Aaron akhirnya menghubungi Damian agar mengirimnya makanan siap saji untuk sarapan. Lima belas menit berselang pesanan datang. Aaron mengetuk pintu kamar Bella mengajaknya untuk sarapan. Akan tetapi, Bella tak kunjung membukakan pintu. Perut Aaron yang sudah keroncongan memilih untuk sarapan terlebih dahulu.
Sarapan selesai. Setelah membereskan bekas makannya, Aaron menyimpan bagian Bella di meja makan, lalu duduk kembali menghadap laptop.Embusan napas kasar lolos begitu saja dari mulut Aaron. Ia melihat ke arah kamar. Tidak ada tanda-tanda Bella ke luar.Aaron bergegas membereskan pekerjaannya agar segera pulang. Dengan demikian Bella akan ke luar kamar untuk makan."Haaahh, akhirnya selesai!" ucap Aaron seraya menutup laptop.Aaron beranjak. Ia menghampiri kamar Bella.Tok tok tok!Diketuknya pintu kamar Bella."Bella, aku akan pulang. Jadi, tolong makanlah! Kasian Ale kalau kau tidak makan. Kau juga jangan sampai sakit!" ucap Aaron setengah berteriak."Aku pamit, ya? Ciumkan ciuman sayangku di pipi Alessandro!" lanjut Aaron, kemudian berlalu. Tak lupa ia membawa laptop.Baru saja tiba di terasa depan, Damian datang."Tuan mau ke mana?" tanya Damian."Kembali ke hotel," jawab Aaron cepat, "sudah menghubungi notaris?""Sudah, Tuan."Aaron memutuskan untuk duduk terlebih dahulu."Bagaimana kasus apartemen? Sudah ada titik terang?" tanya Aaron.Damian menggeleng. "Belum, Tuan. Tapi, polisi menaruh curiga kepada mandor kita.""Mandor yang baru itu?""Betul, Tuan."Aaron mengerutkan dahi. "Ada apa dengan mandor itu?""Diduga dia mengoplos bahan bakunya, Tuan."Aaron menghela napas. "Pokoknya usut sampai tuntas!""Baik, Tuan."Damian juga mengabarkan jika Julio sudah siuman. Mendengar itu Aaron merasa senang. Ia akan menunggu Julio benar-benar pulih untuk meminta restu."Damian?! Hari ini kita kembali ke Birmingham. Tapi, sebelumnya tolong cari baby sitter!" Pun Aaron memerintahkan agar Damian menyediakan satu buah mobil lengkap dengan sopir untuk keluarga Bella. Tidak hanya itu, Damian diminta untuk mengerahkan beberapa orang untuk menjaga dan mengikuti ke mana Bella pergi."Laksanakan, Tuan!"Ponsel Aaron berdering. Pria tampan dengan janggut tipis serta bulu halus di pipi itu segera menerima panggilan."Ada apa, Tuan?" tanya Damian saat Aaron menyudahi panggilan."Mami ngamuk. Jadi, sebaiknya aku pulang sekarang. Cepat kembali jika yang sudah aku perintahkan tadi selesai!"Damian mengangguk. "Baik, Tuan."Aaron beranjak. Sebelum benar-benar pergi ia menoleh ke belakang. Tampak di dalam rumah Bella sedang menggendong Alessandro.Aaron menghampiri."Boleh aku menggendong Ale?"Tanpa kata Bella menyerahkan bayinya."Sayang, Papa pulang dulu, ya? Nenekmu sakit. Papa harap, suatu saat nanti kamu dan mamamu bisa ikut sama Papa." Aaron menciumi Alessandro dan memeluknya penuh kasih sayang.Aaron menyerahkan kembali Alessandro kepada Bella.Sembari menepuk pelan pundak Bella, Aaron berkata, "Jaga kesehatan, ya? Jangan lupa sarapan. Aku pamit!"Aaron melangkah pergi. Namun, tiba-tiba saja Aaron menghentikan langkahnya. Ia berpikir, walaupun sejumlah uang sudah Aaron berikan kepada John, tetapi bagaimana jika detik