"Aku cemburu? Mana ada aku cemburu?" Bastian terkekeh. Terlihat manis di mata Arandita. Wanita itu memandang Bastian tidak berkedip."Aku hanya tidak mau kau jadi korban Leo selanjutnya. Dia adalah pria dengan sejuta janji manis, tetapi pada kenyataannya dia tidak akan pernah mewujudkan janji-janjinya itu," lanjut Bastian.Arandita mencebik tak suka dengan jawaban pria itu. Demi gengsinya Bastian malah mengungkapkan kejelekan Leo yang belum tentu benar."Kita pergi sekarang!" Dengan entengnya Bastian menggenggam tangan Arandita dan hendak membawanya pergi dari danau."Pergi?""Iya tentu saja, bukankah ini bukanlah tempat favorit kamu? Kecuali kalau sekarang jadi tempat favorit kamu, maka kita bisa berlama-lama di sini."Arandita menggeleng. "Ah iya, mari kita pergi saja!"Tanpa kata Bastian langsung menarik tangan Arandita dan membawanya menuju mobil."Jauh sekali markir mobilnya," ujar Arandita sambil melihat-lihat sekitar. Mereka berdua bergandengan tangan di bawah cahaya lampu dan
"Ambillah dan potong kuenya!"Arandita mengangguk, dengan canggung meraih buket bunga dari tangan Bastian dan meletakkan di atas meja."Terima kasih Mas, Mas tahu darimana aku ultah hari ini?""Dari ibu, potong kuenya!""Ah iya. Arandita melakukan yang diperintahkan oleh Bastian. Tentu potongan pertama untuk sang suami karena tidak ada orang yang dekat lagi dengan dirinya di tempat itu."Siapin!""Suapin!"Beberapa karyawan di sana begitu resek menurut Arandita. Mana mungkin dia melakukan apa yang mereka serukan. Namun mau tidak mau Arandita melakukannya karena melihat Bastian memberikan kode denger gerakan matanya."Terima kasih ya Sayang," ucap Bastian dengan senyum manisnya hingga membuat suasana semakin heboh. Bukan karena apa-apa, Bastian tidak pernah terlihat begitu romantis di depan umum meskipun dengan Friska sekalipun. Seorang pelayan tampak mengabadikan momen bahagia tersebut pada media sosial mereka.Pipi Arandita memerah, ia benar-benar merasa malu karena sikap Bastian yan
Dengan perlahan Arandita bergeser ke pinggir ranjang lalu turun dengan pelan agar tidak membangunkan suaminya."Maaf Mas, aku tidak bisa lama-lama berada di dekatmu," lirih Arandita sambil menatap wajah Bastian dengan sendu. Ada harap yang tak mungkin jadi nyata sebab tanpa dirajut rasa kecewa terangkai begitu saja dalam hati. Arandita mendesah kasar, setelahnya ia menarik selimut dan menutupi tubuh Bastian dengan penuh kehati-hatian. Arandita berharap kehangatan dari selimut tetap membuat pria itu tertidur pulas.Arandita beranjak ke kasur yang berada di ruang kerja dan merebahkan tubuhnya di atas sana. Sayangnya ia tidak bisa tertidur kembali hingga adzan subuh berkumandang."Ah sudah subuh saja," keluh Arandita lalu menyingkap selimut dari tubuh dan bergegas ke kamar mandi. Setelah selesai mandi ia beranjak ke sisi Bastian untuk membangunkan sang suami. Sayang Bastian tidak terbangun hanya dengan dipanggil-panggil saja."Biar nanti saja," ucap Arandita lalu meraih mukena dan memakai
