Aaron mengantar Bella pulang.
Wanita cantik itu benar-benar tidak memedulikan keberadaan Aaron. Ia membiarkan ayah dari Alessandro itu duduk di teras. Jika saja Aaron tidak berjanji kepada Mitha untuk membawa Bella serta putranya, enggan baginya untuk bertahan di sana. Jika saja bukan karena tanggung jawab, enggan baginya mengejar wanita egois seperti Bella."Eh, ada Kakak Ipar," sapa John yang baru saja datang, "kok, gak masuk?""Kakakmu marah," jawab Aaron singkat.John duduk di samping Aaron. "Udah sparing sama siapa?" tanya John lagi sembari menunjuk sudut bibirnya sendiri.Aaron tersenyum sarkas, lalu menceritakan apa yang sudah terjadi."Haaahh, Kak Bella aneh juga kalau dipikir-pikir! Tapi, mau gimana lagi Kakak Ipar? Kakakku memang seperti itu orangnya."Aaron tersenyum. "Ya, ya .... Yang terpenting aku sudah mengantongi restu dari ayahmu juga, John."John tersenyum lebar. "Waah, selamat, ya? TinggalSetelah mendapat pengobatan kedua dari Bella, Aaron malah merasakan sakit yang luar biasa. Bagaimana tidak? Karena Bella menekan lukanya tanpa ampun. Jarum jam sudah menunjuk pada angka delapan malam itu. Seharusnya Aaron segera kembali ke kota Birmingham. Akan tetapi, ada hal penting yang belum Aaron sampaikan kepada Bella. Jadi, Aaron memutuskan untuk bertahan di sana dan menginap di hotel. Tak lupa, Aaron meminta Damian untuk datang esok. *Pagi-pagi sekali Aaron sudah bangun. Ia pergi ke arena gym yang ada di hotel. "Di mana?" tanya Aaron kepada Damian melalui sambungan telepon. "Saya sudah tiba di kamar Anda, Tuan.""Sepuluh menit lagi aku kembali!" Aaron mematikan sambungan sepihak. Dirasa sudah cukup, Aaron menyudahi kegiatannya. Tubuh Aaron yang ideal berhasil mencuri perhatian seorang wanita di sana. "Hai, boleh kenalan?" Wanita itu mengulurkan tangan. "Tidak usah berkenalan dengan
Hari sudah malam, tetapi mata Robert enggan terpejam. Ia gelisah karena Emilia tak kunjung pulang. Sudah lebih dari sepuluh kali pria paruh baya itu menghubungi ponsel Emilia, tetapi nihil. Ponsel Emilia tak dapat dihubungi.Tok tok tok! Terdengar suara pintu diketuk. "Masuk!" seru Robert, sembari menyalakan lampu kamar. Rupanya orang kepercayaan Robert yang masuk. "Lapor, Tuan. Nona Emilia menolak untuk pulang."Rahang Robert mengeras. "Aku bilang seret!""Sungguh kami tidak tega, Tuan. Tapi, kami pastikan Nona Emilia kembali esok.""Kau yakin?""Sangat yakin, Tuan.""Lalu, bagaimana dengan Aaron?"Orang itu pun melaporkan di mana posisi Aaron dan apa saja yang Aaron kerjakan. Tidak hanya kegiatan Aaron, tetapi apa yang Aaron rencanakan untuk Emilia pun ia katakan. Robert tersenyum sarkas. "Terus awasi Aaron!"Robert mengambil selembar foto di dalam laci nakas.