ini juga Bella membutuhkan uang? Akhirnya Aaron kembali menghampiri Bella."Bella?" panggil Aaron di ruang tamu.Bella datang.Aaron mengeluarkan black card dari dompetnya."Ini untukmu!""Aku tidak butuh!"Sudah Aaron duga, Bella pasti tidak mau menerimanya."Ini untuk kebutuhan Alessandro. Maaf, aku tidak mau putraku dan calon istriku kekurangan apa pun. Pakailah uang ini sesukamu!" Aaron menyimpan kartu itu di atas meja."Aku bisa bekerja untuk memenuhi kebutuhan putraku!""Ale putraku juga, Bella! Ingat itu! Kalau kau memaksa untuk bekerja, kalau begitu terima kasih sudah bekerja untukku. Sudah mengandung Ale sembilan bulan, sudah melahirkannya, dan sudah membesarkannya hingga usianya sekarang. Oleh karena itu, silakan ambil upahmu sebesar yang kau mau. Permisi!"Aaron pun pergi diantar Damian menuju hotel sebelum ke bandara.**Menjelang siang, Aaron sudah tiba di Bandar Udara Internasional Birmingham. Mobil hitam nan mewah sudah siap mengantar Aaron menuju mansion miliknya.Tiba di mansion, Aaron bergegas turun dan menemui Mitha di kamar. Kamar yang Aaron sengaja sediakan untuk sang mama di lantai tiga dengan nuansa hijau, warna favorit Mitha."Bagaimana Mami?" tanya Aaron kepada Marni --asisten rumah tangganya yang sudah tiga puluh tahun membersamai keluarga Addison."Seperti biasa, Den, Nyonya akan menangis ketika melihat foto Tuan Addison dan akan berteriak-teriak, mungkin ketika mengingat kejadian itu."Aaron menghela napas, lalu menghampiri Mitha yang sedang duduk bersandar di ranjang."Mami?" sapa Aaron, lalu duduk di samping Mitha.Mitha tersenyum menyambut putranya. Tanpa kata, wanita paruh baya itu membelai pipi Aaron.Aaron meraih kedua tangan Mitha, lalu menciumnya. "Maaf, beberapa hari ini Aaron tidak ada di samping Mami. Aaron ada perjalanan bisnis, Mi. Mami sudah makan dan minum obat?"Aaron melihat kedua mata sang mama berkaca. Pun dengan tangan yang ditariknya. Aaron paham betul jika Mitha tak menginginkannya pergi. Dua tahun kepergian Addison, kondisi Mitha baik-baik saja. Namun, setelah tiga tahun hingga kini, kesehatan Mitha menurun bahkan bisa dibilang setengah gila. Dan Aaron tidak pernah meninggalkan Mitha dalam waktu yang lama."Nyonya tidak mau makan dan minum obat, Den," kata Marni."Kalau begitu, tolong ambilkan makan serta obatnya, Mbok. Biar aku yang suapi Mami.""Baik, Den."Tidak berselang lama, Marni kembali dengan membawa nampan berisi sepiring nasi berserta lauk-pauk juga obat.Aaron lekas mengambilnya."Aaaa ... buka mulut Mami!" pinta Aaron dengan sesendok nasi yang siap meluncur.Mitha tersenyum, lalu membuka mulutnya. Suap demi suap berhasil masuk ke dalam mulut Mitha sampai akhirnya nasi di piring habis."Sekarang minum obat, ya, Mi?!" Aaron memberikan satu butir obat. Beruntung Mitha tidak menolak.Aaron menata bantal agar Mitha nyaman untuk duduk bersandar. Aaron meraih satu tangan Mitha."Mi, Mami sudah punya cucu. Tampan sekali. Namanya Alessandro Addison," ucap Aaron tiba-tiba.Diangkatnya tangan Mitha hingga mendarat di kepala Aaron. "Aaron sudah melakukan kesalahan besar, Mi. Aaron harap Mami tidak marah. Mami tenang saja, Aaron akan bertanggung jawab