"Apa perlu aku menjawab? Seharusnya kau bisa menyimpulkan sendiri." Bastian menatap datar Bobby dan yang ditatap hanya menggelengkan kepala. Begitupun dengan Arandita."Hanya satu yang perlu kalian ketahui aku sangat mencintai istriku dan aku tidak akan pernah melepaskan apapun resikonya." Bastian tersenyum pahit ke arah Bobby."Aku hanya ingin mengantarkan makanan yang kalian pesan. Bik Lin masih di luar bersama Annin, anak itu sedang merengek meminta dibelikan mainan." "Terima kasih Bob, kau tidak kerja hari ini? Jangan malas lagi, jangan sia-siakan pengorbanan Mas Bastian yang sudah membantu begitu jauh."Bobby mengangguk lalu melangkah masuk ke dalam dan menghampiri Arandita. Bobby menaruh masakan Bik Mina di samping Arandita. Sebelum pulang Bik Lin menelpon Bik Mina terlebih dahulu hingga sampai rumah makanan untuk Arandita telah siap diantar ke rumah sakit. Bersama Bobby Bik Lin kembali ke rumah sakit."Cepat sembuh Aran, Annin kembali menganggu hari-hariku karena kamu tidak ad
"Lempar pistolnya!" teriak wanita yang bersama Lean. Dia hampir kewalahan menghadapi Bastian dan pembantunya. Lean segera melempar dan wanita itu menangkap dengan sigap."Awas Bik!" teriak Bastian sambil menyenggol bahu wanita yang selama ini telah menjaga layaknya seorang anak. Wanita itu terpental dan jatuh dengan mengaduh kesakitan. Bastian pun ikut jatuh walaupun demikian mereka selama dari tembusan pelor yang berbunyi di udara."Bibi tidak apa-apa?" Bastian membantu Bik Lin bangun sedangkan Arandita masih berusaha mengejar dan merebut Annin dari tanga Lean. "Berikan bayi itu untukku, untuk apa kau mau menculiknya?!" Arandita memukul-mukul lengan Lean dan sekali-kali menendang betisnya. Namun, Lean masih gagah berdiri dan selalu sigap menangkis setiap pukulan dari Arandita."Kau tidak akan mampu melawanku gadis lemah." Lean mencibir Arandita dengan senyuman kecut. Wanita itu langsung berjongkok meraih batu dan hendak dilempar ke arah Lean. Namun, belum sempat batu itu lepas dari t
Madam Kline menyunggingkan seulas senyuman sambil menatap Lean yang juga balas tersenyum. Sebentar lagi riwayat Bastian akan tamat tanpa perlu bersusah-payah lagi dan mengotori tangan mereka."Tapi aku pikir kalianlah yang pantas pergi dari dunia ini karena kalian lebih jahat dari paman Pramoedya!" Leo berbalik dan kini menodongkan pistol ke arah adik dan ibu kandungnya. Bastian membekap mulut dengan mata membelalak kaget. Dia pikir Leo benar-benar akan menghabisi dirinya dan lebih memihak pada keluarga sendiri. Tenyata dugaannya salah dan terbalik."Lalu apa maksudmu mengatakan dia lebih jahat dari papa?" Pertanyaan terlontar begitu saja dari mulut Bastian. Leo hanya menjawab dengan senyum sinis, ekspresinya tak tertebak. Bastian bergidik ngeri, Leo tidak seperti yang ia kenal dimana begitu supel dan humoris. Kini tatapan pria itu terlihat menakutkan."Apa maksudmu? Sudah tahu papanya dia yang memisahkan kita, kenapa kamu malah menuduh kami yang jahat?" Lean sama sekali tidak paham d
