Pagi pertama di rumah lamanya terasa begitu sunyi bagi Amora. Ia terbangun lebih awal dari biasanya, tubuhnya terasa lelah, bukan hanya karena tidur di atas kasur tua yang keras, tapi juga karena pikirannya yang tak pernah berhenti memikirkan Aksa dan Dirga. Ketika ia mencoba bangkit dari tempat tidur, nyeri di dadanya langsung terasa. Ia menyentuhnya pelan, menyadari bahwa ini akibat ia tidak lagi mengASIhi Aksa. Air susu yang menumpuk membuat dadanya terasa penuh, seolah menggambarkan perasaan rindunya pada sang bayi kecil.Dengan langkah lunglai, Amora berjalan ke dapur. Dapur kecil itu masih dipenuhi peralatan masak sederhana yang dulu sering ia gunakan bersama ayahnya. Ia menyeduh segelas teh hangat, mencoba menenangkan pikirannya. Namun, setiap tegukan teh justru membawa pikirannya kembali pada Aksa. Bayangan Aksa yang selalu tersenyum di pelukannya kini terasa seperti mimpi yang perlahan memudar. Ia meremas cangkir yang dipegangnya, menahan air mata yang kembali mendesak keluar
Pagi itu, seperti yang diarahkan oleh Dirga, Kiara dan Bik Susi memutuskan untuk membawa Aksa bersama mereka ke Angkasa Cafe, sesuai instruksi Dirga. Awalnya, Kiara ragu membawa bayi kecil itu. Karena Cafe adalah suasana yang ramai sementara Aksa masih kecil. Ia takut nanti Aksa merasa risih dan selalu menangis. Ditambah lagi ia juga takut Amora akan menyadari rencana di balik kunjungan mereka. Namun, Bik Susi meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Amora juga tidak akan membiarkan Aksa menangis. Dia bisa menyusui Aksa nanti. melihat Aksa bisa juga menjadi penghiburan bagi Amora, meski mereka harus tetap berpura-pura.Kiara pun akhirnya menyetujuinya. Setibanya di kafe, suasana tampak sibuk dengan pelanggan yang memesan makan siang. Kiara masuk lebih dulu, membawa Aksa dalam gendongan, sementara Bik Susi menyusul sambil membawa tas perlengkapan bayi.Dari pintu masuk Mereka sudah bisa melihat Kiara, namun istri majikannya itu sedang sibuk jadi tak menyadari jika mereka tiba.Me
Pagi itu, Dirga duduk di kursi kerjanya sambil menatap layar laptop yang terbuka di hadapannya. Namun, pikirannya tidak berada di sana. Angka-angka dan laporan yang tertera di layar tampak seperti bayangan kabur di matanya. Ia mencoba fokus, namun sekeras apapun usaha, pikirannya terus mengarah pada Amora. Wajah istrinya, senyumnya, bahkan suara lembutnya, terus menghantui benaknya. Hatinya terasa kosong dan berat, seperti ada yang hilang dari hidupnya.Sebuah rapat penting yang seharusnya berjalan dengan lancar pagi itu malah berakhir kacau. Dirga hanya duduk diam di kursi pimpinan, memberikan jawaban singkat yang tidak relevan saat ditanya. Beberapa kali sekretarisnya, Tania, mencoba membantunya menyelamatkan situasi, namun tidak banyak yang bisa ia lakukan. Ketika rapat selesai, beberapa kolega bahkan berbisik-bisik, bertanya-tanya apa yang terjadi pada Dirga.Tania mengetuk pintu ruang kerja Dirga dengan ragu, membawa dokumen yang perlu ditandatangani. “Pak Dirga, ini laporan keua
Dirga duduk sendiri di ruangannya setelah Ryan dan Rega pergi. Pikirannya tak henti-hentinya memutar bayangan Amora. Perasaan marah, rindu, dan benci bercampur menjadi satu di hatinya. Ia mencoba berkonsentrasi pada pekerjaannya, namun bayangan pria lain yang mungkin mendekati Amora selama ia bekerja di kafe membuatnya kehilangan akal. Rasa cemburu membakar dadanya, dan ia meremas kuat pena di tangannya, seolah itu bisa meredakan kemarahan yang terus berkobar.Dia menghembuskan napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi usahanya sia-sia. Pikirannya terus kembali ke wajah Amora, senyumnya, suaranya, dan caranya memandang Aksa. Rasa rindu itu semakin menyesakkan, namun di balik itu, bayangan Amora yang tersenyum pada pria lain membuat Dirga menggertakkan giginya. "Apa dia benar-benar nyaman tanpa aku? Apa dia nggak mikirin aku sama sekali?" gumamnya pelan, merasa semakin gelisah.Hari itu, Dirga mencoba fokus pada pekerjaannya. Tapi tak ada satu pun yang terasa benar. Setiap kali ada
