Dirga duduk di ruang kerjanya dengan kepala bersandar di kedua tangannya. Wajahnya kusut, matanya sembab karena kurang tidur, dan pikirannya terus dihantui oleh bayangan Amora. Sudah satu minggu sejak Amora menghilang, dan selama itu pula ia merasa hidupnya benar-benar berantakan.Dirga tak menyangka hidupnya bisa separah ini sekarang tanpa Amora disisinya. Ia pikir perjanjian itu akan bisa ia atasi, Namun ternyata kali ini ia mengakui jika dirinya sudah kalah telak.Semua usaha telah ia lakukan—melibatkan Ryan untuk melacak sinyal, mencari di tempat-tempat yang mungkin menjadi lokasi penculikan, hingga menyewa detektif swasta—namun hasilnya nihil.Ia memukul meja kerjanya keras-keras hingga beberapa dokumen di atasnya berantakan. "Kenapa begitu sulit? Di mana mereka?!" gumamnya dengan suara bergetar. Dirga selalu menjadi pria yang tenang dan penuh kendali, tetapi kehilangan Amora membuat dirinya berada di ambang kehancuran. Sesuatu yang bahkan tak pernah ia rasakan sebelumnya."Kamu
Pencarian terhadap Amora yang Dirga lakukan belum membuahkan hasil. Hidupnya semakin berantakan kala ia menghitung ini sudah masuk bulan ke sembilan dari kehamilan Amora, itu artinya, Istrinya itu hanya tinggal menunggu hari untuk melahirkan. Namun entah kenapa akhir-akhir ini Dirga merasa jika dirinya dijebak. ia merasa jika ini hanya permainan Amora. wanita itu tak ingin meninggalkan anak itu setelah lahir, jadi ia sengaja melakukan rencana seperti ini.Dirga mengepalkan tangannya kuat. Jika benar semua kecurigaannya ini benar, Ia pastikan akan menjebloskan Amora ke penjara.Dirga mengepalkan tinjunya kuat. otaknya langsung mengingat ayah Amora di rumah sakit. Entah kenapa ia merasa bodoh. Kenapa ia bisa melupakan rumah sakit tempat ayah Amora di rawat. bisa jadi Amora ke sana bukan?.Dirga meraih kunci mobilnya dan langsung bergegas menuju rumah sakit. Ia ingin memastikan semuanya, apa benar ia sedang dipermainkan.Tiba di rumah sakit, Dirga langsung melangkah menuju ruang rawat se
Operasi berjalan berjam-jam. raut wajah cemas terlihat dari semua yang menunggu, namun tidak dengan Dirga. Tatapan Dirga datar namun tidak dengan hatinya. permintaannya tadi pada dokter untuk menyelamatkan Amora adalah benar. permintaan itu tulus dari hatinya. Amora masih punya masa depan. ayahnya juga membutuhkan dirinya. setelah semua ini selesai, ia akan menceraikan Amora secara sah dan melanjutkan hidup masing-masing sesuai yang Amora minta.Lampu ruang operasi yang tadi menyala kini sudah mati, menandakan operasi sudah selesai. tak lama dokter keluar sambil membawa seorang bayi kecil yang sangat mungil. Tak ada raut bahagia secara utuh di wajah mereka semua. karena jika bayi ini selamat, itu artinya Amora, "Ibunya dan bayinya baik-baik saja. Ibunya sangat kuat memberikan dukungan untuk bayi ini agar mau bertahan." ucap dokter membuat tangis yang menanti langsung pecah. Tak jauh beda dari Dirga, di tengah raut wajahnya yang tanpa ekspresi, di hatinya ada kelegaan yang teramat san
