"Kita ke pasar malam, kamu mau?"Pria tiga puluh dua tahun itu duduk di pinggir ranjang, menatap wanita yang berdiri di depan cermin, melihat pantulan diri. Sudah tiga puluh menit lebih ia menanti, tak kunjung selesai. Mereka selesai bersih-bersih, ganti baju dan tinggal pulang ke rumah. Lingga menoleh, wajahnya telah dilapisi riasan tipis, rambutnya tergerai dengan dibuat ikal di bawahnya. Ia mengenakan kaos polos milik Pramudita beberapa tahun lalu berwarna krem dengan celana panjang berwarna hitam. Kakinya melangkah mendekati Pramudita, lalu duduk di sebelah pria tersebut."Di mana ada pasar malam, Mas?" tanya Linggar penuh antusias, kedua bola matanya berbinar."Kamu mau ke sana? Kalau mau nanti kita mampir," jawab Pramudita, pandangannya terpaku pada ponsel digenggaman. "Nanti kita ke sana, tidak jauh dari sini kok.""Aku mau, Mas, sudah lama tidak ke pasar malam. Bagaimana jika kita langsung ke sana, Mas? Biar nanti tidak terlalu larut malam," ajak Linggar. Pramudita menganggu
Tangan kanan menenteng tas kerja dan tangan kiri menenteng tas bekal. Wajah pria itu sumringah, bahkan satu persatu sapaan dari karyawan yang dijumpai selalu dibalas beserta senyuman tipis. Hampir setiap karyawannya melihat dengan tatapan tak percaya. Momen langka yang tak akan mungkin ditemui di hari lainnya. "Ada apa hari ini?" Senopati terkekeh, melipat kedua tangannya di depan dada. "Hormon bahagia sedang bekerja. Kamu kenapa?"Tak menggubris, Pramudita memilih masuk ke ruangannya. Meletakkan tas bekal dan tas kerja di atas meja, kemudian meregangkan otot-otot tangan yang terasa kaku. Senopati masih mengikuti hingga turut masuk ke dalam ruangan Pramudita. Pria itu penasaran atas apa yang terjadi dengan bosnya."Kamu berbeda sekali. Ada apa hari ini? Tidak seperti hari biasanya. Apa kamu sudah baikan dengan istrimu?" Senopati tersenyum kecil.Pramudita mengendurkan kancing jasnya, menarik kursi duduknya, lantas menghempaskan tubuhnya di sana. Ia menyandarkan bahunya, senyuman tak
"Kamu butuh kopi," ucap wanita dengan rambut dikuncir kuda itu, kacamata hitam bertengger di hidungnya. Ia menyodorkan segelas kopi ke hadapan pria yang tengah frustasi di pinggir taman itu. "Maaf, kita pernah saling kenal?" Pria itu melirik sekilas, alisnya terangkat. "Sepertinya salah orang." Wanita itu membuang napas kasar, kemudian meletakkan gelas kopi itu dipangkuan sang pria. "Tentu saja tidak. Antara aku dan kamu memang tidak saling mengenal, tapi aku tahu kamu. Jelasnya kamu tidak mungkin mengenal aku." Pria itu semakin tidak mengerti, kerutan muncul di dahi. Mengingat satu persatu orang yang ia temui beberapa hari belakang, sayangnya buntu. Tak ingat sedikit saja wajah wanita itu pernah dijumpai sebelumnya. Bahkan sekilas bertemu pun tidak pernah. "Siapa kamu? Ada urusan apa denganku? Aku rasa tidak memiliki urusan apa pun dengan seseorang." Pria itu membuang muka. "Aku memiliki maksud dan tujuan baik menemuimu." Senyuman miring terbit tipis di wajah wanita itu. "Aku in
"Mengapa banyak yang ganjil ya? Data di kasir dan data yang direkap oleh Mbak Rinjani, semua beda. Siapa yang salah sebenarnya? Apa mungkin ada kecurangan? Sejauh ini aku selalu percaya dengan Mbak Rinjani, apa mungkin dia berani mengkhianati kepercayaan yang telah aku berikan?" Linggar mengerutkan dahinya, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk pelan di atas meja."Bulan kemarin masih sama, kenapa minggu ini terlihat berbeda? Ke mana uang sepuluh juta?" Ia membuka laci, mencari rekap data bulan sebelumnya. Membandingkan hasil kedua rekapan, terpaut hanya kurang lebih satu minggu, tapi memiliki banyak perbedaan. Linggar terduduk. "Selisihnya banyak sekali. Apa mungkin selama ini ada yang mencurangi keuangan toko? Siapa yang selama ini sudah memanipulasi? Jadi... yang mana yang benar?"Bulan kemarin, tercatat keuntungan sebesar dua puluh juta rupiah. Antara data kasir dan data yang telah Rinjani rekap sama persis, tak ada yang berbeda. Tapi, untuk minggu pertama di bulan ini keutungan yang
