Hari mulai malam, tetapi Bella belum juga menerima kabar tentang Julio. Sembari menimang Alessandro, perhatian Bella terbagi pada ponsel.
Tok Tok Tok!Mendengar pintu diketuk, Bella bergegas membukanya."Kau?!" Bella terbelalak karena yang datang bukan John atau Belinda, melainkan Aaron.Bella melongo karena Aaron nyelonong masuk."Mau apa kau ke mari?!" tanya Bella dengan sorot mata tajam.Aaron tak memedulikan pertanyaan Bella. Ia membuka jasnya, lalu menyimpannya di kursi dan menggulung kemejanya sebatas siku."Sini, Sayang, sama Papa," ucap Aaron sembari mengulurkan tangan ke arah Alessandro.Mata Bella membulat sempurna, kaget. "Kata si-siapa ini anakmu! Kau salah!" ujar Bella sembari menjauhkan Alessandro dari Aaron.Aaron tersenyum. "Alessandro Addison. Itu namanya, kan? Sama seperti namaku. Aaron Addison.""Cih! Memangnya hanya kau saja yang bernama Addison? Tidak!"Aaron duduk di sofa dengan santainya. "Kalau kita lakukan tes DNA, gimana?"Deg!Bella bergeming. Jantungnya berdetak cepat karena merasa takut luar biasa. Bella mencoba bersikap tenang."Silakan pergi dari sini. Sudah malam, Ale mau tidur!" ujar Bella sembari melangkah masuk ke kamar.Bella menutup pintu rapat-rapat, lalu menguncinya. Lekas ia menidurkan Alessandro ke dalam box bayi. Setelah memastikan putranya tertidur pulas, Bella kembali ke luar untuk mengambil ponselnya. Jika saja ia tak butuh informasi mengenai Julio, tak sudi ia kembali ke luar lagi dari kamar.Rupanya Aaron masih tetap setia duduk di sofa. Bella menyambar ponselnya di atas meja, lalu melangkah menuju pintu."Cepat ke luar! Pintunya akan ditutup!"Aaron berdiri dan mengikuti arahan Bella. Tanpa Bella duga ternyata Aaron yang menutup pintu."Sudah aku tutup!" ucap Aaron, lalu tersenyum lebar."Kau ...!" Bella merasa geram.Aaron kembali tersenyum. Ia melangkah maju membuat Bella perlahan mundur."Ma-mau apa kau?" tanya Bella gugup, "pergi dari rumahku!"Napas Bella memburu karena kedua tangan Aaron telah mengunci pergerakannya. "Kau jangan macam-macam!""Beraninya kau melahirkan anakku tanpa memberitahuku!" ucap Aaron yang terdengar dingin.Bella berpaling muka. "Itu tidak penting!"Aaron mengusap perlahan pipi sebelah kanan Bella yang berhasil membuat sang empu pipi memejamkan mata karena takut."Menikahlah denganku!""Tidak!" tolak Bella tegas."Alessandro butuh sosok ayah.""Tapi bukan pria sepertimu!" kata Bella cepat."Kau jangan egois!""Dan kau jangan memaksaku!"Oe oe oe!Terdengar Alessandro menangis.Bella mendorong Aaron. "Pergi kau dari sini!" Bella bergegas ke kamar.Di kamar, Bella mengecek kondisi Alessandro di ranjang bayinya. Mulai mengecek suhu badan si bayi sampai kondisi popok."Ah, rupanya kamu haus, ya, Nak?" Bella mengangkat Alessandro, lalu duduk di tepi ranjang, memberi ASI kemudian.Bella mengusap kepala dan mengecup tangan Alessandro dengan sayang. Namun, seketika Bella terdiam. Ia mengingat kepada Aaron. Ada rasa takut yang meraja. Bella takut jika Aaron membawa Alessandro."Tidak! Mama tidak akan membiarkan itu terjadi!" gumamnya.Bella kembali terdiam. Ada tanya juga yang menganggu pikirannya. Dari siapa Aaron tahu jika Alessandro adalah