"Aku yakin perempuan cantik ini belum sempat sarapan pagi." Suara berat itu menginterupsi, kemudian satu kotak susu cokelat dan satu bungkus nasi kuning mendarat di hadapannya. "Aku bawakan nasi kuning, aku yakin kamu belum sarapan pagi ini."Linggar mengangkat wajahnya, memandang lekat pria yang duduk di hadapannya tanpa permisi. Ia membuang napas kasar, memilih mengalihkan pandangan. Rasa hatinya semakin malas, terlebih raganya belum menerima asupan sarapan membuat tambah lemas. "Apa yang kamu lakukan di sini, Jodi? Apa kamu tidak bekerja hari ini?" Wanita itu melipat kedua tangannya di atas meja, wajah kusut dan datar. "Aku sengaja lewat, Nggar. Kebetulan aku tadi lihat ada yang jual nasi kuning, aku ingat kamu, Nggar. Jadi, aku beli untuk kamu, sekalian lewat sini. Kamu kenapa di sini?" Jodi, pria yang ditemui di pasar malam itu, masih ada rasa dongkol sekaligus kesal dalam hati Linggar.Terdiam sejenak, Linggar membuang napas sebelum akhirnya menjawab, "Ini masih lingkup toko k
"Mbak, kamu tidak salah pecat aku secara tidak hormat seperti ini? Bahkan kamu sendiri tidak menjelaskan di mana letak kesalahan yang sudah aku perbuat. Jika kamu tidak suka denganku, jangan permalukan aku di depan karyawan lainnya. Sama saja menginjak harga diriku." Linggar menarik napas dan membuang perlahan. "Tidak ada maksud mempermalukan pihak mana pun, Mbak. Tapi, perlakuan yang Mbak Rinjani lakukan itu salah dan membuat kepercayaan yang sudah aku berikan menjadi rusak. Kecurangan dan kebohongan yang Mbak Rinjani lakukan ini sudah mengkhianati peraturan toko, Mbak.""Seluruh hal yang Mbak Rinjani lakukan pun menimbulkan kerugian yang tidak sedikit untuk aku pribadi dan juga toko. Padahal Mbak Rinjani tahu sendiri, bisnis ini aku rintis dengan jerih payahku sendiri. Kenapa malah Mbak Rinjani tega melakukan kecurangan, Mbak?" "Apa buktinya, Mbak? Kamu jangan asal menuduh ya, padahal tidak punya bukti." Rinjani tak tinggal diam, suaranya semakin meninggi melebihi Linggar. "Kamu t
"Mas Pram, Dik Enggar, Kalian dari mana?" Wanita itu tersenyum miring, menatap pasangan suami istri itu dari atas hingga bawah. "Aku tidak salah lihat, kalian berdua makan malam di sini? Hanya berdua saja?""Memangnya ada yang salah, Mbak? Bukannya kamu dan Mas Dipta pun sering makan malam berdua di luar? Lalu, di mana letak kesalahan kita?" Tatapan Linggar mendelik tak suka. "Sekarang kenapa kamu sendirian, Mbak? Bukankah menurutmu pasangan itu selalu ke mana-mana bersama?"Mata cokelat Gendhis berkilat-kilat, dadanya bergemuruh dengan tangan mengepal. "Pasangan itu saling mencintai, Dik Enggar, bukan hanya salah satu saja yang jatuh cinta. Lantas, jika pasangan tidak ada yang saling jatuh cinta itu namanya apa? Berakting, 'kah? Atau mungkin bersandiwara?" Linggar membuang napas, memutar matanya malas. "Jika pun belum mencintai satu sama lain, tidak pernah putus asa dan menyerah begitu saja, 'kan? Cinta itu ada karena terbiasa, bukan? Jika sudah saling terbuka, aku rasa tidak akan m
