“Apar … apartemen?” Yuna bertanya. Mendadak napas dan lidahnya menjadi gugup. “Kamu memiliki apartemen?” Morgan menggelengkan kepala. “Sekarang, belum, tapi jika sore ini kamu luang, aku bisa memilikinya sebelum sore nanti,” ucap Morgan dengan nada ringan. Ia berkata seolah membeli apartemen semudah membeli sebuah permen. Wanita itu mereguk saliva untuk melenyapkan kegugupan di benaknya. “Untuk apa aku pergi ke sana?” tanya Yuna. “Untuk apa lagi?” Morgan menaikkan salah satu alis dengan heran. “Aku berniat membeli sebuah apartemen agar kita bisa menghabiskan waktu bersama—”“Aku sibuk.” Yuna langsung menyela dengan terbata. “Aku … aku sudah memiliki janji dengan Nara,” kilah wanita itu. Ia tak memiliki janji apa pun dengan sahabatnya, tetapi jelas Yuna tak akan membiarkan dirinya dibawa begitu saja ke kediaman Morgan. “Hmph.” Morgan mendengkus dengan pasrah. Perlahan, ia kembali mendekat ke arah Yuna dan merangkul pinggang wanita itu. “Jika bukan di rumah sakit, aku pasti su
Lastri menelan saliva dengan gugup. Tangannya setengah gemetaran saat berjalan mendekati majikannya, menyajikan minuman itu, kemudian berdiri tegak. “Pertanyaan seperti apa, Tuan?” tanya wanita itu. Selama ini, Lastri bekerja dengan jujur dan tak pernah melakukan hal-hal aneh di kediaman Spencer. Ia berani memberikan informasi, tetapi perangai kedua pria di hadapannya membuat wanita itu sedikit gugup. “Kami ingin menanyakan kejadian lima tahun lalu. Anda mungkin harus menggali ingatan Anda. Seperti yang dikatakan Tuan Morgan, Anda menjadi pengurus rumahnya lima tahun lalu. Anda pasti mengetahui insiden keracunan yang menimpa Bu Yuna,” tutur Bara, memulai sesi interogasinya. Lastri berkedip cepat, terlihat segan sekaligus gugup. Ia tak menyangka jika mereka akan mengangkat kasus lama yang sudah dilupakan. Di keluarga Morgan, mereka hampir tak pernah membahasnya. Wanita itu lantas mengangguk berulang kali. “Itu benar, tapi aku tidak melakukan apa pun. Aku berani bersumpah. Bukan ak
“Apakah Anda benar-benar akan membuka kembali penyelidikan ini, Tuan?” Lastri bertanya. Bara dan Erik baru saja pergi dan Morgan kembali memasuki kediamannya saat Lastri menggumamkan pertanyaan itu. Morgan mengangguk satu kali dan seketika bibir Lastri mengulum senyum tipis. “Itu berarti, Tuan dan Nyonya benar-benar sudah kembali bersama?” tanyanya dengan bersemangat. Morgan berusaha menjaga wibawanya di depan asisten rumah tangganya itu. Namun, tiap kali seseorang menanyakan hal itu, bibirnya refleks tertarik membentuk senyum kecil. “Anda benar-benar hebat, Tuan. Akhirnya, Anda berhasil mendapatkan Nyonya kembali,” ucap Lastri dengan penuh rasa syukur. “Mendapatkan apa?” Satu suara terdengar seiring dengan Katherine yang melangkah mendekati keduanya. Raut wajah Morgan dan Lastri seketika berubah. Dari semula penuh senyum menjadi tenang kembali. Katherine menatap curiga ke arah Lastri yang sejak tadi terlihat berseri. “Morgan mendapatkan apa?” Katherine bertanya lagi. Kini, L
