Tante Puri yang akan mengantarkan makan siang untuk Qairo baru menuruni mobil Lexus LM 350 di depan UGD. Saat itu Qairo sudah tidak pulang ke rumah dua hari, tidak biasanya ia begini.
“Bu, mau saya tunggu?” tanya pak supir. “Gak usah. Saya agak lama disini. Nanti saya telpon kalau mau pulang.” “Baik, bu.” Tante Puri berjalan masuk melewati UGD. Disana ia melihat Sarah yang sedang mengecek kondisi pasien, “Sarah?” Sarah yang sedang memberi arahan pada dokter residen melirik tante Puri, “Tante?” ia berjalan mendekatinya, “Tante cari Qairo ya?” “Iya dong. Mau apa lagi tante kesini coba?” “Aku pikir tante mau jemput Keyla pulang.” Air muka tante Puri berubah judes, “Kenapa tante harus ikut jemput dia, ‘kan ada keluarganya.” “Iya sih, tan. Kebetulan aku denger katanya tante deket sama Keyla.” “Ah itu. Waktu itu dia cuma nemenin taKeyla terus cemberut saat Rocky menyuapinya makan sebelum pulang. Langkah yang ia ambil dengan mengatakan menyukai Rocky dua hari lalu ternyata menjadi bencana untuknya. “Lagi, Key, dikit lagi nih.” Rocky mengayunkan sendok di depan wajah Keyla yang cemberut, “Ngeeeng, ada Helikopter mau mendarat di mulut Keykey.” Arial yang sedang duduk di sofa menikmati makan siangnya tertawa terbahak-bahak, “Hahaha, adik Keykey.” “Berisik!” teriak Keyla. “Abisin dong adik Keykey.” Keyla mendorong sendok yang berputar-putar didepan wajahnya. Namun dorongannya terlalu kencang sehingga sendok terjatuh. Rocky dan Arial tentu terkejut. Mereka sudah tahu dari Sarah, kalau kemungkinan emosi Keyla akan naik turun karena ada bagian emosi di otaknya yang belum stabil. Tapi mereka tetap kaget melihatnya. “Key, aku kaget.” Rocky menatap Keyla dengan dramatis. Keyla memalingkan wajah dan membuang nafas pelan, “Maaf.” Arial
Pov Arial Arial mentap kartu absen depan ruangan kerjanya. Ia sudah bersiap pulang sore ini. Malam ini harusnya ia berjaga, tapi untungnya Rocky mau menggantikannya, karena ia tahu ia harus menemani Keyla di rumah. Papa mendadak harus pergi ke Surabaya karena ada urusan bisnis rumah sakit yang tidak bisa ditunda. “Rial, kamu pulang?” Arial menoleh saat sedang memainkan ponselnya, “Eh, Sar, iya nih. Papa kebetulan ada urusan ke Surabaya, jadi ya kakaknya ini yang harus nemenin.” Sarah mengangguk, “Oke. Kamu temenin Keyla semaleman, jangan ngayap.” Arial tertawa, “Mau ngelayap kemana sih? Hm? Kan kamu ada disini gak ikut ke rumah.” Sarah menggebug lengan Arial, “Udah sana, kasian Keyla nungguin.” “Iya. Awas jangan nyariin,” “Dih, ngapain nyariin kamu?” “Kamu ‘kan suka random, tiba-tiba pengen ini lah pengen itu lah, pengen ditemenin ngobrol lah. Kalo aku gak ada kamu cari Rocky aja.” Sarah mengangguk, “Iya. Aku cuma bisa ngandelin dia kalo gak ada kamu.” “Tapi janga
Arial membuka pintu kamar pelan-pelan. Ia takut membangunkan Keyla yang papa bilang sudah tidur sejak satu jam lalu. Papa pun langsung pamit setelah kepulangannya karena keberangkatan ke Surabaya berbarengan dengan petinggi rumah sakit lain. Papa bilang sebelum jam makan malam Keyla mengamuk. Ia melempar piring di meja makan tiba-tiba dan menangis kencang tanpa sebab. Arial menyimpan ponsel dan dompetnya di nakas samping kasur. Sambil duduk dipinggir ranjang, ia mengelus rambut Keyla lembut, “Kamu udah kenapa lagi sih, Key, hm?” Keyla menggeliat pelan mendengar suara bariton Arial. Ia membuka mata dan tersenyum menyambut kepulangan suami kontraknya, “Kak?” “Udah makan?” “Udah.” “Sama apa?” Keyla terbangun, “Tadi aku habis ngamuk, kak.” “Oyah? Kenapa?” tanya Arial seolah tak tahu apa-apa. Keyla menatap Arial, “Papa gak cerita?” “Papa langsung pergi. Tadi kamu ngamuk kenapa?”