Amora menatap rumputan hijau di halaman luas rumah Dirga yang baru saja mereka tempati. Dalam pangkuannya saat ini ada bayi mungil yang sedang terlelap. Aksara Dirgantara Abraham.Itulah nama yang Dirga berikan pada bayi mungil ini. Aksa panggilannya. Sejak bayi ini lahir Dirga memang tidak pernah menyinggung lagi perihal perjanjian tersebut. Namun ia tidak mungkin melupakan semuanya begitu saja bukan? Ia akan menempati janjinya. Dirga sedang Dinas keluar kota sekarang dan akan kembali malam ini. Di rumah hanya ada Kiara dan Bik Susi, ini Adalah kesempatannya. ia akan pergi dari rumah ini dan memberikan Aksa pada Dirga. Rencananya ini tidak ada yang tahu satupun. Ia hanya ingin pergi tanpa melihat tangisan. Ia hanya ingin memulai hidupnya kembali dari nol Setelah semua carut marut, luka, kebahagiaan dan cinta yang ia dapatkan."Aksa, walaupun mama nggak ada di sisi kamu, percayalah kasih sayang mama tidak akan pernah mati untuk kamu. Kamu segalanya Untuk Mama. Dan cuma Kamu sebenar
Dirga mengecek CCTV di rumahnya. Dan ia mendapati Amora keluar dari rumah pukul setengah dua belas. Itu artinya sudah tiga jam yang lalu. Ia segera meraih ponselnya, mencoba menghubungi Amora, tapi tidak ada jawaban. Nomornya bahkan tidak aktif. Dirga merasakan tubuhnya bergetar—marah, kecewa, dan takut semuanya bercampur aduk.Dia menyadari satu hal yang selama ini dia abaikan—keinginannya untuk menjaga jarak dari Amora telah menghancurkan dirinya sendiri. "Kenapa aku tidak pernah menegaskan apa yang aku mau setelah Aksa lahir? Kenapa aku begitu bodoh?" Dirga mengutuk dirinya sendiri. Sekarang, wanita yang tanpa sadar telah mengisi ruang kosong dalam hidupnya telah pergi.Dirga mondar-mandir di ruang tamu dengan ponsel di tangan. Beberapa kali ia mencoba menghubungi orang-orang yang ia pikir bisa membantu, tapi sebagian besar tidak menjawab panggilannya. Jam sudah menunjukkan pukul 03.30 pagi, namun pikirannya terus berputar, mencari cara agar ia bisa menemukan Amora.Tangisan Aksa t
Pagi pertama di rumah lamanya terasa begitu sunyi bagi Amora. Ia terbangun lebih awal dari biasanya, tubuhnya terasa lelah, bukan hanya karena tidur di atas kasur tua yang keras, tapi juga karena pikirannya yang tak pernah berhenti memikirkan Aksa dan Dirga. Ketika ia mencoba bangkit dari tempat tidur, nyeri di dadanya langsung terasa. Ia menyentuhnya pelan, menyadari bahwa ini akibat ia tidak lagi mengASIhi Aksa. Air susu yang menumpuk membuat dadanya terasa penuh, seolah menggambarkan perasaan rindunya pada sang bayi kecil.Dengan langkah lunglai, Amora berjalan ke dapur. Dapur kecil itu masih dipenuhi peralatan masak sederhana yang dulu sering ia gunakan bersama ayahnya. Ia menyeduh segelas teh hangat, mencoba menenangkan pikirannya. Namun, setiap tegukan teh justru membawa pikirannya kembali pada Aksa. Bayangan Aksa yang selalu tersenyum di pelukannya kini terasa seperti mimpi yang perlahan memudar. Ia meremas cangkir yang dipegangnya, menahan air mata yang kembali mendesak keluar
Pagi itu, seperti yang diarahkan oleh Dirga, Kiara dan Bik Susi memutuskan untuk membawa Aksa bersama mereka ke Angkasa Cafe, sesuai instruksi Dirga. Awalnya, Kiara ragu membawa bayi kecil itu. Karena Cafe adalah suasana yang ramai sementara Aksa masih kecil. Ia takut nanti Aksa merasa risih dan selalu menangis. Ditambah lagi ia juga takut Amora akan menyadari rencana di balik kunjungan mereka. Namun, Bik Susi meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Amora juga tidak akan membiarkan Aksa menangis. Dia bisa menyusui Aksa nanti. melihat Aksa bisa juga menjadi penghiburan bagi Amora, meski mereka harus tetap berpura-pura.Kiara pun akhirnya menyetujuinya. Setibanya di kafe, suasana tampak sibuk dengan pelanggan yang memesan makan siang. Kiara masuk lebih dulu, membawa Aksa dalam gendongan, sementara Bik Susi menyusul sambil membawa tas perlengkapan bayi.Dari pintu masuk Mereka sudah bisa melihat Kiara, namun istri majikannya itu sedang sibuk jadi tak menyadari jika mereka tiba.Me