Di tempat lain, ada Bella yang sedang menatap lekat wajah Alessandro yang tengah tertidur pulas. Berkali-kali pula Bella membaca surat perjanjian itu. Jangan tanyakan soal hati, berkali-kali ia meyakinkan diri untuk tidak bersikap egois. "Bell?" sapa Belinda. Bella yang kaget langsung menyimpan surat itu di bawah bantal Alessandro. "I-iya, Bu, ada apa?""Ibu berangkat, ya?""Iya, Bu, hati-hati, ya? Tapi, apa yang Ibu bawa itu?" Bella memerhatikan kantong yang Belinda bawa. Belinda tersenyum. "Ini, semalam Ibu bikin kue. Ibu mau coba simpan di warung, siapa tau laku. Lumayan, kan, Bell, nanti uangnya buat tambahan sehari-hari."Deg! Mendengar itu sungguh membuat hati Bella sakit. Tidak, tidak ada yang salah dengan berjualan. Hanya saja, diusia Belinda sekarang harusnya digunakan untuk beristirahat. "Ibu, tidak usah capek-capek bikin kue, ya? Biar Bella saja yang pikirkan bagaimana kita dapat uang t
Hari yang mendebarkan bagi Bella tiba. Aura kecantikan Bella semakin terpancar ketika gaun pengantin yang dibuat dari organza satin berwarna putih gading membalut tubuhnya. Ditambah lagi tatanan rambut low rolled yang terlihat minimalis, tetapi tetap memberi kesan istimewa. Tak hanya itu, mahkota kecil bertahtakan berlian turut menghias kepala Bella menambah penampilannya makin memesona. Bella mulai berjalan menyusuri lorong rumah sakit didampingi John. Ya, rumah sakit. Bella meminta agar pernikahannya diselenggarakan di sana, di hadapan Julio. Beruntung, pihak rumah sakit mengizinkan. Oleh karenanya, Aaron membooking satu lantai atas agar tidak menggangu pasien lain. Rasa debar di dada sangat terasa saat Bella memasuki kamar Julio yang sudah dihias sedemikian rupa. Perlahan Bella mengedarkan pandangan. Tampak beberapa staf rumah sakit, Belinda yang sedang memangku Alessandro, suster, sopir juga kedua pengawalnya, dan tentu saja ada Julio yang tengah be
"Bella, bangun!" bisik Aaron. Perlahan Bella membuka mata karena merasakan tepukan di bahu. "Ya ampun, aku ketiduran ternyata.""Cepat bangun dan bersihkan air susu itu di wajah Ale!"Bella melihat ke arah Alessandro. "Ya Tuhan! Kenapa aku ceroboh begini?!"Bella lekas bangun dan mengambil tissue di atas meja rias tanpa memedulikan kondisi dirinya. "Maaf, Sayang, untung saja kamu tidak tersedak, Nak," ucap Bella sembari membersihkan. "Kau memancingku?!"Bella menoleh. "Apa maksudmu? Dan kenapa masuk tidak mengetuk pintu dulu?"Aaron sama sekali tidak memedulikan ocehan Bella. Jarinya justru menunjuk ke arah Bella. Bella mengikuti ke mana jari itu mengarah. Bella melotot, kaget. Ya, rupanya buah dadanya menggantung indah tanpa tertutup kain. Bella segera memasukan benda kenyalnya itu, lalu mengaitkan kancing bajunya. Bella berusaha bersikap biasa saja. Jangan tanya bagaimana perasaan Aaron.
"Emmm .... " Bella melenguh sembari mengerjapkan matanya, beberapa kali berusaha membiasakan cahaya yang masuk ke pupilnya sampai akhirnya mata itu terbuka lebar. Bella terduduk. "Jam berapa ini?" gumamnya sembari mengedarkan pandangan. Tampak jarum jam yang menghias dinding menunjuk pada angka tujuh. Bella melihat ke arah box bayi. Kosong. Ke mana Alessandro? Apakah bayi itu tidak menangis seperti biasanya setiap pagi untuk meminta susu? Ia bergegas turun. Langkah Bella terhenti saat kakinya menginjak selimut. Tidak hanya selimut saja, di sana ada bantal juga. Bella tersenyum sembari mengelus dada, merasa lega. Itu artinya Aaron tidur di bawah. Bella memilih untuk mencuci muka terlebih dahulu, kemudian ke luar. Terdengar suara tawa di teras. Lekas Bella menghampiri. Tampak Kevin juga Damian yang sedang mengajak bermain Alessandro. Bayi gembul itu sedang merangkak mengambil mainan yang mereka beri. Lain halnya dengan Aaron.