dengan menikahi wanita itu."Aaron menatap lurus ke depan. Bibirnya spontan melengkungkan senyum saat membayangkan wajah cantik Bella. "Namanya Bella, Mi. Cantik sekali."Aaron menoleh ke arah Mitha. Tampak kedua mata wanita paruh bayar itu menyipit seolah-olah meminta penjelasan. Aaron perlahan menceritakan apa yang sudah terjadi, walaupun entah ... Mitha bisa mencerna atau tidak."Restui Aaron, ya, Mi. Dan tolong nanti Mami sayangi Bella juga Alessandro. Mereka tidak bersalah. Mereka menantu dan cucu terbaik Mami."Aaron melihat Mitha tersenyum, bahkan kedua tangan Mitha membingkai wajah Aaron. Tidak hanya itu, Mitha mengusap kepala Aaron dengan sayang.Dari sikap Mitha, Aaron menyimpulkan jika Mitha menangkap dan memahami apa yang sudah terjadi. Mitha merestui? Mungkin."Ya, sudah, sekarang lebih baik Mami tidur, istirahat, ya? Aaron mau lanjut ke kantor.Aaron beranjak."Bi, tolong terus awasi Mami!""Baik, Den."Aaron bergegas meninggalkan kamar.Di luar kamar, beberapa orang berbaju hitam tengah berdiri tegap."Semuanya?! Jangan biarkan siapapun masuk kecuali Mbok Mar dan dokter Diaz. Mengerti?!""Mengerti, Tuan."**Dengan mengendarai mobil Ferrari, Aaron tiba di SAP Company."Selamat siang, Tuan?!" sapa sang resepsionis."Hem, siang!" jawab Aaron sambil terus melangkah masuk."Tuan, tunggu!" Resepsionis itu berlari mengejar Aaron. Aaron pun menghentikan langkah."Tadi pagi ada Nona Emilia Robert ke mari. Katanya, mau meminta ganti rugi atas kerusakan mobil yang Anda tabrak." Sang resepsionis menyerahkan selembar kuitansi.Aaron menerimanya."Tadi kau bilang namanya siapa?""Emilia Robert, Tuan. Putrinya Tuan Robert yang pengusaha itu. Katanya, sih, Tuan juga pasti tahu ayahnya yang mana."Aaron tersenyum samar. "Oke, terima kasih!"Resepsionis itu pun kembali ke tempatnya dan Aaron masuk ke ruangannya.Aaron duduk di kursi kebesarannya dengan senyum yang terus terukir. Aaron sangat bahagia mendengar kabar itu. Tidak usah repot-repot mencari, ternyata mangsa menghampiri, pikirnya.Apa yang akan Aaron lakukan? Apa ia akan melakukan hal yang sama seperti apa yang sudah ia lakukan terhadap Bella?Di Kota Valencia. Setelah kepergian Aaron, Bella sarapan. Mau tidak mau, Bella memakan menu yang sudah Aaron siapkan. Sayang kalau dibuang, pikirnya. Masakan yang tadi belum selesai pun ia lanjutkan dan akan dibawanya ke rumah sakit. Urusan perut dan dapur sudah selesai. Saatnya bersiap ke rumah sakit. "Tampan sekali anak Mama. Kita ke rumah sakit, ya? Kita liat kakek," ucap Bella sembari membuka pintu. "Ya, Tuhan! Siapa kalian?!" Bella terhenyak saat melihat beberapa orang berbaju hitam serta seorang perempuan berbaju layaknya seorang perawat berdiri berjajar di depan pintu. "Maaf, kalau kami sudah membuat Nona kaget," ucap Damian. "Saya baru saja mau mengetuk pintu," lanjut Damian. Damian memperkenalkan diri serta lainnya. Damian mengatakan jika ada satu orang Baby Sitter, satu orang sopir dan tiga orang pengawal yang siap menjaga Bella. Bella melongo. "Ya, Tuhan! Tidak perlu! Aku tidak membutuhkan mereka!""Tapi, ini perintah Tuan Aaron, Nona," kata Damian. "Bilang sama tu
