Seakan tidak cukup dengan perpisahan mereka lima tahun lalu, kini Yuna harus merasakan perpisahan untuk kedua kalinya. Dan, sama seperti lima tahun lalu, ia tidak bisa terlelap sepanjang malam. Kepalanya seakan penuh oleh Morgan. Yuna merasa bimbang. Di satu sisi, ia ingin menerima Morgan. Ia telah menyaksikan sisi lain Morgan yang belum pernah ia ketahui sebelumnya dan hal itu selalu berhasil membuat perasaan Yuna goyah. Akan tetapi, di sisi lain, trauma itu masih ada. Yuna tak ingin mengulangi hari-hari yang penuh kesedihan. Ketika ia seorang diri, memikirkan suami dan anak yang meninggalkan dirinya. Ketika Yuna menangis sepanjang malam. Ketika Yuna merasa kesepian di tengah keramaian. Saat Yuna merasa iri pada wanita lain yang memiliki keluarga lengkap. Saat Yuna bersusah payah mengalihkan perhatian dan pikirannya dari kesedihan. Ia telah berhasil melalui masa-masa kelam itu, dan Yuna terlalu takut untuk mengulanginya. Ia tidak tahu apakah ia sanggup melakukannya. Oleh sebab i
Leher Yuna seakan tercekik. Di atas nakas, ia melihat foto hitam putih yang menampilkan hasil USG. Dalam sekali lihat, Yuna bisa langsung mengenali foto itu adalah foto lawas saat ia melakukan pemeriksaan kehamilan dahulu. Alis Yuna langsung mengernyit dalam. “Foto ini …. Mengapa bisa ada di sini?” gumam Yuna. Ia menemukan lebih banyak foto dirinya yang tidak ia ketahui kapan foto itu diambil. Mulai dari saat Yuna sibuk memasak, saat wanita itu berjalan. Seluruh foto itu diambil saat Yuna tak sadar. Hingga ia pun tertegun melihat salah satu foto dirinya yang ia yakini diambil di Illinois, Amerika Serikat. Bagaimana mungkin Morgan memilikinya? Yuna membuka laci di meja Morgan dan melihat lebih banyak kenangan tentang mereka. Barang pemberian Yuna dahulu hingga cincin pernikahan mereka. Morgan masih memiliki semua itu dan perhatian Yuna tertuju pada secarik kertas lusuh yang terlipat-lipat hingga begitu kecil. Wanita itu meraihnya dan membukanya perlahan. Kertasnya terlihat
Setelah selesai membaca surat itu, Yuna bergegas pergi dari kediaman keluarga Spencer sembari menghubungi seseorang. Wajahnya terlihat tergesa-gesa. “Halo—” “Halo, Benny? Apakah Morgan bersamamu?” Yuna langsung bertanya. Ia begitu terdesak hingga melupakan seluruh panggilan sopan santun yang seharusnya ia tunjukkan. “Tuan Morgan menghadiri kencan buta hari ini.” Benny memberitahu. Suaranya terdengar canggung. Detik itu juga langkah Yuna terhenti. Wajahnya yang semula tergesa kini berubah kecewa. Seperti seseorang yang tertinggal pesawat, Yuna merasa ia tertinggal satu langkah. “... kencan buta?” tanya Yuna dengan tertegun. “Ya, dia menghadiri kencan buta hari ini.” Benny menjelaskan. “Seharusnya itu sudah selesai, tapi Morgan belum kembali ke kantor.” Mendengar itu, Yuna menelan saliva yang terasa begitu pahit. Bahunya masih bergerak naik turun karena habis berlari. Satu-satunya alasan seseorang tak langsung kembali setelah kencan buta adalah karena kencan buta itu te