Akhirnya siang itu Bella ikut pulang bersama Aaron. Aaron tak serta membawa sopir dan dua pengawal Bella, karena mereka dipekerjakan untuk menjaga mertua dan adik iparnya, terkecuali sang baby sitter. Setelah menempuh dua jam perjalanan udara, tibalah mereka di mansion milik Aaron. "Silakan masuk!" ucap Aaron. Bella diam. Ia menarik napas dalam-dalam seiring dengan mata yang terpejam. Sekelebat cerita masa itu kembali hadir. "Kenapa diam? Ayok!"Bella terhenyak, lalu masuk walau berat kaki melangkah. Bella duduk cantik di sofa ruang tamu, sedangkan Aaron mengantar Mitha terlebih dahulu ke kamarnya. "Yuk, kita ke kamar atau mau keliling dulu?"Bella tersenyum samar. "Keliling dulu saja. Tidak lucu, kan, kalau nanti aku lapar harus nanya dulu dapur di sebelah mana?"Aaron tersenyum. "Baiklah, dengan senang hati!"Aaron mengajak Bella berkeliling mulai lantai paling atas, termasuk kamar Mitha. Tampak
Box bayi sudah datang. Aaron sendiri yang menentukan di sebelah mana box itu pantasnya di simpan bahkan ia sendiri yang menidurkan Alessandro ke dalam sana. "Papa pastikan kamu tidak akan kekurangan satu apa pun. Kelak, jika kau sudah besar, tolong jaga mamamu! Tidur yang nyenyak, ya? Papa ke kamar dulu. Good night and nice dream, Baby!"Aaron bergegas ke kamarnya. Ada beberapa pekerjaan yang harus ia selesaikan. Masuk ke kamar, Aaron segera menuju ke ruang kerjanya. Ada pemandangan baru di sana, dimana ada foto Bella berserta Alessandro dengan bingkai besar tergantung di tembok tepat di hadapannya. Aaron fokus memeriksa beberapa data yang masuk melalui surat elektronik, tak terkecuali surat perjanjian nikah kontrak dengan Bella. Hampir saja ia lupa, yakni dengan janjinya untuk memberi uang bulanan kepada keluarga Bella. Aaron membuka catatan keuangan pribadinya dan mulai merumuskan besarnya pengeluaran. Tidak hanya itu, Aaron menyusun rencana untuk masa
Hari demi hari Aaron lalui dengan ketegangan karena pasalnya, Bella sering mengalami kontraksi. Dua minggu terakhir ini pula Aaron kembali bekerja di rumah ia ingin menjadi suami siap siaga. "Apa tidak lelah?" tanya Aaron sembari menuntun Bella yang sedang menyusuri jalan setapak di taman belakang. "Tidak. Justru aku harus tetap semangat. Aku ingin merasakan lahiran normal."Aaron mengecup punggung tangan Bella. "Semoga, Sayang.""Kalian di sini rupanya!"Suara bariton memecah keromantisan mereka. Keduanya menoleh. "Ke mana saja kau, hah?" sapa Aaron yang terkesan mengintimidasi. Kevin tersenyum. "Ada. Merintis bisnis.""Sendiri?" sambung Bella bertanya. Kevin menggeleng. "Tidak. Istriku ada di dalam. Sedang mencurahkan rindu kepada papanya."Emilia datang. Kedatangan wanita itu benar-benar mencuri perhatian Bella. "Waaahh, kau juga sedang hamil?"Emilia tersenyum."Berapa bulan?" "Minggu ini HPL.""Waaah, kok, bisa sama."Kedua wanita perut buncit itu memilih memisahkan diri d
Drama muntah-muntah dan tersiksanya Aaron karena hasratnya yang jarang tersalurkan akhirnya sudah berakhir. Usia kandungan Bella yang sudah memasuki sembilan bulan ini justru membuat Aaron mengambil kesempatan dimana dirinya hampir setiap hari meminta haknya dengan dalih agar si bayi lahir dengan lancar dan normal. Maklum saja, karena sampai detik ini Bella masih saja senang mengusap-usap dada bidang Aaron dan Aaron harus mengusap-usap perut buncit Bella.Seperti malam ini ... "Terima kasih, Sayang," ucap Aaron. "Iya, tapi tangannya jangan berhenti! Terus usap perutku!" rengek Bella. "Iya, Sayang. Ya sudah, sekarang lebih baik kau tidur."Bella menggeleng. "Ngantuknya jadi hilang."Aaron terkekeh-kekeh. "Maaf, Sayang.""Sayang? Apa kau tidak penasaran dengan jenis kelamin anak kedua kita ini?""Penasaran, sih. Tapi, tidak apa-apa ... lebih baik dokter tidak sebutkan jenis kelaminnya, biar jadi kejutan! Dalam hitungan minggu ke depan juga akan lahir. Jadi, semoga sesuai dengan kein