Apalagi saat Bastian mengambil alih pekerjaannya. "Begini yang benar dan tambahin gula sedikit biar rasanya gurih, kamu suka makanan ini?" "Itu untuk Mas Bastian," ujar Arandita sedikit ragu, pasalnya Bastian begitu cekatan melanjutkan masak menu yang dibuat Arandita."Ambil mangkok dan piring! Tuh lihat masakan Bik Lin sudah matang duluan."Arandita mengangguk dan lekas mengambil piring dan mangkuk sesuai perintah Bastian. Keduanya terlihat kompak menghidangkan makanan hasil kolaborasi mereka di meja makan. Bik Lin hanya tersenyum melihat keduanya begitu kompak dan serasi."Oh ya, aku denger suara bayi nangis tadi? Siapa? Annin? Kenapa nangis kejer?""Iya Mas, dia demam nggak mau sama susu formula, tetapi kedua orang tuanya malah asyik-asyikan tidur. Dari semalam Annin sama Bik Mina terus, tapi sekarang sudah dibawa ke rumah sakit."Bastian mengerutkan kening. Namun, akhirnya hanya anggukan yang ia tampakkan."Maaf tadi Aran tinggal, abisnya Mas Bastian tidak bangun-bangun saat aku
Arandita menghela nafas dalam-dalam, meskipun lirih tetapi gumaman Bastian masih dapat tertangkap oleh gendang telinganya."Sudah Mas." Arandita menjauhkan tubuhnya dari Bastian lalu menghembuskan nafas panjang. Berada dengan jarak begitu dekat dengan wajah Bastian membuatnya tidak bisa bernafas."Terima kasih.""Ya." Arandita berdiri dan meletakkan kotak obat pada tempatnya semula lalu berjalan ke arah lemari. "Aku ingin berganti pakaian lalu berangkat ke kafe," ujarnya lalu membawa pakaiannya menuju walk in closet agar tubuhnya tidak terlihat oleh Bastian."Temani aku makan dulu!" serunya."Siap Mas!" Arandita sedikit berteriak. Bibirnya mengulas senyum. Ucapan Bastian tadi tak ingin Arandita ambil hati, toh mendapatkan perhatian seperti tadi saja Arandita sudah sangat senang. Wanita itu menyentuh rambut bekas dimana tangan Bastian menyentuhnya tadi kemudian mencium."Sepertinya aku sudah gila." Ia terkekeh kecil lalu lekas-lekas berganti pakaian."Aku tunggu di ruang makan!" Basti
"Sudahlah, lebih baik kau diam saja dan menjadi penikmat saja dalam permainanku.""Cih." Wanita itu mendengus kesal sambil meringis menahan sakit."Sebenarnya apa sih mau mu?" Friska menatap tajam lelaki yang sedang membuka tudung kepalanya itu."Ingin menghancurkan keluarga Pramoedya, kau pikir apalagi?""Takkan kubiarkan Bastian hancur karena ulahmu!" Friska berkata dengan garang meskipun Wajahnya nampak pucat."Hahaha! Memang apa yang bisa kau lakukan? Memberitahukan perihal ini pada Bastian? Memang kau berani? Kalau ia silahkan! Akan ku pastikan kau mendekam dan melahirkan di penjara. Kau pikir aku tidak tahu dengan skandal pembunuhan itu?" Pria itu mendekat, mencengkram dagu Friska lalu menghempaskan secara kasar membuat sang empunya langsung mendesis menahan sakit."Kau benar-benar pria yang kejam, kau membuatku tak berdaya seperti ini dan kau malah mengambil keuntungan dariku. Ingin ku bunuh anak ini!" Wanita tersebut memegang perutnya lalu memukul-mukul dengan kasar."Hentikan
Bastian mengubah dari langkah cepat menjadi berlari hingga tak sengaja lututnya terbentur meja pengunjung."Mas!" teriak Arandita. Ia khawatir kalau Bastian tidak berhati-hati maka selanjutnya perut pria itu yang akan terbentur.Bastian tak mengindahkan teriakan, ia terus mengejar dan mengejar. Menambah kecepatan saat orang yang dikejarnya semakin kencang berlari."Hei jangan lari kamu!"Aksi kejar-kejaran terus terjadi. Arandita yang khawatir dengan keadaan suaminya pun ikut mengejar keduanya."Mana sih Mas Bastian?" Arandita celingukan mencari suaminya."Oh Tuhan lindung Mas Bastian, bagaimana pun keadaannya belum sehat betul."Kena kamu!" Bastian berhasil menarik belakang jaket pria tadi dan pria itu berusaha memberontak."Apa yang kau inginkan dari kami?"Pria itu menggeleng."Aku tahu beberapa hari ini kau menguntitku, apa yang sebenarnya kamu cari?"Sekali lagi pria itu tidak mengeluarkan suara bak orang bisu."Katakan!" bentak Bastian. Pria itu kaget saat Bastian mencoba membuka
