Dirga menarik Amora ke dalam pelukannya, memeluk erat seolah ingin menyampaikan semua perasaannya tanpa kata-kata. Dalam pelukan itu, ia menempelkan dagunya di atas kepala Amora, merasakan kelembutan rambut istrinya yang harum. “Amora…” ucap Dirga lembut, suaranya hampir seperti bisikan. “Aku ingin kau tahu, aku tak pernah mencintai orang lain seperti aku mencintaimu. Termasuk rasa cintaku yang dulu pada Silva."Amora hanya diam, tetapi hatinya bergetar. Tangannya tanpa sadar memegang lengan Dirga, seolah mencari dukungan. Keheningan di antara mereka berbicara lebih banyak daripada kata-kata. Hanya detak jantung mereka yang terdengar di tengah suasana tenang di kamar itu.Dirga perlahan melepaskan pelukannya, tetapi jemarinya masih menggenggam lembut wajah Amora. Ia menatap dalam ke mata istrinya itu, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini semua nyata. “Aku tak ingin ada jarak lagi di antara kita, Amora,” katanya sambil membelai pipi Amora dengan ibu jarinya. “Biarkan aku mencintaimu de
Dirga membuka matanya perlahan, merasakan kehangatan tubuh Amora di pelukannya. Wajah istrinya itu terlihat begitu damai, seolah semua kekhawatiran telah sirna. Ia masih merasa ini seperti mimpi, namun kehangatan yang nyata dari tubuh Amora mengingatkannya bahwa ini bukan khayalan. Dengan lembut, Dirga mengecup bibir Amora, mencoba membangunkannya. "Selamat pagi, Sayang," bisiknya lembut, sambil mengusap rambut Amora yang masih sedikit berantakan.Amora menggeliat pelan, matanya terbuka perlahan. Wajah Dirga yang begitu dekat membuatnya tersipu. “Pagi…” jawabnya pelan, suaranya terdengar serak namun manis. Ia menyadari dirinya masih berada dalam pelukan suaminya, dan rasa hangat itu membuatnya enggan untuk segera beranjak. Namun, Dirga sudah memiliki rencana lain. “Ayo bangun, kita punya banyak hal yang harus dilakukan hari ini,” ucapnya sembari tersenyum menggoda.Amora hanya mengangguk, meski sedikit enggan meninggalkan kehangatan ranjang mereka. Dirga bangkit lebih dulu, menarik ta
Dua hari setelah Dirga dan Amora memutuskan untuk hidup bersama, suasana rumah terasa lebih hangat dari sebelumnya. Kali ini, Dirga punya ide untuk mengajak Amora menghabiskan waktu berdua saja, tanpa Aksa. "Ke mana?" Tanya Amora bingung. Di pangkuan Amora kini ada Aksa yang sedang tertidur."Taman bermain. Nggak masalah dong."Amora seketika mengulum senyum. Suaminya yang gila kerja dan jarang senyum di kantor itu mengajaknya ke taman bermain. Ini sungguh luar biasa. Saat Amora ingin mengangguk, ia langsung teringat Aksa."Aksa gimana?""Kita tinggal sebentar sama bi Susi. Kita sudah lama nggak punya waktu berdua, kan?" ucap Dirga sambil menggenggam tangan Amora.Amora menatap lugu mata suaminya lalu mengarahkan pandangannya pada bi Susi yang juga ada di dekat mereka. "Tenang Amora, bibi siap menjaga tuan muda kecil. Tuan Dirga sama Amora pergi saja, biar bibi dan Kiara yang atasi." Walaupun awalnya ragu meninggalkan Aksa, Amora akhirnya setuju setelah Bi Susi meyakinkannya bahwa
Setelah kecemburuan singkat itu berlalu, Kini Dirga dan Amora kembali melanjutkan kencan mereka. Ia memegang tangan Amora dengan erat, memastikan bahwa istrinya merasa nyaman setelah insiden kecil tadi. Tentu saja genggaman itu membuat Amora merasa begitu nyaman dan terlindungi. Ia tersenyum menatap Dirga, senyum yang begitu manis yang bisa membuat hati pria itu menghangat seketika. Di tengah keramaian wahana bermain, fokus Dirga dan Amora langsung terpecah pada wahana permainan tornado. Pesannya suara teriakan yang begitu keras terdengar dari wahana tersebut. Dan itu langsung memacu adrenalin Dirga dan Amora untuk ikut juga dalam teriakan itu."Mau?" Tawar Dirga. Amora langsung mengangguk antusias. Sembari bergandengan tangan, mereka lalu melangkah menuju tempat masuk wahana tornado. Beruntung mereka memakai tiket fash track, jadi mereka tak perlu antri untuk menikmati semua wahana di tempat bermain tersebut.Amora berteriak begitu kencang saat wahana tersebut berputar. Namun dari t