Morgan tidak tahu mengapa, tetapi amarahnya seakan langsung mencuat begitu ia melihat Nita. Satu hal lain yang membuat Morgan geram adalah perut wanita itu yang terlihat menggunduk, menandakan wanita itu tengah mengandung. Biasanya, Morgan hanya kasar saat menghadapi pria, tetapi kali ini sebuah ancaman langsung meluncur dari bibirnya, membuat Nita berhenti dengan penuh ketakutan. Jika Morgan mendatanginya setelah lima tahun berlalu, hanya ada satu alasan yang mungkin untuk terjadi. Pria itu telah mengetahui tindakannya. Nita menggelengkan kepala berulang kali. “Mohon maafkan aku, Tuan. Aku sudah bersalah. Mohon maafkan aku.” Nita berkata dengan suara gemetar. Ia refleks berlutut dan menyatukan tangannya di depan dada. Air mata bercucuran keluar dan membasahi pipinya. Ia terlihat sangat ketakutan. Kedua tangan Morgan mengepal erat. Begitu erat hingga tangannya gemetar menahan amarah. “Apa-apaan ini?” Jeno keluar dan terkejut melihat istrinya sudah berlutut dengan bercuc
Suasana di dalam helikopter menjadi lebih kaku dan canggung. Raut wajah Morgan membungkam serius. Terlihat jelas pria itu masih dikuasai oleh amarah yang belum tersalurkan. Sebagai sekretaris yang telah bekerja selama bertahun-tahun bersama Morgan, Benny sangat mengerti betapa pria itu hampir gila karena menahan amarah yang membuncah. Hingga helikopter itu mendarat kembali, tidak ada satu pun yang bersuara di antara mereka. “Ada pesan yang disampaikan wanita itu setelah Anda pergi, Tuan.” Benny memberanikan diri untuk bersuara begitu mereka turun. Bibir Morgan masih mengatup membentuk garis setipis kertas. Morgan menoleh ke arahnya dan seketika Benny terdiam melihat iris hitam pria itu yang masih terlihat lebih gelap seakan didominasi oleh amarah. “Apa katanya?” tanya Morgan singkat. “Dia bilang ….” Beberapa saat lalu …. Morgan telah melenggang pergi dengan raut marah. Benny dan Erik masih di sana dan suasana seketika menjadi hening sekaligus canggung. “Bisakah Anda menyampai
Yuna berkedip satu kali. “... apa?” tanya wanita itu dengan nada bingung. “Kamu dan aku, tinggal bersama di apartemen.” Morgan mengulangi. Kali ini dengan nada lebih serius dan optimis. Alis Yuna menukik tajam. “APA!?” Wanita itu berseru, kemudian refleks beringsut untuk menjauhi pria itu. Matanya menyipit dengan penuh kecurigaan. “Mengapa … mengapa tiba-tiba kamu ingin melakukan itu?” tanya Yuna. Terlihat jelas merasa curiga dengan ajakan Morgan. Tempo hari, pria itu berkata akan membeli apartemen dan kini Morgan justru semakin hilang akal dan mengajaknya turun tinggal di sana. Bersama. Tubuh Yuna sudah merinding hanya dengan membayangkannya. Morgan terdiam sesaat. Seakan menimbang-nimbang apakah ia harus menjelaskan alasannya secara gamblang kepada Yuna. Melihat raut serius pria itu seketika membuat Yuna mendapat firasat bahwa kali ini Morgan tidak bermain-main. “Aku sedang menyelidiki sesuatu,” ucap Morgan, mencoba menjelaskan secara bertahap. Alis Yuna masih mengernyit.