Keyla meringkuk membelakangi Arial yang langsung berhenti saat akan menurunkan celana tidur miliknya. Ia langsung terdiam seperti enggan melakukan itu. Keyla kecewa. Ia yang sudah merelakan dua asetnya di jamah dan siap melakukan malam panjang itu sekarang, karena tiba-tiba saja nafsunya memuncak tinggi, hanya bisa memakai baju tidurnya dan langsung meringkuk. Arial kini beranjak dari kasur. Ia berjalan menuju balkon dan menutup pintunya agar Keyla tak kedinginan. Keyla membalikkan badannya, melihat tubuh Arial yang memunggunginya di luar. Kaca transparan besar itu bisa memperlihatkan pergerakkan Arial yang gusar, “Jangan pernah mengharapkan apapun dari dia lagi, Key.” Arial membuang nafasnya beberapa kali. Ia melirik Keyla yang tengah menangis. Ia tahu dengan jelas karena tubuhnya yang meringkuk bergerak-gerak, “Maaf, Key, aku... gak bisa.” Kepalanya menunduk, membayangkan jika malam ini semuanya terjadi dan Keyla hamil, bagaimana nasib p
Arial dan Qairo membantu Keyla turun dari mobil. Arial menggendong Keyla untuk duduk di kursi roda yang sudah disiapkan Qairo. “Hati-hati, Al.” Keyla sudah duduk. Hari ini ia memakai baju kaos bergambar Mickey Mouse berlengan pendek dan kulot jeans midi. Baju itu Arial yang pilihkan. Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai dibalut bando scarf hitam. “Itu Sarah.” tunjuk Arial. Ia yang baru mendorong kursi roda menuju lobi mall, melirik Qairo memberi kode. “Al, biar gue aja yang dorong kursi rodanya Keyla, lo sama Sarah aja.” “Oke, makasih ya. Key, kamu sama Qai dulu ya?” Tak ada jawaban. Keyla tak peduli kursi rodanya akan didorong siapa. Arial berjalan cepat menghampiri Sarah. Ia terpukau dengan penampilan perempuan yang ia sukai itu. Sarah memakai blouse putih dan rok jeans midi, “Maaf ya buat kamu nunggu lama.” “Enggak sama sekali kok.” Sarah melambaikan tangan pada Keyla, “Hai, Key.”
Sejak masuk mobil, Keyla terus menatap Arial. Ia seperti takut ditinggalkan. “Kamu kenapa sih? Kok liatin aku terus?” “Gak papa.” “Kamu masih marah sama Qairo?” Keyla tak menjawab. “Qairo pergi waktu kita ciuman yang bikin kamu marah?” Keyla membuang mukanya, “Apaan sih.” Arial tertawa, “Aku pikir kamu gak akan bisa marah sama Qairo. Kamu ‘kan suka sama dia.” Keyla diam. Ia mengamini ucapan Arial dalam hati. Ia memang suka pada Qairo, masih suka dan mungkin akan selamanya menyukai lelaki itu. Tapi sikap tante Puri yang seperti enggan mengenalnya setelah tahu ia adalah anak adopsi membuatnya mau tidak mau juga harus menjauhi Qairo. Tante Puri pasti bertanya lebih dalam pada papa, mengenai dari mana ia berasal dan sebagainya. Setelah itu ia memang tidak tahu cara pandang mamanya Qairo itu padanya. Tapi satu yang pasti, ia merasa tidak pantas bersanding dengan mereka. “Kamu tahu
Arial yang sedang membuat catatan medis pasien diruanganya dihampiri perawat yang membantu proses persalinan tiga puluh menit lalu. “Dok, maaf mengganggu. Barusan pasien bertanya mengenai pemasangan kb. Katanya ingin dokter yang menjelaskan langsung.” “Saya laku juga ternyata dikalangan ibu-ibu.” Perawat tertawa, “Pasien tahu dokter masih lajang, makannya—” “Saya langsung kesana sekarang.” Arial langsung berdiri dan berjalan melewati suster yang berdiri dipintu. Ia sengaja memotong pembicaraan agar tidak keceplosan. Mereka berjalan ke ruang perawatan bersama. “Tadi yang saya dengar bener suara Keyla ‘kan, dok?” Arial melirik perawat itu sambil berjalan, “Mana mungkin ada suara Keyla dirumah saya.” “Iya juga ya. Tapi bukannya Keyla udah pulang dari rumah sakit?” Arial berhenti melangkah, “Terus urusannya sama saya apa?” “Hehe, enggak, dok.” Arial kembali melangkah
Arial memarkirkan mobilnya sembarang karena mendengar teriakan Keyla yang kencang. Ia tidak sengaja melirik mobil papa. Berarti papa sudah pulang? Ia berlari masuk ke dalam rumah. “Key?” “Al, tolong bantu papa.” Arial menghampiri Keyla yang menangis terduduk dilantai bawah tangga, “Aku gendong ya?” Keyla menghindari tubuhnya dari Arial, “Aku mau pulang!” “Pulang kemana? Ini rumah kamu ‘kan?” Tangisan Keyla memelan. Ia berusaha mengatur nafasnya yang terengah-engah, “Aku gak pantes ada disini.” “Ayo ke kamar, aku gendong.” Keyla menyingkirkan lengan Arial yang hendak menggendongnya, “Aku gak mau ada disini!” “Terus kamu mau kemana?” tanya Arial dengan nada tinggi. “Ke tempat yang cocok sama aku.” “Tempat yang cocok buat kamu itu disini, di rumah ini sama aku, papa dan yang lainnya. Berhenti terus ngomong kayak gitu, Key, aku capek baru pulang dari rumah sakit!”