Di kota Birmingham.Hari merangkak malam. Angin dingin berembus yang kencang menyapa wajah Aaron yang tengah meneguk secangkir teh panas di balik jendela yang ia buka lebar. Sesekali Aaron melihat jam yang melingkar di tangan kirinya. Pun sesekali menoleh ke arah pintu. Ya, rupanya Aaron sedang menunggu kedatangan Kevin di kantor. "Sorry, gue telat!" ucap Kevin. Aaron menoleh, lalu tersenyum sarkas. "Tidak masalah!""Kalau begitu, langsung saja. Kabar apa yang bakal gue dengar kali ini?!" Kevin duduk bersandar dengan kedua tangan yang ia rentangkan pada sandaran sofa. Aaron menghampiri. "Ada dua kabar gembira yang harus kau dengar."Kevin mengibaskan tangannya. "Ellaaah, sejak kapan lu bertele-tele? Langsung saja!"Aaron turut duduk. "Apa yang kau ucapkan tempo hari ternyata benar. Bella hamil dan sekarang usia putraku sudah enam bulan."Kevin menepuk tangannya. "Nah, kan! Hahahaa .... Lalu, nikah, dong?" Kev
Pagi menjelang. Pagi-pagi sekali Aaron sudah berpakaian rapi dan menyuapi Mitha. Setelah memberinya obat, Aaron bersiap pergi ke kantor. "Mbok? Kalau Mami kambuh, tolong panggilkan dokter Diaz saja. Kemungkinan hari ini aku pulang malam," pesan Aaron kepada Marni. "Baik, Den.""Kalau begitu aku pamit, ya, Mbok?!""Iya, Den, hati-hati."Aaron tersenyum, kemudian melenggang pergi. Aaron sudah duduk di belakang kemudi. Gegas Aaron merogoh ponsel dalam saku dan mengirim pesan kepada nomor Emilia yang tertera di belakang kuitansi. Hampir saja ia lupa. Setelah pesan terkirim, Aaron menancap gas. *Tiba di parkiran SAP Company, Aaron bergegas turun. Banyaknya dokumen yang harus di cek dan ditandatangani membuat Aaron harus datang pagi-pagi. "Ke ruanganku!" Aaron memanggil Damian melalui telepon kantor. Tidak berselang lama, Damian datang. "Kalau ada wanita bernama
Rumah sakit di kota Valencia. Sedari malam, Julio terus menanyakan keberadaan Bella. Walaupun ia selalu bersitegang dengan sang putri, sesungguhnya ia sangatlah menyayanginya. "Sebentar lagi mungkin ke sini, Yah. Paling juga nunggu Ale bangun," kata Belinda. Julio mengangguk pelan. "John ke mana?" tanya Julio. "Anak ayah itu katanya kerja di bengkel.""Tidak kuliah?""Masih, Yah. Kalau kerja di bengkel dia sesuaikan dengan jam kampus."Julio masih saja berbicara. Pria paruh baya itu bertanya perihal uang pengobatan dan lainnya. "Urusan biaya rumah sakit, Ayah tidak usah khawatir. Pemilik apartemen itu bertanggungjawab, kok.""Syukurlah. Maafin Ayah, Bu .... Ayah menambah beban keluarga. Setelah Bell--""Cukup, Yah!" sela Belinda, karena ia tahu ke mana arah Julio bicara. "Bella sama sekali bukan beban keluarga kita. Asal Ayah tau, pria itu mau, kok, bertang--" Belinda menggantung
Bella sudah berada di dalam mobil. Aaron langsung meminta sopir serta suster untuk turun dan berpindah ke mobil lain. Aaron sudah duduk di belakang kemudi.Bella yang tidak ingin bersama pria itu pun meraih handle pintu hendak ke luar, tetapi Aaron segera menguncinya. "Lebih baik kita Jalan-jalan," ucap Aaron sembari membuka jasnya, lalu menyimpannya di sandaran jok. Aaron menghela napas, menoleh ke arah Bella kemudian, sembari berkata, "Aku minta maaf soal tadi."Mobil pun melaju. Tidak ada kata dari keduanya. Hanya rengekan bayi yang sepertinya kehausan. "Kenapa, Sayang, hem? Kamu haus?" ucap Bella sembari menepuk-nepuk pelan bokong si bayi. Ingin sekali Bella menyusui Alessandro. Akan tetapi, tidak mungkin baginya untuk membuka kancing baju, lalu mengeluarkan buah dadanya begitu saja. Walaupun Aaron sudah melihat bahkan merasakannya, sungguh tidak sudi jika Aaron melihatnya lagi. "Kenapa tidak disusui k