Pagi itu, Dirga duduk di kursi kerjanya sambil menatap layar laptop yang terbuka di hadapannya. Namun, pikirannya tidak berada di sana. Angka-angka dan laporan yang tertera di layar tampak seperti bayangan kabur di matanya. Ia mencoba fokus, namun sekeras apapun usaha, pikirannya terus mengarah pada Amora. Wajah istrinya, senyumnya, bahkan suara lembutnya, terus menghantui benaknya. Hatinya terasa kosong dan berat, seperti ada yang hilang dari hidupnya.Sebuah rapat penting yang seharusnya berjalan dengan lancar pagi itu malah berakhir kacau. Dirga hanya duduk diam di kursi pimpinan, memberikan jawaban singkat yang tidak relevan saat ditanya. Beberapa kali sekretarisnya, Tania, mencoba membantunya menyelamatkan situasi, namun tidak banyak yang bisa ia lakukan. Ketika rapat selesai, beberapa kolega bahkan berbisik-bisik, bertanya-tanya apa yang terjadi pada Dirga.Tania mengetuk pintu ruang kerja Dirga dengan ragu, membawa dokumen yang perlu ditandatangani. “Pak Dirga, ini laporan keua
Kehamilan Silva berjalan lancar, meski seperti kebanyakan wanita hamil, ia juga mengalami morning sickness yang cukup parah. Setiap pagi, Ryan selalu membantu istrinya menghadapi mual dan muntah yang tidak bisa dihindari. Ia memastikan Silva tetap terhidrasi dengan memberikan air jahe hangat yang bisa membantu meredakan rasa mualnya. Namun, hal yang paling membuat Ryan pusing adalah ketika Silva mulai mengidam. Keinginan Silva seringkali datang tiba-tiba, dan bukan hal yang biasa. Mulai dari rujak pedas tengah malam hingga kue-kue tradisional yang sulit ditemukan, semua itu harus Ryan usahakan demi membahagiakan istrinya.Suatu malam, Silva tiba-tiba membangunkan Ryan yang sedang tertidur lelap. Dengan wajah memelas, ia berkata, "Sayang, aku pengen makan durian." Ryan yang setengah sadar hanya bisa mengernyitkan dahi. "Durian? Sekarang? Sayang, ini sudah hampir tengah malam," jawabnya sambil melirik jam di meja. Tapi melihat wajah Silva yang tampak begitu menginginkan hal itu, Ryan
Dua bulan setelah pernikahan mereka, kehidupan Ryan dan Silva berjalan begitu tenang dan bahagia. Tidak ada lagi bayangan Adrian yang mengusik, dan masalah-masalah yang dulu sempat menghantui mereka kini hanya menjadi kenangan buruk yang semakin memantapkan hubungan mereka. Pagi itu, Silva bangun lebih awal dari biasanya. Ia merasakan sesuatu yang berbeda dalam tubuhnya—mual ringan dan rasa lelah yang tidak biasa. Selain itu, ia menyadari bahwa siklus bulanannya terlambat beberapa hari. Rasa penasaran langsung menggelitik pikirannya.Setelah memastikan Ryan masih tertidur lelap di kamar, Silva memutuskan untuk memeriksa hal itu sendiri. Ia mengambil tes kehamilan yang sudah ia simpan sejak satu bulan yang lalu. Tangannya sedikit gemetar saat mencelupkan alat itu ke dalam sampel yang ia ambil. Beberapa menit menunggu terasa seperti seabad baginya. Ketika hasil akhirnya keluar, dua garis merah muncul di alat itu, jelas dan nyata. Silva terdiam beberapa saat, mencoba mencerna kenyataan
