Safira sampai di rumah hampir pukul dua belas malam. Sepulang dari bandara, ia tak langsung pulang ke rumah dan malah memilih untuk duduk-duduk di taman perumahan rumah. Pikirannya berkecamuk. Safira merasa, takdir seolah-olah mempermainkannya.
Perjodohan, Bima, Tante Nina yang sakit … oh tak adakah yang lebih buruk dari ini?
Safira membuka botol air yang ia beli di supermarket. Menenggak airnya hingga tersisa separuh, berusaha menghilangkan rasa panas di tenggorokannya.
Kenapa semua harus serumit ini?
Apakah dia sungguh harus menikah dengan Bima?
Apakah ia harus menuruti keinginan lelaki itu untuk memenuhi keinginan Tante Nina?
Pernikahan yang hanya berumur setahun? Apa itu mungkin untuknya yang sejujurnya juga ingin memiliki pernikahan sekali seumur hidup?
Haaa … Safira lagi-lagi menghela napas panjang. Ini terlalu berat untuknya.
Menikah dengan Bima adalah hal yang paling tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Setelah puas berpikir meskipun tak menemukan jawaban, gadis itu akhirnya memilih pulang dengan koper yang ia tarik. Padahal koper itu tak berat sama sekali, namun Safira merasa koper itu berisi semua masalah hidup yang tak ada habisnya. Berat banget!
Safira sudah akan menekan bel rumah, namun pintu rumah lebih dulu terbuka. Sang ayah ada di sana.
“Ya ampun, Mentari!" Safira tersenyum melihat wajah terkejut ayahnya. “Baru aja Ayah mau nyari kamu ke bandara. Kamu gimana sih, Nak, nomornya kok malah gak aktif?” Nada khawatir sangat terdengar jelas di kalimat sang ayah. Membuat Safira tak segan langsung memeluk pria paruh baya itu. Ia sangat rindu pada sosoknya.
“Iya, Ayah. Ponsel Tari lowbat.”
Ayah mengusap punggung sang anak sesaat dan melepasnya. “Ya sudah ayo masuk.” Ayah membantu membawakan koper Safira, dan mengikuti sang anak menuju kamarnya.
“Ibu? Tidur ya?” tanya Safira ketika sudah sampai di depan pintu kamarnya di lantai dua.
“Baru aja ketiduran. Nungguin kamu dari tadi gak datang-datang. Mau Ayah bangunin?”
Safira menggeleng, tersenyum tipis. “Nggak usah, Yah. Biar besok aja ngobrolnya.”
“Ya sudah.” Ayah mengangguk pelan. “Udah makan belum? Ibu kamu tadi ngangetin ayam kecap sama perkedel kentang kesukaan kamu lho. Makan dulu ya sebelum tidur.”
“Iya, Tari makan bentar lagi. Mau mandi dulu.”
“Jangan lupa hidupin air hangatnya,” saran Ayah. “Ayah temenin makan bentar lagi. Ayah nungguin kamu dari tadi.”
Safira melotot mendengarnya. “Lho kenapa nungguin Tari? Kenapa gak makan aja? Kalau Tari ternyata sampai rumahnya besok gimana?”
Ayah tertawa karena pertanyaan sang anak. “Duh kamu ini. Kan kamu pulang hari ini, Nak. Masa sampai rumahnya besok sih? Memangnya mau tidur di mana kalau gak tidur di rumah?”
Ah benar juga. Tapi menunggunya pulang hanya untuk makan bersama … sungguh Tari merasa bersalah. Apalagi ini sudah tengah malam!
“Udah gih, mandi dulu. Jangan lama-lama ya. Ayah tunggu di bawah.”
Akhirnya mau tak mau Safira mengangguk. “Tari gak lama. Kalau Ayah bener-bener kelaparan, makan duluan aja gak apa-apa.”
Sang ayah mengusap lengan Safira pelan. “Udah cepet mandi. Ayah turun ya.”
Safira masuk ke kamar setelah ayah turun ke lantai satu. Sebenarnya ia tak ingin makan dan hanya ingin tidur. Namun mengingat ayam kecap dan perkedel kentang, benar-benar menggugah nafsu makannya. Setidaknya dengan makan, tidurnya akan lebih nyenyak dan pikiran tentang Bima atau perjodohan akan terlupakan meskipun sebentar.