Aaron mengantar Bella pulang. Wanita cantik itu benar-benar tidak memedulikan keberadaan Aaron. Ia membiarkan ayah dari Alessandro itu duduk di teras. Jika saja Aaron tidak berjanji kepada Mitha untuk membawa Bella serta putranya, enggan baginya untuk bertahan di sana. Jika saja bukan karena tanggung jawab, enggan baginya mengejar wanita egois seperti Bella."Eh, ada Kakak Ipar," sapa John yang baru saja datang, "kok, gak masuk?""Kakakmu marah," jawab Aaron singkat. John duduk di samping Aaron. "Udah sparing sama siapa?" tanya John lagi sembari menunjuk sudut bibirnya sendiri. Aaron tersenyum sarkas, lalu menceritakan apa yang sudah terjadi. "Haaahh, Kak Bella aneh juga kalau dipikir-pikir! Tapi, mau gimana lagi Kakak Ipar? Kakakku memang seperti itu orangnya."Aaron tersenyum. "Ya, ya .... Yang terpenting aku sudah mengantongi restu dari ayahmu juga, John."John tersenyum lebar. "Waah, selamat, ya? Tinggal
Setelah mendapat pengobatan kedua dari Bella, Aaron malah merasakan sakit yang luar biasa. Bagaimana tidak? Karena Bella menekan lukanya tanpa ampun. Jarum jam sudah menunjuk pada angka delapan malam itu. Seharusnya Aaron segera kembali ke kota Birmingham. Akan tetapi, ada hal penting yang belum Aaron sampaikan kepada Bella. Jadi, Aaron memutuskan untuk bertahan di sana dan menginap di hotel. Tak lupa, Aaron meminta Damian untuk datang esok. *Pagi-pagi sekali Aaron sudah bangun. Ia pergi ke arena gym yang ada di hotel. "Di mana?" tanya Aaron kepada Damian melalui sambungan telepon. "Saya sudah tiba di kamar Anda, Tuan.""Sepuluh menit lagi aku kembali!" Aaron mematikan sambungan sepihak. Dirasa sudah cukup, Aaron menyudahi kegiatannya. Tubuh Aaron yang ideal berhasil mencuri perhatian seorang wanita di sana. "Hai, boleh kenalan?" Wanita itu mengulurkan tangan. "Tidak usah berkenalan dengan
Hari sudah malam, tetapi mata Robert enggan terpejam. Ia gelisah karena Emilia tak kunjung pulang. Sudah lebih dari sepuluh kali pria paruh baya itu menghubungi ponsel Emilia, tetapi nihil. Ponsel Emilia tak dapat dihubungi.Tok tok tok! Terdengar suara pintu diketuk. "Masuk!" seru Robert, sembari menyalakan lampu kamar. Rupanya orang kepercayaan Robert yang masuk. "Lapor, Tuan. Nona Emilia menolak untuk pulang."Rahang Robert mengeras. "Aku bilang seret!""Sungguh kami tidak tega, Tuan. Tapi, kami pastikan Nona Emilia kembali esok.""Kau yakin?""Sangat yakin, Tuan.""Lalu, bagaimana dengan Aaron?"Orang itu pun melaporkan di mana posisi Aaron dan apa saja yang Aaron kerjakan. Tidak hanya kegiatan Aaron, tetapi apa yang Aaron rencanakan untuk Emilia pun ia katakan. Robert tersenyum sarkas. "Terus awasi Aaron!"Robert mengambil selembar foto di dalam laci nakas.