"Bagaimana Raf?" Bastian bertanya setelah Rafi turun dari mobil dan melangkah ke arahnya."Sebagian dari anak buah kita sudah saya arahkan mengepung tempat ini, sebagian yang lain sudah berpencar dan mencari di tempat lain. Saya juga sudah meminta bantuan polisi untuk melacak keberadaan mereka.""Bagus." "Pak Bastian mau ikut saya naik mobil atau masih mau menggunakan itu motor?""Pakai motor ini saja biar enak masuk gang-gang kalau dia membawa Arandita ke wilayah yang sempit.""Oke ayo kita cari lagi!"Bastian mengangguk lalu kembali mengendarai motor nya dengan kencang diikuti mobil Rafi di belakangnya."Pak penjahatnya ada di wilayah sana!" seru Rafi sambil menutup panggilan telepon dari salah satu anak buahnya.Bastian menoleh dan mengangguk, sebelum mobil Rafi berputar arah lebih dulu Bastian menelusup di sebelah mobil Rafi dan berjalan di depan."Itu dia!""Itu dia!"Teriakan para anak buah melengking di udara, membuat suasana menjadi berisik. "Selamatkan istri saya dan tangkap
Apa iya air susunya tidak enak? Kalau iya kenapa baru sekarang hal ini terjadi? Kenapa tidak sebelumnya Brian menolak ASI-nya? "Sabar Non, Nyonya besar hanya salah bicara, beliau tidak bermaksud membuat Non Aran sedih." "Iya Bik." Arandita mencoba tersenyum meskipun wajahnya masih terlihat pias. Bagaimanapun dia tidak bisa menyembunyikan raut kekecewaannya. "Kalau masih menyusui jangan makan sembarangan, itu ngaruh pada kesehatan anak," ucap nenek lagi dan Arandita hanya manggut-manggut tanpa mau protes sedikitpun. "Atau kamu masuk angin? Bik tolong ambil kerokan dan minyak kayu putih! Biasanya kalau Bastian memuntahkan air susu waktu kecil Amira meminta tolong untuk dikerokin dan akhirnya Bastian mau menyusu lagi." "Oh jadi Mas Bastian juga pernah begini Nek?" Anggukan nenek membuat Arandita dapat menghembuskan nafas lega. Baginya mungkin Brian menurun dari papanya. Bik Lin datang dengan tergesa-gesa dengan benda yang diminta oleh nenek. "Ayo dibuka bajunya biar Brian di
Agresia tidak menggubris seruan Arandita dan malah bergerak cepat menuju pagar rumah yang terbuka lebar. "Cegah dia jangan sampai kabur!" perintah Bastian pada beberapa anak buahnya. Tidak menunggu lama pintu pagar sudah ditutup dan Agresia kebingungan untuk keluar dari pekarangan rumah tersebut. "Gres tunggu!" Akhirnya Arandita bisa menangkap tangan Agresia. "Apa kabar kamu?" "Seperti yang kamu lihat Aran, maaf kalau aku ikut numpang makan di tempat ini. Aku tidak tahu kalau ini adalah rumahmu. Aku pikir kamu masih tinggal di rumah papa." Agresia menunduk dan meremas kedua tangannya. "Tidak masalah siapapun bebas makan di tempat ini karena ini adalah acara syukuran anak pertama kami. makanya pintu pagar kami dibiarkan terbuka lebar biar siapa saja boleh masuk." "Oh ya, selamat ya!" "Makasih." "Jangan pergi, bergabunglah dengan kami semua." "Maafkan atas semua kesalahanku di masa lalu Aran, Aku menyesal sekarang." Arandita menatap Agresia dengan pandangan iba kemudia