Yah … semoga saja.
***
Safira dan sang ayah makan dalam suasana hening. Sebenarnya banyak hal yang ingin Safira tanyakan, namun tenaganya sudah tak kuasa untuk bertanya ini itu. Padahal ia yakin jika sang ayah tak mungkin tak tahu menahu masalah ia yang dijodohkan dengan Bima.
Nasi di piringnya sudah habis, begitupula dengan sang ayah yang juga selesai dengan makanannya.
“Mau bicara sama Ayah? Atau besok aja sekalian sama ibu kamu?”
Yahh … ayah memang selalu seperti ini, kan? Dan kalau sudah ditawari seperti ini mana mungkin Safira menahan lagi. Kecuali kalau ayah hanya diam saja.
“Tadi Tari udah ketemu sama cowok yang mau dijodohkan ibu.”
Ayah diam, memberi ruang untuk anak gadisnya bercerita lebih banyak.
“Tari … nggak tahu harus gimana. Ayah udah tahu ya masalah ini?”
Ayah menghela napas panjang, lalu mengangguk pelan. “Ketemu sama Bima lagi … gimana rasanya? Kamu baik-baik aja, Nak?”
Nggak, Yah. Tari gak baik-baik aja ketemu dia lagi. Tari pengen nangis, pengen teriak, pengen marah. Lima tahun gak ketemu dan tiba-tiba kami ketemu lagi dengan keadaan kayak gini apa nggak berlebihan?
Namun semua yang ada di benaknya, hanya bisa Safira teriakkan di dalam hati. Ia tak mau membuat ayahnya khawatir. Sudah cukup raut khawatir itu Safira lihat sekarang.
“Tari gak apa-apa, cuma … kaget aja. Kami udah lima tahun gak ketemu semenjak putus, Yah.”
Ayah mengangguk pelan. Tentu sang ayah sangat tahu hal itu.
“Masalah perjodohan—”
“Tari …” Safira memotong pembicaraan sang ayah, “Tari bener-bener gak bisa nolak kan, Yah?”
“Kamu mau nolak, Nak? Nggak bisa dipikirin dulu?”
Safira diam, otaknya kembali berputar. Bima bilang, Tante Nina tidak mau menjalani operasi jika mereka berdua tidak menikah. Kalau begitu, keputusannya sama saja dengan keputusan tentang hidup dan mati seseorang.
Haaah … ini benar-benar di luar dugaan. Mana mungkin keputusannya untuk menikah sama dengan bertaruh nyawa?
Nggak masuk akal.
“Bima udah cerita, katanya Tante Nina sakit ya?”
Ayah mengangguk pelan.
“Tari juga gak ada pilihan untuk nolak, kan? Dan Bima yang sebenarnya juga gak punya pilihan, akhirnya terpaksa harus nikah sama aku.”
Sang ayah diam. Namun tak lama, beliau berucap lagi, “Kamu bisa nolak kalau kamu mau. Karena bagaimanapun, kebahagiaanmu tetap nomor satu bagi ayah dan ibumu, Nak. Biar kami yang bicara sama Bima dan ibunya kalau kamu nolak.”
Hati Safira tersentil sewaktu mendengar ucapan ayah. Ia merasa lega karena nyatanya ia masih memiliki pilihan meskipun rasanya masih sulit untuk diterima.
“Tari …”
“Kamu boleh pikirin dulu, Nak. Jangan terburu-buru.”
“Tari mau bicara dulu sama Bima, Yah. Tari akan kasih jawaban langsung ke Bima. Boleh, kan?”
Ayah tersenyum. “Tentu. Biar nanti Ayah yang bicara sama Ibumu.”
Safira balas tersenyum. “Makasih, Yah. Ya udah, Tari naik dulu. Mau istirahat. Ayah juga istirahat ya, makasih udah nemenin Tari makan.”
“Tidur yang nyenyak, ya. Biar besok bisa enakan bangunnya.”