putranya? Padahal, tidak ada satu orang pun yang tahu.Bayi mungil nan tampan itu menyudahi makan malamnya. Ia kembali menangis."Sayang, kenapa? Kalau masih haus, ya, mimik lagi, Nak." Bella menimang, lalu mencoba memberi ASI lagi, tetapi Alessandro tetap menangis. Lagi, Bella menimang sembari bernyanyi nina bobo."Sini, biar aku yang gendong!"Bella dibuat terkejut karena tanpa ia sadari Aaron masuk ke kamarnya. Ya, rupanya sedari tadi Aaron menyaksikan semua yang dilakukan Bella. Pintu yang terbuka lebar dan posisi Bella yang membelakangi pintu tentu saja memudahkan Aaron melihat ke dalam kamar."Kau benar-benar tidak sopan! Sudah nyelonong masuk rumahku, sekarang masuk kamarku!" pekik Bella.Aaron tidak peduli dengan ocehan Bella. Alessandro sudah di tangan Aaron dan pria itu membawanya ke luar. Aaron mencoba melakukan hal yang sama dengan Bella, menimang. Bayi itu perlahan tenang dan tertidur."Sini!" Bella mengambil alih Alessandro, "dan kau cepat ke luar atau aku teriak maling!""Bella, menikahlah denganku! Alessandro membutuhkan kita.""Itu katamu! Menurutku dia tidak membutuhkan hadirmu!"Aaron menghela napas. "Bagaimana kalau besar nanti dia bertanya ke mana papanya? Dia pasti malu sama teman-temannya."Bella tersenyum sinis. "Gampang! Bilang saja papanya sudah mati!""Tega!""Apa? Tega katamu?! Kau yang lebih tega bahkan kejam terhadapku!""Bella, ayoklah ... yang lalu biarlah berlalu. Sekarang yang terpenting adalah Alessandro. Aku ingin dia mendapatkan kasih sayang yang utuh.""Ya, kau benar. Yang terpenting adalah Alessandro. Tapi, perlakuanmu terhadapku itu yang tidak akan pernah aku lupakan, tidak akan pernah aku maafkan. Aku tidak bisa berpura-pura semua seolah-olah baik-baik saja. Oleh karena itu, tidak mungkin kita untuk bersatu!""Kalau begitu aku akan mengambil Alessandro darimu. Kau lupa siapa aku? Apa pun bisa aku lakukan!" Aaron mengancam.Bella tersenyum sarkas. "Lakukan sesukamu, orang kaya! Apa pun akan aku lakukan juga agar putraku tetap di sampingku! Aku tidak takut!"Bella menggiring Aaron untuk segera ke luar. Aaron pun hanya bisa pasrah dan akhirnya meninggalkan rumah Bella.Selepas Aaron pergi, Bella bergegas ke kamar untuk menidurkan Alessandro. Ditatapnya wajah Alessandro lekat."Bagaimana jika Mama tidak bisa memelukmu lagi, Nak?" Batin Bella.Aaron kembali ke rumah sakit. Damian melapor jika operasi Julio berhasil dan sedang menunggu pria paruh baya itu siuman."Tuan, boleh kita bicara sebentar?" tanya John. Aaron mengangguk. "Katakan saja!"John mengajak Aaron duduk di kursi pojok. "Sebelumnya aku minta maaf, Tuan. Sedari siang Anda bicara sebetulnya ada satu yang mengganjal pikiran ini. Apalagi, Anda sampai meminta alamat rumah kami.""To the point saja!" kata Aaron cepat. John menghela napas. "Apa Anda yang sudah memperkosa kakakku?""Iya, betul!" jawab Aaron mantap. John menatap tajam ke arah Aaron. Yang ditatap hanya bisa berkata, "Semua ada alasannya!""Apa pun itu aku tidak menerimanya. Anda sudah keterlaluan! Selama ini kakakku menderita fisik, juga batin!"John berdiri. "Jangan mentang-mentang Anda orang kaya jadi bisa berbuat seenaknya!"John hendak melangkah, tetapi Aaron segera mencekal lengannya. "Tunggu! Aku mohon dengarkan dulu!""Saat ini aku benar-benar butuh bantuanmu," lanjut Aaron. Walaupun kesal,
