yang akan mengubah segalanya. Ketika Frans melihat mereka, matanya langsung menangkap sinyal yang jelas—Ayrin telah membuat keputusan untuk memaafkan suaminya."Jadi, inikah kejutannya?" kata Frans dengan tenang, matanya yang penuh pengertian menatap dalam ke mata Ayrin. Setelah Reygan pergi ke sudut lain ruangan untuk memberi keduanya privasi, mereka akhirnya mendapatkan kesempatan untuk berbicara."Maafkan aku, Frans," gumam Ayrin sambil menundukkan kepalanya, jemarinya saling meremas dengan gelisah. Dia merasa berat untuk mengucapkan kata-kata itu, tetapi tahu bahwa dia harus melakukannya.Frans mendekat dan memegang kedua pundak Ayrin dengan lembut namun tegas, memaksa wanita itu men