Safira tersenyum dan mengangguk pelan. Ia naik ke lantai dua setelah mencium pipi sang ayah.
Bagaimanapun … tak ada hari yang lebih membuatnya merasa berat daripada hari ini. Namun setidaknya, berbicara dengan ayah bisa menghilangkan sedikit beban yang sejak tadi bergerumul di kepala dan hatinya.
Setidaknya begitu.
Iya, kan?
***
Pada nyatanya, bukan hanya Safira yang kepikiran tentang obrolan di bandara tadi. Tetapi Bima juga sama. Bahkan tak jauh beda.
Ketika Safira pergi begitu saja setelah ia mengatakan bahwa sang ibu sakit jantung dan harus dioperasi, itu cukup membuat Bima tertohok.
Safira mungkin akan menolak ajakannya untuk menikah. Safira mungkin akan semakin membencinya karena merasa bahwa ia memanfaatkan gadis itu. Atau mungkin, Safira yang semula sudah jauh, akan semakin jauh dan semakin tak bisa ia gapai lagi.
Bima benar-benar frustasi. Kenapa dengan bodohnya ia mengatakan tentang penyakit ibunya padahal ibunya sendiri sudah melarang untuk mengatakan itu?
Bodoh ya bodoh saja, Bima ….
Di malam yang sudah semakin larut dan nyaris berganti hari, Bima pergi ke salah satu bar yang memang sudah kerap kali menjadi pelarian ketika sedang suntuk seperti ini.
Bar 69, bar yang terkenal dengan para pengunjung kelas atas. Baik artis, pejabat, maupun konglomerat.
“Kenapa lagi lo?” Itu suara Monic. Perempuan yang dulu merupakan teman kuliahnya, kini merangkap sebagai pemilik utama Bar 69.
Dan juga … perempuan yang membuat hubungannya dan Safira kandas. Lima tahun lalu.
“Biasa. Gue mau bir dong, Mon. Lagi puyeng nih.”
Monic berdecak. “Ya elah, Bim, Bim. Nggak sekalian vodka? Nanggung amat mau mabok tapi minum bir.” Lalu gadis itu tertawa.
“Gak pengen mabok kok. Tapi pengen minum.”
Monic berdecak, namun ia tetap menyuruh pegawainya untuk mengambilkan dua kaleng bir. Satu untuknya dan satu untuk lelaki di sebelahnya ini.
“Jadi gimana … setelah ketemu dan duduk hadap-hadapan lagi sama Safira setelah sekian lama?”
Bima membuka kaleng bir dan langsung ia tenggak isinya sedikit.
“Lega atau malah makin … kangen?”
Bima masih tak menyahuti pertanyaan Monic yang jujur saja, menohok hati kecilnya. Bima terlalu kaku untuk mengakui perasaan-perasaan itu dan seringkali membuat Monic kuwalahan sendiri karena sikapnya yang seperti itu.
“Kalau lo mau deket dan perbaiki hubungan lo sama dia, seenggaknya lo harus lebih berani, Bim,” ucap Monic. Perempuan itu juga turut meminum sedikit demi sedikit bir miliknya. “Jangan jadi penakut dan jangan jadi pengecut lagi,” lanjutnya. Ia melirik Bima yang masih tak mengatakan apapun. “Karena kalau lo masih bersikap begini, gak mau terus terang dan masih mendem semuanya sendiri, gue yakin … cepat atau lambat, bukan cuma benci sama lo, mungkin … lo beneran bakal kehilangan Safira. Lagi," final Monic dengan penekanan di akhir kalimat.
Ya, Bima tahu itu.
Kehilangan ya?
Bukankah dirinya sudah biasa menghadapi kehilangan?
Tetapi yang jadi pertanyaan … apakah ia siap untuk kehilangan Safira sekali lagi?