Hari berganti pagi. Pagi-pagi sekali Aaron bersemangat untuk pergi ke kediaman Bella. Ya, rupanya Aaron berhasil mendapatkan hati Belinda semalam. Aaron meyakinkan Belinda, bahwasanya ia akan menyayangi Bella serta Alessandro dengan sepenuh hati. Ia akan membayar semua kesalahannya. Pun Aaron meyakinkan jika Bella akan mendapatkan tempat terbaik di keluarganya. Jelas saja Aaron berkata demikian, karena Belinda takut jika kelurga besar Aaron tidak menerima Bella. Tidak hanya itu, hati Belinda tersentuh saat Aaron menceritakan kondisi Mitha. Aaron merasa yakin jika Mitha akan sembuh jika saja ada Bella dan Alessandro.Laptop sudah dalam genggaman. Aaron pun naik ke dalam mobil. "Damian? Bagaimana dengan bengkel?"Damian yang berada di belakang kemudi pun mengangkat ibu jari tangan kirinya. "Beres, Tuan. Lokasinya dekat ke arah pantai.""Bagus! Urus kepemilikannya segera. Tapi, bukan namaku. Melainkan John Hanan.""Siap laksanakan, Tuan!"Aaron melihat ke luar jendela. Entah mengapa ja
Aaron akhirnya menghubungi Damian agar mengirimnya makanan siap saji untuk sarapan. Lima belas menit berselang pesanan datang. Aaron mengetuk pintu kamar Bella mengajaknya untuk sarapan. Akan tetapi, Bella tak kunjung membukakan pintu. Perut Aaron yang sudah keroncongan memilih untuk sarapan terlebih dahulu. Sarapan selesai. Setelah membereskan bekas makannya, Aaron menyimpan bagian Bella di meja makan, lalu duduk kembali menghadap laptop. Embusan napas kasar lolos begitu saja dari mulut Aaron. Ia melihat ke arah kamar. Tidak ada tanda-tanda Bella ke luar. Aaron bergegas membereskan pekerjaannya agar segera pulang. Dengan demikian Bella akan ke luar kamar untuk makan. "Haaahh, akhirnya selesai!" ucap Aaron seraya menutup laptop. Aaron beranjak. Ia menghampiri kamar Bella. Tok tok tok! Diketuknya pintu kamar Bella. "Bella, aku akan pulang. Jadi, tolong makanlah! Kasian Ale kalau kau tidak makan. Kau juga jangan sampai sakit!" ucap Aaron setengah berteriak. "Aku pamit, ya? Cium
Di Kota Valencia. Setelah kepergian Aaron, Bella sarapan. Mau tidak mau, Bella memakan menu yang sudah Aaron siapkan. Sayang kalau dibuang, pikirnya. Masakan yang tadi belum selesai pun ia lanjutkan dan akan dibawanya ke rumah sakit. Urusan perut dan dapur sudah selesai. Saatnya bersiap ke rumah sakit. "Tampan sekali anak Mama. Kita ke rumah sakit, ya? Kita liat kakek," ucap Bella sembari membuka pintu. "Ya, Tuhan! Siapa kalian?!" Bella terhenyak saat melihat beberapa orang berbaju hitam serta seorang perempuan berbaju layaknya seorang perawat berdiri berjajar di depan pintu. "Maaf, kalau kami sudah membuat Nona kaget," ucap Damian. "Saya baru saja mau mengetuk pintu," lanjut Damian. Damian memperkenalkan diri serta lainnya. Damian mengatakan jika ada satu orang Baby Sitter, satu orang sopir dan tiga orang pengawal yang siap menjaga Bella. Bella melongo. "Ya, Tuhan! Tidak perlu! Aku tidak membutuhkan mereka!""Tapi, ini perintah Tuan Aaron, Nona," kata Damian. "Bilang sama tu