Dirga menghela napas panjang sambil memperhatikan Amora yang masih bersikukuh menolak ikut ke kantor. Ia bahkan merengek merajuk pada suaminya itu. “Sayang, ini hanya kantor. Kenapa kamu harus takut? Mas ingin kamu ikut dengan mas,” ucap Dirga dengan nada tegas namun lembut. Amora duduk di tepian ranjang, menunduk sambil menggigit bibirnya. “Mas, bukan aku nggak mau ikut kamu ke kantor, tapi mereka bahkan nggak tahu kalau aku ini istrimu. Tiba-tiba aku muncul di sana bareng kamu, mereka pasti akan curiga. Aku nggak mau jadi bahan gosip mas,” ucapnya, matanya berkaca-kaca.Dirga mendekat dan jongkok di hadapan Amora, menggenggam kedua tangannya erat. “Kamu terlalu khawatir sayang. Lagipula, memangnya kenapa kalau mereka tahu? Kamu memang istri mas kan? Dan lagian , sudah saatnya juga mereka tahu itu. Mas nggak akan membiarkan orang-orang berpikiran buruk tentangmu. Dan sebenarnya Mas juga ingin memberitahu pada orang-orang Kalau Mas ini sudah menikah dan istri Mas itu kamu.,” katanya
Setelah membereskan semua kegaduhan di kantornya, sorenya Dirga pun memutuskan untuk membawa Amora ke rumah utama milik kakeknya. Sebelumnya Amora pernah menginap di villa kakek Abraham saat istrinya itu diculik oleh kakeknya.Dan sekarang justru Dirga ingin membawanya ke rumah utama milik kakek Abraham karena di sana saat ini juga ada perkumpulan keluarga besar. Ia juga ingin memperkenalkan Amora pada semua keluarga besarnya. Karena ia akui pernikahan Dirga ini hanya diketahui oleh beberapa orang saja, dan sekarang ia sangat ingin membongkar jika dirinya sudah menikah dan punya anak.Ditambah lagi, Ia merasa memang sudah waktunya untuk dirinya mempertemukan Amora dengan keluarganya dalam suasana yang lebih tenang dan penuh kehangatan. Sepanjang perjalanan, Amora merasa gugup, apalagi mengingat bagaimana hubungan Dirga dan kakeknya sering kali diwarnai perbedaan pendapat pasca Amora diculik. Namun, Dirga menggenggam tangannya erat, meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja.Saat m
Setelah mencegat Kiara untuk menghindarinya lagi, Dion memutuskan untuk membawa Kiara ke paviliun pribadinya yang terletak di sebelah rumah utama Abraham. Langit gelap semakin pekat , dan suasana sekitar paviliun terasa sunyi, hanya ditemani suara gemerisik dedaunan yang tertiup angin. Kiara, yang biasanya penuh percaya diri, tampak gelisah. Langkahnya ragu-ragu saat mengikuti Dion memasuki paviliun yang sederhana namun terasa dingin.Dion menatap Kiara dengan tatapan kesal, memerhatikan setiap gerak-geriknya yang terlihat kaku. "Duduklah," perintahnya sambil menunjuk sofa di ruang tamu paviliun. Kiara menurut, meskipun jelas terlihat ketidaknyamanan di wajahnya. Dion mengenal Kiara sudah cukup lama. Sebagai bodyguard, wanita itu dikenal tangguh dan profesional. Namun, ada sesuatu yang selalu membuatnya menjaga jarak darinya, dan malam ini Dion berniat mencari tahu alasannya."Kau terlihat aneh, Kiara," ucap Dion dengan nada serius setelah mengambil tempat duduk di seberangnya. "Setia