Pagi itu, Tuan Wijaya melangkah masuk ke ruang kerja Dirga dengan langkah yang terasa berat. Pria paruh baya itu membawa beban yang begitu besar di pundaknya. Wajahnya yang biasanya penuh dengan wibawa kini tampak suram. Dirga yang sedang memeriksa dokumen di mejanya itu dibuat terganggu dengan kehadiran sekretarisnya yang memberi kabar jika ada tamu yang ingin bertemu dengan Dirga di luar. Awalnya Dirga sedikit ragu namun akhirnya ia mengizinkan tamu tersebut untuk masuk.Saat suara ketukan pintu terdengar Dirga pun langsung mengangkat kepala ketika melihat tamunya. "Tuan Wijaya?" tanyanya, setengah terkejut. Tamu ini adalah seseorang yang jarang sekali mau menemui orang lain terlebih dahulu. "Silakan duduk," sambung Dirga sembari mengisyaratkan kursi di depannya. Tuan Wijaya tersenyum tipis, lebih seperti usaha untuk menyembunyikan rasa malunya.Setelah duduk, Tuan Wijaya langsung membuka pembicaraan tanpa basa-basi. "Dirga, aku datang ke sini bukan hanya sebagai pemimpin perusaha
Adrian duduk di kursi kantornya dengan wajah yang penuh emosi. Berkas-berkas laporan keuangan yang berserakan di mejanya menjadi bukti nyata kehancuran yang tengah melanda perusahaannya. Sementara itu, Tuan Wijaya, ayah Adrian, tampak berdiri di depan jendela besar ruangan tersebut dengan wajah penuh kekhawatiran. “Adrian, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa para investor kita tiba-tiba menarik diri tanpa alasan yang jelas?” tanyanya dengan nada tajam. Adrian hanya menghela napas panjang sambil memijat pelipisnya. “Aku sedang mencoba mencari tahu, Ayah. Tapi ini semua terjadi begitu cepat. Aku yakin ini bukan kebetulan,” jawabnya dengan suara rendah namun penuh amarah.Adrian merasa ada sesuatu yang tidak beres. Perusahaan mereka, yang selama ini berdiri kokoh, kini berada di ambang kehancuran. Salah satu manajer keuangan masuk ke ruangan dengan raut wajah cemas, membawa kabar yang semakin memperburuk suasana. “Pak Adrian, maaf mengganggu. Kami baru saja menerima kabar bahwa bebera
Malam itu, setelah semua tamu pulang dan suasana pesta perlahan mereda, Ryan dan Silva akhirnya masuk ke kamar yang telah disiapkan khusus untuk mereka. Kamar itu begitu hangat, dengan lilin-lilin yang menyala lembut dan bunga mawar yang tersebar di beberapa sudut ruangan. Silva berjalan pelan, matanya menyapu setiap sudut kamar dengan ragu-ragu. Gaun pengantinnya masih dikenakan, membuatnya terlihat seperti sosok putri di negeri dongeng. Sementara itu, Ryan berdiri di dekat pintu, memandangi istrinya dengan senyum kecil yang tidak bisa ia sembunyikan. "Kamu terlihat cantik sekali malam ini," bisik Ryan, membuat wajah Silva memerah.Silva memalingkan wajah, mencoba menyembunyikan rasa malunya. "Kamu terlalu sering memujiku hari ini," jawabnya pelan. Ryan melangkah mendekat, melepaskan jasnya dan menggantungnya di kursi dekat tempat tidur. "Aku hanya mengatakan apa yang aku lihat," balasnya sambil menatap Silva dengan lembut. Malam itu terasa begitu berbeda, ada kehangatan yang me
Pagi itu, udara terasa segar di villa yang terletak di daerah pegunungan. Silva sedang duduk di depan meja rias dengan wajah yang dihiasi senyum tipis. Di belakangnya, seorang perias sedang sibuk menyempurnakan make-up-nya. Gaun pengantin berwarna putih dengan detail renda yang indah tergantung di dekat jendela, memantulkan sinar matahari pagi. Silva menatap pantulan dirinya di cermin, mencoba menenangkan debaran jantungnya. "Nona, Sepertinya kau terlihat sangat gugup. Cobalah untuk menenangkan diri. Sebuah pernikahan itu memang mendebarkan." Ucapnya.Silva tersenyum kikuk. "Aku tak tahu rasanya akan sungguh segugup ini. Supercar dari kebun kupu-kupu yang saat ini berterbangan dalam perutku." Jawabnya yang langsung membuat penata rias tersebut tertawa. "Dulu saat aku menikah, aku juga merasakan hal yang sama dengan apa yang gak nona rasakan. Jantungku bahkan berdegup tak karuan, tubuhku panas dingin dan keringat dingin keluar dari pori-pori wajahku. Tapi satu hal yang membuatku ban