Otot-otot Bastian kembali menegang. Dengan secepat kilat ia mengambil alih pistol di tangan Leo lalu mengejar Madam Kline yang ternyata mobilnya terhenti karena menabrak kayu besar. Madam Kline merintih dan membuka mobil. Tubuhnya jatuh ke bawah tepat di samping kendaraan itu."Lean!" Dia berteriak, tetapi suara yang keluar terdengar lirih karena terpekik."Mom!" Lean segera berlari lalu memapah sang mommy dan memasukkan kembali ke dalam mobil lalu menutup pintu depan cepat. Ia langsung tancap gas tatkala bunyi pistol terdengar di belakang mereka."Lean Mommy tidak kuat Lean," lirih Madam Kline. Suaranya hampir tak terdengar. Sungguh panas di dadanya seperti semburan lahar panas."Bertahanlah Mom, Leo kau kejam!" Lean memukul setir dan mengencangkan gas."Dor! Dor! Dor!""Sudah Bas, mereka sudah pergi," ujar Leo sambil menenangkan Bastian."Sial!" Bastian menendang ban mobilnya. Gara-gara kempes ia tidak bisa mengejar Madam Kline dan juga Lean."Bagaimana aku bisa tenang Leo sementara
"Ibu!" Arandita berlari ke arah rumah Bastian melihat Devina dan Furqan berdiri di luar pintu. Wanita itu langsung merentangkan tangan hendak memeluk kedua orang tuanya."Sayang! Jangan lari-larian!" teriak Bastian, khawatir. Arandita selalu saja ceroboh padahal dirinya baru saja keguguran."Hei akhirnya kamu pulang juga," ujar Devina sambil membalas pelukan Arandita. Putrinya langsung beralih memeluk sang ayah."Ibu kapan tiba?" tanya Bastian sambil mengulurkan tangan hendak menyalami kedua mertuanya."Baru saja, kami baru saja meletakkan pakaian dan ingin menyusul kalian ke rumah sakit. Eh ternyata sudah pulang." Furqan yang menjawab. Lalu tatapannya beralih pada putri tunggalnya. "Apa keadaanmu sekarang baik-baik saja, Nak?" Furqan menatap tubuh Arandita dari atas sampai bawah dimana putrinya begitu terlihat kurus. Bastian langsung menunduk melihat mertua Laki-lakinya memindai wajah dan seluruh tubuh Arandita."Nak Bastian apakah selama ini kamu memperlakukan anak kami dengan baik?
"Bob!" Pak Furqan berlari keluar rumah dan mengejar Bobby."Iya Paman?" Bobby menghentikan langkah dan menoleh."Tunggu sebentar!"Kali ini Bobby mengangguk dan menunggu hingga Pak Furqan sampai di sisinya. "Ada apa Paman? Maafkan atas segala kesalahan saya pada putri Paman dan maafkan juga karena saya hubungan Paman hampir renggang dengan Mas Bastian. Jujur saya memberitahukan tentang hubungan Arandita dan abang sebelumnya karena peduli pada Arandita. Tidak ada maksud ingin membuat Paman berselisih ataupun berniat untuk menghancurkan pernikahan mereka.""Saya paham arah pikiran kamu, terima kasih telah peduli pada putri kami dan maafkan kami telah percaya pada fitnah yang pernah Agresia layangkan padamu. Seandainya saat itu kami tidak percaya pasti sekarang kamulah yang menjadi menantu Paman.""Perkara jodoh hanya Tuhan yang tahu Paman. Semua sudah tertulis di Lauhul Mahfudz. Dulu saya pernah ngotot ingin tetap Arandita kembali pada saya, tapi kenyataannya Arandita sudah jatuh terlal
"Iya Yah, kami paham, iya kan Sayang?" Bastian tersenyum ke arah sang istri dan Arandita menjawab dengan anggukan."Aku pamit mandi dulu ya, nggak nyaman ini." Bastian menggerakkan baju atasan."Iya Mas sana!"Bastian mengangguk lalu menunduk kepada ayah dan ibu mertuanya. Setelah itu barulah pria itu menarik handuk dan masuk ke kamar mandi."Ibu dan ayah keluar dulu ya," pamit Devina lalu menarik tangan sang suami agar keluar dari kamar anak dan menantunya. Sungguh ia takut Bastian tidak nyaman di kamarnya sendiri karena ada orang tua Arandita mengingat pria itu sedang mandi."Iya Bu, tapi jangan pulang dulu ya, Aran masih kangen.""Oke, kamu istirahat dulu, ayah sama ibu mau jalan-jalan di luar." Arandita mengangguk dan hanya diam menatap punggung kedua orang tuanya yang berlalu dari kamar."Eh besan mau kemana?" tanya nenek menyambut kedua orang tua Arandita dengan senyuman ramah."Jalan-jalan di luar Nyonya," sahut Devina."Oh boleh-boleh, tapi jangan jauh-jauh ya, nanti kita maka