Kiara duduk mematung, menatap Dion dengan ragu. Kata-kata Dion yang penuh ketegasan tadi membuat hatinya bergetar. Namun, ada juga ketakutan yang menyelimuti perasaannya. Ia tahu dirinya telah menyerah, tapi sekarang Dion malah ingin membahas sesuatu yang membuat perasaan itu kembali kacau.“Kiara,” Dion memulai dengan suara tenang, menatap lurus ke matanya. “Aku tidak akan membohongimu. Aku punya rasa terhadapmu. Tapi aku jujur saja, aku belum tahu pasti apa bentuk rasa itu.”Kiara mengernyitkan dahi, menatap Dion dengan penuh kebingungan. “Apa maksudmu, Dion? Kalau kamu tidak tahu perasaanmu sendiri, kenapa harus membuatku berharap?” tanyanya dengan nada yang sedikit bergetar.“Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku menghargai keberanianmu tadi di paviliun. Aku tahu itu bukan hal mudah untukmu,” lanjut Dion. “Aku merasa ada sesuatu di antara kita. Tapi aku perlu waktu untuk memastikan, Kiara. Aku tidak mau membuat keputusan gegabah yang justru melukai kita berdua.”Kiara mengalihkan pa
Silva mendorong Ryan yang tak mau menghentikan ciuman tersebut. Ia dibuat sesak nafas karena ulah Ryan."Ryan!" Teriaknya."Apa?""Kamu, apaan sih!""Apa?""Kamu mau bunuh aku?""Nggak. Aku cuma sedikit kesal."Silva menautkan alisnya, "kesal? Kenapa?""Karena Dirga yang lebih dulu melakukannya. Berarti Dirga itu ciuman pertamamu kan." Ucap Ryan yang cukup nampak cemburu,Silva menatap Ryan dengan tatapan tajam, seolah mencoba memahami apa yang baru saja keluar dari mulutnya. "Ryan, kamu nggak waras ya? Kita lagi ngomongin apa, kenapa tiba-tiba kamu jadi cemburu sama Dirga?"Ryan mendengus pelan, lalu menyandarkan punggungnya ke sofa. "Aku nggak cemburu," jawabnya, meskipun nada suaranya terdengar jelas bertentangan dengan pernyataan itu.Silva mendekat, menyilangkan tangan di depan dadanya. "Oh, jadi kamu nggak cemburu? Terus kenapa kamu marah-marah soal Dirga? Ciuman pertama, segala macam... Itu hal yang udah lewat, Ryan."Ryan memalingkan wajah, matanya menatap kosong ke arah jende
Silva duduk di sofa ruang tamunya dengan tangan yang saling menggenggam erat. Wajahnya tampak tegang saat Ryan berdiri di depannya, tatapannya penuh dengan campuran amarah dan kebingungan. Ryan baru saja selesai berbicara, meyakinkan Silva untuk membiarkannya ikut campur dalam masalahnya dengan Adrian. Tapi Silva menggeleng pelan, menunduk, dan menarik napas panjang sebelum akhirnya mengangkat wajahnya.“Ryan, aku nggak mau kamu terlibat,” ucapnya, suaranya rendah tapi penuh ketegasan. “Ini masalahku, bukan masalahmu. Aku nggak ingin kamu terseret ke dalam kekacauan ini. Adrian bukan orang yang mudah dihadapi, dan aku nggak mau kamu celaka karenanya.”Ryan mendengus kesal, melipat tangannya di dada. “Silva, aku nggak peduli siapa Adrian atau seberapa berbahayanya dia. Aku peduli sama kamu, dan aku nggak akan tinggal diam kalau dia terus memperlakukanmu seperti ini. Dan harusnya kamu yang nggak usah berurusan dengan pria itu."“Tapi aku peduli sama kamu, Ryan!” Silva membalas dengan n
Ryan tersentak ketika ponselnya bergetar di atas meja. Namun, dering itu hanya berlangsung sebentar. Ia segera melirik layar ponselnya, dan alisnya langsung bertaut saat melihat nama Silva muncul di sana. Tanpa berpikir panjang, Ryan segera menekan tombol panggil untuk menghubungi Silva kembali.Panggilan itu tersambung setelah beberapa nada. Namun, suara di seberang terdengar lemah, hampir tidak terdengar. "Silva? Kamu di mana? Kenapa telepon aku? Terjadi sesuatu?" Ryan langsung bertanya dengan nada cemas.Silva menghela napas panjang sebelum menjawab. Suaranya terdengar bergetar. "Aku… aku ada di apartemen. Aku butuh bicara sama kamu, Ryan," katanya singkat."Apartemenmu?" Ryan memeriksa jam di dinding. Sudah hampir tengah malam. "Apa yang terjadi? Kamu baik-baik saja?""Tolong datang, Ryan. Aku nggak tahu harus ngomong sama siapa lagi," suara Silva terdengar putus asa. Itu cukup bagi Ryan untuk langsung bangkit dari tempat duduknya dan mengambil kunci mobil."Baik, tunggu di sana.
