Setelah mengantar neneknya pulang dan memastikan semuanya baik-baik saja, Michael dan Rhea akhirnya kembali ke kampus.
Michael perlu mengambil sesuatu di kantor dosen, sementara Rhea tidak tertarik untuk ikut masuk ke dalam gedung. Kantor dosen bukan tempat yang nyaman untuk seorang mahasiswa biasa seperti dirinya.
"Aku tunggu di kantin aja, deh," kata Rhea sambil menyesuaikan tas di bahunya.
Michael mengangguk. "Oke. Jangan kabur ya, nanti aku kabari lagi jika sudah selesai."
"Aku bukan anak TK," gerutu Rhea sebelum berjalan menuju kantin terdekat dari gedung jurusan fashion.
Kantin ini cukup luas dan ramai, dipenuhi mahasiswa dari berbagai jurusan yang sedang mengobrol, makan, atau sekadar menghabiskan waktu menunggu kelas berikutnya.
Rhea memilih duduk di meja kosong dekat jendela, memesan segelas es kopi, lalu mengeluarkan ponselnya.
Sambil menunggu, telinganya tanpa sadar menangkap suara sekelompok mahasiswi yang sedang asyik men
Suara dentingan sendok dan garpu terdengar di antara mereka saat makan malam berlangsung. Michael memang tidak memasak sesuatu yang rumit, hanya pasta aglio e olio dengan potongan ayam panggang di sampingnya. Tapi tetap saja, Rhea terkesan karena ternyata rasanya lumayan enak."Jujur, aku nggak menyangka kamu bisa masak," Rhea berkata sambil menusuk potongan ayamnya dengan garpu.Michael tersenyum kecil. "Aku memang nggak sering masak, tapi setidaknya aku tahu cara membuat makanan yang bisa dimakan.""Lumayan?""Lebih dari lumayan, 'kan?"Rhea mendengus kecil. "Iya, iya. Aku akui ini enak. Aku kira kamu tipe yang lebih suka beli makanan di luar."Michael mengangkat bahu. "Memang. Tapi ada kalanya aku ingin masak sendiri, terutama kalau lagi nggak mau keluar rumah."Rhea mengangguk sambil mengunyah makanannya. Setelah beberapa saat, dia melirik Michael yang sedang menuangkan air ke dalam gelasnya."Ngomong-ngomong, Miki," katany
Udara pagi masih segar ketika Michael dan Rhea keluar dari apartemen. Hari ini, mereka punya misi khusus: mencari inspirasi desain untuk proyek baru Michael.Michael sudah berpakaian lebih santai dari biasanya. Ia mengenakan kaos polos warna navy, dan celana chino yang terlihat sangat normal dibandingkan dengan gaya fashionnya yang biasanya lebih fashionable dan mencolok. Sepatunya pun sneakers sederhana, bukan sepatu kulit atau boots yang biasanya ia pakai.Rhea, di sisi lain, memilih pakaian yang lebih kasual seperti biasanya—kaos putih dan celana jeans hitam. Tapi setidaknya, kaos yang ia pakai bukan kaos polos biasa, melainkan yang memiliki sedikit desain grafis di depannya."Hari ini terasa aneh," gumam Rhea sambil menatap Michael dari ujung kepala hingga ujung kaki saat mereka memasuki lift.Michael meliriknya. "Aneh kenapa?""Miki kelihatan kayak manusia normal," jawab Rhea jujur.Michael terkekeh. "Maksudmu, biasanya aku nggak
Rhea duduk di meja belajarnya dengan wajah penuh konsentrasi. Cahaya lampu belajar menerangi tumpukan buku dan laptop yang terbuka, menampilkan tugas kuliahnya yang masih setengah jadi. Ia menghela napas panjang, mencoba mencari kalimat yang tepat untuk menyelesaikan esainya.Baru saja ia mulai mengetik, ponselnya bergetar di sampingnya. Nama yang muncul di layar langsung membuatnya mengerutkan kening. Kyle."Ada apa, Kyle?" Rhea mengangkat teleponnya sambil tetap fokus pada layar laptop."Hei, Rhe! Kamu sibuk?" Suara Kyle terdengar riang seperti biasa."Banget. Aku lagi ngerjain tugas," jawab Rhea tanpa basa-basi."Bagus, bagus. Tapi kamu bisa istirahat sebentar, kan?""Kyle, kalau kamu butuh sesuatu, langsung aja. Aku harus menyelesaikan ini sebelum deadline," kata Rhea setengah mengeluh."Oke, oke! Jadi begini, besok malam aku mau ngajak kamu nonton show musik," ujar Kyle antusias.Rhea la