"Kalau kamu disuruh untuk memilih, hidup bersama orang yang kamu cintai tapi dia selingkuh atau memilih hidup bersama orang yang belum kamu cinta tapi dia memberikan segalanya. Juga opsi terakhir pun tidak akan selingkuh, dia berjanji setia. Kamu memilih yang mana?" Pria itu fokus dengan langkah kakinya, menyusuri ruang tamu rumahnya.Kaki Linggar terhenti, ia menoleh dan menatap penuh tanya. Pertanyaan yang keluar dari bibir Pramudita membuat hati dan kepala memiliki banyak pemikiran tak terduga. Terlebih lagi pria itu tidak pernah membahas masalah sensitif seperti ini sebelum, terkesan aneh dan seolah ada sesuatu hal yang sedang dimaksudkan."Kenapa kamu bertanya seperti itu, Mas?" Kening Linggar bertumpuk-tumpuk, penasaran atas maksud terselubung dari pertanyaan Pramudita. "Tidak biasanya kamu bertanya seperti itu, Mas. Ada apa sebenarnya?"Tampak canggung, Pramudita berdehem pelan, menegakkan bahunya. "Tidak, tidak ada maksud apa-apa. Aku hanya bertanya saja, Enggar. Tiba-tiba saj
Siang itu panas cukup terik, tak seperti hari sebelumnya. Dengan perasaan sendu menyelimuti hati, Linggar berjalan seorang diri di trotoar dekat toko kuenya. Tangan kanan membawa kantong plastik hitam, sengaja mencari makan siang untuknya dan beberapa karyawan di toko.Ada hal yang mengganjal di dalam hatinya, terlebih dari sarapan hingga berangkat kerja tak ada sepatah kata punya gambaran keluar dari bibirnya dan juga bibir Pramudita. Mereka terkesan saling acuh dan tidak peduli, padahal satu sama lain saling memikirkan. "Apa mungkin pertanyaan kemarin terlalu menyinggung perasaan Mas Pram?" Linggar membuang napas, kemudian langkah kakinya terhenti sejenak. "Aku rasa tidak, memang mestinya Mas Pram harus mencintai aku sebagai istrinya."Wajahnya kusut dan tak begitu bersemangat seperti hari-harinya biasanya. Bahkan ia memilih berteduh di bawah pohon trembesi dekat trotoar. Termangu dengan seorang diri, ia berharap hubungannya dengan Pramudita segera membaik. Selama bersama mereka ti
Linggar menutup wajahnya dengan kedua tangannya, kantuk terasa tak dapat terelakkan. Beberapa hari terakhir ini ia sulit terlelap, pikiran tidak tenang menyangkut hubungan pernikahannya dengan Pramudita. Pembicaraan seminggu yang lalu terasa masih terngiang-ngiang di ingatannya. Padahal semua setelah itu hubungan mereka kembali membaik, kemarin pun Pramudita inisiatif mengajak berangkat bersama dan pulang pun dijemput.Perlahan hubungan keduanya mengarah ke yang lebih baik, malah semakin akur dan saling mengisi. Linggar bahagia melihat hubungannya menjadi seperti yang ia harapkan. Di satu sisi, ia pun takut sekaligus khawatir jika suatu saat nanti kebahagiaan itu akan pergi dari hidupnya. Pramudita masih berpegang teguh pada perjanjian yang telah mereka tanda tangani. Tak ada yang bisa merubah hal itu kecuali Pramudita jatuh cinta dengannya.Matanya memerah, bibirnya beberapa kali terlihat menguap. "Padahal baru jam satu, kenapa mengantuk sekali ya? Apa lebih baik aku belanja bahan-ba
Sedang menari-nari banyak pikiran di dalam kepala Linggar. Ia termenung di mini bar dapur kesayangannya, tangan kanan mengaduk sendok di cangkir kopinya. Di depan tersaji kroisan satu kotak penuh dengan logo toko kue miliknya tertera di sana. Sayangnya, wajah Linggar tampak tidak bahagia, malah terlihat suntuk. Beberapa kali ia membuang napas, mengusap wajahnya kasar. Hati dan pikirannya semakin terasa tidak tenang. Lirikan matanya tak henti-henti pada jam yang melingkar manis di pergelangan tangannya. Perasaan tidak menentu menunggu sang suami kembali ke rumah. Bahkan ia sengaja pulang lebih awal, hanya ingin membahas hal yang menurutnya cukup penting dibicarakan dengan Pramudita. Linggar memejamkan mata. Mengingat kembali tentang obrolannya tadi siang, banyak hal janggal dan membuat batinnya penuh tanda tanya. Ia memiliki banyak dugaan dan prasangka buruk. Bahkan sebelum suaminya menginjakkan kaki di rumah, tak akan hilang pikiran buruk itu menyerang kepalanya. "Kenapa Mas Pram l