Silva berdiri di depan apartemen mewah milik Adrian, menggenggam tas tangannya erat-erat seolah-olah itu adalah satu-satunya yang bisa memberikan keberanian. Ia menatap pintu besar di depannya, merasakan gemuruh di dadanya yang semakin kuat. Keputusannya untuk datang ke sini tanpa memberi tahu Ryan terasa seperti beban yang berat, namun ia tahu bahwa ini adalah sesuatu yang harus ia selesaikan sendiri.Langkahnya terasa berat ketika ia mendekati pintu dan menekan bel. Hanya beberapa detik kemudian, suara Adrian terdengar dari interkom, dingin namun penuh kendali. "Silva. Aku tidak menyangka kamu akan datang. Naiklah."Pintu otomatis terbuka, dan Silva melangkah masuk ke dalam gedung. Lift membawanya ke lantai tertinggi, tempat Adrian tinggal. Setiap lantai yang terlewati membuat jantungnya berdetak semakin cepat. Ia bertanya-tanya apakah keputusannya ini benar, namun ia menepis keraguan itu. Ia tidak ingin terus dibayangi oleh masa lalu.Ketika pintu lift terbuka, Adrian sudah berdiri
Ryan duduk di sofa ruang tamu apartemen Silva, tangannya menggenggam sebuah map cokelat yang terlihat cukup tebal. Raut wajahnya tegang, mencerminkan keseriusan yang jarang Silva lihat sebelumnya. Sementara itu, Silva duduk di sampingnya dengan gelisah, jemarinya saling meremas tanpa sadar. Suasana di ruangan itu mendadak terasa sunyi, hanya terdengar suara kipas angin yang berputar pelan.Dengan gerakan perlahan, Ryan membuka map tersebut dan menarik napas panjang sebelum menyerahkannya kepada Silva. "Baca ini," katanya singkat, nadanya dingin namun tegas.Silva menatap map itu dengan keraguan. Tangannya sedikit gemetar saat menerimanya. Ia membuka map tersebut dan mulai membaca lembar demi lembar dokumen yang ada di dalamnya. Pandangannya segera berubah, dari kebingungan menjadi ketakutan."Ryan... bagaimana kamu bisa mendapatkan semua ini?" tanya Silva dengan suara bergetar. Ia menatap Ryan, berharap ada jawaban yang membuatnya merasa lebih tenang. Namun Ryan hanya diam, menatapnya
Ryan duduk di sofa ruang tamu apartemen Silva, tangannya memegang secangkir kopi yang sudah mulai dingin. Pandangannya tertuju pada Silva yang sedang membereskan beberapa buku di rak. Ia juga menatap senyum tipis yang selalu terbit dari bibir Silva. Dan entah kenapa ia menyukai senyum tersebut.“Sepertinya hidupmu sekarang jauh lebih tenang, ya?” Ryan membuka pembicaraan dengan nada santai. Silva menoleh, senyumnya kecil tapi tulus. “Iya, sejak Tante Nina berhenti menghubungiku, aku merasa seperti bisa bernapas lagi,” jawabnya sambil meletakkan buku terakhir di rak.“Syukurlah,” ujar Ryan sambil mengangguk. “Aku senang melihat kamu mulai pulih. Tapi... apa kamu yakin dia benar-benar sudah berhenti? Maksudku, Tante Nina bukan tipe orang yang menyerah begitu saja.” Silva terdiam sejenak, memikirkan kata-kata Ryan. “Aku nggak tahu, Ryan. Tapi sampai sekarang dia nggak lagi menghubungiku, dan itu sudah lebih dari cukup buatku. Setidaknya untuk sementara waktu aku bisa bernafas lega tanp