"Kamu menemui Agresia?" tanya Bastian sambil melirik ke arah sepasang kekasih yang berjalan menjauh. "Ya begitu deh Mas, jadi malas aku gara-gara jawaban dia yang menjengkelkan," sahut Arandita lalu menggandeng tangan Bastian dan membawanya menuju rumah orang tuanya."Memang kamu ngomong apa sama dia?" Bastian mengerutkan kening melihat raut wajah istrinya yang nampak emosi."Aku bilang Annin bersamaku barangkali dia kangen dan ingin melihat putri kandungnya. Eh jawabannya dia bilang kalau aku hanya mau fitnah dirinya di depan pacarnya dan dia sudah menganggap Annin anak haram dan sudah mati. Kurang aja sekali nggak sih?"Kedua orang tua Arandita hanya menggeleng mendengar penjelasan putrinya sedangkan Bastian tersenyum miris."Biarkan saja, nanti kalau dia sudah bosan dengan dunianya dia akan menyesal dan pada saat itu mungkin saja Annin tidak akan mau mengakuinya." Melihat penampilan Agresia yang sangat terbuka dan tidak seperti biasanya Bastian dapat menebak kalau wanita itu menj
Apa iya air susunya tidak enak? Kalau iya kenapa baru sekarang hal ini terjadi? Kenapa tidak sebelumnya Brian menolak ASI-nya? "Sabar Non, Nyonya besar hanya salah bicara, beliau tidak bermaksud membuat Non Aran sedih." "Iya Bik." Arandita mencoba tersenyum meskipun wajahnya masih terlihat pias. Bagaimanapun dia tidak bisa menyembunyikan raut kekecewaannya. "Kalau masih menyusui jangan makan sembarangan, itu ngaruh pada kesehatan anak," ucap nenek lagi dan Arandita hanya manggut-manggut tanpa mau protes sedikitpun. "Atau kamu masuk angin? Bik tolong ambil kerokan dan minyak kayu putih! Biasanya kalau Bastian memuntahkan air susu waktu kecil Amira meminta tolong untuk dikerokin dan akhirnya Bastian mau menyusu lagi." "Oh jadi Mas Bastian juga pernah begini Nek?" Anggukan nenek membuat Arandita dapat menghembuskan nafas lega. Baginya mungkin Brian menurun dari papanya. Bik Lin datang dengan tergesa-gesa dengan benda yang diminta oleh nenek. "Ayo dibuka bajunya biar Brian di
Agresia tidak menggubris seruan Arandita dan malah bergerak cepat menuju pagar rumah yang terbuka lebar. "Cegah dia jangan sampai kabur!" perintah Bastian pada beberapa anak buahnya. Tidak menunggu lama pintu pagar sudah ditutup dan Agresia kebingungan untuk keluar dari pekarangan rumah tersebut. "Gres tunggu!" Akhirnya Arandita bisa menangkap tangan Agresia. "Apa kabar kamu?" "Seperti yang kamu lihat Aran, maaf kalau aku ikut numpang makan di tempat ini. Aku tidak tahu kalau ini adalah rumahmu. Aku pikir kamu masih tinggal di rumah papa." Agresia menunduk dan meremas kedua tangannya. "Tidak masalah siapapun bebas makan di tempat ini karena ini adalah acara syukuran anak pertama kami. makanya pintu pagar kami dibiarkan terbuka lebar biar siapa saja boleh masuk." "Oh ya, selamat ya!" "Makasih." "Jangan pergi, bergabunglah dengan kami semua." "Maafkan atas semua kesalahanku di masa lalu Aran, Aku menyesal sekarang." Arandita menatap Agresia dengan pandangan iba kemudia