Dirga menunggu di Angkasa Café dengan hati yang penuh kecemasan. Sejak ia datang lebih awal untuk memastikan Amora tidak didekati pria lain lagi, hatinya terus tergerak untuk membawa istrinya pulang. Ia bisa merasakan betapa tidak nyamannya Amora bekerja di sana, dikelilingi bisik-bisik staf yang menyadari kehadiran Dirga. Setelah beberapa jam menunggu, akhirnya Amora selesai bekerja dan berjalan keluar dari café dengan ekspresi yang tak bisa ia sembunyikan, masih terasa keraguan di wajahnya.Sesekali Amora melirik ke belakang untuk memastikan semua keraguannya. Namun Ia tetap melihatnya dengan jelas di mana rekan-rekannya berbisik sembari melirik ke arahnya."Amora," panggil Dirga lembut saat istrinya mendekat, mencoba untuk tidak memperhatikan tatapan-tatapan yang mengarah ke mereka. "Aku akan antar kamu pulang. Sudah cukup lama kamu di sini." Amora menoleh dengan sedikit ragu, enggan mengingatkan dirinya tentang apa yang terjadi sebelumnya. "Aku tak tahu, Dirga. Di sini sudah cuku
Dirga duduk di tepi ranjang, mengarahkan pandangan lembut ke arah Amora yang masih berdiri kaku di dekat meja rias. Suasana kamar terasa hening, hanya diisi oleh suara napas mereka berdua. Akhirnya, Dirga membuka percakapan, suaranya terdengar rendah namun penuh perhatian. "Amora, gimana kabarmu selama ini? Apa kamu baik-baik saja di rumah itu?" tanyanya, mencoba mengawali dengan sesuatu yang ringan.Amora terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab dengan suara pelan. "Aku baik-baik saja, Dirga. Hanya... sedikit sulit menyesuaikan diri, tapi aku mencoba." Ucapannya terdengar jujur, namun ada lapisan emosi yang ia sembunyikan. Dirga mengangguk, tetapi dari raut wajahnya, jelas bahwa ia tahu Amora tidak sepenuhnya jujur.Dirga menarik napas panjang, menegakkan bahunya sebelum melanjutkan. "Aku tahu, aku yang menyebabkan semua ini. Aku yang membuatmu merasa harus pergi. Tapi sekarang aku sadar, aku nggak bisa terus seperti ini." Matanya menatap dalam ke arah Amora. "Aku ingin kita bicara
Dirga menarik Amora ke dalam pelukannya, memeluk erat seolah ingin menyampaikan semua perasaannya tanpa kata-kata. Dalam pelukan itu, ia menempelkan dagunya di atas kepala Amora, merasakan kelembutan rambut istrinya yang harum. “Amora…” ucap Dirga lembut, suaranya hampir seperti bisikan. “Aku ingin kau tahu, aku tak pernah mencintai orang lain seperti aku mencintaimu. Termasuk rasa cintaku yang dulu pada Silva."Amora hanya diam, tetapi hatinya bergetar. Tangannya tanpa sadar memegang lengan Dirga, seolah mencari dukungan. Keheningan di antara mereka berbicara lebih banyak daripada kata-kata. Hanya detak jantung mereka yang terdengar di tengah suasana tenang di kamar itu.Dirga perlahan melepaskan pelukannya, tetapi jemarinya masih menggenggam lembut wajah Amora. Ia menatap dalam ke mata istrinya itu, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini semua nyata. “Aku tak ingin ada jarak lagi di antara kita, Amora,” katanya sambil membelai pipi Amora dengan ibu jarinya. “Biarkan aku mencintaimu de