Senyap. Rumah berukuran sepuluh meter kali delapan meter itu, tak terlihat adanya aktivitas di dalamnya. Sang empu terbelenggu di dalam kamar masing-masing, terjerembab atas pikiran buruk yang semakin menyita perhatian. Tak ada yang menuruni egonya, membiarkan suasana terus memanas tanpa ada kejelasan yang tepat dari masalah tersebut.Pramudita duduk di tepi ranjang tidur, jari-jarinya saling tertaut. Saat itu pikiran terus terpaku pada wanita yang berada di ruangan samping kamarnya. Rasa hati ingin mengambil ponselnya lantas mengirimkan pesan untuk wanita itu. Bertanya tentang keadaan malam ini. Lewat tengah malam, matanya tak ingin terpejam."Apa yang sedang Enggar lakukan di kamarnya ya?" Pramudita mengacak-acak rambutnya. "Apa mungkin dia sudah tertidur pulas? Bagaimana cara dia tertidur pulas tanpa memikirkan beban?"Ia menjatuhkan diri dengan tangan terlentang, menatap langit-langit kamar. Embusan napas terasa berat dan kasar. Pikiran masih terpatri atas buket bunga tanpa tahu s
"Aku yakin perempuan cantik ini belum sempat sarapan pagi." Suara berat itu menginterupsi, kemudian satu kotak susu cokelat dan satu bungkus nasi kuning mendarat di hadapannya. "Aku bawakan nasi kuning, aku yakin kamu belum sarapan pagi ini."Linggar mengangkat wajahnya, memandang lekat pria yang duduk di hadapannya tanpa permisi. Ia membuang napas kasar, memilih mengalihkan pandangan. Rasa hatinya semakin malas, terlebih raganya belum menerima asupan sarapan membuat tambah lemas. "Apa yang kamu lakukan di sini, Jodi? Apa kamu tidak bekerja hari ini?" Wanita itu melipat kedua tangannya di atas meja, wajah kusut dan datar. "Aku sengaja lewat, Nggar. Kebetulan aku tadi lihat ada yang jual nasi kuning, aku ingat kamu, Nggar. Jadi, aku beli untuk kamu, sekalian lewat sini. Kamu kenapa di sini?" Jodi, pria yang ditemui di pasar malam itu, masih ada rasa dongkol sekaligus kesal dalam hati Linggar.Terdiam sejenak, Linggar membuang napas sebelum akhirnya menjawab, "Ini masih lingkup toko k
"Mbak, kamu tidak salah pecat aku secara tidak hormat seperti ini? Bahkan kamu sendiri tidak menjelaskan di mana letak kesalahan yang sudah aku perbuat. Jika kamu tidak suka denganku, jangan permalukan aku di depan karyawan lainnya. Sama saja menginjak harga diriku." Linggar menarik napas dan membuang perlahan. "Tidak ada maksud mempermalukan pihak mana pun, Mbak. Tapi, perlakuan yang Mbak Rinjani lakukan itu salah dan membuat kepercayaan yang sudah aku berikan menjadi rusak. Kecurangan dan kebohongan yang Mbak Rinjani lakukan ini sudah mengkhianati peraturan toko, Mbak.""Seluruh hal yang Mbak Rinjani lakukan pun menimbulkan kerugian yang tidak sedikit untuk aku pribadi dan juga toko. Padahal Mbak Rinjani tahu sendiri, bisnis ini aku rintis dengan jerih payahku sendiri. Kenapa malah Mbak Rinjani tega melakukan kecurangan, Mbak?" "Apa buktinya, Mbak? Kamu jangan asal menuduh ya, padahal tidak punya bukti." Rinjani tak tinggal diam, suaranya semakin meninggi melebihi Linggar. "Kamu t
"Mas Pram, Dik Enggar, Kalian dari mana?" Wanita itu tersenyum miring, menatap pasangan suami istri itu dari atas hingga bawah. "Aku tidak salah lihat, kalian berdua makan malam di sini? Hanya berdua saja?""Memangnya ada yang salah, Mbak? Bukannya kamu dan Mas Dipta pun sering makan malam berdua di luar? Lalu, di mana letak kesalahan kita?" Tatapan Linggar mendelik tak suka. "Sekarang kenapa kamu sendirian, Mbak? Bukankah menurutmu pasangan itu selalu ke mana-mana bersama?"Mata cokelat Gendhis berkilat-kilat, dadanya bergemuruh dengan tangan mengepal. "Pasangan itu saling mencintai, Dik Enggar, bukan hanya salah satu saja yang jatuh cinta. Lantas, jika pasangan tidak ada yang saling jatuh cinta itu namanya apa? Berakting, 'kah? Atau mungkin bersandiwara?" Linggar membuang napas, memutar matanya malas. "Jika pun belum mencintai satu sama lain, tidak pernah putus asa dan menyerah begitu saja, 'kan? Cinta itu ada karena terbiasa, bukan? Jika sudah saling terbuka, aku rasa tidak akan m