"Dia tampan sekali, Ibu jadi ingat dengan anak sulung. Mungkin dia akan seusia suami kamu, Nak. Semoga saja dia tetap sehat dan bahagia di mana pun keberadaannya." Tidak dapat terlupa dari ingatan Linggar akan wajah dan gestur tubuh wanita paruh baya yang ia temui siang tadi. Ia merasa begitu dekat dan seperti telah mengenalnya lama, padahal ia yakin jika hari ini adalah pertemuan pertama untuk keduanya. Hatinya terasa tenang berada di dekat wanita itu yang mengaku namanya Kartini. Wajahnya anggun dan ayu sesuai dengan namanya. Linggar merasa seperti jatuh cinta pada pandangan yang pertama."Kenapa ya?" Linggar mengubah posisinya menjadi miring ke kanan, menatap tembok di depannya. "Kenapa aku memikirkan Bu Tin? Entah ini hanya kebetulan saja atau memang..., aku rasa tidak mungkin.""Bisa saja memang namanya sama. Ibu Tin dan Ibu dari Mas Pram hanya memiliki kesamaan nama saja," ucap Linggar. "Tapi, kenapa hatiku malah semakin tidak tenang seperti ini? Aku malah semakin penasaran den
"Kamu, kenapa senyam-senyum sendirian?" Wanita itu tampak tertawa, menatap wajah teman pria yang sedang tersenyum memegang ponsel di tangan. "Apa yang kamu lihat?" lanjutnya.Pria itu berdehem, wajahnya sumringah, kebahagiaan memancar begitu kental. Tidak ada keraguan sedikit saja. Ia memperlihatkan foto itu ke teman wanitanya, membuat tawa itu sirna dari garis wajahnya."Sudah lama aku suka sama dia, sayangnya aku tidak berani untuk mengungkapkan perasaan ini. Sepertinya selama ini pun dia hanya menganggap aku sebagai teman biasa saja. Menurut kamu bagaimana?" Pria itu menoleh.Kerutan di dahinya tampak semakin jelas. "Kamu kenapa cemberut? Apa kamu nggak suka aku ada perasaan sama dia?"Wanita itu menggelengkan kepalanya kuat, kemudian memunculkan senyuman penuh dengan kehangatan. "Siapa bilang? Aku bahagia sekali!""Apa saja yang sahabat aku lakukan, pasti aku bahagia!" Wanita itu bersorak dengan mengepalkan tangan ke depan."Terima kasih, Rim. Kamu tahu tidak bagaimana cara mende
"Aku dengar, kamu sempat menikah. Lalu, kenapa sekarang kamu ada di sini?" Wanita dengan rambut cokelat gelap itu menoleh, mengerutkan dahinya.Pria itu membuang napas, wajahnya tampak seperti tak ingin membahas permasalahan tersebut. Sayangnya, wanita itu bertanya lebih detail mau tak mau harus ia jelaskan lebih detail. Tidak mungkin ia biarkan wanita cantik yang beberapa bulan terakhir ini mengisi harinya menunggu lebih lama lagi."Dari siapa?" "Bukankah seharusnya kamu menikah dengan temanku, mengapa bisa bertukar menjadi kakakmu? Aku menunggu penjelasan darimu," jawabnya.Pradipta termenung sesaat, ia membenarkan jaket bulu tebal yang membungkus tubuhnya. Pandangan mata lurus menatap danau di hadapannya. Bibirnya tampak kelu untuk memberikan penjelasan lebih sebenarnya, hanya saja ia tidak ingin membuat wanita itu semakin bertanya-tanya.Wanita itu membuang napas, kemudian menundukkan wajahnya. "Mungkin pertanyaanku terlalu sensitif untukmu, tidak masalah jika kamu tidak ingin me