Dirga membuka matanya perlahan, merasakan kehangatan tubuh Amora di pelukannya. Wajah istrinya itu terlihat begitu damai, seolah semua kekhawatiran telah sirna. Ia masih merasa ini seperti mimpi, namun kehangatan yang nyata dari tubuh Amora mengingatkannya bahwa ini bukan khayalan. Dengan lembut, Dirga mengecup bibir Amora, mencoba membangunkannya. "Selamat pagi, Sayang," bisiknya lembut, sambil mengusap rambut Amora yang masih sedikit berantakan.Amora menggeliat pelan, matanya terbuka perlahan. Wajah Dirga yang begitu dekat membuatnya tersipu. “Pagi…” jawabnya pelan, suaranya terdengar serak namun manis. Ia menyadari dirinya masih berada dalam pelukan suaminya, dan rasa hangat itu membuatnya enggan untuk segera beranjak. Namun, Dirga sudah memiliki rencana lain. “Ayo bangun, kita punya banyak hal yang harus dilakukan hari ini,” ucapnya sembari tersenyum menggoda.Amora hanya mengangguk, meski sedikit enggan meninggalkan kehangatan ranjang mereka. Dirga bangkit lebih dulu, menarik ta
Silva mendorong Ryan yang tak mau menghentikan ciuman tersebut. Ia dibuat sesak nafas karena ulah Ryan."Ryan!" Teriaknya."Apa?""Kamu, apaan sih!""Apa?""Kamu mau bunuh aku?""Nggak. Aku cuma sedikit kesal."Silva menautkan alisnya, "kesal? Kenapa?""Karena Dirga yang lebih dulu melakukannya. Berarti Dirga itu ciuman pertamamu kan." Ucap Ryan yang cukup nampak cemburu,Silva menatap Ryan dengan tatapan tajam, seolah mencoba memahami apa yang baru saja keluar dari mulutnya. "Ryan, kamu nggak waras ya? Kita lagi ngomongin apa, kenapa tiba-tiba kamu jadi cemburu sama Dirga?"Ryan mendengus pelan, lalu menyandarkan punggungnya ke sofa. "Aku nggak cemburu," jawabnya, meskipun nada suaranya terdengar jelas bertentangan dengan pernyataan itu.Silva mendekat, menyilangkan tangan di depan dadanya. "Oh, jadi kamu nggak cemburu? Terus kenapa kamu marah-marah soal Dirga? Ciuman pertama, segala macam... Itu hal yang udah lewat, Ryan."Ryan memalingkan wajah, matanya menatap kosong ke arah jende
Silva duduk di sofa ruang tamunya dengan tangan yang saling menggenggam erat. Wajahnya tampak tegang saat Ryan berdiri di depannya, tatapannya penuh dengan campuran amarah dan kebingungan. Ryan baru saja selesai berbicara, meyakinkan Silva untuk membiarkannya ikut campur dalam masalahnya dengan Adrian. Tapi Silva menggeleng pelan, menunduk, dan menarik napas panjang sebelum akhirnya mengangkat wajahnya.“Ryan, aku nggak mau kamu terlibat,” ucapnya, suaranya rendah tapi penuh ketegasan. “Ini masalahku, bukan masalahmu. Aku nggak ingin kamu terseret ke dalam kekacauan ini. Adrian bukan orang yang mudah dihadapi, dan aku nggak mau kamu celaka karenanya.”Ryan mendengus kesal, melipat tangannya di dada. “Silva, aku nggak peduli siapa Adrian atau seberapa berbahayanya dia. Aku peduli sama kamu, dan aku nggak akan tinggal diam kalau dia terus memperlakukanmu seperti ini. Dan harusnya kamu yang nggak usah berurusan dengan pria itu."“Tapi aku peduli sama kamu, Ryan!” Silva membalas dengan n
Ryan tersentak ketika ponselnya bergetar di atas meja. Namun, dering itu hanya berlangsung sebentar. Ia segera melirik layar ponselnya, dan alisnya langsung bertaut saat melihat nama Silva muncul di sana. Tanpa berpikir panjang, Ryan segera menekan tombol panggil untuk menghubungi Silva kembali.Panggilan itu tersambung setelah beberapa nada. Namun, suara di seberang terdengar lemah, hampir tidak terdengar. "Silva? Kamu di mana? Kenapa telepon aku? Terjadi sesuatu?" Ryan langsung bertanya dengan nada cemas.Silva menghela napas panjang sebelum menjawab. Suaranya terdengar bergetar. "Aku… aku ada di apartemen. Aku butuh bicara sama kamu, Ryan," katanya singkat."Apartemenmu?" Ryan memeriksa jam di dinding. Sudah hampir tengah malam. "Apa yang terjadi? Kamu baik-baik saja?""Tolong datang, Ryan. Aku nggak tahu harus ngomong sama siapa lagi," suara Silva terdengar putus asa. Itu cukup bagi Ryan untuk langsung bangkit dari tempat duduknya dan mengambil kunci mobil."Baik, tunggu di sana.