Morgan selalu serius dengan perkataannya. Pria itu benar-benar tidak akan pernah membiarkan Yuna pergi. Bahkan sepanjang perjalanan pulang, pria itu tidak pernah melepaskan genggaman tangannya. “Aku akan mengumumkan hubungan kita di lingkungan rumah sakit,” ucap Morgan saat mobilnya masih merayap di jalan raya. Yuna refleks menoleh ke arah Morgan dan menunjukkan sorot tidak setuju. “A—apa?” tanyanya, berharap pendengarannya salah menangkap perkataan Morgan. Belum genap satu jam semenjak keduanya resmi menjadi sepasang kekasih dan pria itu sudah ingin membuat seisi rumah sakit gempar. “Itu akan jauh lebih mudah bagi kita,” ucap Morgan. “Terlebih, itu juga akan membuat pemuda-pemuda di sekitar kamu menjauh.” Morgan menjelaskan dengan nada logis. Satu yang paling penting, pengumuman itu akan menunjukkan kepada Jason bahwa dirinyalah pemenang dari kompetisi mereka. Kini, Yuna yang terlihat memucat. Selama ini, keduanya memang dikenal dekat. Namun, di satu sisi, Yuna pun t
“Ya, Ibu memang membenci Kakak,” tutur Senna kepada pria di hadapannya. Gadis itu baru saja selesai berlatih di studionya dan terkejut mendapati Morgan sudah berdiri menunggu. Kini, seperti biasa, Morgan mengajak Senna ke salah satu kedai es krim terdekat untuk mengajaknya bicara. Hanya itu satu-satunya cara untuk membuat Senna mau membuka mulut dan memberinya informasi. Morgan memandang ke arah Senna dengan wajah rumit. Ia sengaja menemui Senna untuk memastikan hal itu dan ternyata benar. Tak heran kemarin Yuna melarangnya untuk menemui mantan ibu mertua yang akan menjadi calon ibu mertuanya itu. “Saat Kakak bercerai, Kak Yuna selalu terlihat sedih dan Ibu kesal hingga berkata dia akan membuat Kakak batuk darah ataupun muntah paku,” gumam Senna.Wajah Morgan seketika menjadi pucat. Refleks tangannya memegangi lehernya dengan cemas. “Muntah paku?” Senna mengangguk membenarkan. Wajah gadis itu masih terlihat begitu tenang saat mengatakannya. “Ibu bilang dia akan mengirim makanan
Benny tak pernah menyangka Morgan akan melakukan itu. Setelah lima tahun, pria itu benar-benar membongkar kasus yang hampir-hampir dilupakan. “Diracun?” Bara bertanya. Morgan mengangguk. Pria itu meraih tas hitam yang sejak tadi dibawa. Selama ini, Morgan jarang membawa tas. Semua keperluannya disediakan oleh Benny. Hanya pada keadaan tertentu, pria itu membawa tas kerjanya sendiri. Perlahan, Morgan menarik sebuah mop cokelat. Mop itu cukup tebal dan di dalamnya berisi beberapa dokumen serta bukti yang telah berhasil Morgan kumpulkan. “Dia keguguran karena keracunan arsenik,” ucap Morgan dengan nada serius, “Kata dokter, racun dalam jumlah itu tidak mungkin bisa masuk ke dalam tubuh manusia, jadi pasti istri saya diracuni oleh seseorang. Dulu, saya pernah membayar orang untuk menyelidikinya, tapi dia menipu saya dan penyelidikannya berakhir tanpa hasil yang jelas.” Morgan tidak tahu apa yang terjadi. Satu yang pasti, ia telah ditipu oleh pria yang ia bayar. Bahkan pria itu senga
“Apar … apartemen?” Yuna bertanya. Mendadak napas dan lidahnya menjadi gugup. “Kamu memiliki apartemen?” Morgan menggelengkan kepala. “Sekarang, belum, tapi jika sore ini kamu luang, aku bisa memilikinya sebelum sore nanti,” ucap Morgan dengan nada ringan. Ia berkata seolah membeli apartemen semudah membeli sebuah permen. Wanita itu mereguk saliva untuk melenyapkan kegugupan di benaknya. “Untuk apa aku pergi ke sana?” tanya Yuna. “Untuk apa lagi?” Morgan menaikkan salah satu alis dengan