"Bastian!" Leo menatap wajah Bastian dengan tatapan sendu. "Maaf aku baru bisa kemari. Istriku melahirkan dan baru saja sadar dari pingsannya." "Arandita pingsan?" Bastian mengangguk. "Tapi sudah enakan." "Lebih baik kamu nggak usah kemari, jangan tinggalkan Arandita sendirian, nanti kalau ada apa-apa bagaimana?" "Ada Bik Lin dan juga papa." Leo menatap Bastian kemudian pada Bobby yang mengangguk kecil. "Paman Pramoedya ... tolong sampaikan maafku pada beliau atas kesalahan Mommy. Semasa hidup Mommy mengatakan ingin meminta maaf langsung pada Paman Pram, sayangnya beliau tidak mau datang menemui Mommy. Saat kami mencoba menemui, beliau selalu menghindar. Aku mengerti beliau masih marah sama perbuatan mommy. Selama tinggal bersamaku mommy mengatakan menyesal melakukan itu semua. Tolong ya Bas bujuk paman Pram agar mau memaafkan mommy biar jenasahnya bisa tenang." Bastian menepuk bahu Leo. "Nanti aku sampaikan. Kamu tidak perlu memikirkan yang lain urus saja pemakaman mom
Saat dokter sedang memeriksa Arandita tangis bayinya mereda. Hal itu membuat suster langsung menaruh bayinya ke dalam box bayi. Namun hal itu tidak membuat otot-otot Bastian yang tegang kembali rileks. Dia masih belum bisa bernafas dengan tenang selama kondisi istrinya belum dinyatakan membaik. "Bagaimana Dokter?" tanya Bastian masih dengan wajah pucat karena rasa khawatir yang berlebihan. "Tuan tenang saja sebentar lagi Nyonya Arandita akan sadar." "Saya tidak bisa tenang jika Istri saya belum siuman," ucap Bastian kesal. Bagaimana mungkin dokter menyuruh dirinya tenang sementara Arandita masih belum sadar dari pingsannya. "Sebentar lagi, tidak ada yang serius pada diri pasien mungkin hanya kelelahan saja." Bastian tidak menunjukkan ekspresi apa-apa. Dia hanya menelpon Bik Lin dan memintanya untuk datang ke rumah sakit. Dia perlu teman untuk menunggui Arandita dan bayinya. Saat Bik Lin meminta sopir untuk mengantarkan dirinya ke rumah sakit Pramoedya mendengarnya lalu me
"Sudah apanya?" tanya Bastian tidak sadar. "Sudah dijahit," jawab dokter seraya tersenyum ramah. "Oh." Bastian manggut-manggut. "Ini Tuan putranya, silahkan diadzani," ucap suster menyerahkan bayi yang baru lahir itu ke tangan Bastian. Ternyata bayinya sudah selesai dibersihkan. Bastian menerima bayi tersebut dan mengadzaninya. Selama melantunkan kalimat adzan Arandita terdiam menghayati kalimat tersebut. Ia terharu sampai menitikkan air mata karena telah dipercayakan oleh Tuan untuk merawat seorang anak yang lahir dari rahimnya sendiri. Sungguh itu adalah rezeki yang tidak terkira. Ditambah lantunan suara adzan dari bibir Bastian mengalun merdu dan syahdu. Arandita tidak menyangka suara Bastian begitu indah dan lembut menyentuh pendengaran. Suaminya itu seolah muadzin yang kerapkali mengumandangkan adzan di masjid-masjid. Setelah selesai Bastian mengecup kening putranya. "Selama datang jagoan Ayah! Selamat bergabung di keluarga kecil kita." "Sekarang dia harus di IMD Tuan,"
"Pasti, kami akan berusaha semaksimal mungkin Tuan. Tuan tenang saja saya lihat keadaan istri Anda tidak ada masalah dengan kesehatan maupun kandungannya. Jadi insyaallah proses persalinannya akan berjalan lancar." "Aaamiin ya Allah. Saya boleh menemani istri saya Dok?" "Oh tentu saja boleh, ini bisa menjadi semangat juga untuk istri Anda." Bastian mengangguk dan dokter mempersilahkan Bastian untuk ikut masuk sebelum akhirnya menutup pintu. Kini Bastian dan Arandita berada dalam ruang persalinan dibantu oleh seorang dokter dan seorang perawat. Arandita meringis kesakitan kala perutnya mengalami kontraksi kembali. "Aduh sakit Mas," rintihnya lalu kembali turun dari tempat tidur dan berjalan ke sana kemari sambil menahan rasa sakit. "Rasanya aku nggak tahan dengan sakitnya," keluh Arandita, bahkan perempuan itu duduk berdiri duduk berdiri untuk meminimalisir rasa sakit. "Kalau sakit itu tandanya normal karena ada pergerakan dari bayinya. Justru kalau tidak sakit itu yang perlu