“Kamu yakin akan pindah ke apartemen, Morgan? Mengapa tiba-tiba?” Katherine bertanya saat melihat sang putra menjejalkan baju dan kemejanya ke dalam sebuah koper. Semenjak berpisah dengan Yuna, Morgan memang menetap di rumah orang tuanya. Bukan berarti pria itu tak memiliki rumah. Morgan telah membeli beberapa properti dari keuntungan yang dia dapatkan. Bahkan, rumah lamanya bersama Yuna pun masih berdiri atas namanya. Hanya saja Morgan menjadi semakin rentan setelah Yuna pergi dan tidak senang sendirian. Ia memutuskan untuk tinggal bersama kedua orang tuanya. Sekarang, Katherine terlihat enggan untuk melepas sang putra. Meski keduanya sering terlibat pertengkaran kecil, Morgan adalah satu-satunya anak yang Katherine miliki. “Mama ingin aku segera mendapatkan seorang perempuan, ‘kan?” Morgan balas bertanya, masih sibuk memasukkan baju dan keperluannya, “Aku tidak akan berhasil jika masih tinggal di sini.” “Karena itu, kamu tidak perlu repot-repot mencari seorang wanita. Biar M
SURAT PERJANJIAN TINGGAL BERSAMA Morgan memicingkan mata begitu melihat huruf yang dicetak tebal pada bagian kepala dokumen. Ia menatap ke arah Yuna dengan wajah tidak mengerti. “... apa maksudnya ini?” tanya pria itu, terlihat tersesat. Tangan Yuna bertautan di atas paha dengan gugup. “Itu adalah perjanjian untuk tinggal bersama.” Yuna mulai menjelaskan. “Aku sudah menulis poin-poin yang boleh dan tidak boleh dilakukan dan perjanjian itu berlaku selama aku tinggal di sini.” Itu semua adalah ide Nara. Tepat setelah Yuna menjelaskan situasinya malam tadi, Nara memberikan saran agar Yuna membuat perjanjian tinggal bersama untuk meminimalisir ‘kecelakaan’ yang mungkin terjadi. Sementara itu, Morgan begitu terkejut hingga tak bisa mengatakan apa-apa. Bibir pria itu terbuka dengan tidak percaya, seakan berusaha membantah, tetapi tak ada kata-kata yang keluar. Ia mendengkus panjang dan menunjukkan seringai kecil. Jadi, seperti ini rasanya menjadi Yuna saat Morgan memberikan
“Apa yang terjadi padanya?” David bertanya seraya menghampiri Cindy dan Yuna. Pertanyaan itu ditujukan kepada Yuna yang sore ini terlihat begitu layu. Tak biasanya Yuna seperti ini. Bahkan setelah memeriksa puluhan pasien, wanita itu masih memiliki cukup stamina. “Sudah dua hari dia ditinggal suaminya.” Cindy menjelaskan. Menatap iba pada sahabatnya yang kini terlihat seperti zombie. “Bukankah seharusnya dia kembali kemarin?” tanya Cindy lagi. Terhitung sudah sebulan semenjak Yuna menikah dengan Morgan. Wanita itu masih diizinkan untuk bekerja. Namun, keduanya justru tidak sering bertemu. Tak seperti saat masa pendekatan dahulu, Morgan bisa memanggil Yuna sesuka hati. Kini, bahkan pria itu amat jarang terlihat di rumah sakit. Membuat Yuna hanya bisa bertemu dengannya saat malam dan pagi hari. Bahkan, kali ini terhitung sudah dua hari ia tak bertemu Morgan dan seluruh energinya seakan menghilang. Yuna tak pernah seperti ini sebelumnya. “Tiba-tiba dia harus mengadakan pertemu