Di kota Birmingham.Hari merangkak malam. Angin dingin berembus yang kencang menyapa wajah Aaron yang tengah meneguk secangkir teh panas di balik jendela yang ia buka lebar. Sesekali Aaron melihat jam yang melingkar di tangan kirinya. Pun sesekali menoleh ke arah pintu. Ya, rupanya Aaron sedang menunggu kedatangan Kevin di kantor. "Sorry, gue telat!" ucap Kevin. Aaron menoleh, lalu tersenyum sarkas. "Tidak masalah!""Kalau begitu, langsung saja. Kabar apa yang bakal gue dengar kali ini?!" Kevin duduk bersandar dengan kedua tangan yang ia rentangkan pada sandaran sofa. Aaron menghampiri. "Ada dua kabar gembira yang harus kau dengar."Kevin mengibaskan tangannya. "Ellaaah, sejak kapan lu bertele-tele? Langsung saja!"Aaron turut duduk. "Apa yang kau ucapkan tempo hari ternyata benar. Bella hamil dan sekarang usia putraku sudah enam bulan."Kevin menepuk tangannya. "Nah, kan! Hahahaa .... Lalu, nikah, dong?" Kev
Pagi menjelang. Pagi-pagi sekali Aaron sudah berpakaian rapi dan menyuapi Mitha. Setelah memberinya obat, Aaron bersiap pergi ke kantor. "Mbok? Kalau Mami kambuh, tolong panggilkan dokter Diaz saja. Kemungkinan hari ini aku pulang malam," pesan Aaron kepada Marni. "Baik, Den.""Kalau begitu aku pamit, ya, Mbok?!""Iya, Den, hati-hati."Aaron tersenyum, kemudian melenggang pergi. Aaron sudah duduk di belakang kemudi. Gegas Aaron merogoh ponsel dalam saku dan mengirim pesan kepada nomor Emilia yang tertera di belakang kuitansi. Hampir saja ia lupa. Setelah pesan terkirim, Aaron menancap gas. *Tiba di parkiran SAP Company, Aaron bergegas turun. Banyaknya dokumen yang harus di cek dan ditandatangani membuat Aaron harus datang pagi-pagi. "Ke ruanganku!" Aaron memanggil Damian melalui telepon kantor. Tidak berselang lama, Damian datang. "Kalau ada wanita bernama
Rumah sakit di kota Valencia. Sedari malam, Julio terus menanyakan keberadaan Bella. Walaupun ia selalu bersitegang dengan sang putri, sesungguhnya ia sangatlah menyayanginya. "Sebentar lagi mungkin ke sini, Yah. Paling juga nunggu Ale bangun," kata Belinda. Julio mengangguk pelan. "John ke mana?" tanya Julio. "Anak ayah itu katanya kerja di bengkel.""Tidak kuliah?""Masih, Yah. Kalau kerja di bengkel dia sesuaikan dengan jam kampus."Julio masih saja berbicara. Pria paruh baya itu bertanya perihal uang pengobatan dan lainnya. "Urusan biaya rumah sakit, Ayah tidak usah khawatir. Pemilik apartemen itu bertanggungjawab, kok.""Syukurlah. Maafin Ayah, Bu .... Ayah menambah beban keluarga. Setelah Bell--""Cukup, Yah!" sela Belinda, karena ia tahu ke mana arah Julio bicara. "Bella sama sekali bukan beban keluarga kita. Asal Ayah tau, pria itu mau, kok, bertang--" Belinda menggantung