Safira turun dari kamarnya sekitar pukul sembilan pagi. Suasana rumah sudah sepi, mungkin sang ayah sudah berangkat ke kantor. Dan ibunya yang merupakan fanatic tanaman pasti sedang ada di halaman belakang untuk mengurus tanaman-tanamannya di Greenhouse mini miliknya.“Bu.” Safira menyapa sang ibu yang sedang menyiram tanaman-tanamannya. Anita–ibu Safira mendongak, mengalihkan tatapan ke arah sang anak yang tersenyum lebar. Wanita berusia lima puluh tahunan itu berdiri. “Akhirnya bangun juga kamu. Sudah sarapan?”Safira mengangguk. Tentu ia sudah makan sekaligus mandi. Kalau tidak mengisi daya sebelum berbicara dengan ibunya, mana mungkin ia memiliki tenaga.“Sini duduk. Kita bicara soal kemarin.” Yah bagaimanapun ia juga harus membicarakan ini dengan ibu. Safira juga ingin bertanya banyak hal pada wanita yang sudah melahirkannya ini.“Pasti kamu punya banyak pertanyaan kan buat Ibu?” Ibu menuangkan teh dari teko ke dua cangkir yang ada di atas meja. Safira menduga ibunya pasti sud
Safira mengajak Bima bertemu di kafe dekat Sky’s Bakery—toko roti miliknya sekitar pukul empat sore. Dan dia sudah duduk di sini selama lima belas menit, namun Bima tak kunjung datang. Atau … laki-laki itu tak akan datang ya?Sampai lonceng pintu masuk kafe berbunyi, lamunan Safira buyar. Akhirnya Bima datang dengan kemeja biru yang digulung sampai siku, kacamata yang bertengger di pangkal hidung serta tas yang ada di lengan kirinya. Khas seorang dosen muda.“Sorry lama. Gue telat banget ya?” Bima menangkap cangkir yang sudah kosong di atas meja. Ia tersenyum tipis. “Udah makan?”Safira hanya mengangguk. “Gue pesen dulu kali ya, Fir? Tunggu ya?” Tanpa menunggu persetujuan Safira, Bima segera pergi untuk memesan. “Satu gelas amerikano dingin dan sandwich.” Tanpa sadar Safira menggumam. Tak lama, Bima datang dengan pesanannya. Safira mengerjap. Ternyata tebakannya salah. Bima tak lagi memesan americano. Namun sandwich tetap menjadi makanan andalannya ketika pergi ke kafe.“Lagi ngura
Sepulang dari kafe, Safira pergi ke rumah Kanin—satu-satunya sahabat yang ia miliki sejak kuliah setelah kepergian Lusi. Sungguh, ia butuh distraksi sekarang dan berharap pikiran kalut di kepalanya sekarang bisa berkurang ketika berbicara dengan Kanin. Jarak antara kafe dengan rumah Kanin hanya berkisar sekitar sepuluh menit jika jalanan tidak macet kalau menggunakan mobil. Namun karena sekarang adalah jam rawan macet, Safira baru sampai tiga puluh menit kemudian.“Dari Sky’s?” Kanin bertanya langsung ketika membukakan pintu untuk sahabatnya itu. Bisa dilihat dengan jelas bagaimana wajah lelah dan stress Safira sekarang. Ugh … padahal ini pertemuan pertama mereka sejak Safira kembali ke Jakarta. Tetapi dia sudah memasang wajah cemberut gitu.Safira masuk tanpa menjawab. Ia duduk di sofa ruang tengah, sedangkan Kanin menuju dapur untuk mengambil minuman sebelum akhirnya turut duduk di sebelah Safira. “Minum dulu.” Kanin menyerahkan sekotak jus jambu pada Safira yang sudah ia tusukkan s