heran. “Aku berniat membeli sebuah apartemen agar kita bisa menghabiskan waktu bersama—”“Aku sibuk.” Yuna langsung menyela dengan terbata. “Aku … aku sudah memiliki janji dengan Nara,” kilah wanita itu. Ia tak memiliki janji apa pun dengan sahabatnya, tetapi jelas Yuna tak akan membiarkan dirinya dibawa begitu saja ke kediaman Morgan. “Hmph.” Morgan mendengkus dengan pasrah. Perlahan, ia kembali mendekat ke arah Yuna dan merangkul pinggang wanita itu. “Jika bukan di rumah sakit, aku pasti su
Lastri menelan saliva dengan gugup. Tangannya setengah gemetaran saat berjalan mendekati majikannya, menyajikan minuman itu, kemudian berdiri tegak. “Pertanyaan seperti apa, Tuan?” tanya wanita itu. Selama ini, Lastri bekerja dengan jujur dan tak pernah melakukan hal-hal aneh di kediaman Spencer. Ia berani memberikan informasi, tetapi perangai kedua pria di hadapannya membuat wanita itu sedikit gugup. “Kami ingin menanyakan kejadian lima tahun lalu. Anda mungkin harus menggali ingatan Anda. Seperti yang dikatakan Tuan Morgan, Anda menjadi pengurus rumahnya lima tahun lalu. Anda pasti mengetahui insiden keracunan yang menimpa Bu Yuna,” tutur Bara, memulai sesi interogasinya. Lastri berkedip cepat, terlihat segan sekaligus gugup. Ia tak menyangka jika mereka akan mengangkat kasus lama yang sudah dilupakan. Di keluarga Morgan, mereka hampir tak pernah membahasnya. Wanita itu lantas mengangguk berulang kali. “Itu benar, tapi aku tidak melakukan apa pun. Aku berani bersumpah. Bukan ak
“Apa yang terjadi padanya?” David bertanya seraya menghampiri Cindy dan Yuna. Pertanyaan itu ditujukan kepada Yuna yang sore ini terlihat begitu layu. Tak biasanya Yuna seperti ini. Bahkan setelah memeriksa puluhan pasien, wanita itu masih memiliki cukup stamina. “Sudah dua hari dia ditinggal suaminya.” Cindy menjelaskan. Menatap iba pada sahabatnya yang kini terlihat seperti zombie. “Bukankah seharusnya dia kembali kemarin?” tanya Cindy lagi. Terhitung sudah sebulan semenjak Yuna menikah dengan Morgan. Wanita itu masih diizinkan untuk bekerja. Namun, keduanya justru tidak sering bertemu. Tak seperti saat masa pendekatan dahulu, Morgan bisa memanggil Yuna sesuka hati. Kini, bahkan pria itu amat jarang terlihat di rumah sakit. Membuat Yuna hanya bisa bertemu dengannya saat malam dan pagi hari. Bahkan, kali ini terhitung sudah dua hari ia tak bertemu Morgan dan seluruh energinya seakan menghilang. Yuna tak pernah seperti ini sebelumnya. “Tiba-tiba dia harus mengadakan pertemu
Bunyi gerendel digeser menyambut masuknya seorang pria berompi dan berpakaian oranye. Kedua tangannya diborgol dan raut wajahnya terlihat lesu sekaligus tak terawat. Orang-orang yang melihatnya tak akan menyangka jika pria berpakaian tahanan penjara itu pernah menjadi direktur utama perusahaan bergengsi. Morgan sudah menunggu di kursi dan begitu sang paman mengangkat kepala untuk melihatnya, pria itu bergegas menghampiri Morgan. “Kau datang untuk melepaskanku, ‘kan? Kau datang untuk mencabut tuntutan itu, ‘kan, Morgan?” sergah Dimas dengan penuh harap. Sudah genap lima hari dia dipenjara dan penampilan Dimas terlihat jauh lebih buruk. Tak ada lagi bekas perkelahian. Kumisnya tumbuh dengan cepat, matanya sayu, dan kulit wajahnya terlihat kusam. Dari apa yang dilaporkan oleh jaksa, Dimas dituntut lima belas tahun penjara atas tuduhan penggelapan dana dan penyuapan yang dia lakukan, ditambah tiga tahun lagi atas percobaan pembunuhan yang ia lakukan terhadap Yuna. Morgan sudah be