Silva berdiri di depan apartemen mewah milik Adrian, menggenggam tas tangannya erat-erat seolah-olah itu adalah satu-satunya yang bisa memberikan keberanian. Ia menatap pintu besar di depannya, merasakan gemuruh di dadanya yang semakin kuat. Keputusannya untuk datang ke sini tanpa memberi tahu Ryan terasa seperti beban yang berat, namun ia tahu bahwa ini adalah sesuatu yang harus ia selesaikan sendiri.Langkahnya terasa berat ketika ia mendekati pintu dan menekan bel. Hanya beberapa detik kemudian, suara Adrian terdengar dari interkom, dingin namun penuh kendali. "Silva. Aku tidak menyangka kamu akan datang. Naiklah."Pintu otomatis terbuka, dan Silva melangkah masuk ke dalam gedung. Lift membawanya ke lantai tertinggi, tempat Adrian tinggal. Setiap lantai yang terlewati membuat jantungnya berdetak semakin cepat. Ia bertanya-tanya apakah keputusannya ini benar, namun ia menepis keraguan itu. Ia tidak ingin terus dibayangi oleh masa lalu.Ketika pintu lift terbuka, Adrian sudah berdiri
Ryan duduk di sofa ruang tamu apartemen Silva, tangannya menggenggam sebuah map cokelat yang terlihat cukup tebal. Raut wajahnya tegang, mencerminkan keseriusan yang jarang Silva lihat sebelumnya. Sementara itu, Silva duduk di sampingnya dengan gelisah, jemarinya saling meremas tanpa sadar. Suasana di ruangan itu mendadak terasa sunyi, hanya terdengar suara kipas angin yang berputar pelan.Dengan gerakan perlahan, Ryan membuka map tersebut dan menarik napas panjang sebelum menyerahkannya kepada Silva. "Baca ini," katanya singkat, nadanya dingin namun tegas.Silva menatap map itu dengan keraguan. Tangannya sedikit gemetar saat menerimanya. Ia membuka map tersebut dan mulai membaca lembar demi lembar dokumen yang ada di dalamnya. Pandangannya segera berubah, dari kebingungan menjadi ketakutan."Ryan... bagaimana kamu bisa mendapatkan semua ini?" tanya Silva dengan suara bergetar. Ia menatap Ryan, berharap ada jawaban yang membuatnya merasa lebih tenang. Namun Ryan hanya diam, menatapnya
Ryan duduk di sofa ruang tamu apartemen Silva, tangannya memegang secangkir kopi yang sudah mulai dingin. Pandangannya tertuju pada Silva yang sedang membereskan beberapa buku di rak. Ia juga menatap senyum tipis yang selalu terbit dari bibir Silva. Dan entah kenapa ia menyukai senyum tersebut.“Sepertinya hidupmu sekarang jauh lebih tenang, ya?” Ryan membuka pembicaraan dengan nada santai. Silva menoleh, senyumnya kecil tapi tulus. “Iya, sejak Tante Nina berhenti menghubungiku, aku merasa seperti bisa bernapas lagi,” jawabnya sambil meletakkan buku terakhir di rak.“Syukurlah,” ujar Ryan sambil mengangguk. “Aku senang melihat kamu mulai pulih. Tapi... apa kamu yakin dia benar-benar sudah berhenti? Maksudku, Tante Nina bukan tipe orang yang menyerah begitu saja.” Silva terdiam sejenak, memikirkan kata-kata Ryan. “Aku nggak tahu, Ryan. Tapi sampai sekarang dia nggak lagi menghubungiku, dan itu sudah lebih dari cukup buatku. Setidaknya untuk sementara waktu aku bisa bernafas lega tanp