Ada satu hal yang sengaja Bima tak ceritakan pada Safira. Satu yang menurutnya, jika ia menceritakan ini sekarang maka itu akan membuat Safira semakin jauh dan membatalkan rencana pernikahan mereka.Saat ini Bima sudah berada di rumah orangtuanya. Sudah tiga hari sejak pertemuan awal dengan Safira sampai pada pertemuan kedua, ia sama sekali belum memberikan kabar pada ibunya. Dia memang berniat akan menceritakan semua, ketika Safira sudah menyetujui perjodohan mereka. Dan sekarang lah waktunya.Bima masuk ke rumah dengan langkah pelan. Rumah ini masih sepi dan dingin seperti biasa. Lelaki itu jadi sedikit merasa bersalah pada sang ibu karena beberapa hari ini membiarkan wanita yang melahirkannya itu sendirian di rumah.“Ibu?” Bima mengetuk pintu kamar sang ibu. Sampai ketika ibu menyuruh masuk, barulah Bima membuka pintunya. “Ibu?” Bima tersenyum saat menemukan ibu duduk di meja rias. Wanita itu terlihat habis mandi dengan wajah yang begitu segar.“Akhirnya pulang juga kamu.” Bima me
Jakarta di hari Senin memang bukan main macetnya. Yah, bukan hari Senin aja sih tetapi nyaris setiap hari. Terlebih di jam kerja seperti sekarang. Hampir dua puluh menit mobil Safira tidak bergerak karena terjebak kemacetan yang membuatnya frustasi. Sandwich yang ia buat di rumah beserta lagu Maroon 5 berjudul One More Night terputar dari tape mobil sedikit berhasil mengusir kejenuhannya. Namun ia tetap saja lelah terjebak macet seperti ini. Pagi ini Safira akan pergi ke Sky’s setelah tiga bulan ia meninggalkan toko rotinya itu. Ia cukup rindu dengan dapur Sky’s dan peralatan yang biasanya ia gunakan untuk bereksperimen membuat berbagai macam jenis roti baru. Sampai ponsel yang ia letakkan di atas dasbor bergetar, membuat Safira berhenti bersenandung. Wanita itu meminum air lebih dulu dan mengecilkan volume tape mobil sebelum mengangkat panggilannya.Nama Bima tersemat di sana.“Halo?” Suara Bima menyapa indra pendengaran Safira.“Ada apa?” tanya Safira to the point. Ini adalah per
(Tahun pertama Safira dan Bima pacaran; di rumah Bima. Sekitar empat tahun lalu.)“Loh, Safira?”Bu Nina terkejut saat membuka pintu rumah ketika mendapati Safira yang tiba-tiba berada di sini dengan satu kresek besar di tangannya. Gadis berusia dua puluh satu tahun itu nyengir dan menyalami tangan ibu dari sahabat dan pacarnya tersebut. “Tapi Lusi sama Bima belum pulang dari kampus. Kamu nggak ada kelas emang?”“Safira baru pulang dari kampus kok, Tan. Langsung ke sini deh,” ujarnya. Masih dengan senyum yang tak luntur dari bibirnya itu.“Oh gitu. Ya sudah masuk sini.” Bu Nina merangkul pundak Safira, mengarahkannya untuk masuk. “Kamu bawa apa itu kok banyak banget?”“Tante Nina nggak sibuk, kan?” Safira bertanya penuh harap. Karena ia memiliki rencana yang ingin dia lakukan bersama calon mertuanya ini—hehe, amin.“Nggak sih. Kenapa?”Seolah seperti pemilik rumah, Safira menarik Bu Nina pergi ke arah dapur dan meletakkan satu kresek besar belanjaannya ke atas meja. “Bikin bolu yuk,
Safira membanting dirinya ke kasur. Ia menutup matanya dengan lengan karena air mata yang terus ingin keluar. Beruntung kedua orangtuanya sedang tak ada, jadi ia tak perlu membuat alasan atau berbohong tentang kenapa dia menangis padahal baru pulang dari rumah Bima.“Sialan kamu, Bim.” Safira menarik napas panjang. Sesaknya sedikit berkurang seiring tangisnya yang sudah mereda.Sebenarnya, ada begitu banyak alasan yang membuat Safira menangis sesenggukan seperti tadi. Dari awal ia masuk ke rumah Bima dan kedatangannya disambut oleh Tante Nina jantungnya sudah ingin meledak. Safira menahan dengan keras agar tangisnya tak segera tumpah. Lalu setelahnya, sambutan Tante Nina yang begitu baik dan hangat seperti biasa. Menganggap semua baik-baik saja dan yang lalu seakan tak pernah terjadi. Menganggap mereka hanyalah dua orang yang sudah lama tak bertemu. Itu memang benar. Namun yang membuat Safira harus lebih menekan perasaannya adalah ketika ia sadar, bahwa tak ada yang baik-baik saja den