Detik berlalu begitu lama menurut Amora. Padahal setelah panggilan itu tertutup baru lewat 2 menit saja. Namun ia sudah merasa seperti 2 jam menunggu mertuanya keluar dari kamar. Ia benar-benar Tak sabar bisa masak bersama dengan ibu mertuanya itu. Impian semua menantu bukan? Bisa akrab dengan ibu mertua. Karena memang faktanya yang selalu menjadi banyak masalah dan momok menakutkan bagi menantu dalam rumah tangga adalah mertua perempuan.Dan saat ia sudah bisa berhasil membujuk mertua perempuannya untuk melihat dirinya secara baik-baik terlebih dahulu, membuat Amora cukup bangga dengan usahanya. Tapi yakin ini baru di awal saja karena masih ada beberapa rintangan lagi yang tentunya harus ia jalani. Pintu kamar tiba-tiba terbuka memunculkan Nina dengan pakaian santainya. Ia menatap Amora sekilas selalu melenggang menuju dapur. "Ngapain kamu masih duduk di sana, sini masak sama saya." Ucap Nina dengan ketus namun suaminya paham jika istrinya itu sebenarnya sudah menganggap Amora sebag
Malam semakin larut, dan hawa dingin mulai menyelimuti taman rumah Dirga. Kiara menarik jaketnya lebih rapat sambil menguap kecil. Rasa kantuk mulai menyerangnya. Ia menguap beberapa kali membuat Dion tertawa gemas. “Sepertinya ada yang sudah tak bisa menahan kantuknya lagi." Goda Dion.Kiara tersenyum malu, "aku Ngantuk, masuk yuk." Jawabnya sambil berdiri. Dion mengangguk setuju. Kiara melangkah lebih dulu berjalan menuju pintu masuk rumah dan Dion mengekori dari belakang. Mereka saling bertukar pandang dan tersenyum sebelum berpisah di lorong menuju kamar mereka masing-masing.Sementara itu di kamar Dirga, pasangan suami istri itu belum tertidur. Keduanya masih asik berbicara hal-hal kecil dengan suasana yang nyaman. "Mas nggak pernah ke rumah mami lagi?" Tanya Amora sembari memainkan jemari suaminya.Dirga menghela nafas panjang. "Mas belum sempat. Lagian untuk saat ini berjumpa dengan Mami hanya akan menambah emosi Mas saja. Jadi lebih baik seperti ini dulu." "Tapi mas, bagai
Ryan berdiri di dapur apartemen Silva, memandang sekeliling dengan sedikit kebingungannya. Dapur itu tidak terlalu besar, namun cukup nyaman dan rapi. Bau masakan ringan mulai tercium dari kompor, tanda bahwa suasana sudah kembali tenang setelah kejadian yang cukup membuat hati mereka berdua berdebar. Silva, yang tadi sempat canggung dan bingung, kini sudah mulai tersenyum sedikit saat berjalan mendekat dengan tangan membawa bahan-bahan untuk makan malam."Jadi, apa yang harus kita masak?" tanya Silva sambil membuka lemari es, memilih beberapa bahan yang akan dijadikan hidangan malam itu. Ryan, yang masih agak terkejut dengan kejadian sebelumnya, akhirnya tersenyum tipis. "Bagaimana kalau pasta?" jawabnya, berharap agar pilihannya itu tidak membuat suasana menjadi canggung lagi. Silva mengangguk, lalu mulai mengeluarkan peralatan masak dengan cekatan. "Pasta ya? Aku setuju. Tapi kamu bantu, kan?" tanyanya dengan sedikit gurauan, mencoba membuat suasana semakin ringan.