Michael membuka pintu apartemen dengan sedikit mendesah. Perjalanan pulangnya kali ini terasa lebih panjang dari yang seharusnya. Ia memang berencana kembali sehari lebih awal, tapi keadaan di luar kota membuatnya harus menunda kepulangannya.Begitu masuk, ia melepas sepatu dan merenggangkan tubuhnya. Suasana apartemen terasa sunyi. Ia melirik ke rak sepatu di depan pintu. Sepatu Rhea ada di sana."Berarti dia nggak pergi," gumamnya.Matanya tertuju pada meja di ruang tengah. Laptop Rhea masih terbuka, beberapa buku berserakan di sampingnya, menandakan kalau gadis itu masih sibuk dengan tugas kuliahnya sebelum akhirnya meninggalkan meja."Rhea?" panggil Michael sambil meletakkan tasnya di sofa.Tidak ada jawaban.Michael mengernyit. Biasanya Rhea akan langsung keluar dari kamar atau setidaknya bersuara jika mendengar namanya dipanggil.Perasaan aneh mulai mengusiknya. Ia berjalan menuju kamar Rhea dengan langkah lebih cepat. Saat pint
Hari itu, Rhea sedang duduk di sofa sambil membaca catatan kuliah ketika Michael keluar dari ruang kerjanya dan mengatakan sesuatu."Minggu depan, Papa dan Mama mengadakan pesta ulang tahun pernikahan mereka," katanya. "Mereka mengundang kita untuk datang."Rhea terdiam sejenak sebelum menatap Michael dengan mata membesar. "Kita?"Michael mengangguk santai. "Tentu saja, Babe. Kamu itu istriku, jadi kamu bagian dari keluarga mereka juga."Rhea merasa dadanya sedikit sesak. Kali terakhir Rhea bertemu orang tua Michael dalam pesta pernikahan. Setelah itu, Rhea maupun Michael belum bertemu dengan mereka lagi."Apa mereka benar-benar mengundangku?" tanyanya ragu.Michael menatapnya dengan bingung. "Tentu saja. Kenapa tidak?"Rhea menggigit bibirnya. "Aku hanya... agak canggung."Michael menghela napas pelan. "Rhea, mereka tahunya kamu merupakan menantu mereka, jadi faktanya bahwa kamu adalah bagian dari keluarga mereka sekarang."
Di pagi yang cerah, Rhea sedang bersiap-siap untuk pergi ke kampus saat Michael keluar dari kamar dengan rambut masih sedikit acak-acakan. Ia baru saja selesai mandi dan masih mengenakan kaus putih serta celana pendek, tampak santai seperti biasanya saat di rumah.Rhea yang sedang memasukkan buku ke dalam tasnya melirik sekilas ke arah suaminya sebelum akhirnya membuka suara."Michael," panggilnya dengan nada hati-hati.Michael yang sedang menuang kopi menoleh. "Hmm?"Rhea menggigit bibirnya ragu. "Mungkin selama beberapa hari ke depan, aku akan sering pulang agak malam."Michael meletakkan cangkirnya dan menatapnya dengan alis sedikit terangkat. "Kenapa?""Ada sesuatu yang harus kukerjakan di apartemen Kyle," jawab Rhea cepat.Michael mengerutkan kening. "Di apartemen Kyle?"Rhea mengangguk. "Iya, dia butuh bantuanku untuk sesuatu."Michael melipat tangannya di dada, ekspresinya penuh selidik. "Kenapa tidak di apartemen