Begitu orang tua Adrian meninggalkan rumah, suasana di ruang tamu keluarga Silva terasa sangat tegang. Ayah Silva menyandarkan tubuhnya di sofa, mencoba menenangkan diri, sementara ibu Silva tampak mondar-mandir dengan ekspresi cemas. "Mereka benar-benar tidak menyerah, yah? Aku bahkan tidak tahu harus berkata apa tadi," ucap ibu Silva dengan nada bergetar. Ayah Silva menghela napas panjang, mencoba meredam amarah yang sejak tadi ia tahan. Kekhawatirannya terpusat pada Silva. Ia tak ingin Adrian nekat pada anaknya itu yang membuat Silva berada dalam masalah."Aku akan menelepon Ryan. Dia harus tahu tentang ini," katanya sambil mengambil ponselnya dari meja. Ibu Silva berhenti sejenak, menatap suaminya dengan mata penuh kekhawatiran. "Kamu yakin mas kita perlu melibatkan Ryan? Aku tidak ingin masalah ini semakin besar, apalagi Ryan dan anak kita akan segera menikah." ucapnya ragu. "Justru karena ini semakin serius, kita perlu memberitahunya, apalagi perihal Adrian ini Ryan juga sud
Pagi itu, meja makan keluarga Adrian diisi suasana yang berbeda. Biasanya, sarapan mereka dipenuhi dengan obrolan ringan tentang pekerjaan atau rencana hari itu, tapi kali ini topiknya berpusat pada satu nama: Silva. Adrian duduk dengan raut wajah serius, tatapannya kosong saat menyendok sarapannya. Ibunya, yang duduk di sebelahnya, memecah keheningan. "Adrian, mungkin kita harus mencoba cara lain. Bagaimana kalau kita menemui orang tua Silva langsung?" ucapnya hati-hati, berharap tidak memancing emosi putranya. Adrian berhenti mengunyah, menatap ibunya dengan sedikit ketertarikan. "Ayah sama bunda yakin mereka tahu di mana Silva dan akan memberitahukan pada kita?" tanyanya dingin. Sang ayah, yang duduk di ujung meja, menimpali, "Kalau mereka tidak tahu, siapa lagi yang tahu? Lagipula, mereka pasti tidak akan bisa menutupinya terlalu lama. Lambat laun semua akan terbongkar." Ucap pria paruh baya tersebut.Adrian memandang kedua orang tuanya dengan penuh harap, seolah menemukan sece
Ryan sedang sibuk mengurus semua dokumen dan administrasi yang dibutuhkan untuk mendaftarkan pernikahannya dengan Silva. Ia ingin memastikan semuanya berjalan lancar tanpa hambatan sedikit pun. Meski hari pernikahan itu akan dilaksanakan secara sederhana sesuai permintaan Silva, Ryan tak ingin mengurangi makna dari momen sakral tersebut. Dengan bantuan Dirga yang memastikan keamanan acara dan Amora yang mendampingi Silva dalam setiap persiapannya, Ryan merasa tenang. Ia sangat menghargai dukungan keluarga Dirga, terlebih hubungan Silva dan Amora yang semakin dekat membuat segala sesuatunya terasa lebih ringan.Di tempat lain, Silva baru saja tiba di sebuah butik bersama Amora. Mereka ditemani dua orang penjaga yang ditugaskan oleh Ryan untuk memastikan keamanan Silva. Amora, dengan gaya cerianya, segera menarik tangan Silva ke rak-rak gaun pengantin yang berjejer dengan desain menawan. "Kita harus pilih yang paling cantik! Ryan pasti bakal terpukau melihatmu," ujar Amora sambil terkek