Hari sudah malam. Bella sudah berada di Mansion. Semua keluarga pun berkumpul di sana. Aaron, pria itu rela meninggalkan pekerjaannya demi menemani Bella. Saat ini, Bella masih tertidur setelah meminum obat dari dokter. "John? Besok ke cabang minta antar sopir saja, ya? Temui manager di sana dan nanti dia yang akan mengenalkan mu kepada para karyawan di sana.""Siap, Kakak Ipar.""Semoga sukses!"John tersenyum lebar memperlihatkan barisan giginya. "Terima kasih."Aaron berdecih, karena pasalnya tingkah sang adik ipar terkadang masih terlihat seperti anak kecil. "Kalau begitu aku pulang, ya, Kak? Sekalian jemput ayang.""Silakan, Bos Muda!"John meninggalkan kamar Aaron sembari tersenyum. Aaron memastikan Alessandro sudah tertidur pulas di kamarnya. Kamar yang berada tepat di samping kamarnya itu ia sulap menjadi kamar anak disertai dengan pintu ganda yang bertujuan untuk memudahkan Aaron atau Bella masuk ke kamar Alessandro. Perlahan Aaron naik ke atas ranjang. Setelah memposis
"Sedang apa kalian?!" seru Bella setelah pintu ruangan Aaron ia dorong dengan kencangnya. Aaron serta dua wanita yang duduk di kursi tepat di hadapannya seketika menoleh. Aaron berdiri. "Loh, Sayang, sudah pulang? Kenap--""Iya, aku sudah pulang! Kenapa? Kaget melihat aku ada di sini, iya? Kencanmu merasa terganggu, begitu?!"Aaron meminta dua wanita itu untuk ke luar, sedangkan dirinya menghampiri Bella. "Sayang, ada apa?"Bella menepis tangan Aaron yang bertengger di pundak. "Mereka siapa?!""Aku sedang interview beberapa calon sekretaris, Say--""Sudah aku katakan, bukan? Jangan cari sekretaris wanita!""Begini, Sayang. Aku me--""Apa? Kau mau mendua, iya?!""Ya Tuhan, Sayang ...," Aaron sengaja menggantung ucapannya. Percuma saja menjelaskan, karena ia tahu betul jika Bella tidak baik-baik saja. Aaron mengambil alih Alessandro, lalu merengkuh Bella, membawanya ke dalam pelukan. Tangis Bella pun pecah. John, pemuda itu perlahan masuk. Melihat sang kakak menangis, dengan sigap
Usia Alessandro kini sudah menginjak tiga tahun. Batita itu sangat lincah, cerewet, pintar dan pandai meniru apa yang orang dewasa lakukan. Dua tahun pula Bella menjalani program hamil. Tak kunjung hamil, kadang membuat Bella stress, putus asa. Sampai akhirnya Aaron menyarankan agar Bella mengantar Alessandro sekolah --play group. John, sudah dua tahun ini pria itu belajar tentang perusahaan, bagaimana cara memimpin dan bisnis lainnya. Semua dengan telaten Aaron yang ajarkan. Urusan cinta, jelas saja Patricia sudah resmi menjadi kekasihnya. Patricia pun sudah bekerja di sebuah rumah sakit di kota Birmingham. Semua ia lakukan agar dekat dengan John. Tak hanya pasangan kekasih itu yang pindah ke kota Birmingham, tetapi kedua orang tua Bella. Bukan kemauan mereka, tetapi Bella'lah yang ingin dekat dengan keluarga, walaupun tidak tinggal serumah. Ada Mitha dan Robert yang tinggal di Swiss. Kedua lansia itu memilih hidup berdua, menikmati masa-masa indah yang pernah hilang dahulu. Merek