Rhea menatap koper kecilnya dengan perasaan campur aduk. Ini akan menjadi perjalanan pertamanya ke luar kota sejak menikah dengan Michael. Perjalanan studi banding ini memang hanya tiga hari dua malam, tetapi entah kenapa, rasanya seperti akan pergi jauh lebih lama.Di sofa, Michael duduk dengan laptop di pangkuannya, sesekali melirik ke arah Rhea yang sibuk mengepak barang."Sudah siap?" tanyanya santai.Rhea menoleh dan mengangguk. "Sepertinya, iya. Aku nggak butuh banyak barang."Michael menutup laptopnya dan bersandar. "Kamu yakin bisa tidur di hotel tanpa kebiasaanmu menggulung selimut sampai mirip kepompong?"Rhea memutar mata. "Miki, aku bukan anak kecil."Michael hanya terkekeh. "Baiklah, baiklah. Tapi tetap hati-hati di sana, ya? Jakarta nggak seaman yang kamu kira."Rhea mengernyit. "Kamu terdengar seperti seorang ayah yang mengantar anaknya pergi karyawisata."Michael mengangkat bahu. "Aku hanya mengingatkan. Lagipul
Rhea baru saja keluar dari ruang seminar ketika ia mendengar suara ribut dari salah satu sudut lobi. Ia menoleh dan melihat seorang pria berambut cokelat gelap dengan wajah penuh frustasi sedang mengomel sendiri sambil menatap laptopnya.Tak butuh waktu lama bagi Rhea untuk mengenali siapa itu.Kyle.Rhea mendekat dengan ekspresi geli. "Kyle? Ngapain kamu di sini? Bukannya kamu di kelompok lain?"Kyle mendongak dengan wajah tersiksa. "Rhea! Selamatkan aku!"Rhea tertawa kecil sebelum duduk di kursi kosong di sebelahnya. "Ada apa sih? Kamu kelihatan kayak baru saja ditindas sama dunia."Kyle mendesah keras, lalu menunjuk layar laptopnya dengan ekspresi putus asa. "Tugas. TUGAS ini yang bikin aku gila. Mereka bilang cuma tugas ringan, tapi ini nggak ada ringannya sama sekali!"Rhea melirik layar laptopnya dan membaca sekilas. "Hmm… ini kan cuma laporan observasi tentang strategi pemasaran perusahaan?"Kyle menatapnya seaka
Suara film yang diputar di ruang tamu menggema pelan, tapi tidak ada yang benar-benar fokus menontonnya. Rhea duduk menyandar pada bantal sofa dengan kaki diselonjorkan santai. Semangkuk popcorn di pangkuannya hampir kosong, sementara Michael duduk di sebelahnya dengan satu tangan melingkarkan ke bahunya, seperti sudah jadi kebiasaan belakangan ini.Malam itu terasa tenang. Terlalu tenang, sampai akhirnya Rhea tidak tahan dengan rasa penasaran yang selama ini ia simpan."Miki.."Nada suaranya pelan tapi serius.Michael menoleh, alisnya terangkat sedikit. "Hmm?""Aku penasaran deh... gimana mungkin kamu yang... ya, kayak gini," Rhea membuat gerakan tangan yang tidak jelas ke arah Michael. "Bisa... ya... ternyata straight?"Michael memiringkan kepala, seolah butuh waktu untuk mencerna pertanyaan itu."Kayak gini?" tanyanya, setengah tertawa. "Maksudnya apa?"Rhea mengerucutkan bibir, mencari kata-kata yang tepat."Ya... kamu tuh
Seiring berjalannya waktu, sesuatu dalam hubungan Rhea dan Michael perlahan berubah.Tidak ada pernyataan resmi. Tidak ada janji-janji manis.Hanya... perasaan yang menggantung di udara.Michael tidak lagi menjaga jarak seperti sebelumnya.Kadang-kadang, ia memanggil Rhea dengan panggilan sayang tanpa alasan."Sayang, kamu mau teh atau kopi pagi ini?" tanyanya santai suatu pagi.Rhea, yang saat itu masih setengah mengantuk, mendongak dengan dahi berkerut."Hah? Sayang?"Matanya menyipit curiga.Michael terkekeh kecil sambil menuangkan air panas ke dalam cangkir."Kenapa? Nggak boleh?""Nggak biasa aja," gumam Rhea sambil mengalihkan pandangan.Ia meraih roti panggang tanpa semangat.Tapi jauh di dalam dadanya, ada sesuatu yang aneh.Hatinya berdebar lebih cepat dari biasanya.Dan itu bukan hanya sekali.Sentuhan-sentuhan kecil yang dulu terasa biasa, sekarang terasa berbed