Safira tak menyangka jika dua bulan sungguh berlalu begitu cepat. Pernikahannya dengan Bima sungguh dilakukan dan meskipun keduanya kini tengah berada di kamar yang sama, Safira masih enggan untuk percaya sepenuhnya bahwa ia sungguh gila karena menikahi mantan pacarnya yang egoisnya bukan main itu.Begitu selesai mandi, Safira mendapati Bima yang tengah melihat ke arah luar jendela dengan pakaian yang lebih santai. Namun begitu lelaki itu sadar jika Safira sudah berada di belakangnya, Bima berbalik dan berjalan ke arah kamar mandi tanpa sekalipun melirik ke arah wanita yang perhari ini sudah menjadi istrinya.Sadar kalau dirinya diabaikan, Safira hanya mengangkat kedua bahunya. Merasa tak keberatan sama sekali. Beda dari sebelumnya, mereka tentu sudah harus melakukan apapun yang tercantum di atas kontrak. Tidak berbicara hal tak penting. Betul?Jadi setelah mengeringkan rambutnya dengan hair dryer, Safira langsung naik ke atas ranjang. Tidak berniat menunggu Bima selesai mandi, ia lan
Saat Safira meninggalkan rumah, lutut Bima terasa lemas. Ia memaki diri sendiri karena kembali bertindak pengecut dengan tidak berani mengejar wanitanya. Wanita yang sampai detik ini ia cintai.Ayah Safira, pria paruh baya itu juga tak bisa berbuat apa-apa. Bisa dibayangkan betapa hancur dan kecewanya sang anak hanya dengan melihat kedua matanya tadi.Padahal butuh waktu lama bagi Safira untuk memulihkan hatinya. Tetapi ternyata tak butuh waktu lama juga hatinya kembali dipatahkan karena perbuatan bodoh orang yang sama.Abhimana akan selalu menjadi alasan bagi Safira untuk merasakan patah hati.Ditambah ayah dan ibunya juga berkomplot dengan menyembunyikan kebenaran dan membuat Safira tidak tahu apapun.Siapapun bersalah di sini.Dan agaknya, kali ini Safira butuh waktu lama untuk kembali memulihkan hatinya.“Nak Bima …” Bima tetap memandang ke depan. Ke arah pintu ketika Safira dengan langkah terseok keluar dari rumah ini. Meskipun istrinya itu tak lagi ada di depannya, namun perasaa
Suasana rumah Bima yang awalnya penuh kehangatan dan canda tawa, dalam sekejap berubah menjadi ketegangan. Bu Anita dan Bu Nina yang menyadari ada suara tangis dari ruang depan dengan tergopoh ikut menyusul. Bu Anita terkesiap melihat anak gadisnya menangis hebat di sana dengan tangan yang terkepal menyentuh dada. Seakan menahan rasa sakit hebat di sana.“Ada apa? Ada apa ini?” Bu Anita segera memeluk Safira yang terus menangis. “Ayah, kenapa Safira, Yah? Bima? Ada apa, Bim?”Safira jatuh terduduk, membuat sang ibu yang tengah memeluknya ikut duduk. Pelukannya masih terasa di tubuh Safira yang seakan menggigil akibat fakta yang menyakitinya.“Bu … Ibu …”“Ya, Nak? Kenapa, Sayang? Bilang sama Ibu …” Sumpah demi apapun, terakhir Bu Anita melihat keadaan Safira kepayahan seperti ini itu lima tahun lalu. Ketika Bima mengakhiri hubungannya dengan sang anak, dan Safira yang terus mendekam di kamar berhari-hari.Semuanya membuat Bu Anita teringat, dan demi apapun wanita itu tak ingin apa yan