Bunyi gerendel digeser menyambut masuknya seorang pria berompi dan berpakaian oranye. Kedua tangannya diborgol dan raut wajahnya terlihat lesu sekaligus tak terawat. Orang-orang yang melihatnya tak akan menyangka jika pria berpakaian tahanan penjara itu pernah menjadi direktur utama perusahaan bergengsi. Morgan sudah menunggu di kursi dan begitu sang paman mengangkat kepala untuk melihatnya, pria itu bergegas menghampiri Morgan. “Kau datang untuk melepaskanku, ‘kan? Kau datang untuk mencabut tuntutan itu, ‘kan, Morgan?” sergah Dimas dengan penuh harap. Sudah genap lima hari dia dipenjara dan penampilan Dimas terlihat jauh lebih buruk. Tak ada lagi bekas perkelahian. Kumisnya tumbuh dengan cepat, matanya sayu, dan kulit wajahnya terlihat kusam. Dari apa yang dilaporkan oleh jaksa, Dimas dituntut lima belas tahun penjara atas tuduhan penggelapan dana dan penyuapan yang dia lakukan, ditambah tiga tahun lagi atas percobaan pembunuhan yang ia lakukan terhadap Yuna. Morgan sudah be
Sekujur tubuh Yuna seketika bereaksi mendengar suara Morgan. Ia menelan saliva dengan gugup. Bahkan lehernya terlihat kaku saat Yuna menoleh perlahan ke arah Morgan. “A … apa?” tanya wanita itu seraya berkedip canggung. Pria itu tersenyum tipis dan menegakkan tubuhnya. Satu tangannya masih berada di dalam saku, sementara sudut bibir Morgan tertarik membentuk senyum miring. “Kakek sudah menyiapkan ini semua. Hanya untuk kita. Tidak mungkin kita membuat dia kecewa, bukan?” tutur pria itu dengan nada lirih setengah berbisik. Seluruh bulu di tubuh Yuna seakan bergidik seketika. Belakangan, ia terlalu fokus menyiapkan diri untuk pernikahan hingga Yuna lupa ia masih memiliki kewajiban tepat setelah pernikahan itu berakhir. Kewajiban melalui malam pertama bersama Morgan. Pria itu tersenyum tipis melihat wajah Yuna yang mendadak gugup dan canggung. Cup Ia melabuhkan satu kecupan ringan pada salah satu pipi Yuna. “Aku akan membersihkan diri sebelum melakukannya,” ucap Morgan
“Maksudmu, Morgan akan menikah? Cucuku akan segera menikah!?” Kakek Morgan berseru tegas. Pria tua itu tengah membaca di ruang baca saat salah seorang pelayan datang dan membawakan surat undangan. Matanya nyaris terbelalak keluar saat melihat nama sang cucu di sana. “Itu benar, Tuan Besar. Sepertinya, Tuan Morgan merahasiakan hal ini dari keluarga besar.” Pelayan sekaligus asisten pribadinya itu menjelaskan. Mendengarnya, raut wajah pria itu itu menjadi campur aduk. Senang dengan kabar menggembirakan ini sekaligus setengah kesal karena dirahasiakan dari peristiwa penting seperti ini. “Bocah tengik!” umpatnya, “Berani-beraninya dia merencanakan pernikahan ini tanpa sepengetahuanku. Siapa pengantin wanitanya?” sergah pria tua itu. “Dia—” “Tentu saja calon istriku.” Satu suara menyela. Kakek Morgan, Louis, dan asistennya refleks menoleh ke arah sumber suara. Di ambang pintu, sudah berdiri Morgan dengan Yuna di sisinya. Raut wajah pria itu terlihat penuh semringah. “Tentu saja
“Morgan menemui Ibu?” Yuna bertanya dengan raut wajah penasaran. Sesuai janji, Morgan dan Yuna sepakat untuk bertemu setelah Yuna selesai bekerja. Kini, setelah Yuna datang ke ruangan pria itu, Morgan justru tidak ada di ruangannya. Benny mengangguk satu kali. “Benar, Nyonya. Setelah rapat selesai, tiba-tiba Nyonya Dewi mengajak Morgan untuk mengobrol,” tutur pria itu. Alis Yuna mengernyit bingung. Dewi tak mengatakan apa pun kepadanya. “Apakah kau tahu ke mana mereka pergi?” Yuna bertanya lagi. Sayangnya, Benny menggelengkan kepala. “Tuan Morgan tidak memberitahu apa pun kepada saya, Nyonya,” lanjut pria itu. Yuna mengangguk mengerti dan meminta Benny untuk melanjutkan pekerjaan sementara Yuna akan menunggu di ruangan Morgan. Wanita itu sudah mencoba menghubungi Morgan, tetapi tidak mendapat jawaban apa pun. Hingga selang beberapa menit, pintu terbuka dan Yuna refleks berdiri. Akan tetapi, alih-alih Morgan, ia justru mendapati sosok Katherine yang berdiri di ambang pintu.