Rhea duduk di tepi ranjang, menggigit bibirnya ragu.Di tangannya, ponsel sudah menampilkan nama Kyle di layar.Sebenarnya, ia tidak terlalu ingin datang ke pesta malam ini.Tapi kalau ini satu-satunya cara untuk mengakhiri kesalahpahaman Michael, maka ia harus melakukannya.Akhirnya, ia menarik napas dalam dan menekan tombol panggil.Tak butuh waktu lama sebelum suara Kyle terdengar dari seberang."Halo? Rhea? Ada apa tiba-tiba telepon?"Rhea tersenyum kecil."Seperti biasa, dia selalu antusias.""Kyle, tentang pestamu malam ini... Masih bisa datang?"Hening sebentar.Lalu, terdengar suara teriakan Kyle di seberang sana."HAH?! RHEA?! KAMU MAU DATANG?!"Rhea menjauhkan ponselnya dari telinga karena volume suara Kyle yang menggelegar.Ia bisa membayangkan Kyle pasti sedang melompat-lompat sekarang."Iya, iya... Aku akan datang. Jadi masih bisa, kan?"
Pagi itu, suasana di apartemen terasa berbeda.Rhea bangun jauh lebih pagi dari biasanya. Matahari bahkan belum sepenuhnya muncul di ufuk timur saat ia sudah sibuk mondar-mandir di dapur.Ia tidak bisa tidur semalaman.Setiap kali memejamkan mata, suara Michael kembali terngiang di kepalanya."Aku menyukaimu, Rhea."Tiga kata sederhana, tapi cukup untuk membuat pikirannya tidak bisa tenang.Rhea mencoba meyakinkan dirinya kalau ia hanya terlalu banyak berpikir. Tapi semakin ia mencoba mengabaikan, semakin kalimat itu terasa nyata.Jadi, alih-alih berguling di tempat tidur semalaman, ia akhirnya bangkit dan memilih mengalihkan pikirannya dengan membuat sarapan.Tangannya sibuk mengocok telur, tapi pikirannya melayang entah ke mana."Aku menyukaimu, Rhea."Rhea menggigit bibir bawahnya dan mencoba mengusir suara itu dari kepalanya.Tidak mungkin.Mereka ini hanya terikat dalam pernikahan kontr
Pagi itu, Rhea masih merasa tidak bersemangat.Setelah "pertengkaran" kecilnya dengan Michael semalam, suasana di apartemen masih terasa canggung. Mereka tidak benar-benar bertengkar dalam arti sebenarnya, tetapi ada sesuatu di antara mereka yang berubah.Dan Rhea tidak tahu bagaimana cara mengatasinya.Ia hanya ingin waktu berlalu begitu saja.Sambil duduk di sofa, ia memeluk bantal dan memainkan ponselnya tanpa benar-benar memperhatikannya. Suasana apartemen sunyi. Michael sedang di ruang kerjanya, mungkin sibuk dengan proyeknya. Biasanya, ia akan keluar untuk sekadar minum kopi dan mengajaknya bicara, tapi pagi ini Michael tetap berada di dalam ruangannya.Rhea mendesah.Ponselnya tiba-tiba bergetar, membuatnya sedikit terlonjak. Ia melihat layar dan menemukan nama Kyle muncul di sana.Dengan malas, ia mengangkatnya.“Ya, ada apa?” tanyanya tanpa energi.“Kenapa suaranya lemes gitu?” suara Kyle