Bella sudah berada di dalam mobil. Aaron langsung meminta sopir serta suster untuk turun dan berpindah ke mobil lain. Aaron sudah duduk di belakang kemudi.Bella yang tidak ingin bersama pria itu pun meraih handle pintu hendak ke luar, tetapi Aaron segera menguncinya. "Lebih baik kita Jalan-jalan," ucap Aaron sembari membuka jasnya, lalu menyimpannya di sandaran jok. Aaron menghela napas, menoleh ke arah Bella kemudian, sembari berkata, "Aku minta maaf soal tadi."Mobil pun melaju. Tidak ada kata dari keduanya. Hanya rengekan bayi yang sepertinya kehausan. "Kenapa, Sayang, hem? Kamu haus?" ucap Bella sembari menepuk-nepuk pelan bokong si bayi. Ingin sekali Bella menyusui Alessandro. Akan tetapi, tidak mungkin baginya untuk membuka kancing baju, lalu mengeluarkan buah dadanya begitu saja. Walaupun Aaron sudah melihat bahkan merasakannya, sungguh tidak sudi jika Aaron melihatnya lagi. "Kenapa tidak disusui k
Hari demi hari Aaron lalui dengan ketegangan karena pasalnya, Bella sering mengalami kontraksi. Dua minggu terakhir ini pula Aaron kembali bekerja di rumah ia ingin menjadi suami siap siaga. "Apa tidak lelah?" tanya Aaron sembari menuntun Bella yang sedang menyusuri jalan setapak di taman belakang. "Tidak. Justru aku harus tetap semangat. Aku ingin merasakan lahiran normal."Aaron mengecup punggung tangan Bella. "Semoga, Sayang.""Kalian di sini rupanya!"Suara bariton memecah keromantisan mereka. Keduanya menoleh. "Ke mana saja kau, hah?" sapa Aaron yang terkesan mengintimidasi. Kevin tersenyum. "Ada. Merintis bisnis.""Sendiri?" sambung Bella bertanya. Kevin menggeleng. "Tidak. Istriku ada di dalam. Sedang mencurahkan rindu kepada papanya."Emilia datang. Kedatangan wanita itu benar-benar mencuri perhatian Bella. "Waaahh, kau juga sedang hamil?"Emilia tersenyum."Berapa bulan?" "Minggu ini HPL.""Waaah, kok, bisa sama."Kedua wanita perut buncit itu memilih memisahkan diri d
Drama muntah-muntah dan tersiksanya Aaron karena hasratnya yang jarang tersalurkan akhirnya sudah berakhir. Usia kandungan Bella yang sudah memasuki sembilan bulan ini justru membuat Aaron mengambil kesempatan dimana dirinya hampir setiap hari meminta haknya dengan dalih agar si bayi lahir dengan lancar dan normal. Maklum saja, karena sampai detik ini Bella masih saja senang mengusap-usap dada bidang Aaron dan Aaron harus mengusap-usap perut buncit Bella.Seperti malam ini ... "Terima kasih, Sayang," ucap Aaron. "Iya, tapi tangannya jangan berhenti! Terus usap perutku!" rengek Bella. "Iya, Sayang. Ya sudah, sekarang lebih baik kau tidur."Bella menggeleng. "Ngantuknya jadi hilang."Aaron terkekeh-kekeh. "Maaf, Sayang.""Sayang? Apa kau tidak penasaran dengan jenis kelamin anak kedua kita ini?""Penasaran, sih. Tapi, tidak apa-apa ... lebih baik dokter tidak sebutkan jenis kelaminnya, biar jadi kejutan! Dalam hitungan minggu ke depan juga akan lahir. Jadi, semoga sesuai dengan kein
Hari sudah malam. Bella sudah berada di Mansion. Semua keluarga pun berkumpul di sana. Aaron, pria itu rela meninggalkan pekerjaannya demi menemani Bella. Saat ini, Bella masih tertidur setelah meminum obat dari dokter. "John? Besok ke cabang minta antar sopir saja, ya? Temui manager di sana dan nanti dia yang akan mengenalkan mu kepada para karyawan di sana.""Siap, Kakak Ipar.""Semoga sukses!"John tersenyum lebar memperlihatkan barisan giginya. "Terima kasih."Aaron berdecih, karena pasalnya tingkah sang adik ipar terkadang masih terlihat seperti anak kecil. "Kalau begitu aku pulang, ya, Kak? Sekalian jemput ayang.""Silakan, Bos Muda!"John meninggalkan kamar Aaron sembari tersenyum. Aaron memastikan Alessandro sudah tertidur pulas di kamarnya. Kamar yang berada tepat di samping kamarnya itu ia sulap menjadi kamar anak disertai dengan pintu ganda yang bertujuan untuk memudahkan Aaron atau Bella masuk ke kamar Alessandro. Perlahan Aaron naik ke atas ranjang. Setelah memposis