Morgan dan Yuna mempersiapkan dengan lebih matang kali ini. Tidak seperti pernikahan pertama mereka yang dilakukan secara mendadak, tertutup, dan setengah hati. Kali ini Morgan benar-benar mencurahkan pikirannya dengan maksimal. Di sela-sela kesibukan pria itu dalam menjalankan dua perusahaan sekaligus, Morgan masih mencicil keperluan dan menggali informasi untuk vendor pernikahan yang sesuai. Kemarin, Morgan dan Yuna telah memilih sebuah aula tempat pernikahan akan digelar. Tempatnya berada di luar ruangan di kawasan elite yang khusus untuk menggelar pernikahan. Awalnya, Yuna tampak ragu, khawatir perayaan itu akan terlalu banyak. Namun, Morgan berkata mereka hanya akan melakukannya satu kali dan tentu hal itu harus sempurna. Kali ini, pria itu baru selesai rapat dan berjalan beriringan dengan Benny menuju mobil. “Kau sudah membayar untuk tempat kemarin?” Morgan bertanya kepada sekretarisnya. Benny mengangguk satu kali. “Sudah lunas dan tanggal itu dipersiapkan hanya u
Benny kewalahan saat mencoba menahan tubuh sang bos. Wajah Dimas sudah babak belur dan berdarah. Pria itu benar-benar akan habis di tangan Morgan andai tak ada satu pun orang yang menghentikan. Selama ini, Morgan selalu menahan diri dan tak sekalipun menggunakan kepalan tangannya. Namun, sebagai orang terdekatnya, Benny tahu bahwa sekali Morgan memukul seseorang, pria itu bisa benar-benar kritis. “Hentikan ini, Tuan. Anda bisa membunuhnya!” Benny berkata dengan tegas. Iris hitam Morgan masih dikuasai oleh kemarahan. Seakan suaranya tak dapat mencapai akal sehat Morgan. Sementara itu, Dimas berhasil kembali berdiri. Wajahnya terasa berdenyut sakit dan amarah juga menguasai dirinya. Ia menatap lurus ke arah Morgan, kemudian menyeringai tipis. Hal itu membuat kegeraman Morgan semakin meledak-ledak. “Brengsek!” sergah Morgan, kemudian kembali merangsek maju. Kekuatannya begitu besar hingga berhasil menembus pertahanan Benny. Ia melangkah cepat mendekati Dimas dan kembali men
“Kau sudah memeriksa seluruh CCTV di sana?” Morgan bertanya melalui telepon. Pria itu telah berada di mobilnya dan mengenakan sebuah earphone. Sejak tadi, ponselnya tak berhenti menghubungi ke sana kemari. Jika benar Dimas berperan dalam hilangnya Yuna, maka Morgan harus bertindak secepat mungkin. Kali ini, Morgan kembali meminta bantuan Bara dan Erik. “Sudah, Tuan, dan memang benar Nyonya Yuna tengah berangkat bekerja saat sebuah mobil hitam mendekatinya. Tapi, pria itu tidak melakukan apa-apa.” Bara memberitahu. Alis Morgan mengernyit seketika. Pria itu terlihat tidak kesulitan membagi konsentrasi antara setir kemudi di depannya dengan percakapan di telepon itu. “Apa maksudmu?” sergah Morgan. “Dia tidak memukul atau menyeret Nyonya Yuna. Pria di dalam mobil sepertinya mengajak Nyonya Yuna bicara, kemudian Nyonya Yuna memasuki mobil itu tanpa paksaan.” Bara menjelaskan sembari menatap layar komputer yang menampilkan hasil rekaman CCTV salah satu toko terdekat. Morgan membungka
Semuanya menjadi kacau. Dengan amat hati-hati, Morgan berusaha membereskan kekacauan dan merangkai situasi sempurna agar mereka benar-benar bisa menikah. Kini, tepat setelah kasus sang putra berhasil tuntas, Yuna justru lepas dari genggamannya. Dewi terlihat sangat kecewa dan marah terhadap mereka. Ia tak mendengarkan Morgan sedikit pun dan langsung membawa Yuna pergi. Persis seperti lima tahun lalu. Kini, wajah Morgan terlihat pucat dan tak bersemangat meski ia telah berhasil mencapai tujuannya. “Pagi ini, Paman Anda akan menjalani pemeriksaan pertama, Tuan. Ketua eksekutif perusahaan DreenCo juga ikut terseret—” Laporan Benny terhenti saat pria itu menyadari Morgan terlihat tidak fokus. Pria itu tidak mendengarnya sedikit pun. Iris hitamnya terlihat kosong, tampak jelas pikiran Morgan tak berada di sana. “Bagaimana kondisi Nyonya Yuna, Tuan?” Benny mengganti topik pembicaraan. Mendengar itu, Morgan berkedip satu kali dan seketika jiwanya seakan kembali ke tubuh pria i