Sekujur tubuh Yuna seketika bereaksi mendengar suara Morgan. Ia menelan saliva dengan gugup. Bahkan lehernya terlihat kaku saat Yuna menoleh perlahan ke arah Morgan. “A … apa?” tanya wanita itu seraya berkedip canggung. Pria itu tersenyum tipis dan menegakkan tubuhnya. Satu tangannya masih berada di dalam saku, sementara sudut bibir Morgan tertarik membentuk senyum miring. “Kakek sudah menyiapkan ini semua. Hanya untuk kita. Tidak mungkin kita membuat dia kecewa, bukan?” tutur pria itu dengan nada lirih setengah berbisik. Seluruh bulu di tubuh Yuna seakan bergidik seketika. Belakangan, ia terlalu fokus menyiapkan diri untuk pernikahan hingga Yuna lupa ia masih memiliki kewajiban tepat setelah pernikahan itu berakhir. Kewajiban melalui malam pertama bersama Morgan. Pria itu tersenyum tipis melihat wajah Yuna yang mendadak gugup dan canggung. Cup Ia melabuhkan satu kecupan ringan pada salah satu pipi Yuna. “Aku akan membersihkan diri sebelum melakukannya,” ucap Morgan
“Maksudmu, Morgan akan menikah? Cucuku akan segera menikah!?” Kakek Morgan berseru tegas. Pria tua itu tengah membaca di ruang baca saat salah seorang pelayan datang dan membawakan surat undangan. Matanya nyaris terbelalak keluar saat melihat nama sang cucu di sana. “Itu benar, Tuan Besar. Sepertinya, Tuan Morgan merahasiakan hal ini dari keluarga besar.” Pelayan sekaligus asisten pribadinya itu menjelaskan. Mendengarnya, raut wajah pria itu itu menjadi campur aduk. Senang dengan kabar menggembirakan ini sekaligus setengah kesal karena dirahasiakan dari peristiwa penting seperti ini. “Bocah tengik!” umpatnya, “Berani-beraninya dia merencanakan pernikahan ini tanpa sepengetahuanku. Siapa pengantin wanitanya?” sergah pria tua itu. “Dia—” “Tentu saja calon istriku.” Satu suara menyela. Kakek Morgan, Louis, dan asistennya refleks menoleh ke arah sumber suara. Di ambang pintu, sudah berdiri Morgan dengan Yuna di sisinya. Raut wajah pria itu terlihat penuh semringah. “Tentu saja
“Morgan menemui Ibu?” Yuna bertanya dengan raut wajah penasaran. Sesuai janji, Morgan dan Yuna sepakat untuk bertemu setelah Yuna selesai bekerja. Kini, setelah Yuna datang ke ruangan pria itu, Morgan justru tidak ada di ruangannya. Benny mengangguk satu kali. “Benar, Nyonya. Setelah rapat selesai, tiba-tiba Nyonya Dewi mengajak Morgan untuk mengobrol,” tutur pria itu. Alis Yuna mengernyit bingung. Dewi tak mengatakan apa pun kepadanya. “Apakah kau tahu ke mana mereka pergi?” Yuna bertanya lagi. Sayangnya, Benny menggelengkan kepala. “Tuan Morgan tidak memberitahu apa pun kepada saya, Nyonya,” lanjut pria itu. Yuna mengangguk mengerti dan meminta Benny untuk melanjutkan pekerjaan sementara Yuna akan menunggu di ruangan Morgan. Wanita itu sudah mencoba menghubungi Morgan, tetapi tidak mendapat jawaban apa pun. Hingga selang beberapa menit, pintu terbuka dan Yuna refleks berdiri. Akan tetapi, alih-alih Morgan, ia justru mendapati sosok Katherine yang berdiri di ambang pintu.