Ayah dan ibu Safira datang saat Safira tepat membuka pintu ketika dirinya hendak menunggu kedua orangtuanya di depan rumah. Senyum hangat langsung menyambut. Safira peluk ayah dan ibunya bergantian.“Kok nunggu di luar?” tanya sang ayah kepada anak yang tengah memeluk ibunya itu.“Iya gak apa-apa, Yah. Kangen soalnya aku, lama nggak ketemu Ayah sama Ibu.” Safira cekikian di akhir kalimatnya.Safira ini … meskipun sudah berumur dua puluh tujuh tahun dan sudah menikah, sifat anak kecilnya masih tidak hilang juga.“Ya udah yuk masuk. Makan malam sudah siap.”Safira mengambil alih satu keranjang buah yang ada di tangan ayahnya ke tangannya sendiri sebagai buah tangan untuk ibu mertuanya. Dia membiarkan ayah dan ibunya berjalan di depannya, dan tepat ketika melewati ruang tengah Bima menyambut kedatangan mereka.“Ayah sama Ibu sudah datang,” ujarnya dengan senyum. Ia menyalami kedua mertuanya bergantian.“Sehat, Nak?” tanya Ayah seraya menepuk-nepuk pundak Bima.“Sehat, Yah. Ayah juga, kan
Nanti malam Bu Anita dan Pak Yoga—kedua orangtua Safira— berencana pergi ke rumah besannya untuk menjenguk Bu Nina pasca operasi sekaligus makan malam bersama.Saat ini, Safira sudah sibuk di dapur. Sejak tadi wanita itu sudah berkutik dengan berbagai macam bahan masakan untuk persiapan kedatangan orangtuanya. Dibantu oleh Bima, tentu saja.“Tapi masakanmu sekarang lumayan loh, Fir. Nggak seburuk dulu,” ucap Bima di tengah-tengah ia mengiris bawang. Sedangkan Safira tengah menggoreng ayam.“Nggak seburuk dulu tuh maksudnya apa ya?” Safira berkacak pinggang. Tangannya memegang sutil yang seperti siap ia lemparkan kepada Bima yang duduk tak jauh darinya. “Ya … nggak seburuk itu.” Suara Bima memelan ketika melihat Safira. Ngeri juga kan kalau melihat sutil penggorengan itu melayang ke arahnya jika ia salah bicara.“Maksudnya dulu masakanku nggak enak gitu?” Safira bertanya sambil mengangkat beberapa potong ayam goreng yang sudah matang. Nanti ayam ini akan ia suwir untuk pelengkap soto
Kanin menemui Safira di Sky’s dan mengajak sahabatnya itu untuk duduk di kafe sebelah. Setelah memesan beberapa camilan sebagai teman bicara, Kanin melihat Safira dengan tatapan ragu. Ekspresi yang sangat jarang ia tunjukkan kepada sang sahabat.“Lo kenapa sih?” tanya Safira setelahnya. “Kok ngeliat gue kayak gitu?”Kanin menghela napas, menyeruput sedikit vanilla latte yang ia pesan sebelum Safira datang. Sejujurnya ia tidak tahu harus memulai dari mana pembicaraan ini.“Cerita aja, Kanin. Gak usah ragu-ragu kayak gitu,” ucap Safira lagi. “Gue janji gak akan cerita apapun ke Lusi.”Mengingat Lusi, Kanin menghela napas. “Lo pasti denger dari Bima ya, kalau gue deket sama Tomi? Makanya lo bilang kayak gitu ke gue semalem."Ah … ternyata benar. Safira tidak mengangguk atau menggeleng. Dia hanya menatap Kanin lurus. Safira ingin sahabatnya itu berkata dengan mulutnya sendiri tanpa paksaan. Sehingga Safira tidak perlu merasa bahwa ia memaksa Kanin untuk bercerita.“Iya, gue deket sama d
Sudah dua hari Safira menginap di rumah Tante Nina pasca ibu mertuanya itu dioperasi. Syukur semuanya berjalan lancar. Tante Nina sudah mulai menjalani masa pemulihan dan hanya perlu beberapa kali lagi untuk kontrol ke rumah sakit.Safira juga sudah menyuruh Lusi untuk segera menemukan pekerjaan yang cocok karena di rumah sudah tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Ada Bima dan dirinya yang menjaga sang ibu.Nah sekarang, Safira berada di supermarket untuk belanja bulanan bersama Bima. Lusi ada di rumah menjaga ibu setelah tadi pergi ke kampus untuk bertemu dosen yang menawarinya bekerja sebagai asisten.Oh iya sebagai informasi, Bima juga akhirnya memilih untuk berhenti menjadi asisten dosen. Dia bilang, ingin lebih banyak menghabiskan waktu bersama keluarganya. Toh katanya penghasilan dari pekerjaan utamanya sudah cukup. Jadi ia merasa tidak perlu untuk menyambi dengan pekerjaan lain.“Safira!”Safira tengah memilih beberapa sayuran ketika suara seseorang yang tak begitu ia kenal mema