Hari demi hari Aaron lalui dengan ketegangan karena pasalnya, Bella sering mengalami kontraksi. Dua minggu terakhir ini pula Aaron kembali bekerja di rumah ia ingin menjadi suami siap siaga. "Apa tidak lelah?" tanya Aaron sembari menuntun Bella yang sedang menyusuri jalan setapak di taman belakang. "Tidak. Justru aku harus tetap semangat. Aku ingin merasakan lahiran normal."Aaron mengecup punggung tangan Bella. "Semoga, Sayang.""Kalian di sini rupanya!"Suara bariton memecah keromantisan mereka. Keduanya menoleh. "Ke mana saja kau, hah?" sapa Aaron yang terkesan mengintimidasi. Kevin tersenyum. "Ada. Merintis bisnis.""Sendiri?" sambung Bella bertanya. Kevin menggeleng. "Tidak. Istriku ada di dalam. Sedang mencurahkan rindu kepada papanya."Emilia datang. Kedatangan wanita itu benar-benar mencuri perhatian Bella. "Waaahh, kau juga sedang hamil?"Emilia tersenyum."Berapa bulan?" "Minggu ini HPL.""Waaah, kok, bisa sama."Kedua wanita perut buncit itu memilih memisahkan diri d
Drama muntah-muntah dan tersiksanya Aaron karena hasratnya yang jarang tersalurkan akhirnya sudah berakhir. Usia kandungan Bella yang sudah memasuki sembilan bulan ini justru membuat Aaron mengambil kesempatan dimana dirinya hampir setiap hari meminta haknya dengan dalih agar si bayi lahir dengan lancar dan normal. Maklum saja, karena sampai detik ini Bella masih saja senang mengusap-usap dada bidang Aaron dan Aaron harus mengusap-usap perut buncit Bella.Seperti malam ini ... "Terima kasih, Sayang," ucap Aaron. "Iya, tapi tangannya jangan berhenti! Terus usap perutku!" rengek Bella. "Iya, Sayang. Ya sudah, sekarang lebih baik kau tidur."Bella menggeleng. "Ngantuknya jadi hilang."Aaron terkekeh-kekeh. "Maaf, Sayang.""Sayang? Apa kau tidak penasaran dengan jenis kelamin anak kedua kita ini?""Penasaran, sih. Tapi, tidak apa-apa ... lebih baik dokter tidak sebutkan jenis kelaminnya, biar jadi kejutan! Dalam hitungan minggu ke depan juga akan lahir. Jadi, semoga sesuai dengan kein
Hari sudah malam. Bella sudah berada di Mansion. Semua keluarga pun berkumpul di sana. Aaron, pria itu rela meninggalkan pekerjaannya demi menemani Bella. Saat ini, Bella masih tertidur setelah meminum obat dari dokter. "John? Besok ke cabang minta antar sopir saja, ya? Temui manager di sana dan nanti dia yang akan mengenalkan mu kepada para karyawan di sana.""Siap, Kakak Ipar.""Semoga sukses!"John tersenyum lebar memperlihatkan barisan giginya. "Terima kasih."Aaron berdecih, karena pasalnya tingkah sang adik ipar terkadang masih terlihat seperti anak kecil. "Kalau begitu aku pulang, ya, Kak? Sekalian jemput ayang.""Silakan, Bos Muda!"John meninggalkan kamar Aaron sembari tersenyum. Aaron memastikan Alessandro sudah tertidur pulas di kamarnya. Kamar yang berada tepat di samping kamarnya itu ia sulap menjadi kamar anak disertai dengan pintu ganda yang bertujuan untuk memudahkan Aaron atau Bella masuk ke kamar Alessandro. Perlahan Aaron naik ke atas ranjang. Setelah memposis