Detik berlalu begitu lama menurut Amora. Padahal setelah panggilan itu tertutup baru lewat 2 menit saja. Namun ia sudah merasa seperti 2 jam menunggu mertuanya keluar dari kamar. Ia benar-benar Tak sabar bisa masak bersama dengan ibu mertuanya itu. Impian semua menantu bukan? Bisa akrab dengan ibu mertua. Karena memang faktanya yang selalu menjadi banyak masalah dan momok menakutkan bagi menantu dalam rumah tangga adalah mertua perempuan.Dan saat ia sudah bisa berhasil membujuk mertua perempuannya untuk melihat dirinya secara baik-baik terlebih dahulu, membuat Amora cukup bangga dengan usahanya. Tapi yakin ini baru di awal saja karena masih ada beberapa rintangan lagi yang tentunya harus ia jalani. Pintu kamar tiba-tiba terbuka memunculkan Nina dengan pakaian santainya. Ia menatap Amora sekilas selalu melenggang menuju dapur. "Ngapain kamu masih duduk di sana, sini masak sama saya." Ucap Nina dengan ketus namun suaminya paham jika istrinya itu sebenarnya sudah menganggap Amora sebag
Malam semakin larut, dan hawa dingin mulai menyelimuti taman rumah Dirga. Kiara menarik jaketnya lebih rapat sambil menguap kecil. Rasa kantuk mulai menyerangnya. Ia menguap beberapa kali membuat Dion tertawa gemas. “Sepertinya ada yang sudah tak bisa menahan kantuknya lagi." Goda Dion.Kiara tersenyum malu, "aku Ngantuk, masuk yuk." Jawabnya sambil berdiri. Dion mengangguk setuju. Kiara melangkah lebih dulu berjalan menuju pintu masuk rumah dan Dion mengekori dari belakang. Mereka saling bertukar pandang dan tersenyum sebelum berpisah di lorong menuju kamar mereka masing-masing.Sementara itu di kamar Dirga, pasangan suami istri itu belum tertidur. Keduanya masih asik berbicara hal-hal kecil dengan suasana yang nyaman. "Mas nggak pernah ke rumah mami lagi?" Tanya Amora sembari memainkan jemari suaminya.Dirga menghela nafas panjang. "Mas belum sempat. Lagian untuk saat ini berjumpa dengan Mami hanya akan menambah emosi Mas saja. Jadi lebih baik seperti ini dulu." "Tapi mas, bagai
Ryan berdiri di dapur apartemen Silva, memandang sekeliling dengan sedikit kebingungannya. Dapur itu tidak terlalu besar, namun cukup nyaman dan rapi. Bau masakan ringan mulai tercium dari kompor, tanda bahwa suasana sudah kembali tenang setelah kejadian yang cukup membuat hati mereka berdua berdebar. Silva, yang tadi sempat canggung dan bingung, kini sudah mulai tersenyum sedikit saat berjalan mendekat dengan tangan membawa bahan-bahan untuk makan malam."Jadi, apa yang harus kita masak?" tanya Silva sambil membuka lemari es, memilih beberapa bahan yang akan dijadikan hidangan malam itu. Ryan, yang masih agak terkejut dengan kejadian sebelumnya, akhirnya tersenyum tipis. "Bagaimana kalau pasta?" jawabnya, berharap agar pilihannya itu tidak membuat suasana menjadi canggung lagi. Silva mengangguk, lalu mulai mengeluarkan peralatan masak dengan cekatan. "Pasta ya? Aku setuju. Tapi kamu bantu, kan?" tanyanya dengan sedikit gurauan, mencoba membuat suasana semakin ringan.