Safira terjaga dari tidurnya sekitar pukul setengah dua belas malam. Keringat membanjiri seluruh badan, kepalanya sudah tidak sesakit tadi namun badannya tetap terasa sedikit ngilu di beberapa titik.Safira mengambil ponselnya yang tadi Bima letakkan di atas nakas sebelah tempat tidur. Ia mengecek beberapa notifikasi pesan dua dari Lusi dan satu dari Kanin.Yang pertama, Safira membuka pesan yang dikirim oleh Lusi. Tak ia kira ia akan menerima pesan dari sahabat sekaligus adik iparnya itu.Lusi :Sakit apa?Kata ibu, lo gak usah khawatir. Ke sini pas abis operasi aja gak apa-apa.Senyum Safira terukir. Meskipun Lusi terlihat sangat membencinya, tak ia kira dia masih dipedulikan. Persis seperti Lusinya yang dulu.Anda :Demam aja, Lus. Tapi udah baikan.Iya, salam buat ibu ya.Sekarang, pasti ibu mertuanya sudah beristirahat di rumah sakit. Bima bilang besok operasinya dimulai sekitar pukul delapan pagi. Dari sini Safira berdoa semoga semuanya berjalan lancar dan ibu dari Bima serta Lu
Meskipun perkataan Safira cukup menusuk hatinya, namun Bima berusaha untuk terlihat bahwa dia sama sekali tak terpengaruh oleh kalimat itu.Seperti kalimat itu memang pantas untuk dikatakan oleh Safira. Bagaimanapun dia sudah bersalah, dan berharap Safira akan selamanya di sisinya itu adalah kenyataan yang tidak mungkin terjadi.Bima dan Safira pulang ke rumah saat hujan sudah mereda. Hanya tersisa gerimis, dengan langit yang masih saja mendung. Cuaca semakin dingin sampai Safira mengenakan selimut yang selalu Bima simpan di mobilnya.“Kalau ngantuk tidur aja, Fir. Kalau udah sampe, gue bangunin,” kata Bima di sela-sela ia menyetir. Ia bisa melihat Safira seperti sedang mengantuk karena sejak tadi hanya menyenderkan kepalanya di jendela mobil.Safira hanya berdeham menanggapi ucapan Bima.“Bangunin ya, Bim. Aku dingin banget nih, ngantuk juga.” Safira merasa tubuhnya aneh. Padahal tadi ketika di rumah ia baik-baik saja. Merasa sehat-sehat saja. Namun saat ia masuk ke mobil, tubuhnya s
Keesokan harinya, Bima dan Safira memutuskan untuk pulang ke rumah karena nanti malam mereka harus sudah berada di rumah orangtua Bima. Perasaan mereka sudah cukup lega sekarang karena pembicaraan semalam membuat hubungan mereka membaik. Semalam mereka juga tidur dalam ruangan yang sama, karena Safira tidak mungkin meminta pada Kanin untuk menyiapkan satu kamar kosong lagi untuk Bima. Meskipun Bima sudah menawarkan bahwa ia akan tidur di sofa saja, tetapi Safira melarangnya. Bagaimanapun semalam mereka menumpang di rumah orang lain.“Sebelum ke rumah Ibu, kita ke rumahku dulu ya, Bim,” kata Safira ketika ia tengah mengenakan sabuk pengaman. Tanpa membantah, pria di sampingnya itu mengangguk.“Soalnya semalam sebelum kamu datang, ibuku telepon nanya-nanya soal ibu kamu,” ucap Safira lagi.“Oke. Kita sarapan di mana abis ini?” Bima balik bertanya.“Pengen bubur ayam,” ucap Safira. Mobil Bima sudah melaju di jalanan. Karena hari ini weekend, jalanan lumayan lengang tak seperti biasanya k