"Sedang apa kalian?!" seru Bella setelah pintu ruangan Aaron ia dorong dengan kencangnya. Aaron serta dua wanita yang duduk di kursi tepat di hadapannya seketika menoleh. Aaron berdiri. "Loh, Sayang, sudah pulang? Kenap--""Iya, aku sudah pulang! Kenapa? Kaget melihat aku ada di sini, iya? Kencanmu merasa terganggu, begitu?!"Aaron meminta dua wanita itu untuk ke luar, sedangkan dirinya menghampiri Bella. "Sayang, ada apa?"Bella menepis tangan Aaron yang bertengger di pundak. "Mereka siapa?!""Aku sedang interview beberapa calon sekretaris, Say--""Sudah aku katakan, bukan? Jangan cari sekretaris wanita!""Begini, Sayang. Aku me--""Apa? Kau mau mendua, iya?!""Ya Tuhan, Sayang ...," Aaron sengaja menggantung ucapannya. Percuma saja menjelaskan, karena ia tahu betul jika Bella tidak baik-baik saja. Aaron mengambil alih Alessandro, lalu merengkuh Bella, membawanya ke dalam pelukan. Tangis Bella pun pecah. John, pemuda itu perlahan masuk. Melihat sang kakak menangis, dengan sigap
Usia Alessandro kini sudah menginjak tiga tahun. Batita itu sangat lincah, cerewet, pintar dan pandai meniru apa yang orang dewasa lakukan. Dua tahun pula Bella menjalani program hamil. Tak kunjung hamil, kadang membuat Bella stress, putus asa. Sampai akhirnya Aaron menyarankan agar Bella mengantar Alessandro sekolah --play group. John, sudah dua tahun ini pria itu belajar tentang perusahaan, bagaimana cara memimpin dan bisnis lainnya. Semua dengan telaten Aaron yang ajarkan. Urusan cinta, jelas saja Patricia sudah resmi menjadi kekasihnya. Patricia pun sudah bekerja di sebuah rumah sakit di kota Birmingham. Semua ia lakukan agar dekat dengan John. Tak hanya pasangan kekasih itu yang pindah ke kota Birmingham, tetapi kedua orang tua Bella. Bukan kemauan mereka, tetapi Bella'lah yang ingin dekat dengan keluarga, walaupun tidak tinggal serumah. Ada Mitha dan Robert yang tinggal di Swiss. Kedua lansia itu memilih hidup berdua, menikmati masa-masa indah yang pernah hilang dahulu. Merek
Belinda menghela napas. Rasa iba berhasil bergelayut manja dalam benaknya. Dengan raut cemas, ia duduk di samping John. "John? Ibu tidak peduli dengan statusnya. Ibu sungguh merasa kasihan. Dekati wanita itu, ambil hatinya. Jadikan dia menantu Ibu."John bernapas lega. Bagaimana tidak? John pikir, tadi ibunya tidak akan merestui. Tetapi ternyata, jauh dari pikirannya. Sang ibu terlihat sangat menyayangi Patricia walau belum mengenalnya sama sekali. Mendapat lampu hijau, sungguh membuat John senang. Ia akan berusaha untuk mengabulkan keinginan Belinda. Keinginan sang ibu yang tentunya dibarengi dengan rasa cinta yang teramat, tentu saja akan ia perjuangkan. "Terima kasih, Bu. Tapi, bagaimana dengan ayah?""Ayah pasti setuju dengan keputusan Ibu. Tenang saja."John tersenyum lebar. "Selamat!" ucap Aaron. "Dan semangat!" timpal Bella cepat, sembari mengepalkan tangan. John mengangguk, lalu pamit ke luar. Belinda tersenyum. Sebagai seorang perempuan sekaligus seorang ibu tentu bis