Linggar dan Pramudita dianugerahi anak laki-laki yang sehat dan tampan. Kelahiran putra pertama mereka disambut hangat dan sukacita oleh kakek dan neneknya dari keluarga Linggar dan juga Pramudita, maklum saja dia adalah cucu pertama mereka. Abimanyu, nama sapaan si ganteng keturunan Pramudita.Wajah Abimanyu tampan seperti ayahnya sayangnya sikap dan perilaku menurun dari ibunya. Ibarat kata Abimanyu adalah Linggar versi laki-laki. Terkadang bisa teramat cerewet layaknya anak perempuan pada umumnya. Tapi, di usianya yang menginjak empat tahun ini banyak progres dari pertumbuhannya.Bahkan Abimanyu gemar membaca buku tentang IPA dan Matematika, membuat Linggar takut jika anaknya terlalu cepat dari anak-anak sebayanya. Apa lagi Abimanyu juga belum ikut paud, masih belajar atau tidak bersama dirinya. Tapi kecerdasan yang dimiliki Abimanyu sudah melebihi seusianya, antara sedih dan senang Linggar malah bingung sendiri. Ia takut jika kelebihan yang anaknya miliki adalah sebuah beban di ke
7 bulan kemudian.Linggar yang sedang hamil tidak bisa menahan nasabnya untuk ngemil. Setelah melewati masa tiga bulan yang penuh beban seperti sering muntah, tidak bisa makan apa pun kecuali bubur dan sering lemas di pagi hari, menginjak bulan keempat dan hingga sekarang, bulan ketujuh kandungannya membaik. Berbagai makanan mulai dari rujak sampai camilan ingin ia coba semua kecuali olahan dari susu sapi, iya mual tiap kali mencium bau susu. Kehamilannya justru membuat Pramudita senang, karena setiap pulang kerja selalu ada makanan yang diminta untuk dibelikan.Selama hamil ia juga merasa perlu badan cantik dan wangi, iya juga tidak suka parfum miliknya dan lebih suka menggunakan parfum milik sang suami. Alhasil, beberapa deret parfum yang telah ia beli isi botolnya masih terisi penuh. Berbeda dengan milik Pramudita yang tersisa hanya seperempat botol saja setiap minggunya."Mas Pram mana sih, kok nggak pulang-pulang." Linggar kembali menggerutu dengan memangku satu toples keripik si
"Kamu mau anak berapa, Sayang?" Pramudita memeluk erat tubuh istrinya dari belakang, mereka masih berbalutkan selimut. Wanita tersebut tampak kurang nyaman, matanya sedikit terpejam. Badan terasa remuk, terlebih suaminya selalu minta penyatuan lebih dari satu kali. Hal ini menguras tenaganya lebih banyak, tentu membuat tubuh semakin lemas. "Sayang, jangan tidur dulu dong. Kamu ingin anak berapa nanti?" tanya Pramudita dengan menggoyangkan tubuh Linggar, membuat wanita itu membuka mata kembali. "Apa, Mas? Memangnya kamu tidak ngantuk?" Mata Linggar masih tertutup. Pramudita menggeleng. "Siapa kata aku mengantuk, Dik? Aku tidak pernah mengantuk, yang aku inginkan hanya bersama kamu selalu." "Aku saja capek, Mas, masa kamu tidak? Kita istirahat sebentar saja, Mas, nanti kita main lagi." Linggar mengusap tangan Pramudita yang berada di perutnya. "Aku ingin anak dua atau tiga, Dik. Aku ingin membuat rumah kita menjadi ramai, saat aku pulang disambut anak-anak dan kamu tentunya. Pasti
"Tini, aku ingin hubungan kita seperti dahulu kala. Apa kamu tidak ingin kita kembali memperbaiki hubungan kita?" Wanita dengan rambut digulung ke atas itu membuang napas kasar, wajahnya tampak tidak begitu antusias. Cenderung murung dan masam, bahkan pandangan matanya tertunduk. Tak menatap pria yang pernah ada di hatinya tersebut."Sudah aku katakan, Mas, aku tidak bisa. Hubungan kita telah berakhir dan aku tidak ingin memulainya kembali. Aku sudah menutup buku kenangan tentang kita, tidak akan ada lagi kita di masa depan. Sekarang aku hanya fokus untuk anak-anak saja," jawab wanita itu tegas."Kita menikah pun anak-anak pasti akan senang, Tini. Mereka akan bahagia melihat kedua orang tuanya kembali rukun. Apa lagi sudah lama mereka tidak pernah melihat kedua orang tuanya saling bahagia bersama," bujuk Juwanto.Aroma latte menguat di ruangan ber-Ac. Kartini memejamkan mata menikmati aroma yang begitu menggiurkan. Latte adalah salah satu kopi yang menjadi favoritnya sejak kepergian