Rhea tidak tahu sejak kapan ia mulai memperhatikan hal-hal kecil tentang Michael.Dulu, ia selalu cuek. Ia menjalani hari-harinya tanpa terlalu memikirkan keberadaan Michael selain dalam konteks pernikahan kontrak mereka. Mereka berbagi ruang, berbagi meja makan, berbagi percakapan ringan yang biasanya hanya sebatas basa-basi.Tapi sekarang, semuanya terasa berbeda.Michael masih bersikap baik seperti biasanya. Ia tetap tersenyum saat mereka bertatap muka, tetap menjawab pertanyaan-pertanyaan Rhea dengan suara tenang seperti tidak ada yang berubah.Tapi Rhea merasakan sesuatu yang lain.Sikap Michael sekarang terasa... lebih dingin.Tidak secara terang-terangan, tapi cukup untuk membuat Rhea sadar.Jika biasanya Michael akan dengan santai mengomentari film yang mereka tonton bersama, kini ia lebih banyak diam. Jika biasanya ia akan menanggapi ocehan Rhea dengan humor sarkastik khasnya, sekarang ia hanya tersenyum samar dan menjawab se
Malam itu, apartemen terasa lebih sepi dari biasanya. Michael baru saja pulang setelah seharian berkutat dengan desain untuk proyek terbarunya. Tubuhnya lelah, tapi pikirannya masih penuh dengan berbagai konsep yang belum terselesaikan.Namun, begitu masuk ke dalam apartemen, sesuatu terasa janggal.Sepatu Rhea tidak ada di dekat pintu. Ruangan juga tampak terlalu rapi—tidak ada suara dari dapur, tidak ada bantal berserakan di sofa seperti biasanya jika Rhea sedang bersantai.Michael meletakkan tasnya di meja dan berjalan ke kamar. Kosong.Dahi Michael mengernyit. Ia melirik jam di pergelangan tangannya. Sudah hampir pukul sebelas malam.Rhea pergi ke mana?Ia merogoh sakunya, mengambil ponsel, lalu mencoba menelepon Rhea.Tuut... Tuut...Tidak diangkat.Michael menggigit bibirnya, menekan ulang kontak Rhea. Kali ini setelah beberapa kali nada sambung, akhirnya panggilan diterima."Halo, Michael?" S
Cahaya matahari menerobos masuk melalui celah gorden, menciptakan bias keemasan di dalam kamar. Aroma lembut linen yang bersih bercampur dengan wangi samar teh yang masih tersisa dari semalam.Michael mengerjapkan matanya perlahan, tubuhnya terasa jauh lebih ringan setelah tidur nyenyak. Biasanya, ia akan terbangun lebih awal, tetapi pagi ini berbeda.Sudah hampir jam sembilan.Ia jarang sekali tidur selama ini, terlebih ketika deadline proyek sedang menghimpitnya. Namun, tubuhnya seolah memaksanya untuk beristirahat lebih lama setelah kejadian tadi malam.Michael menghela napas, lalu menoleh ke samping.Di sana, Rhea masih tertidur.Wanita itu berbaring dengan posisi menyamping, wajahnya tampak begitu damai dalam lelapnya. Rambutnya sedikit berantakan, beberapa helaian jatuh ke pipinya, tetapi itu justru membuatnya terlihat lebih alami. Napasnya teratur, dadanya naik turun dengan ritme yang menenangkan.Michael memperhatikan Rhea dal
Malam minggu biasanya adalah waktu yang nyaman bagi Rhea untuk menghabiskan waktu di apartemen. Entah membaca novel, menonton film, atau sekadar bermalas-malasan sambil menikmati teh hangat. Namun, malam ini sedikit berbeda."Ayo, Rhea! Aku butuh seseorang untuk menemani!" suara Kyle terdengar dramatis di telepon."Aku malas keluar, Kyle," sahut Rhea, duduk bersandar di sofa dengan selimut menutupi kakinya."Oh, ayolah! Ini bukan hanya tentang aku, tapi juga Denny! Dia akan tampil malam ini, dan aku tidak bisa sendiri di antara orang-orang yang sibuk memujanya!"Rhea mendesah. "Aku tetap bisa mendukungnya dari rumah, kau tahu?""TIDAK! Aku butuh seseorang untuk diajak menggosip sambil menunggu giliran Denny tampil. Please?"Rhea masih ragu, tapi suara memohon Kyle di ujung telepon membuatnya mengalah. "Baiklah… tapi jangan berharap aku akan bersorak heboh atau sesuatu seperti itu.""YES! Aku akan menjemputmu jam tujuh! Jangan p