Di rumah sakit, ada Bella yang sedang berganti pakaian. "Sayang? Apa kau bisa hubungi Kevin?" pinta Bella. "Untuk?""Aku mau minta maaf kepada Emilia."Aaron yang sedang melipat baju kotor pun menoleh. "Sudahlah, kita tidak usah berhubungan lagi dengan wanita itu. Lagipula, kau tidak bersalah.""Aku mohon!" Bella memelas. Aaron menghela napas. Tidak ingin mengecewakan Bella, akhirnya Aaron menghubungi sahabatnya itu. "Oke, dia akan datang ke mari. Paling nanti sore mereka tiba di rumah sakit.""Terima kasih, suamiku!"Aaron tersenyum. "Sama-sama." Aaron melanjutkan kegiatannya. "Tapi, kok, kalau kau yang menghubungi Kevin, dia menjawab. Sedangkan aku, nomornya selalu tidak aktif.""Nomornya ganti.""Oh, pantas kalau begitu."Aaron sudah mengemasi baju kotor. Sedangkan Bella berusaha turun dari ranjang. Ia akan belajar berjalan. Aaron yang melihat dengan sigap membantu. Saat asyik belajar berjalan, Bella berkata, "Kok, Ale belum ke sini, ya?""Kenapa memangnya?"Bella sedikit men
Hari menjelang malam. Aaron baru saja mengantarkan Alessandro ke rumah sang mertua. Ia tidak akan membiarkan Alessandro tinggal di rumah sakit meskipun sang istri dirawat di kamar dengan fasilitas paling lengkap. Alessandro sudah bisa berjalan dan pasti ingin bermain di luar. Kekebalan tubuh Alessandro belum tentu kuat menahan segala virus yang ada di sekitar. Oleh karena itu, jalan terbaik adalah Alessandro tinggal bersama kakek dan neneknya. Mobil Aaron baru saja terparkir di area rumah sakit. Ia bergegas turun karena pasti Bella sudah menunggu, karena sang istri meminta dibawakan nasi serta sayur buatan Belinda. Aaron berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Namun, langkahnya terhenti saat mendengar suara dari orang yang sangat ia kenal, yakni Robert. "Apa kita bisa melewati hari tua bersama?" tanya Robert. "Entahlah."Aaron menajamkan pendengarannya. Rupanya Robert sedang bersama Mitha. "Apa cintamu sudah sepenuhnya hilang untukku?""Kita sudah tua, tidak usah bahas cinta.""A
Bruk! John tanpa sengaja menyenggol pundak seorang perawat di koridor, yang membuat dokumen di tangannya terjatuh. "Sorry!" ucap John. Perawat itu tersenyum. "Tidak apa-apa." Sang perawat meraih dokumen itu.John hanya bisa memerhatikan karena sedang menggendong Alessandro dan menenteng satu tas kecil. "Mau besuk?" tanya perawat. "Iya, mau ke kamar VVIP."John tersenyum saat sang perawat itu tersenyum menampakkan barisan giginya yang putih dengan satu gigi gingsul di bagian atas sebelah kanan. Sungguh terlihat manis di mata John. "Tampan sekali putranya," kata Sang perawat sembari mencubit gemas pipi Alessandro. "Ini keponakan saya. Saya masih single.""Ooh, masih single, maaf."Perawat itu tersenyum, lalu pamit pergi. Kepergian sang perawat ternyata menyisakan rasa penasaran di hati John. John ingin mengenal lebih jauh wanita itu. Tanpa berkedip, John melihat kepergian perawat itu sampai hilang di balik tembok. "Ah, ya Tuhan, maafin Om, Sayang." John tersadar saat Alessandro