"Kamu mau ke mana?" Pemaudita melipat kedua tangannya di depan dada, wajahnya tampak datar dengan rahang mengeras."Itu sudah menjadi tanggung jawab kamu, Dipta. Kamu ingin lari dari tanggung jawabmu?" Pria dua puluh tujuh tahun itu membuang napas panjang, berdebat dengan sang kakak selalu tak mendapat celah. Pramudita selalu berhasil membuat lawan bicara mati gaya. "Aku hanya ingin mencari ketenangan sebentar saja, Mas. Aku tidak pernah lari dari tanggung jawab, maka dari itu aku ingin kamu yang sementara ini memegang perusahaan. Satu tahun nanti aku akan kembali ke sini, Mas, aku hanya titip sebentar ke kamu. Tidak mungkin aku serahkan kembali ke Bapak 'kan, Mas? Bapak mana mungkin mau mengurus perusahaan," jelas Pradipta."Yang bisa mengurus itu hanya kamu, Mas. Aku percaya sama kamu, Mas. Lagi pula kamu bisa mengajak Linggar. Kalian bisa kerja sama berdua mengurus perusahaan 'kan, Mas? Ayolah, Mas, kamu pegang dua perusahaan. Aku satu bulan sekali bakal pulang," lanjutnya.Pramu
"Maaf, Dik, aku salah besar selama ini ke kamu. Maafkan aku." Linggar mengangguk, air mata terasa berada di pelupuk matanya. Ia tak dapat menahan rasa sedihnya melihat saudara sendiri memakai baju tahanan. Terlebih wajah kakak sepupunya itu begitu pucat dan melas, tidak seperti hati biasanya yang cantik dengan balutan riasan. "Terlalu banyak salah yang aku perbuat ke kamu ya, aku sampai bingung harus dengan cara apa aku meminta maaf ke kamu. Pasti jadi kamu pun tidak mudah, belum tentu hatimu lapang untuk memaafkan kesalahan aku. Tidak masalah, aku sama sekali tidak memaksa kamu untuk memaafkan kesalahanku." Wanita itu mengusap air matanya. "Setidaknya kamu masih mau bertemu denganku, artinya masih ada kesempatan aku untuk mengubah semua menjadi lebih baik. Maafkan kesalahanku, Dik.""Aku bahkan dengan sengaja merebut calon suami kamu di hari bahagiamu, Dik. Itu semua salah, aku sangat salah besar. Harusnya tidak seperti itu," lanjutnya berurai air mata."Iya, Mbak, aku sudah mema
"... 7 tahun penjara." Wanita menangis tersedu-sedu, tak dapat berbuat apa-apa. Nasibnya telah final, palu telah terketuk. Tak hanya itu saja, selain hukuman penjara ia harus menanggung persidangan yang lain, sidang cerai. Dalam waktu berdekatan wanita itu melakukan dua kali persidangan. Sang suami tega melayangkan gugatan cerai atas apa yang sudah ia lakukan. Akibat satu kesalahan berakibat cukup fatal, hingga merambah ke jalinan asmaranya. Pernikahan baru seumur jagung harus kandas di peradilan agama. Teringat akan kesalahan yang bertumpuk-tumpuk telah diperbuat ke adik sepupunya. Dari mereka belia hingga detik tak pernah surut rasa iri yang tertanam di dalam hatinya. Entah apa pun yang dapat dicapai oleh adik sepupunya, ia selalu tidak terima akan timbul rasa tidak suka. Lebih lagi seluruh keluarga besarnya selalu membanggakan prestasi adik iparnya dan membandingkan dengan dirinya.Jiwa kecilnya selalu terbentuk untuk balas dendam. Lantas melakukan segala cara agar semuanya dapa