Morgan dan Yuna mempersiapkan dengan lebih matang kali ini. Tidak seperti pernikahan pertama mereka yang dilakukan secara mendadak, tertutup, dan setengah hati. Kali ini Morgan benar-benar mencurahkan pikirannya dengan maksimal. Di sela-sela kesibukan pria itu dalam menjalankan dua perusahaan sekaligus, Morgan masih mencicil keperluan dan menggali informasi untuk vendor pernikahan yang sesuai. Kemarin, Morgan dan Yuna telah memilih sebuah aula tempat pernikahan akan digelar. Tempatnya berada di luar ruangan di kawasan elite yang khusus untuk menggelar pernikahan. Awalnya, Yuna tampak ragu, khawatir perayaan itu akan terlalu banyak. Namun, Morgan berkata mereka hanya akan melakukannya satu kali dan tentu hal itu harus sempurna. Kali ini, pria itu baru selesai rapat dan berjalan beriringan dengan Benny menuju mobil. “Kau sudah membayar untuk tempat kemarin?” Morgan bertanya kepada sekretarisnya. Benny mengangguk satu kali. “Sudah lunas dan tanggal itu dipersiapkan hanya u
Benny kewalahan saat mencoba menahan tubuh sang bos. Wajah Dimas sudah babak belur dan berdarah. Pria itu benar-benar akan habis di tangan Morgan andai tak ada satu pun orang yang menghentikan. Selama ini, Morgan selalu menahan diri dan tak sekalipun menggunakan kepalan tangannya. Namun, sebagai orang terdekatnya, Benny tahu bahwa sekali Morgan memukul seseorang, pria itu bisa benar-benar kritis. “Hentikan ini, Tuan. Anda bisa membunuhnya!” Benny berkata dengan tegas. Iris hitam Morgan masih dikuasai oleh kemarahan. Seakan suaranya tak dapat mencapai akal sehat Morgan. Sementara itu, Dimas berhasil kembali berdiri. Wajahnya terasa berdenyut sakit dan amarah juga menguasai dirinya. Ia menatap lurus ke arah Morgan, kemudian menyeringai tipis. Hal itu membuat kegeraman Morgan semakin meledak-ledak. “Brengsek!” sergah Morgan, kemudian kembali merangsek maju. Kekuatannya begitu besar hingga berhasil menembus pertahanan Benny. Ia melangkah cepat mendekati Dimas dan kembali men
“Kau sudah memeriksa seluruh CCTV di sana?” Morgan bertanya melalui telepon. Pria itu telah berada di mobilnya dan mengenakan sebuah earphone. Sejak tadi, ponselnya tak berhenti menghubungi ke sana kemari. Jika benar Dimas berperan dalam hilangnya Yuna, maka Morgan harus bertindak secepat mungkin. Kali ini, Morgan kembali meminta bantuan Bara dan Erik. “Sudah, Tuan, dan memang benar Nyonya Yuna tengah berangkat bekerja saat sebuah mobil hitam mendekatinya. Tapi, pria itu tidak melakukan apa-apa.” Bara memberitahu. Alis Morgan mengernyit seketika. Pria itu terlihat tidak kesulitan membagi konsentrasi antara setir kemudi di depannya dengan percakapan di telepon itu. “Apa maksudmu?” sergah Morgan. “Dia tidak memukul atau menyeret Nyonya Yuna. Pria di dalam mobil sepertinya mengajak Nyonya Yuna bicara, kemudian Nyonya Yuna memasuki mobil itu tanpa paksaan.” Bara menjelaskan sembari menatap layar komputer yang menampilkan hasil rekaman CCTV salah satu toko terdekat. Morgan membungka
Semuanya menjadi kacau. Dengan amat hati-hati, Morgan berusaha membereskan kekacauan dan merangkai situasi sempurna agar mereka benar-benar bisa menikah. Kini, tepat setelah kasus sang putra berhasil tuntas, Yuna justru lepas dari genggamannya. Dewi terlihat sangat kecewa dan marah terhadap mereka. Ia tak mendengarkan Morgan sedikit pun dan langsung membawa Yuna pergi. Persis seperti lima tahun lalu. Kini, wajah Morgan terlihat pucat dan tak bersemangat meski ia telah berhasil mencapai tujuannya. “Pagi ini, Paman Anda akan menjalani pemeriksaan pertama, Tuan. Ketua eksekutif perusahaan DreenCo juga ikut terseret—” Laporan Benny terhenti saat pria itu menyadari Morgan terlihat tidak fokus. Pria itu tidak mendengarnya sedikit pun. Iris hitamnya terlihat kosong, tampak jelas pikiran Morgan tak berada di sana. “Bagaimana kondisi Nyonya Yuna, Tuan?” Benny mengganti topik pembicaraan. Mendengar itu, Morgan berkedip satu kali dan seketika jiwanya seakan kembali ke tubuh pria i