"Bastian!" Leo menatap wajah Bastian dengan tatapan sendu. "Maaf aku baru bisa kemari. Istriku melahirkan dan baru saja sadar dari pingsannya." "Arandita pingsan?" Bastian mengangguk. "Tapi sudah enakan." "Lebih baik kamu nggak usah kemari, jangan tinggalkan Arandita sendirian, nanti kalau ada apa-apa bagaimana?" "Ada Bik Lin dan juga papa." Leo menatap Bastian kemudian pada Bobby yang mengangguk kecil. "Paman Pramoedya ... tolong sampaikan maafku pada beliau atas kesalahan Mommy. Semasa hidup Mommy mengatakan ingin meminta maaf langsung pada Paman Pram, sayangnya beliau tidak mau datang menemui Mommy. Saat kami mencoba menemui, beliau selalu menghindar. Aku mengerti beliau masih marah sama perbuatan mommy. Selama tinggal bersamaku mommy mengatakan menyesal melakukan itu semua. Tolong ya Bas bujuk paman Pram agar mau memaafkan mommy biar jenasahnya bisa tenang." Bastian menepuk bahu Leo. "Nanti aku sampaikan. Kamu tidak perlu memikirkan yang lain urus saja pemakaman mom
Saat dokter sedang memeriksa Arandita tangis bayinya mereda. Hal itu membuat suster langsung menaruh bayinya ke dalam box bayi. Namun hal itu tidak membuat otot-otot Bastian yang tegang kembali rileks. Dia masih belum bisa bernafas dengan tenang selama kondisi istrinya belum dinyatakan membaik. "Bagaimana Dokter?" tanya Bastian masih dengan wajah pucat karena rasa khawatir yang berlebihan. "Tuan tenang saja sebentar lagi Nyonya Arandita akan sadar." "Saya tidak bisa tenang jika Istri saya belum siuman," ucap Bastian kesal. Bagaimana mungkin dokter menyuruh dirinya tenang sementara Arandita masih belum sadar dari pingsannya. "Sebentar lagi, tidak ada yang serius pada diri pasien mungkin hanya kelelahan saja." Bastian tidak menunjukkan ekspresi apa-apa. Dia hanya menelpon Bik Lin dan memintanya untuk datang ke rumah sakit. Dia perlu teman untuk menunggui Arandita dan bayinya. Saat Bik Lin meminta sopir untuk mengantarkan dirinya ke rumah sakit Pramoedya mendengarnya lalu me
"Sudah apanya?" tanya Bastian tidak sadar. "Sudah dijahit," jawab dokter seraya tersenyum ramah. "Oh." Bastian manggut-manggut. "Ini Tuan putranya, silahkan diadzani," ucap suster menyerahkan bayi yang baru lahir itu ke tangan Bastian. Ternyata bayinya sudah selesai dibersihkan. Bastian menerima bayi tersebut dan mengadzaninya. Selama melantunkan kalimat adzan Arandita terdiam menghayati kalimat tersebut. Ia terharu sampai menitikkan air mata karena telah dipercayakan oleh Tuan untuk merawat seorang anak yang lahir dari rahimnya sendiri. Sungguh itu adalah rezeki yang tidak terkira. Ditambah lantunan suara adzan dari bibir Bastian mengalun merdu dan syahdu. Arandita tidak menyangka suara Bastian begitu indah dan lembut menyentuh pendengaran. Suaminya itu seolah muadzin yang kerapkali mengumandangkan adzan di masjid-masjid. Setelah selesai Bastian mengecup kening putranya. "Selama datang jagoan Ayah! Selamat bergabung di keluarga kecil kita." "Sekarang dia harus di IMD Tuan,"
"Pasti, kami akan berusaha semaksimal mungkin Tuan. Tuan tenang saja saya lihat keadaan istri Anda tidak ada masalah dengan kesehatan maupun kandungannya. Jadi insyaallah proses persalinannya akan berjalan lancar." "Aaamiin ya Allah. Saya boleh menemani istri saya Dok?" "Oh tentu saja boleh, ini bisa menjadi semangat juga untuk istri Anda." Bastian mengangguk dan dokter mempersilahkan Bastian untuk ikut masuk sebelum akhirnya menutup pintu. Kini Bastian dan Arandita berada dalam ruang persalinan dibantu oleh seorang dokter dan seorang perawat. Arandita meringis kesakitan kala perutnya mengalami kontraksi kembali. "Aduh sakit Mas," rintihnya lalu kembali turun dari tempat tidur dan berjalan ke sana kemari sambil menahan rasa sakit. "Rasanya aku nggak tahan dengan sakitnya," keluh Arandita, bahkan perempuan itu duduk berdiri duduk berdiri untuk meminimalisir rasa sakit. "Kalau sakit itu tandanya normal karena ada pergerakan dari bayinya. Justru kalau tidak sakit itu yang perlu