"Sedang apa kalian?!" seru Bella setelah pintu ruangan Aaron ia dorong dengan kencangnya. Aaron serta dua wanita yang duduk di kursi tepat di hadapannya seketika menoleh. Aaron berdiri. "Loh, Sayang, sudah pulang? Kenap--""Iya, aku sudah pulang! Kenapa? Kaget melihat aku ada di sini, iya? Kencanmu merasa terganggu, begitu?!"Aaron meminta dua wanita itu untuk ke luar, sedangkan dirinya menghampiri Bella. "Sayang, ada apa?"Bella menepis tangan Aaron yang bertengger di pundak. "Mereka siapa?!""Aku sedang interview beberapa calon sekretaris, Say--""Sudah aku katakan, bukan? Jangan cari sekretaris wanita!""Begini, Sayang. Aku me--""Apa? Kau mau mendua, iya?!""Ya Tuhan, Sayang ...," Aaron sengaja menggantung ucapannya. Percuma saja menjelaskan, karena ia tahu betul jika Bella tidak baik-baik saja. Aaron mengambil alih Alessandro, lalu merengkuh Bella, membawanya ke dalam pelukan. Tangis Bella pun pecah. John, pemuda itu perlahan masuk. Melihat sang kakak menangis, dengan sigap
Usia Alessandro kini sudah menginjak tiga tahun. Batita itu sangat lincah, cerewet, pintar dan pandai meniru apa yang orang dewasa lakukan. Dua tahun pula Bella menjalani program hamil. Tak kunjung hamil, kadang membuat Bella stress, putus asa. Sampai akhirnya Aaron menyarankan agar Bella mengantar Alessandro sekolah --play group. John, sudah dua tahun ini pria itu belajar tentang perusahaan, bagaimana cara memimpin dan bisnis lainnya. Semua dengan telaten Aaron yang ajarkan. Urusan cinta, jelas saja Patricia sudah resmi menjadi kekasihnya. Patricia pun sudah bekerja di sebuah rumah sakit di kota Birmingham. Semua ia lakukan agar dekat dengan John. Tak hanya pasangan kekasih itu yang pindah ke kota Birmingham, tetapi kedua orang tua Bella. Bukan kemauan mereka, tetapi Bella'lah yang ingin dekat dengan keluarga, walaupun tidak tinggal serumah. Ada Mitha dan Robert yang tinggal di Swiss. Kedua lansia itu memilih hidup berdua, menikmati masa-masa indah yang pernah hilang dahulu. Merek
Belinda menghela napas. Rasa iba berhasil bergelayut manja dalam benaknya. Dengan raut cemas, ia duduk di samping John. "John? Ibu tidak peduli dengan statusnya. Ibu sungguh merasa kasihan. Dekati wanita itu, ambil hatinya. Jadikan dia menantu Ibu."John bernapas lega. Bagaimana tidak? John pikir, tadi ibunya tidak akan merestui. Tetapi ternyata, jauh dari pikirannya. Sang ibu terlihat sangat menyayangi Patricia walau belum mengenalnya sama sekali. Mendapat lampu hijau, sungguh membuat John senang. Ia akan berusaha untuk mengabulkan keinginan Belinda. Keinginan sang ibu yang tentunya dibarengi dengan rasa cinta yang teramat, tentu saja akan ia perjuangkan. "Terima kasih, Bu. Tapi, bagaimana dengan ayah?""Ayah pasti setuju dengan keputusan Ibu. Tenang saja."John tersenyum lebar. "Selamat!" ucap Aaron. "Dan semangat!" timpal Bella cepat, sembari mengepalkan tangan. John mengangguk, lalu pamit ke luar. Belinda tersenyum. Sebagai seorang perempuan sekaligus seorang ibu tentu bis