Beberapa bulan kemudian Bastian baru pulang ke rumah setelah malam sudah semakin larut. "Kemana aja sih Mas, baru pulang. Dari tadi perutku sakit terus ini," protes Arandita sambil menyalami tangan Bastian lalu membantu membuka jas suaminya. "Biar aku yang naruh tasnya. Sekarang masih sakit?" "Nggak, mungkin karena sudah melihat papanya datang anak kita kembali anteng." "Ternyata kangen juga dia sama papanya ini. Sorry ya Sayang tadi lupa ngabarin, tadi aku sibuk banget. Abis nganterin Rafi ke panti asuhan terus ke rumah sakit," jelas Bastian lalu mencium perut istrinya yang buncit. "Papa kangen sama kamu. Jangan nakal sama mama, kasihan dia sudah gendong kamu selama 8 bulan lebih." Bastian lalu mengusap perut Arandita dengan lembut. "Waduh dia nendang Sayang, mungkin kesal dan mau ikutan protes karena papanya pulang telat," ucap Bastian lalu terkekeh. "Mas ke panti asuhan jenguk putranya Friska?" Bastian mengangguk. "Rafi mau menjemput dia kembali setelah dititipkan pada
Akibat janjinya pada Arandita akhirnya Bastian mengalah dan memilih tinggal di rumah Pramoedya untuk beberapa hari ke depan sebab di sana banyak orang yang bisa dimintai tolong untuk mengawasi istrinya yang hamil selama dia pergi ke kantor. Jangan lupakan bahwa Arandita menginginkan makan masakan Bobby setiap hari dan Bastian sudah menyetujuinya dalam waktu 7 hari saja. Oleh karena itu agar lebih mudah dalam mengabulkan permintaan Arandita Bastian memilih tinggal di rumah lamanya ini. "Abang yang punya istri kok saya yang dipaksa masak terus?" Kadang Bobby juga protes saat Bastian meminta Bobby menyiapkan makanan untuk Arandita di pagi-pagi buta padahal pria itu masih mengantuk. "Ya mau gimana lagi orang itu ponakan kamu yang menginginkan, mau punya ponakan ileran?!" Begitulah selalu jawaban Bastian yang membuat Bobby mendesah kasar lalu melakukan apa yang diminta oleh Bastian. Selama Bobby memasak Bastian menemani di dapur bahkan terkadang keduanya bekerjasama jika dirasa Bobby sa
"Ya Allah Sayang, aku jadi bingung harus bahagia atau sedih ini?" Bastian benar-benar bingung, di satu sisi dia senang akan segera mendapatkan momongan Namun, di sisi lainnya dia juga sedih karena dengan kehamilan Arandita membuat dirinya harus menjauh dari sang istri. Sepertinya bayi dalam kandungan Arandita tidak menyukai ayahnya sendiri karena selalu merasa bau saat berdekatan dengannya. "Pokoknya Mas tunggu di situ aja, nggak usah masuk kamar mandi!" Arandita menunjuk ke sisi Bastian. Bastian langsung tidak bergerak. Arandita masuk ke dalam kamar mandi dan muntah-muntah di sana. Bastian menatap punggung Arandita dengan rasa iba. Ia ingin berbuat seperti suami yang lainnya yang siap siaga dan memijit belakang leher istrinya yang sedang muntah, tetapi apa daya Arandita malah melarangnya dan Bastian sendiri tidak mau Arandita semakin muntah jika dirinya mendekat. Saat selesai muntah Arandita mengibaskan tangan agar Bastian menyingkir dari tempatnya berdiri saat ini. "Ngenes ama