Beberapa bulan kemudian Bastian baru pulang ke rumah setelah malam sudah semakin larut. "Kemana aja sih Mas, baru pulang. Dari tadi perutku sakit terus ini," protes Arandita sambil menyalami tangan Bastian lalu membantu membuka jas suaminya. "Biar aku yang naruh tasnya. Sekarang masih sakit?" "Nggak, mungkin karena sudah melihat papanya datang anak kita kembali anteng." "Ternyata kangen juga dia sama papanya ini. Sorry ya Sayang tadi lupa ngabarin, tadi aku sibuk banget. Abis nganterin Rafi ke panti asuhan terus ke rumah sakit," jelas Bastian lalu mencium perut istrinya yang buncit. "Papa kangen sama kamu. Jangan nakal sama mama, kasihan dia sudah gendong kamu selama 8 bulan lebih." Bastian lalu mengusap perut Arandita dengan lembut. "Waduh dia nendang Sayang, mungkin kesal dan mau ikutan protes karena papanya pulang telat," ucap Bastian lalu terkekeh. "Mas ke panti asuhan jenguk putranya Friska?" Bastian mengangguk. "Rafi mau menjemput dia kembali setelah dititipkan pada
Akibat janjinya pada Arandita akhirnya Bastian mengalah dan memilih tinggal di rumah Pramoedya untuk beberapa hari ke depan sebab di sana banyak orang yang bisa dimintai tolong untuk mengawasi istrinya yang hamil selama dia pergi ke kantor. Jangan lupakan bahwa Arandita menginginkan makan masakan Bobby setiap hari dan Bastian sudah menyetujuinya dalam waktu 7 hari saja. Oleh karena itu agar lebih mudah dalam mengabulkan permintaan Arandita Bastian memilih tinggal di rumah lamanya ini. "Abang yang punya istri kok saya yang dipaksa masak terus?" Kadang Bobby juga protes saat Bastian meminta Bobby menyiapkan makanan untuk Arandita di pagi-pagi buta padahal pria itu masih mengantuk. "Ya mau gimana lagi orang itu ponakan kamu yang menginginkan, mau punya ponakan ileran?!" Begitulah selalu jawaban Bastian yang membuat Bobby mendesah kasar lalu melakukan apa yang diminta oleh Bastian. Selama Bobby memasak Bastian menemani di dapur bahkan terkadang keduanya bekerjasama jika dirasa Bobby sa
"Ya Allah Sayang, aku jadi bingung harus bahagia atau sedih ini?" Bastian benar-benar bingung, di satu sisi dia senang akan segera mendapatkan momongan Namun, di sisi lainnya dia juga sedih karena dengan kehamilan Arandita membuat dirinya harus menjauh dari sang istri. Sepertinya bayi dalam kandungan Arandita tidak menyukai ayahnya sendiri karena selalu merasa bau saat berdekatan dengannya. "Pokoknya Mas tunggu di situ aja, nggak usah masuk kamar mandi!" Arandita menunjuk ke sisi Bastian. Bastian langsung tidak bergerak. Arandita masuk ke dalam kamar mandi dan muntah-muntah di sana. Bastian menatap punggung Arandita dengan rasa iba. Ia ingin berbuat seperti suami yang lainnya yang siap siaga dan memijit belakang leher istrinya yang sedang muntah, tetapi apa daya Arandita malah melarangnya dan Bastian sendiri tidak mau Arandita semakin muntah jika dirinya mendekat. Saat selesai muntah Arandita mengibaskan tangan agar Bastian menyingkir dari tempatnya berdiri saat ini. "Ngenes ama