Di rumah sakit, ada Bella yang sedang berganti pakaian. "Sayang? Apa kau bisa hubungi Kevin?" pinta Bella. "Untuk?""Aku mau minta maaf kepada Emilia."Aaron yang sedang melipat baju kotor pun menoleh. "Sudahlah, kita tidak usah berhubungan lagi dengan wanita itu. Lagipula, kau tidak bersalah.""Aku mohon!" Bella memelas. Aaron menghela napas. Tidak ingin mengecewakan Bella, akhirnya Aaron menghubungi sahabatnya itu. "Oke, dia akan datang ke mari. Paling nanti sore mereka tiba di rumah sakit.""Terima kasih, suamiku!"Aaron tersenyum. "Sama-sama." Aaron melanjutkan kegiatannya. "Tapi, kok, kalau kau yang menghubungi Kevin, dia menjawab. Sedangkan aku, nomornya selalu tidak aktif.""Nomornya ganti.""Oh, pantas kalau begitu."Aaron sudah mengemasi baju kotor. Sedangkan Bella berusaha turun dari ranjang. Ia akan belajar berjalan. Aaron yang melihat dengan sigap membantu. Saat asyik belajar berjalan, Bella berkata, "Kok, Ale belum ke sini, ya?""Kenapa memangnya?"Bella sedikit men
Hari menjelang malam. Aaron baru saja mengantarkan Alessandro ke rumah sang mertua. Ia tidak akan membiarkan Alessandro tinggal di rumah sakit meskipun sang istri dirawat di kamar dengan fasilitas paling lengkap. Alessandro sudah bisa berjalan dan pasti ingin bermain di luar. Kekebalan tubuh Alessandro belum tentu kuat menahan segala virus yang ada di sekitar. Oleh karena itu, jalan terbaik adalah Alessandro tinggal bersama kakek dan neneknya. Mobil Aaron baru saja terparkir di area rumah sakit. Ia bergegas turun karena pasti Bella sudah menunggu, karena sang istri meminta dibawakan nasi serta sayur buatan Belinda. Aaron berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Namun, langkahnya terhenti saat mendengar suara dari orang yang sangat ia kenal, yakni Robert. "Apa kita bisa melewati hari tua bersama?" tanya Robert. "Entahlah."Aaron menajamkan pendengarannya. Rupanya Robert sedang bersama Mitha. "Apa cintamu sudah sepenuhnya hilang untukku?""Kita sudah tua, tidak usah bahas cinta.""A
Bruk! John tanpa sengaja menyenggol pundak seorang perawat di koridor, yang membuat dokumen di tangannya terjatuh. "Sorry!" ucap John. Perawat itu tersenyum. "Tidak apa-apa." Sang perawat meraih dokumen itu.John hanya bisa memerhatikan karena sedang menggendong Alessandro dan menenteng satu tas kecil. "Mau besuk?" tanya perawat. "Iya, mau ke kamar VVIP."John tersenyum saat sang perawat itu tersenyum menampakkan barisan giginya yang putih dengan satu gigi gingsul di bagian atas sebelah kanan. Sungguh terlihat manis di mata John. "Tampan sekali putranya," kata Sang perawat sembari mencubit gemas pipi Alessandro. "Ini keponakan saya. Saya masih single.""Ooh, masih single, maaf."Perawat itu tersenyum, lalu pamit pergi. Kepergian sang perawat ternyata menyisakan rasa penasaran di hati John. John ingin mengenal lebih jauh wanita itu. Tanpa berkedip, John melihat kepergian perawat itu sampai hilang di balik tembok. "Ah, ya Tuhan, maafin Om, Sayang." John tersadar saat Alessandro