Belinda menghela napas. Rasa iba berhasil bergelayut manja dalam benaknya. Dengan raut cemas, ia duduk di samping John. "John? Ibu tidak peduli dengan statusnya. Ibu sungguh merasa kasihan. Dekati wanita itu, ambil hatinya. Jadikan dia menantu Ibu."John bernapas lega. Bagaimana tidak? John pikir, tadi ibunya tidak akan merestui. Tetapi ternyata, jauh dari pikirannya. Sang ibu terlihat sangat menyayangi Patricia walau belum mengenalnya sama sekali. Mendapat lampu hijau, sungguh membuat John senang. Ia akan berusaha untuk mengabulkan keinginan Belinda. Keinginan sang ibu yang tentunya dibarengi dengan rasa cinta yang teramat, tentu saja akan ia perjuangkan. "Terima kasih, Bu. Tapi, bagaimana dengan ayah?""Ayah pasti setuju dengan keputusan Ibu. Tenang saja."John tersenyum lebar. "Selamat!" ucap Aaron. "Dan semangat!" timpal Bella cepat, sembari mengepalkan tangan. John mengangguk, lalu pamit ke luar. Belinda tersenyum. Sebagai seorang perempuan sekaligus seorang ibu tentu bis
Di rumah sakit, ada Bella yang sedang berganti pakaian. "Sayang? Apa kau bisa hubungi Kevin?" pinta Bella. "Untuk?""Aku mau minta maaf kepada Emilia."Aaron yang sedang melipat baju kotor pun menoleh. "Sudahlah, kita tidak usah berhubungan lagi dengan wanita itu. Lagipula, kau tidak bersalah.""Aku mohon!" Bella memelas. Aaron menghela napas. Tidak ingin mengecewakan Bella, akhirnya Aaron menghubungi sahabatnya itu. "Oke, dia akan datang ke mari. Paling nanti sore mereka tiba di rumah sakit.""Terima kasih, suamiku!"Aaron tersenyum. "Sama-sama." Aaron melanjutkan kegiatannya. "Tapi, kok, kalau kau yang menghubungi Kevin, dia menjawab. Sedangkan aku, nomornya selalu tidak aktif.""Nomornya ganti.""Oh, pantas kalau begitu."Aaron sudah mengemasi baju kotor. Sedangkan Bella berusaha turun dari ranjang. Ia akan belajar berjalan. Aaron yang melihat dengan sigap membantu. Saat asyik belajar berjalan, Bella berkata, "Kok, Ale belum ke sini, ya?""Kenapa memangnya?"Bella sedikit men
Hari menjelang malam. Aaron baru saja mengantarkan Alessandro ke rumah sang mertua. Ia tidak akan membiarkan Alessandro tinggal di rumah sakit meskipun sang istri dirawat di kamar dengan fasilitas paling lengkap. Alessandro sudah bisa berjalan dan pasti ingin bermain di luar. Kekebalan tubuh Alessandro belum tentu kuat menahan segala virus yang ada di sekitar. Oleh karena itu, jalan terbaik adalah Alessandro tinggal bersama kakek dan neneknya. Mobil Aaron baru saja terparkir di area rumah sakit. Ia bergegas turun karena pasti Bella sudah menunggu, karena sang istri meminta dibawakan nasi serta sayur buatan Belinda. Aaron berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Namun, langkahnya terhenti saat mendengar suara dari orang yang sangat ia kenal, yakni Robert. "Apa kita bisa melewati hari tua bersama?" tanya Robert. "Entahlah."Aaron menajamkan pendengarannya. Rupanya Robert sedang bersama Mitha. "Apa cintamu sudah sepenuhnya hilang untukku?""Kita sudah tua, tidak usah bahas cinta.""A
Bruk! John tanpa sengaja menyenggol pundak seorang perawat di koridor, yang membuat dokumen di tangannya terjatuh. "Sorry!" ucap John. Perawat itu tersenyum. "Tidak apa-apa." Sang perawat meraih dokumen itu.John hanya bisa memerhatikan karena sedang menggendong Alessandro dan menenteng satu tas kecil. "Mau besuk?" tanya perawat. "Iya, mau ke kamar VVIP."John tersenyum saat sang perawat itu tersenyum menampakkan barisan giginya yang putih dengan satu gigi gingsul di bagian atas sebelah kanan. Sungguh terlihat manis di mata John. "Tampan sekali putranya," kata Sang perawat sembari mencubit gemas pipi Alessandro. "Ini keponakan saya. Saya masih single.""Ooh, masih single, maaf."Perawat itu tersenyum, lalu pamit pergi. Kepergian sang perawat ternyata menyisakan rasa penasaran di hati John. John ingin mengenal lebih jauh wanita itu. Tanpa berkedip, John melihat kepergian perawat itu sampai hilang di balik tembok. "Ah, ya Tuhan, maafin Om, Sayang." John tersadar saat Alessandro